Asysyariah
Asysyariah

nikmat lisan, untuk apa kita gunakan?

4 tahun yang lalu
baca 20 menit
Nikmat Lisan, untuk Apa Kita Gunakan?

Allah subhanahu wa ta’ala adalah al-Mu’thi, ar-Razzaq, Dzat Yang Maha memberikan berbagai nikmat kepada seluruh makhluk-Nya untuk menegakkan kewajiban dan ketaatan mereka kepada-Nya semata. Itulah salah satu bukti rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Adapun jenis dan jumlah nikmat-Nya, hanya Allah subhanahu wa ta’ala yang Maha Mengetahui. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَأَسۡبَغَ عَلَيۡكُمۡ نِعَمَهُۥ ظَٰهِرَةً وَبَاطِنَةً

“Dan (Dia) menyempurnakan untukmu nikmat-Nya, lahir dan batin.” (Luqman: 20)

وَمَا بِكُم مِّن نِّعۡمَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِۖ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (an-Nahl: 53)

وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآۗ

“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.” (Ibrahim: 34)

Dari sekian banyak kenikmatan yang Allah subhanahu wa ta’ala limpahkan kepada hamba-hamba-Nya, yang paling agung adalah nikmat lisan. Dengan lisan, seorang hamba mampu berkomunikasi dan mengungkapkan apa yang ada pada dirinya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

أَلَمۡ نَجۡعَل لَّهُۥ عَيۡنَيۡنِ ٨ وَلِسَانًا وَشَفَتَيۡنِ

“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir?” (al-Balad: 8—9)

Lisan yang kecil ini ibaratnya pedang bermata dua. Jika tidak memberi manfaat kepada pemiliknya, ia justru akan membinasakannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَّا يَلۡفِظُ مِن قَوۡلٍ إِلَّا لَدَيۡهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya kecuali di dekatnya ada malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)

وَإِنَّ عَلَيۡكُمۡ لَحَٰفِظِينَ * كِرَامًا كَٰتِبِينَ

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu).” (al-Infithar: 10—11)

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata,

“Sungguh, salafush shalih rahimahumullah telah bersepakat bahwa malaikat yang ada di samping kanan seorang hamba adalah malaikat yang akan mencatat seluruh amal kebaikan. Adapun malaikat yang ada di samping kirinya adalah malaikat yang akan mencatat amalan kejelekan.” (Jami’ al-‘Ulum wal Hikam, 1/336)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menerangkan makna ayat tersebut dalam Tafsir-nya,

“Amalan kalian pasti akan dihisab. Allah subhanahu wa ta’ala telah menugaskan sebagian malaikatnya yang mulia untuk mencatat ucapan dan perbuatan kalian. Mereka (para malaikat itu) mengetahui amalan kalian, baik amalan hati maupun anggota badan. Maka dari itu, sepantasnya kalian memuliakan dan menghormati mereka (dengan kebaikan dan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, -pen.).”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِكَلِمَةٍ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِكَلِمَةٍ مِنْ سُخْطِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا إِلَى جَهَنَّمَ

“Sungguh, seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yang dia tidak ingat atau pikirkan, yang dengannya Allah subhanahu wa ta’ala akan mengangkat derajatnya. Sungguh, seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang dimurkai oleh Allah subhanahu wa ta’ala, yang dia tidak ingat atau pikirkan, yang dengan sebab itu dia akan masuk ke dalam Jahannam.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Jadi, orang yang bijak adalah orang yang berpikir sebelum berbicara; apakah perkataan yang ingin dia ucapkan akan mendatangkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala atau kemurkaan-Nya? Akan mendatangkan keuntungan di akhirat ataukah kerugian?

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَـحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ

“Barang siapa menjamin apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (yakni lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (yakni kemaluan), niscaya aku menjamin jannah (surga) baginya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

“Makna hadits ini adalah apabila seorang hamba ingin berbicara, hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Apabila telah tampak jelas baginya bahwa tidak ada kerugian/mudarat terhadap dirinya, hendaklah dia mengatakannya. Namun, apabila tampak jelas baginya kerugian/mudarat atau dia ragu-ragu, hendaklah dia diam.” (Syarh Shahih Muslim, 1/222)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Makna hadits tersebut ialah ketika seseorang ingin berbicara hendaklah dia berpikir terlebih dahulu. Jika yakin bahwa ucapannya tidak menimbulkan akibat yang jelek dan tidak menyeretnya pada perkara yang haram atau makruh, hendaklah dia berbicara. Namun, apabila perkaranya adalah mubah, yang selamat adalah dia diam supaya tidak terseret ke dalam perkara yang haram atau makruh.” (Fathul Bari, 13/149)

Perhatikan pula ucapan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menceritakan bagaimana Iblis la’natullah ‘alaih mengomando bala tentaranya,

“Iblis berkata kepada anak buahnya, ‘Berjaga-jagalah kalian pada pos lisan karena pos tersebut adalah pos yang paling strategis. Doronglah lisannya untuk mengucapkan berbagai perkataan yang akan merugikannya dan tidak akan menguntungkannya. Halangilah hamba itu untuk membiasakan lisannya dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti zikir, istigfar, membaca Al-Qur’an, memberi nasihat, dan berbicara tentang ilmu.

Niscaya kalian akan mendapatkan dua hasil besar di pos ini, tidak usah engkau hiraukan hasil manapun yang engkau dapatkan:

  • Dia berbicara dengan kebatilan.

Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah saudara dan penolongmu.

  • Dia berdiam diri dari kebenaran.

Orang yang tidak berbicara dengan kebenaran adalah saudaramu yang bisu, sebagaimana saudaramu yang pertama tadi, hanya saja dia pandai bicara.

Barang kali saudaramu yang bisu ini lebih bermanfaat bagi kalian. Tidakkah kalian dengar ucapan seorang pemberi nasihat[1], ‘Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang pandai bicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu.’

Maka dari itu, teruslah kalian berjaga di pos itu. Pos yang dia bisa berbicara dengan kebenaran atau menahan diri dari kebatilan. Hiasilah pembicaraan kebatilan kepadanya dengan segala cara. Takut-takutilah dia untuk menyampaikan kebenaran dengan segala cara.

Ketahuilah, wahai anak-anakku, pos lisan inilah tempat aku berhasil membinasakan anak keturunan Adam dan menyeret mereka ke dalam Jahannam. Betapa banyak korban yang berhasil aku bunuh, aku tawan, atau aku lukai melalui pos ini.” (ad-Da’u wad Dawa’, hlm. 154—155)

Selanjutnya, Iblis berkata kepada anak buahnya, “Gunakanlah dua senjata yang tidak akan menyebabkan kalian kalah:

a. Lalai dan lengah

Jadikanlah hati mereka tidak mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, lalai terhadap akhirat, dengan segala cara. Kalian tidak mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dalam usaha kalian dibandingkan dengan hal itu. Sebab, tatkala hati lalai mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, kalian akan mampu menguasai dan menyesatkannya.

b. Syahwat

Hiasilah syahwat tersebut dalam hati mereka. Tampakkanlah indahnya syahwat di pelupuk mata mereka.

Lalu seranglah mereka dengan dua senjata itu. Kalian tidak memiliki kesempatan yang lebih berharga untuk membinasakan mereka dibandingkan dengan dua kesempatan itu.” (ad-Da’u wad Dawa’, hlm. 157)

Adapun perangkap-perangkap Iblis—yang menjebak banyak hamba Allah subhanahu wa ta’ala—tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di antaranya:

  1. Ghibah

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan makna ghibah dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu,

أَتَدْرُونَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Tahukah kalian, apa ghibah itu?”

Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”

Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Engkau menceritakan tentang saudaramu perkara yang dia benci.”

Beliau ditanya, “Bagaimana kalau perkara yang aku katakan itu memang ada pada dirinya?”

Beliau menjawab, “Kalau apa yang engkau katakan itu ada pada dirinya, sungguh engkau telah mengghibahinya. Apabila tidak ada padanya, sungguh engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah mengharamkan harga diri seorang muslim dalam khutbah yang mulia, pada waktu yang mulia (yakni pada hari Arafah), di tempat yang mulia pula (di Arafah). Dari Abu Bakrah radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، وَفِي بَلَدِكُمْ هَذَا، وَفِي شَهْرِكُمْ هَذَا

“Sesungguhnya darah kalian haram, harta kalian haram, dan kehormatan kalian haram, sebagaimana haramnya (terhormatnya) hari kalian ini, di negeri kalian ini, dalam bulan kalian ini.” (Muttafaqun ‘alaih)

Oleh karena itu, merendahkan dan menjatuhkan harga diri/kehormatan seorang muslim tanpa alasan yang benar adalah haram hukumnya. Barang siapa mencari-cari kekurangan saudaranya, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan membongkar aibnya dan mempermalukannya.

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, dia berkata,

صَعِدَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمِنْبَرَ فَنَادَى بِصَوْتٍ رَفِيعٍ: يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الْإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ اللهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ

“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan belum masuk ke dalam hatinya. Jangan kalian menyakiti kaum muslimin. Jangan kalian menjelek-jelekkan mereka dan jangan kalian mencari-cari kekurangan mereka. Sebab, barang siapa mencari-cari kekurangan saudaranya yang muslim, niscaya Allah akan mencari-cari kekurangannya. Barang siapa yang Allah cari-cari kekurangannya, niscaya Allah akan membongkar aibnya dan mempermalukannya walaupun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. at-Tirmidzi)

Ketahuilah, ghibah adalah salah satu dosa besar. Ghibah akan menyebabkan pelakunya mendapat azab kubur apabila Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengampuninya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ، وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ

Tatkala aku di-mi’raj-kan (dinaikkan ke langit), aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku tajam dari tembaga. Mereka mencakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya, “Siapa mereka ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang suka makan daging manusia (menggunjing/ghibah) dan menjatuhkan kehormatannya.” (HR. Abu Dawud dan disebutkan oleh Syaikh Muqbil rahimahullah dalam ash-Shahihul Musnad)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Ghibah haram hukumnya berdasarkan ijmak. Tidak ada pengecualian selain terhadap orang-orang yang jelas kemaslahatannya, seperti dalam al-jarh wat ta’dil (mencela/memuji para perawi hadits) dan dalam nasihat, sebagaimana nasihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada Fathimah bintu Qais radhiyallahu anha.”

An-Nawawi rahimahullah berkata,

“Ketahuilah, ghibah diperbolehkan untuk tujuan syar’i yang tidak mungkin tercapai kecuali dengan ghibah tersebut. Hal ini ada pada enam perkara.” (Riyadhush Shalihin)

Keenam hal tersebut terkumpul dalam ucapan seorang penyair,

الذَّمُّ لَيْسَ بِغِيْبَةٍ فِي سِتَّةٍ            مُتَظَلِّمٍ وَمُعَرِّفٍ وَمُحَذِّرٍ

وَلِمُظْهِرٍ فِسْقًا وَمُسْتَفْتٍ وَمَنْ      طَلَبَ الْإِعَانَةَ فِي إِزَالَةِ مُنْكَرٍ

Ghibah itu tidak tercela pada enam perkara

           (1) Orang yang dizalimi, (2) yang mengenalkan, dan (3) yang memperingatkan

(4) Orang yang menampakkan kefasikan, (5) peminta fatwa

          (6) Orang yang minta tolong untuk menghilangkan kemungkaran

Dosa Ghibah Bertingkat-Tingkat

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Ketahuilah, ghibah itu akan bertambah kejelekannya dan dosanya sesuai dengan siapa yang disakiti dengan ghibah tersebut. Ghibah terhadap orang biasa tidak seperti ghibah terhadap orang yang berilmu. Tidak pula seperti ghibah terhadap pemimpin negara, pejabat, menteri, dan sejenisnya. Sebab, ghibah terhadap pejabat, baik pejabat rendah maupun pejabat tinggi, lebih besar dosanya daripada ghibah terhadap orang yang tidak memiliki jabatan atau kedudukan.

Apabila engkau mengghibahi orang biasa, engkau hanyalah berbuat jelek terhadap pribadinya. Namun, apabila engkau ghibah terhadap orang yang memiliki jabatan atau kedudukan, sungguh engkau telah berbuat jelek terhadap pribadi dan kedudukannya yang terkait dengan kepentingan kaum muslimin.

Contohnya, apabila engkau berbuat ghibah terhadap salah seorang ulama, perbuatan ini berarti permusuhan dan kebencian terhadap pribadinya. Engkau juga telah berbuat kejelekan atau kejahatan yang besar terhadap ilmu syariat yang dibawanya. Orang yang berilmu adalah pengemban syariat. Apabila engkau menggunjingnya, akan jatuh kewibawaannya dalam pandangan umat. Apabila telah jatuh wibawanya, umat tidak akan mendengarkan ucapannya dan tidak mau merujuk kepadanya dalam urusan agama mereka. Akibatnya, ilmu yang dimiliki oleh orang alim tersebut diragukan kebenarannya karena engkau menggunjingnya. Ini adalah kejahatan yang besar terhadap syariat.

Demikian juga para pemimpin/pejabat. Apabila engkau melakukan ghibah terhadap seorang pejabat, raja, presiden, atau yang semisalnya, dampak jeleknya tidak hanya menimpa pribadinya. Bahkan, ghibah itu akan menjatuhkan pribadinya sekaligus merusak kewibawaan dan kedudukannya. Ini berarti engkau telah menyusupkan kebencian dan kedengkian ke dalam hati rakyat terhadap penguasanya. Apabila engkau berhasil menanamkan kebencian dan kedengkian dalam hati mereka terhadap penguasanya, sungguh engkau telah melakukan kejahatan yang besar terhadap mereka.

Hal ini juga merupakan sebab munculnya berbagai kekacauan, perselisihan, dan perpecahan dalam kehidupan (masyarakat). Apabila hari ini ghibah berhasil menyebarkan berbagai ucapan, boleh jadi besok hari akan menyebarkan tembakan-tembakan. Sebab, apabila hati telah benci dan dengki terhadap penguasa, dia tidak akan mau tunduk dan patuh terhadap perintahnya. Apabila dia diperintahkan untuk melakukan suatu kebaikan, dia akan melihat sebaliknya.” (Syarh Riyadhish Shalihin, 4/46—47)

Cara Tobat dari Ghibah

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, al-Wabil ash-Shayyib (hlm. 131), menyebutkan sebuah hadits dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa kafarat ghibah (penghapus dosanya) adalah memohon ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala bagi orang yang digunjing, dengan mengucapkan,

اللَّهُمَّ اغْفِرْلَنَا وَلَهُ

“Ya Allah, ampunilah kami dan dia.”

Al-Baihaqi rahimahullah menyebutkan hadits tersebut dalam ad-Da’watul Kabir. Beliau mengatakan bahwa dalam sanadnya ada kelemahan.

Dalam masalah ini, ada dua pendapat di kalangan ulama, yang keduanya adalah riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah: Apakah cukup bertobat dari ghibah dengan memohon ampunan bagi orang yang dighibahi? Ataukah harus disertai pemberitahuan kepada orang itu dan meminta untuk dimaafkan?

Pendapat yang benar, tobat dari ghibah tidak membutuhkan pemberitahuan kepada orang yang dighibahi. Cukup dengan memohon ampunan baginya dan menyebut kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang dahulu dia mengghibahinya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan selainnya.

Adapun sebagian ulama yang mengharuskan pemberitahuan kepada orang yang dighibahi sebagai bentuk tobatnya, mereka menganggap ghibah seperti hak-hak harta yang dizalimi. Sementara itu, ghibah dan hak harta jelas jelas perbedaannya.

Dalam hak-hak yang terkait dengan harta, ketika dikembalikan hartanya atau yang setara dengannya, orang yang dizalimi akan mendapatkan manfaat darinya. Dia bisa mengambilnya atau menyedekahkannya. Hal ini tidak mungkin terjadi pada ghibah. Yang akan terjadi pada orang yang dighibahi ketika dia diberitahu tentangnya, justru berlawanan dengan apa yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Hal tersebut justru akan menyakiti dan menyalakan kemarahannya. Boleh jadi, dia akan muncul permusuhan yang tidak bisa dipadamkan. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya hal yang seperti ini tentu tidak akan diperbolehkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, apalagi diperintahkan dan diwajibkan oleh beliau.

  1. Namimah (Adu Domba)

Namimah adalah menukil ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan atau persaudaraan di antara keduanya.

Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam sungguh mencela orang yang berbuat namimah dan melarang kita mendengarkan ucapannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تُطِعۡ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ * هَمَّازٍ مَّشَّآءِۢ بِنَمِيمٍ

“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.” (al-Qalam: 10—12)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ

“Tidak akan masuk surga, orang yang qattat (yakni ahli namimah).” (HR. al-Bukhari dari Hudzaifah radhiyallahu anhu)

Dalam sebuah riwayat dalam Shahih Muslim,

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

“Tidak akan masuk surga, ahli namimah.”

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

“Allah subhanahu wa ta’ala berfirman هَمَّازٍ مَّشَّآءِۢ بِنَمِيمٍ. Maknanya adalah orang yang berjalan di antara manusia untuk mengadu domba mereka, dengan cara menukil ucapan untuk merusak hubungan dan persaudaraan di antara mereka. Ini adalah perbuatan yang membinasakan.”

Ummu Abdillah bintu Syaikh Muqbil rahimahullah berkata,

“Dalil-dalil yang mengandung ancaman bahwa seorang muslim tidak akan masuk surga apabila melakukan dosa besar (seperti hadits ini, -pen.) dipahami bahwa di dalamnya ada sesuatu yang mahdzuf (dibuang). Maksudnya adalah apabila Allah subhanahu wa ta’ala ingin membalasnya, atau maknanya dia tidak akan masuk surga secara langsung, tetapi akan diazab sesuai dengan kadar dosanya (apabila Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak, -pen.) meski akhirnya dia masuk surga. Adapun apabila dia menghalalkannya, dia telah kafir karena telah mendustakan nas-nas (Al-Qur’an dan as-Sunnah), baik dia melakukan perbuatan itu maupun tidak.” (Nashihati lin Nisa’, hlm. 39)

Namimah adalah dosa besar yang menyebabkan pelakunya diazab dalam kuburnya, apabila Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengampuninya.

Hal ini disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma yang masyhur. Di samping itu, namimah adalah perbuatan yang sangat tercela lagi berbahaya, yang akan merusak persahabatan dan persaudaraan. Bahkan, namimah bisa merusak kecintaan antara suami dan istri, bapak dan anak, atau seseorang dan saudaranya, serta bisa merusak persaudaraan di antara kaum muslimin. Lebih dari itu, peperangan bisa terjadi karena namimah.

Oleh karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam mengancam pelakunya tidak akan masuk surga.

Sebagian ulama, seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, menggolongkan namimah ke dalam jenis sihir. Sebab, namimah bisa merusak persaudaraan dan kecintaan antara dua pihak, sebagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh sihir. Bahkan, sebagian ulama yang lain mengatakan, “Sungguh, orang yang melakukan namimah bisa membuat kerusakan dalam sekejap, sementara tukang sihir merusak dalam waktu satu bulan.”

Ummu Abdillah berkata, “Ketahuilah, orang yang melakukan namimah untuk kepentinganmu, dia akan melakukan namimah untuk membinasakanmu juga. Oleh karena itu, nasihatilah orang yang berbuat namimah dengan lemah lembut dan pengarahan yang baik berulang kali. Apabila dia tidak mau meninggalkannya, peringatkanlah saudara-saudaramu darinya. Jauhilah dia, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذَا رَأَيۡتَ ٱلَّذِينَ يَخُوضُونَ فِيٓ ءَايَٰتِنَا فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ ٱلشَّيۡطَٰنُ فَلَا تَقۡعُدۡ بَعۡدَ ٱلذِّكۡرَىٰ مَعَ ٱلۡقَوۡمِ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, tinggalkanlah mereka hingga mereka mengalihkan pada pembicaraan yang lain. Jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (al-An’am: 68)

Bersemangat Menjaga Persaudaraan

Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah berkata,

“Jauhilah faktor-faktor yang akan menumbuhkan kebencian, permusuhan, perselisihan, dan perpecahan. Jauhilah hal-hal ini. Sebab, hal ini telah tersebar pada masa ini melalui usaha orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui keadaan dan tujuan mereka. Hal ini benar-benar tersebar dan meluas. Berbagai hal ini telah mencabik-cabik para pemuda di negeri ini (Arab Saudi), baik di universitas Islam maupun tempat lainnya, bahkan di seluruh dunia.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Sebab, yang terjun di medan dakwah bukanlah orang-orang yang ahli, baik dari sisi ilmu maupun pemahaman. Boleh jadi, musuh-musuh dakwah ini telah menyusupkan orang-orang yang akan mengacaukan dan memecah belah salafiyin. Ini bukanlah hal yang mustahil. Ini betul-betul telah terjadi. Maka dari itu, bersemangatlah kalian untuk menjaga persaudaraan dan persatuan.” (al-Hatstsu ‘alal Mawaddah, hlm. 39—40)

  1. Dusta

Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah berkata, “Dusta adalah seseorang memberitakan sesuatu yang menyelisihi kenyataan atau kebenaran. Ketahuilah, kedustaan itu bermacam-macam.

a. Dusta atas nama Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam.

Ini adalah kedustaan yang paling besar (dosa dan bahayanya) karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَنۡ أَظۡلَمُ مِمَّنِ ٱفۡتَرَىٰ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا أَوۡ كَذَّبَ بِ‍َٔايَٰتِهِۦٓۚ

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya?” (al-An’am: 21)

Kedustaan atas nama Allah dan Rasul-Nya ini terbagi menjadi dua bagian:

  • Seseorang menyatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan demikian atau Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan demikian, padahal Allah subhanahu wa ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam tidak mengatakannya.
  • Seseorang menafsirkan Kalamullah atau Sunnah Rasul-Nya dengan tafsiran yang tidak yang dimaukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atau Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Dia berarti telah membuat kedustaan atas nama Allah subhanahu wa ta’ala atau Rasul-Nya. Contohnya, orang yang sengaja menafsirkan ayat atau hadits dengan tafsiran tertentu yang sesuai dengan hawa nafsunya, atau demi mendapatkan keuntungan duniawi. Betapa banyak orang yang terjatuh dalam perkara ini.

b. Kedustaan yang terjadi di kalangan umat

Di antara bentuknya:

  • Seseorang menampakkan diri sebagai orang yang baik, berilmu, bertakwa, dan beriman, padahal hakikatnya tidak demikian. Sebenarnya dia adalah orang yang jahil, zalim, dan kufur. Hal ini adalah kemunafikan.

Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang perbuatan orang-orang munafik,

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَمَا هُم بِمُؤۡمِنِينَ

Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian,” padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. (al-Baqarah: 8)

  • Menisbahkan suatu ucapan, perbuatan, atau pendapat kepada seseorang, padahal orang tersebut tidak menyatakannya atau melakukannya.
  • Menceritakan suatu perkara yang lucu agar orang-orang tertawa, padahal dia berdusta.

Dari Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ ثُمَّ وَيْلٌ لَهُ

“Celaka orang yang menceritakan suatu perkara (yang dusta) untuk membuat suatu kaum tertawa. Celaka dia, kemudian celaka dia.” (HR. at-Tirmidzi dan Abu Dawud)

  1. Qila wa Qala (Katanya dan Katanya)

Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Maknanya adalah berbicara dengan ucapan-ucapan yang tidak ada faedahnya. Kebanyakannya berupa ghibah, keributan, dan dusta. Barang siapa sering melakukannya, pasti dia tidak akan selamat dari kebatilan, ghibah, dan kedustaan. Wallahu a’lam.” (at-Tamhid, 21/289)

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Maknanya adalah dia menyampaikan setiap berita yang dia dengar. Dia menyatakan, ‘Telah dikatakan demikian’ dan ‘Fulan mengatakan demikian’, yakni hal-hal yang tidak dia ketahui kebenarannya, tidak pula ia meyakininya.” (Riyadhush Shalihin)

Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا، فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala meridhai bagi kalian tiga perkara dan membenci bagi kalian tiga perkara. Dia meridhai bagi kalian agar (1) kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, (2) kalian berpegang teguh dengan tali Allah (Al-Qur’an dan as-Sunnah), dan (3) agar kalian tidak berpecah belah. Dia juga membenci bagi kalian (1) qila wa qala, (2) banyak bertanya (keras kepala), dan (3) membuang-buang harta (tanpa ada faedahnya).” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Oleh karena itulah, hendaknya kita bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan lisan kita, sebagaimana perintah-Nya,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلًا سَدِيدًا * يُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah ucapan yang lurus, niscaya Allah akan memperbagus amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia memperoleh kemenangan yang besar.” (al-Ahzab: 70—71)

Hanya dengan takwa, Allah subhanahu wa ta’ala akan memperbaiki amalan kita dan mengampuni dosa kita.


[1] Dia adalah Abu ‘Ali ad-Daqqaq. Teks ucapannya dinukil dalam kitab ar-Risalah al-Qusyairiyah hlm. 57.

 

Ditulis oleh Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan