Pelajaran terpenting yang bisa diambil dari kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah bahwa dakwah setiap nabi dan rasul adalah satu, yaitu menyeru umat untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala saja (dakwah tauhid).
Nabi Nuh ‘alaihissalam tinggal di tengah-tengah kaumnya selama kira-kira 950 tahun dan masih hidup sepeninggal mereka selama waktu yang dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau termasuk salah seorang rasul yang disebut Ulul ‘Azmi dan salah satu dari lima nabi yang diharapkan syafaatnya pada hari kiamat. Nabi Nuh ‘alaihissalam juga merupakan rasul Allah subhanahu wa ta’ala yang pertama diutus kepada umat manusia dan beliau bapak kedua manusia sesudah Nabi Adam ‘alaihissalam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan shalawat dan salam kepada beliau dan kepada para nabi seluruhnya.
Dari kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam dapat kita ambil beberapa faedah, antara lain:
“Beribadahlah kalian hanya kepada Allah. Tidak ada sesembahan bagi kalian selain Dia.” (al-A’raf: 59)
Mereka senantiasa mengulang-ulang seruan yang utama ini dengan berbagai cara.
“Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27)
Perhatikanlah kalimat-kalimat tersebut, niscaya akan Anda dapatkan tamwih (pengaburan) yang menunjukkan bahwa mereka itu sesat dan sombong terhadap hakikat kenyataan yang ada. Juga ucapan mereka:
“Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai seorang manusia (biasa) seperti kami.” (Hud: 27)
Apakah dalam suatu kebenaran yang dibawa oleh seseorang terdapat suatu kerancuan atau syubhat yang menunjukkan bahwa kebenaran itu pada hakikatnya bukanlah kebenaran? Pernyataan dalam ayat di atas seakan-akan menerangkan kepada kita bahwa segala pendapat atau pemikiran yang bersumber atau berasal dari manusia mana pun adalah batil. Tentu saja hal ini merupakan penolakan terhadap semua ilmu tentang kemanusiaan yang diperoleh dari manusia yang lain. Ringkasnya, pernyataan orang-orang kafir ini membatalkan seluruh ilmu yang ada.
Bukankah ilmu yang berada di tengah-tengah manusia, mereka ambil dari manusia yang lainnya dan semuanya bertingkat-tingkat? Tentunya yang paling tinggi, paling benar, dan paling bermanfaat dari ilmu-ilmu itu adalah ilmu yang mereka peroleh dari para rasul yang ilmunya dari wahyu Ilahi.
Demikian pula ucapan orang-orang yang kafir ini:
“Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.” (Hud: 27)
Yakni, kami dan kalian adalah sama-sama manusia. Ini pun sudah dibantah oleh para rasul, sebagaimana dikisahkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Kami tidak lain adalah manusia seperti kamu akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya.” (Ibrahim: 11)
Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Dia memberikan karunia kepada para rasul dan mengistimewakan mereka dengan wahyu dan risalah. Padahal, pengingkaran orang-orang kafir terhadap para rasul itu dari sisi ini, justru merupakan kebodohan dan celaan paling besar terhadap nikmat Allah subhanahu wa ta’ala. Karena sesungguhnya nikmat Allah subhanahu wa ta’ala dan hikmah-Nya mengharuskan bahwa para rasul itu berasal dari kalangan manusia agar lebih memantapkan manusia dalam mengambil ilmu dari mereka.
Sehingga mereka pun akan merasakan nikmat ini dengan mudah dan Allah subhanahu wa ta’ala lapangkan pula bagi mereka jalan untuk mencapainya. Orang-orang yang dusta ini mengingkari asal kenikmatan ini, bahkan mengingkari pula jalan yang lurus yang bermanfaat yang dibawa oleh para rasul tersebut.
Adapun perkataan mereka:
“Kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina di antara kami.” (Hud: 27)
Setiap orang yang berakal pasti mengetahui bahwa kebenaran itu dikenal dari materinya sendiri bahwa dia adalah haq, bukan dikenal dari siapa yang mengikutinya. Perkataan yang mereka ucapkan ini sesungguhnya bersumber dari kesombongan mereka. Sudah jelas bahwa sikap sombong merupakan penghalang terbesar yang ada dalam diri seorang hamba untuk mengenal kebenaran apalagi mengikutinya.
Juga ucapan mereka أَرَاذِلُنَا (orang-orang yang hina-dina di antara kami). Kalau yang mereka inginkan dengan kalimat ini adalah kemiskinan maka kemiskinan bukanlah suatu aib (cela). Adapun kalau mereka maksudkan adalah akhlak maka ini jelas dusta. Bahkan sesungguhnya yang hina-dina adalah mereka yang mengucapkan kalimat ini. Apakah beriman dan taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, tunduk mengikuti kebenaran, serta selamat dari perilaku atau watak yang tercela dan rendah, adalah suatu kehinaan serta orang-orang yang mengikutinya adalah orang yang hina-dina? Ataukah kehinaan itu berada pada keadaan sebaliknya, dengan meninggalkan kewajiban yang paling tinggi dan utama, yaitu mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dan bersyukur hanya kepada-Nya, serta sebaliknya memenuhi hati dengan sikap sombong terhadap kebenaran dan terhadap sesama manusia?
Hal yang terakhir ini, demi Allah, justru merupakan kehinaan yang paling hina. Akan tetapi orang-orang kafir itu datang membawa kebohongan. Tidaklah mereka menyiksa orang-orang yang baik ini melainkan karena mereka beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji.
Perkataan mereka:
“Yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Maksudnya yang percaya begitu saja kepadamu, wahai Nuh. Mereka tidak bermusyawarah dan meneliti lebih dahulu, tidak merenungkan lebih dahulu. Seandainya mungkin bahwa ini adalah suatu hakikat (kenyataan), maka ini semua merupakan bukti-bukti dari kebenaran tersebut. Karena sesungguhnya pada kebenaran itu terdapat burhan (petunjuk), cahaya, keagungan, kecemerlangan, kejujuran, dan ketenangan, yang semua itu tidak perlu dimusyawarahkan dengan siapa pun untuk mengikutinya.
Tentunya persoalan yang membutuhkan musyawarah itu adalah persoalan-persoalan yang masih tersamar yang belum diketahui hakikat atau manfaatnya. Sedangkan keimanan yang cahayanya justru lebih terang dari sinar matahari, bahkan lebih lezat dari apa pun juga, tidak ada yang ketinggalan untuk menerimanya melainkan orang-orang yang sombong dan sewenang-wenang seperti mereka yang durhaka ini.
Kata-kata mereka:
“Dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apa pun atas kami.” (Hud: 27)
Apakah dalam perkataan ini terdapat sikap yang jujur dan adil? Karena sesungguhnya mereka di sini menerangkan keadaaan mereka sendiri. Memang ucapan ini ada kemungkinan demikian, yakni itulah yang ada dalam hati mereka (anggapan bahwa merekalah yang paling mulia), atau mereka hanya mengatakan sesuatu yang tidak mereka yakini. Apa pun alasannya, yang haq itu tetap wajib untuk diterima, baik yang mengatakannya orang yang mulia atau bukan. Al-haq itu tetap lebih tinggi di atas apa pun.
Perkataan mereka:
“Bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” (Hud: 27)
Padahal sudah sama diketahui bahwa prasangka (zhan) adalah perkataan yang paling berat dustanya. Seandainya mereka mengatakan ‘Bahkan kami tahu bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta’, maka semua orang yang sesat mampu mengucapkannya. Akan tetapi dengan dasar apa kalian menuduh para rasul itu dusta? Maka alasan dan bukti yang mereka kemukakan ini justru saling menggugurkan satu sama lain sebagaimana yang terlihat. Bagaimana mungkin, padahal para rasul itu juga telah menghadapinya dengan dalil (alasan-alasan), bukti yang bermacam-macam sehingga tidak menyisakan sedikit pun keraguan pada diri seseorang bahwa tuduhan tersebut adalah batil.
“Wahai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku tidak lain hanya dari Allah.” (Hud: 29)
Hal ini menjadi kedudukan yang paling mulia bagi pengikut para rasul, yang mereka menyertai para rasul itu dalam segi ini. Allah subhanahu wa ta’ala jadikan untuk mereka kemuliaan di dunia dan akhirat lebih besar daripada hal-hal yang menjadi persaingan mereka yang mengharapkan dunia.
“Dan aku juga tidak mengatakan kepada orang-orang yang dipandang hina oleh kalian, ‘Sekali-kali Allah tidak akan mendatangkan kebaikan mereka.’ Allah lebih mengetahui apa yang ada pada diri mereka.” (Hud: 31)
“Dan Nuh berkata, ‘Naiklah kalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya’.”(Hud: 41)
“Maka apabila engkau dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, ucapkanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim’.” (al-Mu’minun: 28)
Sudah sepantasnya pula untuk berdoa, memohon berkah ketika singgah di suatu tempat persinggahan seperti dalam perjalanan atau tiba di tempat tinggal sendiri, rumah atau kampung halaman, karena adanya firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan berdoalah, ‘Wahai Rabbku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat’.” (al-Mu’minun: 29)
Dalam ayat-ayat tersebut disebutkan bahwa senantiasa berzikir menyebut nama Allah subhanahu wa ta’ala, kekuatan untuk beraktivitas ataupun diam, kepercayaan yang penuh kepada Allah subhanahu wa ta’ala, turunnya berkah dari Allah subhanahu wa ta’ala, semua itu adalah pengiring yang lebih utama bagi seorang hamba dalam setiap keadaannya yang tidak boleh ditinggalkan begitu saja olehnya.
Adapun yang disebutkan dalam sebagian kisah Israiliyat (kisah-kisah Bani Israil, Yahudi, dan Nasrani) bahwa kaum Nabi Nuh ataupun yang lain, ketika Allah subhanahu wa ta’ala ingin menghancurkan mereka, Allah subhanahu wa ta’ala jadikan rahim-rahim wanita mereka mandul, sehingga hukuman tersebut tidak ikut menimpa anak-anak mereka merupakan kisah yang tidak ada dasarnya sama sekali. Tentu saja ini bertentangan dengan perkara yang sudah diketahui dan diperkuat pula oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala:
“Dan jagalah diri kalian dari fitnah (siksaan) yang tidak hanya khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian.” (al-Anfal: 25)
Diterjemahkan oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits dengan sedikit perubahan dari kitab Taisir al-Lathif al-Mannan hlm. 147—150