Islam adalah agama yang sempurna dan mudah. Meski puasa Ramadhan merupakan kewajiban bagi setiap muslim, tetapi dalam keadaan tertentu seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Berikut penjelasan tentang siapa saja yang dibolehkan untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.
Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan sejauh jarak (yang dianggap) safar. Jarak safar menurut mazhab yang paling kuat adalah jarak yang dianggap oleh adat atau masyarakat setempat sebagai safar atau bepergian. (Majmu’ Fatawa, 34/40—50, 19/243)
Orang yang melakukan perjalanan semacam ini diperkenankan untuk tidak melakukan puasa, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ
“Barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain.” (al-Baqarah: 184)
Hamzah bin ‘Amr al-Aslami radhiallahu ‘anhu adalah orang yang sering melakukan puasa. Beliau bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah saya berpuasa pada waktu safar?”
Beliau menjawab,
إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
“Puasalah jika kamu mau, dan berbukalah jika kamu mau.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, “Saya melakukan safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. Orang yang berpuasa tidak mencela yang tidak berpuasa. Yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang berpuasa.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hadits-hadits itu menunjukkan dibolehkannya tidak berpuasa bagi orang yang melakukan safar. Namun jika ia ingin berpuasa juga boleh, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa dalam keadaan safar sebagaimana kata Abu ad-Darda radhiallahu ‘anhu,
“Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhan dalam keadaan sangat panas, sampai-sampai salah seorang dari kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panasnya. Tidak ada yang berpuasa di antara kami kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2687 dan Muslim no. 2687)
Puasa itu dilakukan jika memang mampu dan tidak bermudarat bagi dirinya. Hal ini sebagaimana ucapan Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu,
“Mereka berpendapat, bagi yang mempunyai kekuatan lalu puasa, maka itu baik. Bagi yang mendapati kelemahan lalu tidak puasa, maka itu baik.” (Sahih, HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya 3/92 no. 712 dan beliau katakan, “Hasan sahih.”)
Jadi, siapa saja yang fisiknya lemah dengan berpuasa saat safar, lebih baik ia tidak berpuasa. Lebih-lebih jika membawa kerugian pada dirinya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Jabir radhiallahu ‘anhu. Dia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada pada sebuah safar. Beliau melihat orang dalam jumlah banyak dan ada seorang laki-laki yang dinaungi.
Beliau berkata, “Apa ini?”
Mereka menjawab, “Orang berpuasa.”
Beliau berkata, “Bukan termasuk kebaikan, berpuasa pada waktu safar.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Bagaimana halnya dengan safar pada masa ini? Jarak yang begitu jauh dapat ditempuh dalam waktu sangat singkat, dengan pesawat terbang misalnya. Apakah yang demikian menggugurkan keringanan untuk tidak berpuasa?
Jawabnya, tidak!
Rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa tetap ada selama itu disebut safar. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengaitkan hukum ini dengan safar. Jadi, selama itu disebut safar, bagaimanapun ringannya, rukhsah itu tetap ada.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan tidaklah Rabb-Mu lupa.” (Maryam: 64)
Orang yang tidak berpuasa di waktu safar memiliki kewajiban untuk mengqadha (mengganti) di bulan lain sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas.
Sakit yang menjadikan dibolehkannya seseorang berbuka adalah keadaan yang jika ia berpuasa dalam keadaan tersebut akan membahayakan dirinya, menambah sakitnya, atau dikhawatirkan memperlambat kesembuhan. (Lihat Fathul Bari, 8/179, Syarhul ‘Umdah Kitab Shiyam karya Ibnu Taimiyah rahimahullah 1/208-209)
Orang yang sakit mendapat keringanan untuk tidak berpuasa sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain. Allah menginginkan kemudahan atas kalian dan tidak menginginkan kesusahan.” (al-Baqarah: 185)
Orang yang tidak puasa karena sakit, ia berkewajiban mengganti di selain bulan Ramadhan sesuai dengan jumlah hari yang ia tinggalkan.
Wanita haid tidak boleh atau haram berpuasa pada bulan Ramadhan.
Ketika ditanya oleh Mu’adzah bintu Abdurrahman, “Mengapa orang yang haid mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?”
‘Aisyah mengatakan, “Apakah kamu seorang Khawarij? (karena orang-orang Khawarij mewajibkan mengqadha shalat, red). Dahulu kami mengalami haid lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintah mengqadha shalat.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Riwayat ini menunjukkan bahwa wanita haid pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa. Bahkan, para ulama mengatakan haram berpuasa. Jika dia berpuasa, puasanya tidak sah. (Shifat Shaum hlm. 59)
Tentang wanita yang nifas, para ulama menjelaskan bahwa hukum nifas sama dengan hukum haid.
Ibnu Rajab berkata, “Darah nifas hukumnya sama dengan darah haid pada apa yang diharamkan dan apa yang digugurkan (karenanya). Telah terjadi ijmak/kesepakatan (dalam masalah ini). Bukan hanya satu saja dari kalangan ulama yang menyebutkan ijmak, di antaranya Ibnu Jarir rahimahullah dan yang lainnya.” (Fathul Bari Syarh al-Bukhari karya Ibnu Rajab, 1/332)
Ibnu Qudamah rahimahullah juga mengatakan,
“Hukum wanita nifas sama dengan wanita haid pada segala yang diharamkan atasnya dan pada kewajiban yang gugur darinya. Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Demikian pula dalam masalah diharamkan menjimakinya, dihalalkan bersebadan (tanpa jimak), dan menikmatinya pada selain kemaluan.” (al-Mughni, 1/432)
Wanita yang tidak puasa karena haid atau nifas memiliki kewajiban meng-qadha pada selain bulan Ramadhan sebagaimana dalam hadits di atas.
Yang dimaksud di sini adalah orang yang sudah lanjut usia, baik laki-laki maupun perempuan sehingga ia tidak mampu lagi berpuasa. Orang yang keadaannya demikian mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Hal itu berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِينٍ
“…Siapa yang sakit di antara kalian atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain, dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin.” (al-Baqarah: 184)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang sudah tua yang tidak sanggup lagi berpuasa. Sebagai gantinya, dia memberi makan setiap harinya satu orang miskin setengah sha’ (kurang lebih 1,5 kg) hinthah (gandum). (HR. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya, 2/207 dan dinilai sahih olehnya)
Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia lanjut berkewajiban membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan. Adapun fidyah insya Allah akan dijelaskan kemudian.
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan,
“…Tidak diberi keringanan dalam masalah ini (tidak puasa lalu membayar fidyah) kecuali yang tidak mampu berpuasa atau orang sakit yang tidak sembuh.” (HR. ath-Thabari dalam tafsirnya 2/138, an-Nasa’i, 1/318—319, dan al-Albani rahimahullah berkata bahwa sanadnya shahih)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata tentang wanita yang menyusui, hukumnya adalah seperti wanita hamil dalam segala urusannya seperti dalam penjelasan yang telah lalu. (Syarhul ‘Umdah, 1/252)
Wanita hamil atau menyusui mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, sebagaimana terdapat dalam riwayat Anas bin Malik al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu:
Kuda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami, lalu aku dapati beliau sedang makan siang. Beliau mengatakan, “Mendekatlah kemudian makanlah!”
Saya katakan, “Sesungguhnya aku berpuasa.”
Beliau berkata lagi,
أُدْنُ أُحَدِّثُكَ عَنِ الصَّوْمِ –أَوْ الصِّيَامِ-، إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ وَالمُرْضِعِ شَطْرَ الصَّوْمِ
“Mendekatlah, aku beri tahu kamu tentang puasa, sesungguhnya Allah meletakkan dari seorang musafir setengah shalat serta meletakkan puasa dari wanita yang hamil dan menyusui….” (HR. Abu Dawud no. 2408. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan hasan sahih dan diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi no. 715, an-Nasai no. 2273, serta Ibnu Majah no. 1667)
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Di antara pendapat yang ada:
Ini adalah pendapat Ibnu Hazm (al-Muhalla, 6/262). Secara ringkas, alasan beliau adalah tidak adanya dalil yang mewajibkan mengqadha atau membayar fidyah.
Ini adalah pendapat al-Imam Ahmad yang masyhur (Fatawal Mar’ah, 1335).
Alasan bagi yang mengkhawatirkan dirinya, karena ia serupa dengan orang yang sakit atau seperti orang yang khawatir akan mengalami sakit. Adapun yang khawatir atas janinnya, ia juga wajib membayar fidyah sebab ia berbuka karena khawatir atas orang lain. Ini lebih berat dari yang berbuka karena khawatir atas dirinya sendiri. Maka dari itu, diberatkan gantinya dengan diwajibkan juga membayar fidyah.
Alasan lainnya adalah hadits Anas bin Malik al-Ka’bi radhiallahu ‘anhu yang lalu dan tidak ada (keterangan dalam hadits itu) kecuali digugurkannya pelaksanaan puasa pada waktunya, bukan digugurkan qadhanya karena dalam hadits itu disebut musafir dan musafir diletakkan darinya pelaksanaan pada waktunya saja (bukan qadhanya). Selain itu, dia berharap adanya kemampuan untuk mengqadha, maka hukumnya seperti orang yang sakit. (Syarhul Umdah, 1/249]
Ini adalah pendapat al-Auza’i, ats-Tsauri, al-Hasan, Abu Hanifah, dan lainnya (al-Muhalla, 6/263, Jami’ Ahkamin Nisa’, 2/395). Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu juga.
Ini adalah pendapat Abdullah Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, Qatadah rahimahullah, dan yang lainnya.
Pendapat terakhir inilah yang saya cenderungi dengan beberapa alasan sebagai berikut:
Telah dijelaskan di atas bahwa terdapat hadits dari Anas bin Malik al-Ka’bi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala meletakkan puasa dari seorang musafir—dalam sebuah riwayat—dan dari wanita hamil dan menyusui. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan keduanya atau salah satunya.”
Maksud “meletakkan puasa dari wanita hamil atau menyusui” adalah tidak diwajibkannya mengqadha, tetapi hanya wajib membayar fidyah. Dengan ini Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berfatwa sebagaimana akan dibahas kemudian.
Yang menunjukkan makna ini adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menerangkan makna meletakkan puasa dari seorang musafir dengan firman-Nya, “…maka barang siapa sakit atau safar maka hendaknya menggantinya dengan hari yang lain…”
Allah subhanahu wa ta’ala juga menerangkan makna meletakkan puasa dari wanita hamil atau menyusui dengan firman-Nya “…maka bagi yang mampu dengan kepayahan hendaknya membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin…”
Ayat ini kemudian berlaku pada orang yang sudah tua yang tidak mampu. Wanita hamil atau menyusui digolongkan dengan mereka sehingga berkewajiban membayar fidyah saja.
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata kepada seorang budak wanita yang hamil atau menyusui,
“Engkau, kedudukanmu seperti yang tidak mampu. Kewajibanmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya dan tidak ada kewajiban qadha atasmu.” (HR. ath-Thabari dengan sanad yang dikatakan Syaikh al-Albani sahih sesuai dengan syarat Muslim, al-Irwa’ [4/19]; Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [4/219 no. 7567] tanpa kata-kata “tidak ada kewajiban qadha”; dan Ibnu Hazm [al-Muhalla 6/263])
Demikian pula, Sa’id bin Jubair berkata bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan kepada budaknya yang hamil atau menyusui, “Engkau termasuk yang tidak mampu, kewajibanmu memberi makan bukan mengqadha.” (HR. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 2/206 no. 8 dan ia berkata bahwa sanadnya sahih)
Terdapat beberapa fatwa Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dalam masalah ini, di antaranya:
Didapati beberapa fatwa dari beliau, juga penjelasan ayat yang menunjukkan dengan jelas bahwa beliau berpendapat hanya membayar fidyah dan tidak qadha. Di antaranya:
Riwayat-riwayat Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma kaitannya dengan hal ini, bisa dilihat secara rinci beserta penjelasan dan takhrijnya dalam Irwa’ul Ghalil (4/17—25) pada takhrij hadits no. 912.
Dari nukilan di atas, baik dari penjelasan dan fatwa Ibnu ‘Abbas maupun Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, tampak jelas bahwa wanita yang hamil atau menyusui menurut beliau berdua tidak wajib mengqadha. Yang wajib adalah membayar fidyah, sama saja baik khawatir atas dirinya, janin, maupun anaknya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam riwayat-riwayat di atas yang sebagian hanya menyebut kekhawatiran atas dirinya, sebagian menyebut khawatir atas anaknya, sebagiannya lagi sekadar menyebut jika khawatir, bahkan sebagiannya tidak menyebutkan kekhawatiran sama sekali.
Pada semua keadaan itu, mereka menghukumi dengan hukum yang sama tanpa ada perincian apa pun. Jika hukum mereka berbeda pada keadaan-keadaan itu, tentu akan mereka jelaskan, terlebih ketika berfatwa. Sementara itu kita tahu bahwa mengakhirkan keterangan pada saat dibutuhkan itu tidak boleh.
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Telah tetap wajibnya fidyah dari tiga sahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka. Mereka berbeda pendapat dalam masalah mengqadhanya.” (Syarhul ‘Umdah, 1/249)
Adapun pendapat yang mengatakan jika khawatir atas anaknya, tidak ada fidyah atas dirinya; pendapat ini menyelisihi perkataan Imam Ahmad rahimahullah dan ucapan-ucapan salaf. (Syarhul Umdah, 1/253)
Ibnu Qudamah rahimahullah juga berkata bahwa tidak ada yang menyelisihi Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam hal ini dari kalangan sahabat. (al-Mughni, 3/21)
Tafsir Ibnu ‘Abbas dihukumi marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) karena tafsir itu berkaitan dengan asbabun nuzul. (Shifat Shaum an-Nabi, hlm. 84)
Jika pendapat itu seperti yang dikatakan Ibnu Qudamah dan Ibnu Taimiyah bahwa tidak ada yang menyelisihi fatwa Ibnu ‘Abbas atau Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, mestinya kita mengutamakan pendapat mereka berdua daripada pendapat yang lain. Pendapat itu juga merupakan pendapat Sa’id bin Jubair, al-Qasim bin Muhammad, dan Qatadah. (al-Mushannaf, 4/216—218)
Perkataan sahabat memiliki nilai tinggi dalam menentukan hukum. Ibnu Taimiyah berkata,
“Adapun ucapan para sahabat, jika menyebar dan tidak ada pengingkaran padsa zaman mereka, itu merupakan hujah menurut mayoritas ulama. Jika mereka berselisih, apa yang mereka perselisihkan itu dikembalikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ucapan sebagian mereka bukanlah hujah jika sahabat yang lain menyelisihinya. Ini kesepakatan ulama.
Jika sebagian mereka memiliki sebuah pendapat kemudian sebagian yang lain tidak menyelisihinya, tetapi pendapat itu tidak tersebar; ini juga dipertentangkan. Adapun jumhur (kebanyakan) ulama berhujah dengannya.” (Majmu’ Fatawa, 20/14)
Demikian pula fatwa para sahabat, Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa fatwa sahabat tidak keluar dari enam keadaan. Jika ada pada salah satu dari lima keadaan pertama, itu adalah hujah yang wajib diikuti. Jika ada pada keadaan yang keenam, itu bukan hujjah, yaitu jika sahabat tersebut memahami sesuatu yang tidak diinginkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (salah paham). Tentu saja, lima kemungkinan yang pertama lebih banyak daripada kemungkinan yang satu. (Lihat I’lamul Muwaqqi’in 4/148, Faqih wal Mutafaqqih, 1/174 dari buku Ma’alim fi Ushul Fiqh hlm. 226—227)
Seorang wanita hamil pada bulan Ramadhan dan tidak berpuasa karena kehamilannya itu. Kemudian ia melahirkan pada bulan itu juga, sehingga ia tentu meninggalkan puasa karena nifasnya. Apakah ia wajib mengqadha karena ia meninggalkan puasa karena nifas itu? Kalau dia menganggap dirinya sebagai orang yang menyusui apakah tidak wajib mengqadha?
Masalah ini telah dijawab oleh Syaikh al-Albani. Beliau berkata,
“Jika bertepatan ketika ia nifas dan menyusui, jawabnya: ia seperti keadaannya semula, yaitu ketika hamil, tidak ada qadha atasnya. Yang wajib atasnya adalah fidyah.” (Majalah al-Ashalah edisi 15—16 hlm. 120)
Kewajiban mengqadha memiliki tenggang waktu sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Ia berkata, “Dahulu saya punya kewajiban berpuasa Ramadhan tapi saya tidak bisa mengqadhanya kecuali pada bulan Sya’ban.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat ini jelas bahwa ‘Aisyah baru bisa mengqadha pada akhir bulan sebelum Ramadhan. Ini menunjukkan ada keluasan waktu dalam masalah ini. Hanya saja, hal ini terbatasi sampai pada Ramadhan berikutnya. Adapun setelah Ramadhan berikutnya lewat dan dia tidak mempunyai uzur, ia tetap melakukan qadha, tetapi ada hukumannya sebagaimana akan dijelaskan nanti.
Jika seseorang bisa segera melakukan qadha, itu lebih baik. Sebab, segala amal kebajikan secara umum, apabila semakin cepat dilakukan, akan semakin baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَسَارِعُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمۡ ۖ
“… Dan cepat-cepatlah menuju maghfirah dari Rabb kalian…” (Ali ‘Imran:133)
Jika ia melakukan hal itu karena uzur syar’i (alasan yang dibenarkan syariat), hendaklah ia mengqadha saja. Adapun jika mengakhirkannya tanpa ada uzur yang syar’i, di samping mengqadha, hendaklah ia juga membayar fidyah (kaffarah/ith’am).
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata berkaitan dengan wanita yang mengakhirkan qadhanya sampai Ramadhan kedua, “Hendaklah ia berpuasa bersama manusia kemudian berpuasa (mengqadha) yang ia remehkan dalam mengqadhanya, ditambah memberi makan untuk satu orang miskin setiap harinya.” (HR. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya, 2/197, ia katakan bahwa sanadnya sahih mauquf. Lihat juga Syarhul ‘Umdah Kitabus Shiyam [1/350])
Demikian pula yang difatwakan Syaikh Ibnu Baz, lihat Fatawa Ramadhan (2/554—555).
Dalam mengqadha tidak wajib berurutan, boleh terpisah-pisah. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala di dalam ayat-Nya hanya mengharuskan qadha dan tidak menerangkan harus berurutan. Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak mengapa untuk dipisah-pisah.” (Lihat Shifat Shaum an-Nabi hlm. 74).
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Jika seseorang ingin, silakan memisah-misah. Jika ingin, silakan berurutan.” (ibid, 76)
Orang yang sengaja berbuka pada bulan Ramadhan tanpa uzur tidak perlu mengqadha.
Demikian menurut Ibnu Taimiyah rahimahullah. Itu juga pendapat Abu Bakr, ‘Umar, ‘Ali, dan yang lain radhiallahu anhum, serta dikuatkan oleh Syaikh al-Albani (Tamamul Minnah, hlm. 425).
Hal Ini karena dosanya yang besar.
Dalam masalah ukuran fidyah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Disebutkan hal ini oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya. Katanya, “Para ulama berbeda pendapat tenang ukuran makanan (fidyah) yang mereka berikan. Jika mereka tidak berpuasa sehari, :
Yang difatwakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma adalah setengah sha’ atau kurang lebih 1,5 kg. (Riwayat ad-Daraquthni, 2/207 no. 12). Pendapat ini yang dipilih oleh Syaikh Ibnu Baz, serta Lajnah Fatwa Saudi Arabia (Fatawa Ramadhan, 2/554—555 dan 604).
Dibolehkan seseorang yang menyediakan makanan siap saji dengan takaran yang dapat mengenyangkan si miskin (Fatawa Ramadhan, 2/652).
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu ketika beliau lemah untuk berpuasa (genap satu bulan, red). Beliau kemudian membuat satu mangkok besar tsarid (roti yang diremas lalu dicampur kuah) lalu beliau mengundang tiga puluh orang miskin hingga mengenyangkan mereka. (HR. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 2/207 no. 6 dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ul Ghalil, 4/21)
Tidak diperbolehkan membayar fidyah dengan uang. Fidyah dibayarkan harus dengan makanan karena demikianlah disebut dalam Al-Qur’an. (Fatawa Ramadhan, 2/652)
Berbeda halnya—wallahu a’lam—jika seseorang sekadar mewakilkan, dengan maksud memberikan sejumlah uang kepada pihak lain, baik individu maupun lembaga, agar dibelikan makanan untuk orang miskin. Hal itu boleh.
Dibolehkan membayar fidyah sekaligus atau terpisah-pisah waktunya. (Lajnah Fatwa Saudi Arabia, Fatawa Ramadhan, 2/652 )
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Jika di daerahnya ada orang Islam yang berhak, fidyah diberikan kepadanya. Akan tetapi, jika tidak ada, disalurkan ke negeri-negeri Islam yang membutuhkannya.” (Fatawa Ramadhan, 2/655)
Wallahu a’lam.