Asysyariah
Asysyariah

pembelaan asy-syaikh abdul aziz bin baz terhadap hadits-hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

11 tahun yang lalu
baca 15 menit
Pembelaan Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz Terhadap Hadits-Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam

Pada tahun 1420 H, umat kehilangan dua alim rabbani: asy- Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani dan asy-Syaikh al-Walid Abdul Aziz bin Baz. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, nama yang tidak asing di tengah kaum muslimin. Harum nama beliau. Dunia Islam menyaksikan perjuangan beliau dalam membela Islam dan kaum muslimin. Adapun celaan yang tertuju kepada beliau hanyalah riak-riak di tengah luasnya samudra. Cukuplah biografi beliau dan sanjungan alam Islam sebagai bantahan bagi mereka yang dengan lancang mencela orang yang telah menghabiskan waktunya untuk membela Islam.

Meninggal pada usia 90 tahun, pada hari Kamis, Muharram 1420 H. Seusai shalat Jum’at, jenazah dishalati di Masjidil Haram bersama duka yang mendalam dan awan kelabu yang menyelimuti kalbu kaum muslimin. Shalat gaib juga ditegakkan di Masjid Nabawi dan masjid-masjid jami’ di Kerajaan Arab Saudi, hari itu. Umat kehilangan lagi sosok ulama mujaddid. Demikianlah zaman berlalu. Satu demi satu ulama meninggalkan dunia hingga kejahilan semakin merebak. Manusia pun akan menjadikan pemimpinpemimpin dan tokoh-tokoh mereka dari kalangan orang-orang yang jahil sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ صُدُورِ الرِّجَالِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِمَوْتِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمٌ، اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak mencabut ilmu dengan serta-merta dari dada-dada manusia, namun Allah Subhanahu wata’ala mencabut ilmu dengan wafatnya ulama. Karena itu, ketika tidak ada lagi seorang yang ‘alim, manusia lantas mengangkat pemimpin mereka dari kalangan orang-orang jahil, mereka ditanya dan memberikan fatwa (di atas kejahilan), mereka pun sesat dan menyesatkan.”

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah termasuk pemuka ulama yang sangat gigih menyebarkan akidah Islam dan membela dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hal ini tampak dalam amaliah beliau, ceramah-ceramah dan fatwa fatwa beliau, serta kitab-kitab yang beliau tinggalkan. Beliau gigih membela tauhid dan memerangi syirik. Hidup beliau penuh dengan pembelaan kepada Allah l dan Rasul-Nya, Islam, sahabat, dan pembelaan terhadap akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Ilmu Hadits

Keilmuan beliau sangat mendalam. Hafal al-Qur’an sebelum baligh, kemudian beliau tekun duduk di hadapan para pembesar ulama di zaman itu. Kebutaan total yang menimpa di usia 20 tahun tidak membuatnya surut dalam menimba ilmu, bahkan mendorong beliau untuk menambah semangat. Allah Subhanahu wata’ala membukakan pintu-pintu ilmu untuknya. Jadilah beliau—dengan izin Allah Subhanahu wata’ala—seorang ulama. Semua menyaksikan keluasan ilmu asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Di samping ilmu akidah, tafsir, fikih, dan cabang-cabang lain, perhatian beliau kepada hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam demikian kuat. Disebutkan dalam biografinya, beliau menghafal haditshadits Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Semangat beliau dalam menyebarkan hadits Nabi n dan bertafaqquh dalam cabang ilmu ini juga tampak kental dalam banyak pelajaran yang beliau sampaikan kepada para penuntut ilmu. Beliau mengajarkan Kutubus Sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah).

Beliau juga mengajarkan Musnad al- Imam Ahmad, Muwaththa’ al-Imam Malik, Sunan ad-Darimi, Shahih Ibnu Hibban, as-Sunan al-Kubra lin Nasai, Bulughul Maram, Muntaqal Akhbar, bersama dengan pelajaran-pelajaran lain yang tekun beliau ajarkan kepada para penuntut ilmu dalam akidah, tafsir, faraidh (ilmu waris), fikih, dan cabang ilmu lainnya. Semua orang yang adil dalam menilai akan berdecak kagum mengucapkan masya Allah la quwwata illa billah, ketika melihat bagaimana ketajaman beliau menjelaskan makna hadits-hadits sahih sesuai dengan pemahaman salafush saleh, dengan ungkapan yang mudah, ringkas, dan padat.

At-Tuhfatul Karimah fi Bayani Ba’dhil Ahadits al-Maudhu’ah was Saqimah

Di samping bersemangat menyebarkan hadits Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam yang sahih dengan pemahaman salaful ummah, perhatian beliau juga tertuju kepada hadits-hadits dha’if dan maudhu’ (palsu) yang banyak tersebar di tengah muslimin. Beliau tidak tinggal diam. Lengan baju beliau singsingkan untuk menjelaskan kepada umat apa yang tidak sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam atau bahkan dipalsukan atas nama beliau. Di antara karya beliau yang menunjukkan semangat mengikuti jejak salaful ummah dan imam-imam Ahlus Sunnah dalam membersihkan haditshadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dari kedustaan kaum pendusta dan tercampurnya sabda-sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan riwayat-riwayat yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, adalah risalah berjudul at-Tuhfatul Karimah fi Bayan Ba’dhil Ahadits al-Maudhu’ah was Saqimah2 berisi kumpulan hadits maudhu’ (palsu) dan lemah. Di awal risalah, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah, Dzat yang telah memuliakan kita dengan agama Islam, Dzat yang telah menjadikan Islam sebagai agama yang paling sempurna, Dzat yang telah menjaga kitab-Nya yang mulia,

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Hijr: 9)

Allah Subhanahu wata’ala memudahkan untuk agama ini keberadaan ulama yang kokoh dalam ilmu, para pembela yang membersihkan agama ini dari penyimpangan orang yang melampaui batas, takwil orang-orang jahil, dan makar orang-orang yang berpenyakit lagi memiliki permusuhan. Allah Subhanahu wata’ala menjaga pula sunnah Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan kegigihan ahlul ilmi dan iman, orang-orang yang jujur lagi tepercaya. Mereka jelaskan kepada umat mana hadits-hadits yang sahih dan cacat, mana pula hadits-hadits yang hasan dan lemah.

Mereka terjun dalam medan (jihad ini), meneliti keadaan para perawi yang menukil hadits. Tampaklah mana perawi yang tsiqah (tepercaya), jujur, memiliki hafalan, amanah, dan bagus dalam periwayatan serta kuat dalam pemahaman. Tampak pula siapakah perawi yang muttaham (tertuduh berdusta) atau memang pendusta, yang jelek hafalannya, atau sangat banyak salahnya karena hafalannya yang menjadi kacau, atau sebab lainnya. Itu semua mereka jelaskan sebagai bentuk nasihat kepada umat….

Inilah sebuah risalah sederhana, berisi keterangan sebagian haditshadits maudhu’ dan dha’if, sengaja saya kumpulkan agar saya benar-benar berada di atas ilmu tentang hadits-hadits tersebut. Saya bisa mengambil manfaatnya pertama kali, dan semoga saudara saya juga dapat mengambil manfaatnya.” (Majmu’ Fatawa) Asy-Syaikh kemudian mulai menyebutkan hadits-hadits lemah dan palsu yang beliau urutkan sesuai huruf hijaiyah untuk memudahkan para pencari hadits mengambil manfaatnya.

Beberapa Hadits Dha’if & Maudhu’ yang Diterangkan asy-Syaikh Abdul Aziz Bin Baz

Untuk menyempurnakan faedah, berikut ini dua buah hadits, maudhu’ dan dha’if beserta keterangan asy- Syaikh Ibnu Baz dari risalah at-Tuhfatul Karimah dan fatwa beliau.

1. Hadits maudhu’ tentang anjuran berdoa kepada penghuni kubur.

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا تَحَيَّرْتُمْ فِي الْأُمُورِ فَاسْتَعِينُوا بِأَهْلِ الْقُبُورِ

“Jika kalian mendapat kesusahan dalam urusan-urusan kalian, mintalah pertolongan kepada penghuni-penghuni kubur.”

Riwayat ini adalah salah satu syubhat kaum sufi quburi (pengagung kuburan). Mereka gembar-gemborkan hadits ini untuk melegalisasi praktik-praktik kesyirikan yang sering mereka lakukan di kuburan-kuburan yang mereka anggap mulia.3 Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz  pernah ditanya, “(Wahai Syaikh) sebagian manusia berkata, memohon kepada mayit di kubur mereka adalah perkara yang boleh dengan dalil hadits, ‘Jika kalian mendapat kesusahan dalam perkaraperkara kalian, mintalah pertolongan kepada penghuni-penghuni kubur.’ Sahihkah hadits ini atau tidak?” Beliau menjawab bahwa hadits ini termasuk hadits-hadits yang dipalsukan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana diperingatkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawa (1/356), setelah menyebutkan hadits ini, “Hadits ini dusta, dibuat-buat atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini adalah kesepakatan ulama yang mengerti hadits-hadits beliau. Tidak ada seorang ulama pun meriwayatkan hadits ini, bahkan hadits ini tidak ada dalam kitab-kitab hadits yang dijadikan sandaran.”

Hadits yang dipalsukan atas nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ini bertentangan dengan kandungan al-Kitab dan as-Sunnah tentang kewajiban memurnikan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala dan diharamkannya mempersekutukan Allah Subhanahu wata’ala. Tidaklah diragukan bahwasanya berdoa (memohon) kepada orang-orang yang telah mati, beristighatsah (memohon pertolongan di kala kesempitan) kepada mereka, serta berbondong mengharap kepada mereka dalam kesempitan dan kesusahan termasuk kesyirikan terbesar, sebagaimana berdoa kepada mereka di masa lapang juga termasuk kesyirikan.4

Di saat tertimpa kesempitan, kaum musyrikin terdahulu mengikhlaskan doa untuk Allah Subhanahu wata’ala (mereka lupa ilah-ilah yang lain, seperti al-Latt, al-‘Uzza, dst, mereka hanya ingat kepada Allah Subhanahu wata’ala, -pen.). Namun, ketika kesempitan itu telah tersingkap, mereka kembali lagi melakukan kesyirikan, sebagaimana dalam firman-Nya,

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Apabila mereka naik kapal, mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah).” (al-Ankabut: 65)

Ayat-ayat al-Qur’an yang semisal dengan ini sangatlah banyak. (Semuanya menunjukkan bahwa kaum musyrikin terdahulu memurnikan doa kepada Allah Subhanahu wata’ala di saat kesempitan, setelah mendapatkan kelapangan mereka kembali kepada ilah selain Allah Subhanahu wata’ala, -pen.) Adapun kaum musyrikin saat ini (seperti mereka yang mendatangi makam-makam para wali, memohon kepadanya, atau menjadikannya sebagai perantara -pen.), kesyirikan mereka tidak kenal waktu, baik di masa lapang maupun di masa sempit. Bahkan, di masa sempit, kesyirikan itu semakin bertambah (yakni ketergantungan mereka kepada para penghuni kubur menjadi berlipat, -pen.). Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wata’ala. …

(Mereka berdoa kepada selain Allah Subhanahu wata’ala, padahal doa hanyalah hak Allah Subhanahu wata’ala, -pen.) Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus….” (al-Bayyinah: 5)

Allah Subhanahu wata’ala juga berfirman,

فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ

“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (al-Mukmin: 14)

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن قِطْمِيرٍ {} إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ

“… Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fathir: 13—14)

Ayat ini sifatnya umum, mencakup semua yang diibadahi selain Allah Subhanahu wata’ala, baik para nabi, orang-orang saleh, maupun yang lainnya. Allah l telah menjelaskan bahwa doa kaum musyrikin yang ditujukan kepada mereka (orang-orang yang telah mati) adalah kesyirikan. Allah l juga menjelaskan bahwa perbuatan tersebut adalah kekufuran. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَمَن يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِندَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ

“Dan barang siapa berdoa (menyembah ilah yang lain) di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalil pun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.” (al-Mukminun: 117)

Ayat-ayat yang menunjukkan wajibnya mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala semata, kewajiban mengarahkan doa hanya kepada-Nya dan bukan pada yang lainnya, sangatlah banyak dan pasti diketahui oleh orangorang yang mentadabburi al-Qur’an dan membacanya untuk mencari petunjuk. Demikian pula ayat yang menunjukkan diharamkannya beribadah kepada selain Allah Subhanahu wata’ala berupa orang yang sudah mati, patung-patung, berhala, pepohonan, bebatuan, dan lainnya. Hanya kepada Allah Subhanahu wata’ala lah tempat memohon pertolongan, la haula wa la quwwata illa billah. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh bin Baz dan Fatawa Nurun ‘Ala ad-Darb)

2. Hadits dhaif tentang tidak diterimanya shalat orang yang pakaiannya musbil.

وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَقْبَلُ صَلَاةَ رَجُلِ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ

“Dan Allah tidak akan menerima shalat seseorang yang musbil (menjulurkan kainnya di bawah mata kaki).” Menjulurkan kain di bawah mata kaki bagi kaum lelaki adalah hal yang dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadits-hadits dengan tegas melarangnya secara umum, baik menjulurkan karena sombong maupun tidak. Bahkan, al-Imam adz-Dzahabi asy- Syafi’i rahimahullah memasukkannya dalam kitab al-Kabair (dosa-dosa besar). Di kalangan ulama terja i perbincangan tentang hukum shalat orang yang memakai kain di bawah mata kaki, apakah sah shalatnya? Asy-Syaikh Ibnu Baz t berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 638 (1/172) dan no. 4086 (4/ 57) dari Musa bin Ismail, dari Aban, dari Yahya, dari Abu Ja’far, dari ‘Atha’, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Suatu saat ada orang shalat dalam keadaan musbil (menjulurkan sirwalnya di bawah mata kaki). Ketika itu Rasul n berkata, ‘Pergilah engkau, ulangi wudhumu!’ Ia pergi lalu datang kembali. Rasul mengulangi lagi sabdanya, ‘Pergilah engkau, ulangi wudhumu!’ Bertanyalah seseorang, ‘Wahai Rasulullah mengapa engkau perintahkan dia berwudhu kemudian engkau diam?’ Rasul n pun bersabda,

إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَقْبَلُ صَلَاةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ

‘Sungguh, ia tadi shalat dalam keadaan musbil, dan Allah Subhanahu wata’alatidak akan menerima shalat seseorang yang menjulurkan kainnya di bawah mata kaki.’ Tentang hadits ini, al-Imam an- Nawawi rahimahullah dalam Riyadhus Shalihin berkata, ‘Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud sesuai dengan syarat al- Imam Muslim’.” Saya (asy-Syaikh Ibnu Baz) katakan, “Ini adalah wahm (kekeliruan) al-Imam an-Nawawi rahimahullah. Sanad ini sebenarnya tidak sesuai dengan syarat al-Imam Muslim. Sanad ini justru dha’if (lemah) karena ada dua illat (cacat) di dalamnya.

1. Hadits ini datang dari riwayat Abu Ja’far—tanpa menyebut nasabnya—dan ia majhul (tidak dikenal).

2. Hadits ini adalah riwayat Yahya bin Abi Katsir dari Abu Ja’far dengan ‘an’anah, padahal Yahya adalah seorang yang mudallis, dan jika seorang mudallis tidak terang-terangan mendengar haditsnya (dari sang guru), haditsnya tidak bisa dijadikan hujah, kecuali jika

berada dalam Shahihain. Seandainya hadits ini sahih, makna yang terkandung adalah ancaman keras agar seorang tidak lagi melakukan isbal. Adapun shalatnya tetaplah sah karena Rasul n tidak memerintahkannya mengulangi shalat. Yang beliau perintahkan adalah mengulangi wudhunya. Tidak diterimanya shalat dalam hadits, tidak mesti berkonsekuensi batalnya shalat. Contohnya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barang siapa mendatangi dukun lalu ia bertanya kepadanya tentang sesuatu, sungguh tidak akan diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR . Muslim dalam Shahih-nya)

(Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menafikan diterimanya shalat orang yang datang kepada dukun dan bertanya walaupun tidak memercayainya). Tentang hadits ini, al-Imam an-Nawawi rahimahullah menukilkan adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa dia tidak diperintahkan mengulangi shalatnya, namun pahalanya hilang (yakni shalat yang dilakukan tidak berpahala selama 40 hari). Ini sebagai hukuman sekaligus peringatan. Yang serupa dengan ini ada dalam banyak hadits. Ini semua menunjukkan bahwa tidak diterimanya shalat orang yang musbil maksudnya adalah (hilang pahalanya) dan tidak mengharuskan batalnya shalat, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahnya untuk mengulangi shalat. Demikian pula dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahnya mengulangi (shalat). Yang beliau perintahkan untuk diulangi adalah wudhunya…

Bisa jadi, wudhu itu akan meringankan dosa. Semua makna ini tentu saja jika hadits di atas sahih. Bisa jadi, hadits di atas dijadikan dalil tidak sahnya shalat (orang yang musbil) karena tidak adanya perkara yang memalingkan makna ini, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

يَقْبَلُ اللهُ صَلَاهَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Allah tidak menerima shalat di antara kalian jika berhadats hingga dia berwudhu.” (Muttafaq ‘alaihi)

Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang kita isyaratkan sebelum ini dikeluarkan oleh Abu Dawud dengan no. 637 (1/172) dengan sanad yang sahih. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِي صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي حِلٍّ وَلاَ حَرَامٍ

‘Barang siapa menjulurkan kainnya (di bawah mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak mengurusinya baik di tanah halal atau haram.

Setelah meriwayatkan hadits ini, Abu Dawud rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh al-Jama’ah secara mauquf dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaikh Ibnu Baz mengatakan,

Mauquf yang seperti ini memiliki hukum marfu’ karena kandungannya adalah perkara yang tidak mungkin berasal dari ra’yu (pendapat seseorang), sebagaimana diketahui dari perkataan ulama ushul fiqih dan musthalah hadits. Wa billahit taufiq.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz)

Khatimah

Pembaca rahimakumullah, demikian sepenggal penjelasan asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz di antara peninggalanpeninggalan beliau yang sangat banyak. Selebihnya, pembaca dipersilakan merujuk kepada risalah at-Tuhfatul Karimah fi Baya ba’dhil Ahadits al-Maudhu’ah was Saqimah, dan karya beliau lainnya. Apa yang sedikit ini semoga memberikan manfaat kepada kita, dan mengingatkan kepada para pencela asy- Syaikh Abdul Aziz yang telah beruban dalam membela Islam dan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Semoga Allah Subhanahu wata’ala merahmati dan mengampuni kita semua dan beliau, kemudian mengumpulkan kita semua di dalam jannah-Nya.

Amin.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar Ibnu Rifai