Asysyariah
Asysyariah

pelajaran dari sepenggal kisah istri-istri shalihah

13 tahun yang lalu
baca 18 menit
Pelajaran dari Sepenggal Kisah Istri-istri Shalihah

Menghidupkan kembali karakter para wanita mulia dari kalangan sahabiyah di masa kini barangkali merupakan upaya yang sulit dilakukan, kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin. Segala sesuatunya memang telah demikian jauh berbeda. Namun tak ada salahnya kita senantiasa melakukan upaya perbaikan diri, di antaranya dengan mengetahui kemuliaan mereka dan sebisa mungkin kita mencontohnya. Mudahmudahan ini menjadi sebuah upaya positif di tengah kuatnya arus perusakan yang datang dari berbagai arah.

Seorang istri yang mengerti akan dien dan mempunyai rasa takut kepada- Nya pasti berharap menjadi istri yang salihah. Gambaran istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Khadijah bintu Khuwailid, Aisyah bintu Abi Bakar, dan yang lainnya radhiallahu anhunna tersimpan di benaknya. Demikian pula kisah-kisah istri salihah dari kalangan shahabiyah menjadi panduan baginya dalam menjalani hari-harinya sebagai istri, seperti kisah Ummu Sulaim bintu Milhan radhiallahu ‘anha, ibu Anas bin Malik, Asma putri Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma, dan selain keduanya.

Wanita-wanita salihah itulah yang menjadi ikutannya, sama sekali tidak terbetik di hatinya untuk mengidolakan wanita-wanita fasik seperti artis, fotomodel, dan semisalnya, walaupun mereka sangat terkenal, dikagumi, dan dielu-elukan mayoritas wanita.

 

Sepenggal Kisah Khadijah radhiallahu ‘anha

Banyak teladan yang bisa dipetik dari kisah hidup wanita mulia bernama Khadijah, istri terkasih insan termulia Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Namun di sini hanya satu kisah yang akan kita ingatkan kembali, satu kisah yang pernah lewat dalam lembar hidupnya yang sarat dengan kemuliaan.

Awal turunnya wahyu merupakan satu peristiwa agung yang tak lepas dari sosok Khadijah. Sebab, dialah yang membantu, menghibur, memberikan dorongan moral dan material kepada sang suami di hari-hari awal nan sangat mendebarkan.

Aisyah radhiallahu ‘anha berkisah, “Awal wahyu yang diterima Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah berupa mimpi yang benar. Tidaklah beliau melihat suatu mimpi kecuali mimpi itu datang seperti cahaya subuh. Setelah itu beliau senang menyendiri di Gua Hira untuk bertahannuts (beribadah sesuai dengan apa yang beliau ketahui dari agama Nabi Ibrahim ‘alaihissalampen.) dalam beberapa malam dengan membawa bekal dari istrinya.

Setelah habis bekalnya, beliau kembali kepada Khadijah, lalu disiapkan lagi bekal beliau, kemudian beliau pergi ke Gua Hira dan berdiam di sana selama beberapa malam. Demikian terus berlangsung hingga datang al-haq kepada beliau sementara beliau berada di Gua Hira.”

Aisyah pun menceritakan datangnya malaikat Jibril ‘alaihissalam kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diajarkannya surat al-Alaq kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peristiwa besar yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam alami sungguh mendebarkan hatinya hingga ia pulang ke rumahnya menemui Khadijah, istrinya, “Selimuti aku, selimuti aku!,” pinta beliau.

Khadijah pun dengan segera menyelimuti suaminya hingga hilang dari beliau rasa takut dan cemas. Beliau pun berucap kepada Khadijah menceritakan apa yang dialaminya, “Sungguh aku khawatir dan cemas akan diriku.”

Khadijah menanggapi dengan ucapannya yang menghibur, “Sekali-kali tidak, demi Allah! Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menghinakanmu dan membuatmu sedih selama-lamanya. Engkau seorang yang menyambung silaturrahim, menanggung orang yang lemah, memenuhi kebutuhan fakir miskin, menjamu dan memuliakan tamu, serta menolong al-haq.”

Khadijah lalu menemani suaminya menemui Waraqah bin Naufal, anak pamannya, seorang yang memeluk agama Nasrani dan biasa menulis Injil dalam bahasa Ibrani. Waraqah ini telah buta lagi tua renta.

“Wahai anak pamanku, dengarkanlah kisah yang akan dituturkan oleh anak saudaramu ini,” pinta Khadijah membuka pembicaraan. Diceritakanlah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apa yang beliau lihat dan beliau alami di Gua Hira.

“Itu adalah Namus (Malaikat Jibril) yang pernah Allah subhanahu wa ta’ala utus kepada Nabi Musa. Duhai kiranya ketika itu aku masih muda, duhai kiranya aku masih hidup ketika kaummu mengusirmu,” kata Waraqah.

“Apakah mereka akan mengusirku?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan heran.

“Ya, karena tidak ada seorang pun menerima seperti apa yang engkau terima kecuali dia akan dimusuhi. Kalau aku sempat menemui harimu itu sungguh aku akan membantumu sekuat tenaga,” jawab Waraqah. Namun, tidak berapa lama setelah itu Waraqah meninggal dunia sementara wahyu pun terhenti. (HR. al-Bukhari no. 3 dan Muslim no. 160)

 

Sepenggal Kisah Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha

Banyak pula kisah yang telah lewat dalam hidup Rumaisha, ibunda Anas bin Malik yang lebih dikenal dengan kunyahnya, Ummu Sulaim. Namun hanya satu kisah yang akan kami tuturkan kembali. Sebuah kisah yang menggambarkan ketabahan dan muamalah-nya yang baik dengan suaminya, Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu. Anas bin Malik zberkata, “Ummu Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat dicintai oleh Abu Thalhah, suaminya. Namun suatu ketika anak kecil itu sakit parah hingga membuat duka sang ayah.

Kebiasaan Abu Thalhah, keluar rumah di pagi buta untuk shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan terus bersama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hampir tengah hari. Kemudian ia pulang ke rumah untuk tidur siang dan makan siang. Ketika datang waktu dhuhur, ia pun bersiap-siap shalat.

Suatu hari ia keluar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ternyata saat itu datang ajal menjemput putranya terkasih. Ibu si anak (Ummu Sulaim) berkata kepada keluarganya, “Tidak boleh ada seorang pun yang memberitakan kepada Abu Thalhah tentang kematian anaknya sampai aku sendiri yang memberitakannya.”

Ummu Sulaim pun menyelenggarakan jenazah putranya kemudian menguburkannya di sisi rumah. Datanglah Abu Thalhah bersama teman-temannya dari masjid dan menanyakan keadaan anaknya.

“Wahai Abu Thalhah, sejak anak itu sakit tidak pernah ia setenang saat ini dan aku berharap ia telah memperoleh kesenangan,” jawab Ummu Sulaim.

Ummu Sulaim kemudian menyiapkan hidangan makan malam untuk suami dan tamu-tamunya. Setelah mereka pulang, Abu Thalhah menuju ke tempat tidurnya dan merebahkan kepalanya di pembaringan. Ummu Sulaim memakai wangi-wangian dan berhias dengan dandanan yang paling bagus dari biasanya, kemudian ia mendatangi suaminya dan tidur bersamanya. Mencium aroma sang istri yang demikian semerbak membangkitkan hasrat Abu Thalhah terhadapnya, maka terjadilah hubungan suami istri di antara keduanya.

Setelah melayani suaminya dan tiba akhir malam, berkatalah Ummu Sulaim radhiallahu ‘anhu, “Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu bila ada suatu kaum meminjamkan barang mereka kepada kaum yang lain. Lalu suatu ketika kaum tersebut meminta kembali barang mereka. Apakah pihak yang meminjam diperkenankan untuk menahan barang tersebut?”

“Tentu tidak boleh,” jawab Abu Thalhah.

“Allah ‘azza wa jalla meminjamkan anakmu kepadamu, kemudian Ia mengambil kembali apa yang dipinjamkan-Nya. Karena itu, harapkanlah pahala dari-Nya dan bersabarlah!” kata Ummu Sulaim.

Mendengar penuturan istrinya Abu Thalhah marah seraya berkata, “Kamu biarkan aku bernikmat-nikmat hingga terjadi apa yang terjadi kemudian baru kamu sampaikan berita kematian anakku!”

Abu Thalhah pun mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un dan memuji Allah subhanahu wa ta’ala. Pagi harinya ia mandi lalu bersegera menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk shalat subuh bersamanya dan seusainya ia ceritakan apa yang telah menimpanya.

“Apakah kalian berdua melakukan hubungan tadi malam?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Ya,” jawab Abu Thalhah. “Ya Allah berkahilah keduanya,” doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ummu Sulaim pun hamil dari hubungannya dengan suaminya pada malam itu.” (HR. al-Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144 secara ringkas.

Adapun tambahan yang tidak ada dalam ash-Shahihain disebutkan dalam riwayat ath-Thayalisi, al-Baihaqi, Ibnu Hibban, dan Ahmad, sebagaimana dikumpulkan dan dibawakan riwayat hadits ini secara panjang lebar oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz hlm. 38)

 

Sepenggal Kisah Asma bintu Abi Bakar ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhuma

Asma’, putri ash-Shiddiq, khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , berkisah tentang khidmatnya kepada sang suami, Az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu ‘anhu, salah seorang dari 10 sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga dalam keadaan mereka masih hidup (al-‘Asyrah al-Mubasysyarina bil Jannah).

“Zubair menikahiku dalam keadaan ia tidak memiliki budak dan tidak pula harta, kecuali hanya seekor unta dan seekor kuda. Akulah yang memberi makan dan minum kudanya. Aku yang menimbakan air untuknya dan mengadon tepung untuk membuat kue. Karena aku tidak pandai membuat kue, maka tetangga-tetanggaku dari kalangan Anshar-lah yang membuatkannya.

Mereka adalah wanita-wanita yang jujur. Aku yang memikul biji-bijian di atas kepalaku dari tanah milik Zubair yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bagiannya, sementara jarak tempat tinggalku dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh[1].” (HR. al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)

 

Pelajaran dari Sepenggal Kisah-Kisah Mereka

Dari kisah tiga istri salihah di atas, ada beberapa pelajaran yang bisa diambil para istri yang tujuan hidupnya semata mengharapkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala dan perjumpaan dengan-Nya kelak di hari akhir:

Pertama: Lihatlah bagaimana kelapangan hati Khadijah radhiallahu ‘anha, pengertian dan kerelaannya, ketika suaminya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sering meninggalkannya dalam banyak malam untuk bertahannuts di Gua Hira. Ia siapkan perbekalan suaminya dan segala yang dibutuhkannya. Setiap kali bekal suaminya habis, ia siapkan lagi, demikian seterusnya sampai Jibril ‘alaihissalam turun menemui suaminya untuk menyampaikan wahyu Ilahi. Ketika suaminya gundah, takut, khawatir, dan cemas, perhatikanlah bagaimana yang diperbuat Khadijah. Dia menghibur suaminya, membesarkan hatinya, dan memberikan dorongan agar tumbuh optimisme pada dirinya.

Tidak cukup sampai di situ, dia menemani suaminya untuk menemui orang yang punya pengetahuan dalam masalah itu agar suaminya mendapatkan keterangan tentang apa yang dia alami. Tidaklah dia menambah kecemasan suaminya dengan ikut risau dan mengucapkan perkataan yang menambah beban. Tidak pula dia menahan suaminya agar terus bersamanya menemani malam-malamnya sementara suaminya ingin melakukan perkara yang disenanginya.

Demikianlah seharusnya sikap seorang istri salihah terhadap suaminya. Ia membantu suaminya sekuat kemampuannya tanpa memberatkan dan menyusahkan. Bila ia tahu suatu perkara menyenangkan suaminya maka ia siapkan apa saja yang dapat mendukung kesenangan suaminya (selama tidak melanggar batas syariat).

Ketika suaminya memiliki masalah, ia memberi dukungan moril kepada suaminya dan berusaha membantu mencari pemecahannya atau paling tidak memberikan usulan dan saran yang positif.

Dengan demikian, istri salihah tidak pernah membiarkan suaminya bermuram durja sendirian sementara ia bersikap acuh tak acuh atau malah ia bersuka di atas duka sang suami, atau malah sebaliknya berduka di atas suka cita suaminya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Dalam kisah (Khadijah) ini ada faedah yaitu disenanginya menghibur orang yang sedang dirundung kesedihan dengan menyebutkan hal-hal yang dapat meringankan bebannya dan disenangi bagi orang yang ditimpa suatu masalah untuk menceritakan apa yang dialaminya kepada orang yang dipercayai untuk mendapatkan nasihat dan pandangan yang tepat.” (Fathul Bari, 1/32)

Kedua: Lihatlah bagaimana ketabahan Ummu Sulaim menghadapi musibah yang jarang wanita bisa sabar menghadapinya yakni kematian anak yang sangat dicintainya. Bersamaan dengan itu ia berhias untuk suaminya sehingga memancingnya untuk jima’, suatu hal di mana bagi orang yang ditimpa musibah umumnya tidak berhasrat untuk melakukannya. Padahal sebenarnya dengan musibah yang menimpanya, dia diperkenankan untuk bersedih[2]—selama tidak melakukan niyahah (meratap) dan murka (tidak terima) dengan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Karena Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah mengazab seorang hamba dengan tetesan air matanya dan

kesedihan hatinya.

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkisah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemui putranya, Ibrahim, yang sedang menghadapi sakratul maut, maka mengalirlah air mata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu mempertanyakan hal itu kepada beliau dengan heran. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Wahai Ibnu Auf, ini adalah air mata rahmah (kasih sayang).” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika Ibrahim wafat:

إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُوْلُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيْمُ لَحَمْزُوْنُوْنَ

“Sesungguhnya mata ini menangis dan hati ini bersedih, namun kita tidak berucap kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Perpisahan denganmu wahai Ibrahim, sungguh menyedihkan kami.” (HR. al-Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)

Kembali pada kisah Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha. Lihatlah di tengah kesedihan hatinya, ia menyambut sang suami dengan baik dan mengucapkan kata-kata yang menenangkan suaminya. Tidaklah dia terburu-buru menyampaikan berita duka tersebut kepada suaminya yang sedang penat dan letih karena aktivitas di luar rumah. Dijamu suami dan tamu-tamunya dan dibiarkannya suaminya berisitirahat sejenak. Kemudian dia melakukan suatu sebab yang bisa mengikat kecintaan suami kepada istrinya, yaitu berhias dan menyiapkan diri untuk suami.

Demikianlah seharusnya ketabahan seorang istri dan pergaulannya yang baik dengan suaminya. Jangan ia menambah keletihan suaminya dengan berita-berita yang merisaukannya. Suami baru muncul di ambang pintu sekembalinya dari bepergian, belum sempat membuka pakaiannya, belum duduk untuk sejenak menghilangkan penatnya dan belum meneguk setetes air pun untuk menghilangkan dahaganya, ia mencecar dengan setumpuk laporan yang menyesakkan dada.

Tidak jarang hal seperti ini memancing emosi suaminya dan membuatnya sumpek (tidak nyaman) bila berada di dalam rumah karena yang ada hanya keluhan demi keluhan.

Ketiga: Lihatlah bagaimana khidmat (pelayanan) Asma bintu ash-Shiddiq   terhadap suaminya dan kesabarannya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan padanya, tiada dia mengeluh dan menuntut suaminya.

Semua pekerjaan yang mampu dia lakukan maka dia lakukan dengan senang hati dan meniatkan hal itu sebagai ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Faktor Pendukung Seorang Wanita Meraih Sifat-Sifat Istri Salihah

Pelajaran dari kisah shahabiyah telah kita petik, namun tersisa pertanyaan di benak apa gerangan faktor yang dapat membantu seorang wanita untuk memiliki sifat sebagaimana sifat-sifat istri salihah?

Beberapa faktor tersebut di antaranya dapat kita rinci berikut ini.

  1. Mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dan sifatsifat-Nya yang mulia.

Hal ini akan mendorongnya untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tunduk di

bawah seluruh ketetapan-Nya. Di antara yang ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah keharusan seorang istri memerhatikan dan memenuhi hak-hak suami yang sedemikian besar terhadapnya, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَم حَِقِّهِ عَلَيْهَا.وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرَقِ رَأْسِهِ قَرْحَةٌ تَنْبَجِسُ ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهَا فَلَحِسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ

“Tidaklah layak bagi manusia untuk sujud kepada manusia. Sekiranya layak seorang manusia sujud kepada manusia yang lain, niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya pada kaki suami sampai belahan rambutnya ada luka yang membusuk kemudian dia (istri) menghadap ke luka tersebut lalu menjilatinya, maka belumlah dia memenuhi hak suaminya.” (HR. Ahmad dan selainnya. Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 8602)

  1. Berilmu sebelum beramal.

Sepantasnya seorang wanita yang hendak melangkah ke gerbang pernikahan mempersiapkan ilmu yang cukup mengenai kehidupan berkeluarga. Sebab, persiapan nikah itu tidak sebatas membeli baju, kosmetik, pernakpernik kecantikan, kursus masak, dan semisalnya.

Yang paling utama disiapkan adalah ilmu syar’i termasuk ilmu yang diajarkan syariat tentang berumah tangga seperti pengetahuan tentang hak dan kewajiban istri, hak dan kewajiban suami, cara mendidik anak, dan semisalnya.

Dengan bekal ilmu ini, seorang wanita akan mengetahui apa yang dimaukan syariat yang mesti ditunaikan olehnya dalam rumah tangganya.

  1. Bersemangat untuk meraih surga yang sarat dengan kenikmatan yang belum pernah dipandang mata, tidak pernah terdengar telinga, dan tidak pernah pula terlintas di benak manusia. Berhias dengan sifat-sifat istri salihah akan mengantarkan seorang wanita kepada surga Allah subhanahu wa ta’ala. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad 1/191, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’, no. 660—661)

Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita ahlul jannah (penghuni surga),

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ الْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِي إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوْقُ غَمْضًا حَتَّى تَرْضَى

“Maukah aku beri tahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga? Yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata, ‘Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha’.” (HR. an-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah al-Hadits ash-Shahihah, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, no. 287)

  1. Takut terhadap azab Allah subhanahu wa ta’ala yang pedih dan murka-Nya bagi pelaku maksiat.

Sementara itu, melanggar hak suami dengan sengaja dan durhaka kepadanya termasuk perbuatan maksiat yang diancam dengan siksa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang tidak akan ditanya tentang mereka[3];

(1) seseorang yang memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin dan bermaksiat kepada pemimpinnya lalu ia meninggal dalam keadaan bermaksiat maka kamu jangan tanyakan tentang dia.

(2) budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri dari tuannya. Dan

(3) istri yang suaminya pergi dan telah dicukupi kebutuhan dunianya kemudian ia memamerkan perhiasan dan kecantikannya (tabarruj) dan bermaksiat sepeninggal suaminya. Mereka ini tidak akan ditanya.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no.590, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam takhrijnya terhadap al-Adabul Mufrad hlm. 202 dan dalam ash-Shahihah 542)

Demikian pula bila seorang istri tidak pandai bersyukur kepada suaminya malah mengkufuri kebaikannya, maka an-nar (neraka)-lah yang dijanjikan baginya. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata, “Aku tidak pernah melihat kebaikan sama sekali pada dirimu.” (HR. al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)

  1. Berteman dengan wanita-wanita yang salihah, duduk bersama mereka, mendengarkan pembicaraan mereka dan mencontoh perilaku serta akhlak

mereka yang mulia. Sebaliknya, menjauhi teman-teman yang fasik, tidak bergaul dengan mereka dan menjauhi perilaku mereka yang buruk.

Sebab, keberadaan seorang teman akan memengaruhi seseorang, bila ia berteman dengan orang yang baik, ia akan terdorong untuk berbuat baik pula. Sebaliknya, bila ia berteman dengan orang yang jelek dan rusak akhlaknya, sedikit banyak ia akan terpengaruh dan terasa berat baginya berbuat kebaikan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيْسِ السُّوْءِ كَمَثَل صَاحِبِ الْمِسْكِ وَكِيْرِ الْحَدَّادِ: لاَ يَعْدَمُكَ مِن صَاحِبِ الْمِسْكِ إِمَّا تَشْتَرِيْهِ أَوْ تَجِدُ رِيْحَهُ، وَكِيْر الْحَدَّادِ يَحْرِقُ بَيْتَكَ أَوْ ثَوْبَكَ أَوْ تَجِدُ مِنْهُ رِيْحً خَبِيْثَةً

“Perumpamaan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti penjual parfum dengan pandai besi. Tidak terlepas bagimu dari penjual parfum itu (bila engkau duduk dengannya) (dua perkara yaitu) bisa jadi engkau membeli parfumnya ataupun (bila engkau tidak membelinya) engkau mendapatkan darinya wangi yang semerbak. Sementara (duduk dengan) pandai besi bisa jadi (api yang ditiupnya) akan membakar rumahmu atau pakaianmu atau engkau dapatkan darinya bau yang busuk.” (HR. al-Bukhari no. 2101 dan Muslim no. 2628)

  1. Memilih suami yang saleh dan berakhlak mulia.

Langkah ini jelas dilakukan sebelum seorang wanita memutuskan untuk menerima pinangan seorang lelaki. Hendaklah ia memerhatikan siapa lelaki yang datang meminangnya, apakah lelaki yang saleh atau lelaki yang thalih (tidak saleh). Bila lelaki itu saleh dan berkenan di hatinya, maka sepantasnya ia menerimanya.

Bersuamikan lelaki yang saleh akan membantunya untuk meraih kebaikan yang banyak. Suami salehlah yang mengerti apa yang harus dilakukannya dalam rumah tangganya dan mengerti tentang tanggung jawab dan kewajibannya. Dia akan mendidik istrinya dengan pendidikan yang baik dan menuntun istrinya menuju kebahagiaan yang hakiki dan berupaya menjauhkannya dari siksa yang pedih di alam sana.

Hanya suami yang salehlah yang mengerti dan menjalankan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارٗا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٞ شِدَادٞ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ ٦

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah (jagalah) diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah


[1]  1 farsakh kurang lebih 8 km atau 3,5 mil

[2]  Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Apabila seorang wanita tidak berihdad (tidak berhias dan tidak memakai wangi-wangian karena berkabung -pen.) karena kematian keluarganya (selain suaminya) dalam rangka mencari keridhaan suaminya dan menunaikan hajat suaminya kepadanya, maka hal itu lebih utama baginya. Diharapkan di balik itu ada banyak kebaikan bagi keduanya sebagaimana yang terjadi pada Ummu Sulaim dan Abu Thalhah suaminya radhiallahu ‘anhuma. (Ahkamul Janaiz, hlm. 35)

[3] Hal ini sebagai ancaman bagi mereka dikarenakan besarnya pelanggaran yang mereka lakukan.