Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri t mengatakan:
“Empat perkara yang jika ada pada diri seseorang niscaya Allah l akan menjaganya dari setan dan mengharamkannya dari api neraka, yaitu siapa saja yang bisa menguasai diri tatkala didera oleh keinginan, rasa takut, nafsu syahwat, dan kemarahan.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali t menerangkan:
Keempat perkara yang disebutkan oleh Al-Hasan Al-Bashri ini merupakan pangkal dari segala macam keburukan. Karena, keinginan terhadap sesuatu ialah kecenderungan jiwa kepadanya dengan sebab meyakini kemanfaatannya. Sehingga jika seseorang tengah berkeinginan terhadap sesuatu niscaya akan terbawa untuk berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara yang dia yakini akan bisa menyampaikannya. Terkadang mayoritas cara-cara tersebut adalah cara-cara yang diharamkan, atau bisa jadi sesuatu yang dia ingini itu sendiri merupakan perkara yang haram.
Sedangkan (definisi) takut adalah kekhawatiran terhadap sesuatu. Apabila seseorang merasa takut terhadap sesuatu niscaya akan melakukan sebab-sebab (faktor-faktor) yang dapat menolaknya dengan berbagai cara/jalan yang diyakini akan dapat menolaknya. Adakalanya kebanyakan dari jalan-jalan tersebut adalah perkara-perkara yang diharamkan.
Syahwat ialah kecondongan jiwa kepada hal-hal yang mencocokinya di mana jiwa itu merasakan kelezatan/kenyamanan dengannya. Mayoritasnya, jiwa itu cenderung kepada keharaman-keharaman seperti zina, mencuri, minum khamr, condong kepada kekafiran, sihir, kemunafikan, dan kebid’ahan-kebid’ahan.
Sedangkan kemarahan ialah mendidihnya darah di qalbu guna mencegah hal-hal yang menyakitinya tatkala mengkhawatirkan bakal terjadinya suatu peristiwa, atau dalam upaya membalas dendam kepada pihak yang telah menyakitinya sesudah terjadinya peristiwa tersebut. Sehingga muncullah dari semua itu tindakan–tindakan yang haram, seperti pembunuhan, pemukulan, berbagai bentuk kezaliman dan permusuhan. Muncul pula darinya berbagai macam ucapan yang diharamkan seperti fitnah, menuduh tanpa bukti, caci-maki, serta ucapan-ucapan keji yang bisa saja naik ke derajat kekafiran sebagaimana yang terjadi pada diri Jabalah bin Al-Aiham. Demikian pula sumpah–sumpah yang tidak diperbolehkan secara syariat dan atau sampai mengucapkan kalimat talak (cerai) kepada istri yang kemudian berakhir dengan penyesalan.
(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 379-380)