Asysyariah
Asysyariah

pandangan syaikuhul islam dalam maslah uluhiyah

13 tahun yang lalu
baca 10 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak)

 

Ibadah merupakan hikmah diciptakannya jin dan manusia. Allah l berfirman:

“Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Karena demikian pentingnya masalah ini maka dakwah semua rasul adalah dakwah kepada tauhid uluhiyah menyeru manusia untuk beribadah hanya kepada Allah l dan mengingkari sesembahan yang lain. Allah l berfirman:

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut.” (An-Nahl: 36)

Allah l berfirman:

“Tidaklah Kami utus seorang rasulpun sebelum engkau kecuali Kami wahyukan kepada-Nya bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Aku maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al-Anbiya’: 25)

Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Tauhid uluhiyah adalah kewajiban yang pertama dan terakhir dalam agama ini, batin dan lahirnya. Tauhid uluhiyah1 adalah awal dakwah para rasul.” (lihat Taisirul ‘Azizil Hamid, hal. 22)

Karena masalah uluhiyah ini adalah permasalahan yang paling penting maka para ulama Ahlus Sunnah banyak membahas permasalahan ini. Bahkan merupakan satu ciri dakwah Ahlus Sunnah adalah dakwah kepada tauhid uluhiyah.

Di antara sekian ulama Ahlus Sunnah yang banyak membahas permasalahan ini adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Dalam tulisan ini kami akan sebutkan sebagian kecil pandangan-pandangan beliau tentang masalah uluhiyah.

 

Allah l Menciptakan Kita untuk Beribadah kepada-Nya

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata: “Sesungguhnya Allah l menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah l berfirman:

‘Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku’.” (Adz-Dzariyat: 56) [Lihat Majmu’ Fatawa, 1/4]

 

Ibadah adalah Hak Allah l atas Hamba-Nya

Syaikhul Islam t mengatakan: “Ketahuilah bahwasanya ini adalah hak Allah l atas hamba-Nya, yaitu hanya beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Sebagaimana dalam hadits shahih yang diriwayatkan Mu’adz z dari Nabi n (yang maknanya):

“Apakah engkau tahu apa hak Allah atas hamba-Nya dan apa hak hamba atas Allah?” Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau berkata: “Hak Allah atas hamba-Nya adalah beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Apakah kau tahu apa hak hamba atas Allah jika mengamalkannya?” Aku katakan: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau berkata: “Hak mereka tidak akan disiksa.” (Majmu’ Fatawa, 1/23)

 

Pengertian Ibadah

Syaikhul Islam t berkata: “Ibadah adalah satu nama yang mencakup semua perkara yang Allah l cintai dan Allah l ridhai baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang nampak ataupun yang tidak nampak.” (Majmu’ Fatawa, 10/149)

Beliau t juga berkata: “Ibadah adalah taat kepada Allah l dengan melaksanakan perintah-Nya yang disampaikan melalui para Rasul-Nya.”

 

Syarat Diterimanya Ibadah

Beliau t berkata: “Ibadah dibangun di atas syariat dan ittiba’, bukan dengan hawa nafsu dan kebid’ahan. Karena Islam dibangun di atas dua perkara:

1. Kita beribadah kepada Allah l saja tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.

2. Kita beribadah kepada-Nya dengan syariat yang disyariatkan melalui lisan Rasulullah n, bukan dengan hawa nafsu dan kebid’ahan.

Allah l berfirman:

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu). Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat sedikitpun mengindarkan kamu dari siksaan Allah.” (Al-Jatsiyah: 18-19)

Allah l berfirman:

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)

Tidak boleh seorangpun beribadah kepada Allah l kecuali dengan apa yang disyariatkan Rasul-Nya, baik perkara yang wajib atau sunnah. Tidak boleh kita beribadah kepada-Nya dengan perkara-perkara bid’ah.” (Majmu’ Fatawa, 1/80)

Beliau t berkata: “Agama Islam dibangun di atas dua ushul (pokok): Beribadah kepada Allah l saja tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun; dan beribadah kepada-Nya dengan apa yang telah disyariatkan melalui lisan Nabi-Nya n.” (Majmu’ Fatawa, 1/365)

 

Ibadah Badan yang Paling Afdhal adalah Shalat

Beliau t berkata: “Ibadah badan yang paling mulia adalah shalat, sedangkan ibadah harta yang paling mulia adalah berkurban. Apa yang terkumpul bagi seorang hamba dalam shalat tidak terkumpul pada selainnya. Dan apa yang terkumpul baginya dalam menyembelih kurban –jika disertai iman dan keikhlasan– karena keyakinan kuat dan baik sangka merupakan perkara menakjubkan. Oleh karena itu beliau (yakni Nabi n, red.) adalah seorang yang banyak shalat dan banyak berkurban.” (Lihat Fathul Majid hal. 126)

 

Siapakah Muwahhid?

Beliau t berkata: “Yang dimaksud dengan tauhid bukanlah semata tauhid rububiyah, yaitu meyakini bahwa Allah l saja yang menciptakan alam, sebagaimana sangkaan ahlul kalam dan orang sufi. Di mana mereka menyangka barangsiapa bisa menetapkan rububiyah dengan dalil maka telah menetapkan puncak tauhid. Kalau mereka telah bersaksi dengan tauhid ini dan mencurahkan segala upaya berarti dia telah mengorbankan dirinya dalam puncak tauhid!

Karena, walaupun seseorang telah meyakini apa yang merupakan hak Allah l berupa sifat-sifat-Nya dan menyucikannya dari yang disucikan dari-Nya serta meyakini bahwa Allah l pencipta segala sesuatu, dia belumlah dianggap sebagai muwahhid hingga bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah l, meyakini bahwa Allah l satu-satunya yang berhak diibadahi, serta senantiasa beribadah hanya kepada Allah l. (Lihat Fathul Majid hal. 15-16)

 

Kewajiban Pertama

Beliau t berkata: “Telah diketahui dengan pasti dalam agama rasul dan telah disepakati oleh umat, bahwa pokok Islam dan perkara pertama yang seorang diperintah dengannya adalah bersaksi tidak ada sesembahan yang haq selain Allah l dan Muhammad n adalah utusan-Nya. Dengan inilah seorang yang kafir menjadi muslim, musuh menjadi teman, orang yang halal darah dan hartanya menjadi terjaga….” (Lihat Fathul Majid hal. 73)

 

Macam-Macam Syirik

Beliau t berkata: “Syirik ada dua macam: syirik besar dan kecil. Barangsiapa bersih dari keduanya, maka wajib untuknya surga. Barangsiapa mati dengan membawa syirik besar (tidak bertaubat darinya, pent.) pasti masuk neraka.” (Lihat Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 72)

 

Tidak Boleh Meminta Pertolongan kepada Selain Allah l

Para imam telah menegaskan –seperti Ahmad dan lainnya– bahwasanya tidak boleh meminta perlindungan kepada makhluk. Ini di antara perkara yang mereka jadikan dalil bahwa Al-Qur’an bukanlah makhluk. Mereka berkata: “Telah shahih dari Nabi n bahwa beliau minta perlindungan dengan kalimatullah dan beliau n memerintahkannya….” (Lihat Fathul Majid hal. 147)

 

Bahaya Sikap Ghuluw (Berlebihan dalam Mengagungkan)

Beliau t berkata: “Jika di zaman Rasulullah n ada orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam namun lepas darinya padahal telah melakukan ibadah yang besar, ketahuilah di zaman inipun ada orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam dan As-Sunnah namun lepas dari Islam karena beberapa sebab. Di antaranya, ghuluw terhadap sebagian tokoh mereka. Bahkan ghuluw terhadap Ali bin Abu Thalib, bahkan kepada Al-Masih ‘Isa q. Semua yang berbuat ghuluw kepada nabi atau orang shalih serta mempersembahkan kepadanya satu macam ibadah, seperti berkata: “Wahai sayidku fulan tolonglah aku”, “Hilangkanlah kesusahanku”, “Berilah rizki kepadaku”, atau “Aku dalam jaminanmu”, dan semisalnya, semua ini adalah kesyirikan dan kesesatan. Pelakunya diminta bertaubat. Jika tidak bertaubat maka dibunuh (oleh pemerintah muslim karena telah terjatuh dalam kemurtadan, pent.).” (Lihat Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 182, Majmu’ Fatawa, 3/383)

 

Hukum Membangun Masjid di atas Kuburan

Beliau t berkata: “Adapun membangun masjid di atas kuburan, semua kelompok telah menegaskan larangannya dengan merujuk hadits-hadits yang shahih. Ulama mazhab Hambali dan selain mereka dari murid-murid Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumullah juga menegaskan keharamannya.”

Kemudian beliau berkata: “Masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan para nabi dan orang shalih atau para raja dan selainnya harus dibersihkan dengan merobohkannya atau dengan cara lainnya. Ini, yang saya tahu, termasuk perkara yang tidak diperselisihkan kalangan para ulama yang terkenal.” (Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim)

Mazhab Al-Imam Asy-Syafi’i t dalam masalah ini: “Aku lebih cenderung kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat).” Kemudian beliau membawakan hadits: “Rasulullah n melarang kuburan dibangun atau dicat.”

Beliau t berkata: “Aku telah menyaksikan pemerintah menghancurkan bangunan yang dibangun di atas kuburan dan perbuatan tersebut tidak dicela para fuqaha ketika itu.” (Lihat Al-Umm)

Ibnu Hajar Al-Haitami t berkata –beliau adalah seorang ulama mazhab Syafi’i–: “Wajib bersegera menghancurkan kuburan-kuburan yang dibangun dan dijadikan masjid serta menghancurkan kubah-kubah yang berada di atas kubur, karena hal itu lebih mengandung mudarat dari masjid dhirar. Karena hal itu dibangun di atas maksiat kepada Rasulullah n, di mana beliau telah melarangnya dan memerintahkan menghancurkan kuburan-kuburan yang ditinggikan.” (Lihat Mukhalafah Ash-Shufiyah lil Imam Asy-Syafi’i hal. 67-70)

Ibnul Qayyim t berkata: “Wajib merobohkan kubah-kubah yang dibangun di atas kuburan, karena telah dibangun di atas maksiat kepada Allah l.” (Lihat Fathul Majid hal. 214)

 

Hukum Sembelihan untuk Selain Allah l

Ketika menjelaskan ayat Allah l:

“Apa yang disembelih untuk selain nama Allah.” (Al-Baqarah: 173)

Syaikhul Islam t berkata: “Yang tampak dari ayat di atas, apa yang disembelih untuk selain Allah l seperti dikatakan: sembelihan ini untuk ini. Jika ini yang dimaksudkan maka hukumnya sama saja baik dia lafadzkan atau tidak. Haramnya sembelihan seperti ini lebih jelas dari keharaman sembelihan untuk dimakan dan diucapkan ketika menyembelihnya dengan nama Al-Masih atau lainnya.” (Fathul Majid, hal. 127-128)

 

Doa Ada Dua Macam: Doa Ibadah dan Doa Mas’alah (Permohonan)

Syaikhul Islam t berkata: “Semua doa ibadah mengharuskan adanya doa permohonan, dan semua doa permohonan mengandung doa ibadah.” (Fathul Majid hal. 150)

Asy-Syaikh Sulaiman Alu Syaikh menerangkan: “Doa permohonan adalah meminta sesuatu yang bermanfaat bagi yang berdoa, baik untuk mendapatkan satu manfaat yang diinginkan atau untuk dihilangkan darinya kesusahan. Adapun doa ibadah adalah beribadah kepada Allah l dengan berbagai macam ibadah seperti shalat, sembelihan, nadzar, puasa, haji, dan lainnya dengan rasa takut dan harap, mengharap rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, walaupun tidak ada bentuk permintaan di dalamnya. Namun seseorang yang beribadah (tentunya) menginginkan surga dan dijauhkan dari neraka, sehingga hakikatnya dia seorang yang menginginkan sesuatu dan menjauhkan diri dari sesuatu. Jika telah jelas hal tersebut, maka ketahuilah para ulama telah ijma’ bahwa barangsiapa memalingkan sesuatu dari dua macam doa ini kepada selain Allah l, maka dia adalah seorang yang musyrik.” (Taisir Al-’Azizil Hamid dengan ringkas, hal. 170 dan 181)

 

Hukum Menetapkan Perantara dengan Bertaqarub kepada-Nya

Syaikhul Islam t berkata: “Barangsiapa membuat perantara antara dirinya dengan Allah l sehingga bertawakal dan berdoa serta memohon kepada perantara tersebut, maka dia telah kafir berdasarkan ijma’. Dinukil ijma’ ini oleh banyak ulama, di antara mereka Ibnu Muflih dalam Al-Furu’, penulis Al-Inshaf, penulis Al-Ghayah dan Al-Iqna’, serta pensyarah selain mereka.” (Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 182-183, lihat Fatawa Kubra)

Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Itu adalah ijma’ yang shahih dan diketahui dalam syariat dengan pasti. Para ulama mazhab yang empat menegaskan dalam hukum murtad bahwa barangsiapa yang berbuat syirik berarti dia telah kafir.” (Taisir Al-’Azizil Hamid hal. 183)

 

Mencium Tanah dan Membungkuk

Syaikhul Islam t berkata: “Adapun mencium tanah, mengangkat kepala dan sejenisnya, layaknya gerakan sujud yang dilakukan di hadapan sebagian tokoh dan pemimpin, tidaklah diperbolehkan (dalam syariat, pent.). Bahkan tidak boleh membungkuk seperti keadaan ruku’. Sebagian sahabat berkata kepada Nabi n: “Seorang bertemu dengan temannya, apakah (perlu) membungkuk kepadanya?” Beliau berkata: “Jangan.” (Majmu’ Fatawa, 1/372)

Beliau berkata juga: “Membungkuk ketika memberi penghormatan kepada orang lain termasuk hal yang dilarang. Sebagaimana dalam riwayat At-Tirmidzi dari Nabi n, mereka berkata kepada beliau n: “Seseorang bertemu dengan temannya, apakah (perlu) membungkuk kepadanya?” Beliau berkata: “Jangan.”

Juga karena ruku’ dan sujud tidak boleh dilakukan kecuali untuk Allah l, walaupun dalam syariat selain kita adalah bentuk penghormatan, sebagaimana dalam kisah Yusuf q:

“Merekapun merebahkan diri seraya sujud kepadanya dan berkata: ‘Wahai bapakku, ini adalah takwil mimpiku dulu’.” (Yusuf: 100)

Akan tetapi dalam syariat kita tidak dibolehkan sujud kecuali kepada Allah l….” (Majmu’ Fatawa, 1/377)

Demikianlah sekelumit pandangan-pandangan seorang alim Ahlus Sunnah, yang kemudian ucapan-ucapan beliau ini dijabarkan oleh para ulama Ahlus Sunnah setelah beliau t. Semoga apa yang kami paparkan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.


1 Tauhid uluhiyah adalah menujukan segala macam ibadah hanya untuk Allah l.