Pembahasan tentang pembatal-pembatal wudhu termasuk persoalan yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat para ulama. Dalam prinsip Ahlus Sunnah, perbedaan yang demikian termasuk sesuatu yang lumrah dan biasa terjadi. Karenanya diperlukan sikap lapang dada untuk menerima perbedaan pendapat tersebut, selama masing-masing berpegang pada dalil yang ada.
Wudhu sebagai rangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fikih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu). Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali.
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari al-Qur’an dan as- Sunnah, dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.
Pembatal Wudhu yang Disepakati
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. al-Bukhari no. 135)
Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat seorang, dan kencing termasuk hadats kecil.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yangmengharuskan wudhu (bila seseorang hendak mengerjakan shalat):
“Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar….” (al- Maidah: 6)
Dengan demikian bila seseorang buang air besar (BAB) batallah wudhunya.
Angin yang keluar dari dubur (kentut) membatalkan wudhu, sehingga bila seseorang shalat lalu kentut, maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal. Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim al- Mazini radhiallahu ‘anhu berkata, “Diadukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendengar bunyi kentut (angin) tersebut atau mencium baunya.” (HR. al-Bukhari no. 137 dan Muslim no. 361)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. al-Bukhari no. 135)
Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini, berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut, “Seperti apa hadats itu, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Angin yang keluar dari dubur (kentut) yang bunyi maupun yang tidak bunyi.”
Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, beliau berkata, “Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dengan perkara yang paling khusus (yaitu angin dari dubur) sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adalah hadats yang paling ringan sementara di sana ada hadats yang lebih berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang melaksanakan shalat, tidak seperti hadats yang lain.” (Fathul Bari, 1/296)
Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dengan keluarnya hadats, sama saja baik keluarnya dengan keinginan ataupun terpaksa. (Fathul Bari, 1/269)
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, Salma, maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau istri Abu Rafi‘ maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yang telah memukulnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’, “Ada apa engkau dengan Salma, wahai Abu Rafi‘?”
Abu Rafi‘ menjawab, “Ia menyakitiku, wahai Rasulullah.”
Rasulullah bertanya lagi, “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?”
Kata Salma, “Ya Rasulullah, aku tidak menyakitinya dengan sesuatu pun, akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat, maka kukatakan kepadanya, ‘Wahai Abu Rafi’, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin, apabila salah seorang dari mereka kentut, ia harus berwudhu.’ Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.”
Mendengar hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata, “Wahai Abu Rafi’, sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” (HR. Ahmad 6/272, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih, 1/521)
Adapun orang yang terus-menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser (kencing terus-menerus) (al-Fatawa al-Kubra, Ibnu Taimiyah rahimahullah, 1/282) atau orang yang buang angin terus-menerus atau buang air besar terus-menerus, maka ia diberi uzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dengan keluarnya hadats tersebut. (asy-Syarhul Mumti’, 1/221)
Keluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali berkata, “Aku seorang yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu untuk bertanya langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena keberadaan putrinya (Fathimah radhiallahu ‘anha) yang menjadi istriku. Aku pun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiallahu ‘anhu untuk menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab,
يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ
“Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” (HR. al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)
Keberadaan wadi sama halnya dengan madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.
Darah haid dan nifas yang keluar dari kemaluan (farji) seorang wanita adalah hadats besar yang karenanya membatalkan wudhu wanita yang bersangkutan. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu di atas tentang batalnya wudhu karena hadats. Selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat, puasa, dan bersenggama dengan suaminya sampai ia suci.
Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus-menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan, seperti pada wanita yang menderita istihadhah, karena wanita yang istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu untuk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.” (Risalah fid Dima’ ath-Thabi’iyyah Lin Nisa, hlm. 50)
Seseorang yang keluar maninya wajib baginya mandi, tidak cukup hanya berwudhu, karena dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/janabah yang berarti dia telah hadats besar. Berbeda dengan kencing, BAB, keluar angin, keluar madzi dan wadi yang merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dengan wudhu.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh-sungguh padanya (menggauli istrinya), maka sungguh telah wajib baginya untuk mandi (janabah).” (HR. al-Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
Dalam riwayat Muslim ada tambahan,
وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ
“Sekalipun ia tidak keluar mani.” Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ (senggama) sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi, sehingga jima‘ perkara yang membatalkan wudhu.
Pembatal Wudhu yang Diperselisihkan
Dalam masalah fiqhiyyah baik itu fikih ibadah ataupun fikih muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yang jelas dalam pengetahuan mereka, baik dari al-Qur’an ataupun dari hadits dan karena satu keadaan yang masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yang ada, sehingga timbullah beragam pandangan.
Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yang baru karena sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam.
Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan, namun mereka terhadap satu dengan yang lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yang ganjil yang menyelisihi pendapat yang ma‘ruf (atau meyelisihi ijma’), walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.
Demikianlah yang ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yang diperselisihkan di sini, yang mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca, sehingga bila didapati hal yang demikian hendaknya kita berlapang dada. Tentunya dengan tidak menolak pandangan yang ada selama itu adalah ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih.
Mungkin penulis memberikan contoh waqi‘iyyah (kenyataan) yang penulis sendiri mengalaminya (yang terkenang di sisi penulis). Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dengan guru kami asy-Syaikh al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud karena memilih pendapat tahrik (menggerak-gerakkan jari) sesuai dengan pendapat yang ma’ruf. Sementara guru kami adalah orang yang sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz (ganjil).
Namun, selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan pendapatnya kepada penulis meski beliau berkuasa untuk memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan, dalam berbagai majelis beliau berbangga dengan murid-muridnya yang tidak taklid (mengikut tanpa dalil) kepada beliau, tetapi berpegang dengan dalil sekalipun berbeda pandangan dengan beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan.
Ahlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Atau kalian menyentuh wanita.…” (an-Nisa: 43)
Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dengan jima’ (senggama), seperti pendapat Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, ‘Ubay bin Ka’b, Mujahid, Thawus, al-Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, Sa’id bin Jubair, asy-Sya’bi, Qatadah, dan Muqatil bin Hayyan. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Kedua: ahlul ilmi yang lain berpendapat “menyentuh” di sini lebih luas/umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dengan tangan, mencium, bersenggolan, dan semisalnya. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan sahabat. Abu ‘Utsman an-Nahdi, Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud, ‘Amir asy-Sya’bi, Tsabit ibnul Hajjaj, Ibrahim an-Nakha’i, dan Zaid bin Aslam. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/227)
Adapun pendapat pertama, bila seseorang menyentuh wanita dengan tangannya atau dengan seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu.
Pendapat kedua menunjukkan sekadar menyentuh wanita, walaupun tidak sampai jima’, membatalkan wudhu. Dari dua penafsiran di atas yang rajih adalah penafsiran yang pertama bahwa yang dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adalah jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh al-Qur’an sendiri[1] dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dengan wanita (tanpa jima’) tidaklah membatalkan wudhu.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Yang dimaukan (oleh ayat Allah subhanahu wa ta’ala ini) adalah jima’, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan selainnya. Inilah yang sahih tentang makna ayat ini. Adapun menyentuh wanita (bukan jima’) sama sekali tidak ada dalilnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu.
Kaum muslimin senantiasa bersentuhan dengan istri mereka, namun tidak ada seorang muslim pun yang menukilkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintah seseorang untuk berwudhu karena menyentuh para wanita (istri).” Beliau berkata pula, “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan, dan ini adalah pendapat sekelompok salaf. Adapun menyentuh wanita dengan syahwat, tidaklah wajib berwudhu karenanya.
Apabila dia berwudhu, itu lebih baik dan disenangi (yang tujuannya) untuk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah untuk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat, aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” (Majmu’ al-Fatawa, 21/410)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pendapat yang rajih, menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak, sama saja baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali bila keluar sesuatu darinya (madzi atau mani). Bila yang keluar mani, wajib baginya mandi. Adapun kalau yang keluar madzi, wajib baginya mencuci zakarnya dan berwudhu.” (Majmu’ Fatawa wa Rasail, 4/201-202)
Dalil dari as-Sunnah yang menunjukkan bahwa bersentuhan dengan wanita (selain jima’) tidaklah membatalkan wudhu di antaranya,
كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا
“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat (ketika beliau sedang shalat,pen). Saat sujud, beliau menyentuhku (dengan ujung jarinya) sehingga aku menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri, aku kembali membentangkan kedua kakiku.” (HR. al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512)
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
“Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud) dan sedang berdoa, ‘Ya Allah, aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dengan maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Engkau sebagaimana yang Engkau puji terhadap diri-Mu’.” (HR. Muslim no. 486)
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu ad-Darda radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan, “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya. Tsauban berkata, “Abu ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. at-Tirmidzi no. 87)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain al-Baihaqi berkata, “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268).
Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan,, “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat ar- Radhiyyah, 1/174)[2]
Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
– Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut, dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata,“Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq.
Sementara itu, ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan asy-Syafi’i. (Sunan at-Tirmidzi, 1/59)
– Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy- Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit maupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, asy-Syarhul Mumti’, 1/234)
Inilah pendapat yang rajih dan menenangkan bagi kami. Mereka berdalil sebagai berikut:
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak maupun sedikit.[3] Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Makhul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur, dan Dawud. Al-Baghawi berkata, “Ini adalah pendapat mayoritas sahabat dan tabi`in.” (al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hlm. 111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌّ فَلْيَنْصَرِفْ فَلْيَتَوَضَّأْ..
“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas[4] atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz dinilai lemah. Sementara itu, dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij, seorang Hijaz. Selain itu, para rawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij—yang merupakan para tokoh penghafal—meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal [bersambung], pen.), sebagaimana dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar.
Apalagi riwayat yang mursal ini dinyatakan sahih oleh adz-Dzuhli, ad-Daruquthni dalam kitab al-‘Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata bahwa hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, al-Imam Ahmad rahimahullah dan selain beliau men-dha’if-kan hadits ini. (Bulughul Maram hlm. 36)
Darah yang keluar dari tubuh seseorang, selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu, sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnul Musayyab, Mak-hul, Rabi’ah, an-Nashir, Malik, dan asy-Syafi’i. (Nailul Authar, 1/269—270) Ini pendapat yang rajih menurut penulis. Wallahu a’lam bish-shawab.
Kalangan ahlul ilmi ada yang membedakan antara darah sedikit dengan yang banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah, al-Imam Ahmad, dan Ishaq. (Nailul Authar, 1/269)
Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adalah hadits tentang seorang sahabat al-Anshari yang tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir karena luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya (HR. al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan selainnya. Dinyatakan sahih asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193)
Seandainya darah yang banyak itu membatalkan wudhu niscaya sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang untuk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yang ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yang bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para sahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah.
Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. (Sailul Jarar, 1/262, Tamamul Minnah, hlm. 51—52) Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari
[1] Seperti dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka, maka tidak ada kewajiban bagi mereka untuk menjalani iddah.” (al-Ahzab: 49)
Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yang dikaitkan dengan wanita maka yang dimaksudkan adalah jima’.
[2] Di antara imam ahlul hadits ada juga yang menguatkan hadits ini, seperti Ibnu Mandah dan asy-Syaikh al- Albani di Tamamul Minnah, beliau mengatakan sanadnya sahih (hlm. 111).
[3] Permasalahan yang disebutkan di sini juga diperselisihkan oleh ahlul ilmi, sebagaimana disebutkan sendiri oleh al-Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ (2/63).
[4] Qalas adalah muntah yang keluar dari kerongkongan, bukan dari perut. (Subulus Salam, 1/105)