Periode pertama Negara Saudi berlangsung antara 1157—1233 H (1744—1818 M).
Pada awal abad ke-12 H (abad ke-18 M) Jazirah Arab tidak memiliki tatanan kehidupan yang mengatur dan tidak ada stabilitas politik. Di samping itu, kehidupan keberagamaan juga sangat lemah karena merajalelanya kebid’ahan, khurafat, dan praktik kesyirikan. Tidak ada satu pun negara atau kerajaan besar yang kekuasaannya mencapai Jazirah Arab, terkhusus wilayah Najd.
Dakwah tauhid yang ditegakkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab—yang hakikatnya merupakan dakwah yang dibawa oleh para nabi dan rasul—telah memberikan pencerahan kepada kaum muslimin dan benar-benar membawa misi perbaikan (tajdid/ishlah).
Dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala dan kenikmatan dari-Nya, berdirilah negara Islam di Jazirah Arab, yaitu Daulah as-Su’udiyah Periode I. Dengan berdirinya negara Islam ini, terbuka kesempatan lebar bagi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab untuk melanjutkan misi dakwahtauhid.
Umat pun datang ke Dir’iyah yang telah menjadi Daulah as-Su’udiyah. Mereka datang dari berbagai penjuru, baik dari ‘Uyainah, ‘Arqah, Manfuhah, Riyadh, dan lainnya. Mereka datang secara berombongan atau sendiri-sendiri.
Syaikh Muhammad kemudian mengatur jadwal durus (pelajaran) dalam berbagai bidang ilmu agama: akidah, ilmu al-Qur’an, tafsir, fikih, hadits, mushthalah, ilmu bahasa Arab, tarikh (sejarah) Islam, dan berbagai ilmu yang bermanfaat lainnya.
Demikianlah, bimbingan dan pengajaran untuk umat berjalan secara rutin dan lancar. Hal itu merupakan pendidikan dan pembekalan umat dengan ilmu-ilmu syariat. Beliau senantiasa mengajak dan membimbing umat kepada tauhid dan waspada terhadap kesyirikan dengan segala bentuknya. Di samping itu, beliau memperingatkan keras dari bid’ah dan khurafat, seperti mendirikan masjid atau kubah di atas kuburan, mendatangi dukun dan tukang sihir, serta bertanyadan membenarkan ucapan mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala menghilangkan semua itu melalui dakwah yang ditegakkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Masjid menjadi makmur dengan pengajaran ilmu-ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga umat manusia terdidik dan sibuk dengan ilmu, amal, dakwah, dan bimbingan.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memulai jihad melalui tulisan. Beliau menulis surat/risalah ke berbagai negeri, kepada para tokoh, para ulama dan para umara setiap negeri Islam di segenap penjuru dunia. Semuanya beliau tulis dengan bahasa yang lembut, ramah, santun, penuh kasih sayang. Jauh dari bahasa yang kaku dan kasar, jauh dari ujaran kebencian.
Misi surat-surat tersebut adalah menebar rahmat di seluruh penjuru alam, merangkul kaum muslimin agar mau menerima tauhid dan sunnah, bukan ajakan radikal atau ekstrem. Melalui surat-surat tersebut dakwah beliau tersebar dan dikenal oleh kaum muslimin di segenap penjuru alam.
Kaum muslimin dalam jumlah besar mau menyambut dan mendukung dakwah tauhid dan sunnah, baik di Syam, Irak, Mesir, Maroko, Afghanistan, India, termasuk pula di Indonesia. Lebih-lebih lagi, dunia Islam saat itu sedang dilanda musibah berupa penjajahan kaum imperialis Barat ke negeri-negeri kaum muslimin. Dakwah tauhid meniupkan roh jihad sehingga menggerakkan semangat umat Islam untuk bangkit berjihad melawan para penjajah kafir di negeri masing-masing.
Selama hampir lima puluh tahun, sejak 1158 H hingga wafat pada 1206 H, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terus berjihad menegakkan dakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau terus didukung oleh sang Amir Muhammad bin Su’ud dan keluarganya.
Setelah beliau wafat, dakwah dilanjutkan oleh putra-putra dan cucu-cucu beliau yang telah terdidik di atas iman, ilmu, dan semangat berjihad. Demikian pula anak keturunan Muhammad bin Su’ud, senantiasa setia membela.
Para pimpinan ad-Daulah as-Su’udiyah Periode I adalah:
Pemerintah Daulah as-Su’udiyah Periode I berhasil menyatukan mayoritas wilayah Jazirah Arab. Kaum muslimin di Jazirah Arab diajak memasuki iklim kehidupan baru yang stabil dan aman. Syariat Islam diterapkan dalam semua sisi kehidupan. Di sisi lain, negara Islam ini melahirkan banyak ulama. Ilmu dan pendidikan bersinar terang. Stabilitas perekonomian pun terwujud. Lembaga dan struktur administratif kenegaraan juga terbentuk dan tertata dengan rapi.
Kejayaan Daulah as-Su’udiyah dan bersinarnya cahaya tauhid di negeri tersebut membuat dengki pihak-pihak yang tidak suka dengan dakwah tauhid. Daulah Utsmaniyah termasuk salah satu pihak yang menampakkan permusuhan yang sangat sengit terhadap negeri tauhid. Entah mengapa sebabnya. Padahal wilayah Najd, tempat Daulah as-Su’udiyah berdiri, tidak pernah masuk dalam wilayah kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Kondisi itu sudah berlangsung sejak lama. Daulah Utsmaniyah pun tidak pernah berusaha menguasai Najd. Sementara itu, Daulah as-Su’udiyah tidak memiliki kepentingan politik apa pun selain menebarkan dakwah tauhid dan sunnah.
Namun, sunatullah pasti terjadi. Tidak ada kebaikan kecuali akan ada pihak yang membenci dan memusuhinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِّنَ ٱلۡمُجۡرِمِينَۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Demikianlah Kami jadikan untuk setiap nabi adanya musuh dari kalangan orang-orang jahat. Cukuplah Rabbmu sebagai pemberi petunjuk dan penolong.” (al-Furqan: 31)
Daulah Utsmaniyah memutuskan untuk menghancurkan negara tauhid Daulah as-Su’udiyah. Tentu saja, itu bukanlah niat yang baik. Diperintahkanlah Gubernur Mesir, Muhammad Ali Pasha, untuk mengirimkan bala tentaranya ke Dir’iyah.
Pengiriman pasukan besar yang dikomandani oleh Ahmad Thusan ini terjadi pada 1226 H (1811 M) guna menghadapi bala tentara tauhid yang dipimpin oleh al-Imam Abdullah di Lembah Shafra. Dalam kesempatan tersebut, pasukan Mesir berhasil dikalahkan dan terpaksa mundur ke Yanbu’.
Pada masa-masa berikutnya, terus terjadi konfrontasi bersenjata antara tentara Mesir bersama Turki dan tentara Dinasti Su’ud yang membawa panji-panji tauhid. Menang dan kalah silih berganti antara kedua belah pihak sepanjang pertempuran yang terjadi sejak 1226 H hingga 1233 H.
Akhirnya Muhammad Ali Pasha memerintah Ibrahim Pasha untuk menyerang Dir’iyah. Terjadi sekian kali kontak senjata dan pertempuran sengit antara pasukan Ibrahim Pasha dan tentara Dir’iyah. Pasukan Ibrahim Pasha menggunakan meriam untuk memukul mundur tentara Dir’iyah.
Pada Jumadal Akhirah 1233 H (April 1818), Ibrahim Pasha berhasil mengepung Dir’iyah. Pengepungan berlangsung selama enam bulan. Selama pengepungan, sejumlah besar pasukan Mesir terbunuh. Namun, bantuan persenjataan, personel, dan logistic masih bisa terus mengalir kepada mereka setiap hari.
Di sisi lain, tentara Dir’iyah tidak bisa mendapat bantuan dari luar dan jumlahnya terus berkurang. Dalam situasi itu, Amir Abdullah bin Su’ud dan seluruh keluarganya, demikian pula semua anak dan cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tanpa terkecuali, berperang dengan gagah berani, sampai gugur fi sabilillah satu per satu.
Kondisi mereka terus terdesak. Amir Abdullah bin Su’ud dan keluarganya berlindung di benteng Tharif di tengah kota. Sang Amir bermaksud tetap bertahan dan berperang dari dalam benteng. Namun, tembok benteng sudah rusak sehingga perlawanan menjadi tak berarti lagi.
Hal ini memaksa Amir Abdullah keluar menemui Ibrahim Pasha untuk melakukan negoisasi supaya menghentikan pertempuran. Kedua belah pihak sepakat mengakhiri pertempuran dengan syarat Amir Abdullah bin Su’ud harus menyerah dan dikirim ke Mesir. Peristiwa ini terjadi pada 8 Dzulqa’dah 1233 H/9 Desember 1818 M.
Dari Mesir, Amir Abdullah dikirim ke ibukota Daulah Utsmaniyah dan dieksekusi mati di sana. Tentara Mesir yang jahat itu kemudian menghancurkan Dir’iyah yang merupakan ibukota Daulah as-Su’udiyah Periode I.
Peristiwa ini sekaligus menandai berakhirnya Daulah as-Su’udiyah Periode I yang selama ini menegakkan tauhid dan sunnah, yang dirintis dan dibina oleh Sang Mujaddid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dengan pembelaan dari Dinasti Su’ud.
Atas keberhasilan tentara Mesir tersebut, Pemerintah Inggris mengucapkan selamat kepada Ibrahim Pasha. Innalillah wa inna ilaihi raji’un.[1]
Demikianlah, terkadang Allah subhanahu wa ta’ala Yang Mahabijaksana menakdirkan kekalahan bagi para mujahidin pembela panji-panji kebenaran karena hikmah besar di balik itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَتِلۡكَ ٱلۡأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيۡنَ ٱلنَّاسِ وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَيَتَّخِذَ مِنكُمۡ شُهَدَآءَۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Itulah hari-hari masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kalian dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Ali ‘Imran: 140)
[1] Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlih Mazhlum wa Muftara ‘Alaihi, Ustadz Mas’ud an-Nadwi, hlm. 146.