Berbicara tentang anak-anak, tentu yang tergambar di benak adalah sesosok makhluk yang lemah. Cinta dan kasih sayang, itu yang terlintas untuk diberikan kepada mereka. Namun, apakah manusia-manusia yang terbelenggu pemahaman Syiah seperti itu juga?
Allah subhanahu wa ta’ala menganugerahkan cinta dan kasih sayang yang amat besar kepada seorang anak melalui kedua orang tuanya. Syariat ini pun memuji setiap orang yang memiliki rasa kasih sayang kepada anak-anak.
Bila kita membuka lembaran kitabullah, tercantum ayat-ayat tentang kisah Luqman tatkala mewujudkan kasih sayangnya kepada anaknya dalam bentuk bimbingan yang penuh hikmah. Luqman menyampaikan wasiat kepada putranya, seseorang yang paling dikasihi dan dicintainya serta paling berhak mendapatkan ilmu pengetahuan yang paling utama. Karena itulah, wasiat pertama yang dia sampaikan adalah agar sang putra hanya beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 6/192)
Pada ayat yang lain, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah hamba-hamba-Nya yang beriman untuk menjaga keluarga—termasuk anak-anak mereka—dari ancaman api neraka.
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di neraka itu ada malaikat-malaikat penjaga yang keras lagi kasar, yang tidak pernah mendurhakai Allah dalam segala yang diperintahkan-Nya dan senantiasa melaksanakan apapun yang diperintahkan kepada mereka.” (at-Tahrim: 6)
Karena itulah, seorang hamba yang beriman harus menjaga dirinya dengan mewajibkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala , menjauhi segala larangan Allah subhanahu wa ta’ala, serta bertobat dari setiap perbuatan yang membuat murka Allah subhanahu wa ta’ala dan mendatangkan azab-Nya. Diiringi pula dengan upaya menjaga istri dan anak-anak dengan cara mendidik dan mengajari mereka, serta mengharuskan mereka melaksanakan segala perintah Allah subhanahu wa ta’ala. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 874)
Dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, betapa mudahnya kita menemukan berbagai bimbingan dan teladan untuk orang tua dalam mencurahkan kecintaan dan kasih sayang kepada anak-anak.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengungkapkan, bagaimana rasa sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putranya yang lahir dari rahim Mariyah al-Qibthiyah radhiallahu ‘anha.
“Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya dibandingkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Anas berkata lagi, “Waktu itu Ibrahim sedang dalam penyusuan di daerah ‘Awali dekat Madinah. Beliau berangkat untuk menjenguknya dan kami menyertai beliau. Kemudian beliau masuk rumah yang saat itu tengah berasap hitam, karena ayah susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Kemudian beliau merengkuh Ibrahim dan menciumnya, lalu beliau kembali. (HR. Muslim no. 2316)
Tak hanya kepada putra-putri beliau sendiri, bahkan pada keumuman anak-anak para sahabat. Tak cukup satu-dua lembar untuk mengungkapkan teladan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wujud kasih sayang dan bimbingan beliau kepada mereka. Begitu pula anjuran beliau terhadap para sahabat radhiallahu ‘anhum untuk memupuk kasih sayang pada anak-anak.
Demikianlah Islam menjaga dan memupuk anugerah Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang tua, berupa rasa kasih sayang yang besar kepada anak-anak.
Namun, betapa tersayat jika kita menyaksikan perlakuan penganut agama Syi’ah terhadap anak-anak, baik anak sendiri, terlebih lagi anak-anak kaum muslimin. Sungguh, hampir tak sanggup tangan menuliskan ungkapan gambaran kebengisan dan kekejaman mereka. Tak sekadar merusak fisik dan mental, agamanya pun mereka berangus.
Syiah Mengajari Anak Kekufuran dan Kesesatan
Dalam Islam, orang tua memikul kewajiban untuk mengajari anak mengucapkan kalimat tauhid. Ketika anak beranjak dewasa, orang tua berkewajiban memahamkan makna kalimat mulia tersebut. Orang tua juga berkewajiban menanamkan kecintaan dan keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang mencipta, memberi rezeki, dan menolong saat berada dalam kesusahan, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Namun, apa yang diajarkan oleh penganut agama Syiah kepada anakanak? Amat jauh bertolak belakang dengan Islam. Bagaimana tidak? Karena mereka bukan Islam, tentu yang mereka ajarkan pada anak-anak mereka adalah akidah dan agama kufur. Agama yang jauh dari sebutan agama rahmah, tetapi agama sadis dan bengis!
Dalam perayaan hari Asyura, dengan dalih mengenang penderitaan Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala, mereka tak sekadar membacok dan melukai kepala mereka sendiri. Sampai hati pula mereka mengarahkan dan mengayunkan pisau besar nan tajam atau sebilah pedang, lalu membacok dan melukai kepala anak-anak dan bayi-bayi mereka. Sembari tersenyum mereka menyaksikan anak-anak itu bersimbah darah, seakan-akan itu bukan buah hati mereka!
Mendapatkan bukti tentang hal ini insya Allah tidaklah sulit bagi yang menginginkannya. Berbagai media informasi yang tersebar di seluruh penjuru dunia telah memuatnya.
Masih berkenaan dengan hari Asyura, mereka mengajari anak-anak mereka melakukan ritual penyiksaan diri. Diiringi dendangan “Ya Husain… Ya Husain…!” dengan bertelanjang dada, anak-anak laki-laki itu sepenuh tenaga memukuli tubuhnya sendiri dengan segepok besi berbentuk pisau.
(lihat http://www.youtube.com/watch?feature=player_detailpage&v=jgtOlAiJnhs)
Nas’alullaha as-salamah!
Penindasan terhadap agama anak tak hanya terjadi pada anak-anak mereka. Sebutlah apa yang terjadi di Suriah, negeri yang hancur di bawah kekuasaan seorang Syiah Nushairiyah. Pemerintahnya memaksa rakyat untuk menuhankan pemimpin negerinya, sebagai bagian dari akidah sesat mereka.
Yang menolak mengikrarkan atau bersujud pada potret penguasa, niscaya akan berhadapan dengan beragam bentuk siksaan atau pembunuhan yang sadis. Wal ‘iyadzu billah… Kaum muslimin di sana benar-benar tertindas dan terusir.
Kekufuran semacam itu tidak hanya mereka jejalkan kepada orang dewasa, tetapi juga kepada anak-anak. Suatu ketika, seorang anak kaum muslimin tertangkap oleh tentara Syiah. Dia pun diancam dan dipaksa menyatakan ucapan kufur. Akhirnya terjadi dialog antara orang-orang Syiah dengan anak yang malang ini. Berikut ini kurang lebih isi dialog itu.
“Siapakah penciptamu?”
“Bashar Assad.”
“Kepada siapa kamu berdoa?”
“Bashar Assad.”
“Siapa yang kamu sembah?”
“Bashar Assad.”
“Sekarang kamu paham…. Siapa Allah?”
“Bashar Assad.”
“Siapa Muhammad?”
“Bashar Assad.”
“Siapa yang lebih kuat? Allah atau Bashar?”
“Allah Syria, Bashar.”
“Siapakah yang lebih baik? Allah atau Bashar?”
“Bashar.”
Anak itu pun dipaksa mengatakan, “Laa ilaha illa Bashar!”
(https://youtu.be/nkB0in0mtkg)
Sungguh, sekali lagi terasa berat untuk menukilkan dan menuliskan peristiwa semacam ini. Suatu peristiwa yang akan menghunjamkan luka yang tak terperikan sakit dan pedihnya dalam kalbu seorang yang bertauhid. Ini bukanlah satu-satunya kejadian yang ada di sana.
Syiah Melegalkan Prostitusi terhadap Anak
Salah satu syariat yang menunjukkan rusaknya agama Syiah adalah nikah mut’ah. Nikah yang telah diharamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini pun dianggap sebagai bagian dari agama mereka. Bahkan, mereka hiasi dengan sederet janji palsu bagi pelakunya.
Kenyataan ini semakin menyesakkan dada orang yang mengetahui kebenaran, manakala melihat pelaksanaan mut’ah tak hanya pada wanita dewasa. Anak-anak balita, bahkan bayi yang masih menyusu pun menjadi incaran pelampiasan syahwat mereka.
Sayyid Husain al-Musawi, seorang ulama Syiah yang akhirnya kembali kepada kebenaran, adalah satu di antara murid dan orang terdekat pemimpin besar Syiah pada masanya, Khomeini. Dia menuturkan apa yang pernah terjadi pada pemimpin besar Syiah ini dalam perjalanan pulang dari salah satu lawatannya.
Ketika tiba di Baghdad, mereka melepas lelah di rumah Sayyid Shahib, seorang lelaki asal Iran, yang berada di kawasan al-’Athifiyah. Mereka disambut hangat oleh tuan rumah yang memang kenal dekat dengan Khomeini. Singkat cerita, dituturkan oleh al-Musawi berikut ini.
Menjelang waktu tidur, saat semua hadirin meninggalkan tempat kecuali sang tuan rumah, Imam Khomeini melihat gadis kecil berusia empat atau lima tahun yang sangat cantik. Imam meminta kepada ayahnya, Sayyid Shahib, untuk mut’ah dengan gadis kecil itu. Ayahnya pun menyetujui dengan amat gembira.
Imam Khomeini bermalam dan gadis kecil itu berada dalam dekapannya. Sementara itu, kami mendengar suara tangisan dan teriakannya! Yang jelas, imam telah melalui malam itu.
Ketika pagi tiba, kami duduk sarapan pagi bersama. Imam memandangku dan melihat tanda ketidaksenangan tampak jelas di wajahku. Bagaimana dia bisa melakukan mut’ah dengan seorang anak kecil, sedangkan di rumah itu banyak wanita muda yang baligh, berakal, yang memungkinkan bagi Khomeini melakukan mut’ah dengan salah seorang dari mereka? Mengapa dia tidak berbuat demikian?
Dia pun bertanya, “Sayyid Husain, apa pendapatmu tentang mut’ah dengan anak kecil?”
Aku menjawab, “Kata pemutus adalah ucapan Anda, kebenaran adalah perbuatan Anda, dan Anda adalah imam mujtahid. Orang seperti saya tidak mungkin berpandangan dan berpendapat kecuali sebagaimana pandangan dan pendapat Anda.”
Amat tidak memungkinkan bagiku untuk membantahnya saat itu.
Dia lalu mengatakan, “Sayyid Husain, sesungguhnya dibolehkan mut’ah dengan anak kecil, tetapi hanya dengan cumbuan, ciuman, dan tafkhidz (menghimpitkan kemaluan di antara dua paha, –pent). Adapun jima’, dia belum mampu melakukannya.”
Imam Khomeini juga membolehkan mut’ah dengan bayi perempuan yang masih menyusu. Dia mengatakan, “Tidak mengapa mut’ah dengan bayi yang masih menyusu, dengan pelukan, tafkhidz, dan ciuman.” Lihat kitabnya Tahrirul Wasilah 2/241, masalah no. 12. (Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 36—37)
Syiah Membenarkan Hubungan sejenis
Satu lagi yang menunjukkan tindakan amoral Syiah kepada anak-anak. Dituturkan oleh al-Musawi, ulama Syiah tidak hanya membolehkan menggauli
istri melalui duburnya, bahkan membolehkan liwath (hubungan seks sejenis) dengan laki-laki atau anak lelaki yang masih belia. Pembolehan itu didukung dengan riwayat palsu yang mereka sandarkan kepada imam mereka, Abu Abdillah Ja’far ash-Shadiq.
Dalam kitabnya ini, al-Musawi juga menuturkan kejadian-kejadian liwath yang dilakukan oleh para sayyid kepada anak-anak lelaki yang masih belia. (Lillahi tsumma lit Tarikh, hlm. 52—55)
Apakah masih ada orang yang sehat akalnya dan bersih jiwanya merasa aman dan yakin dengan agama palsu ini? Nas’alullaha as-salamah!
Syiah Membantai Anak-anak Kaum Muslimin
Apabila kaum muslimin hidup di negeri yang dikuasai oleh orang-orang Syiah, mereka hidup dalam keadaan dinistakan, dianiaya, bahkan dibunuh dengan berbagai cara yang sungguh jauh dari kata beradab. Sebutlah negeri-negeri seperti Iran, Lebanon, dan Suriah. Peperangan dilancarkan oleh penguasa Syiah beserta kaki-tangannya untuk menindas kaum muslimin, tanpa pandang bulu. Tak memandang usia, wanita, anak-anak dan lanjut usia, semua dibinasakan tanpa sedikit pun belas kasihan.
Sudah terlalu banyak bukti terpampang di berbagai media. Keterangan saksi mata, foto dan video sudah banyak tersebar berbicara kepada dunia, mengungkap tindakan sadis dan bengis mereka terhadap anak-anak. Padahal mereka bukanlah orang yang dibolehkan dibunuh dalam peperangan.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
“Didapati seorang wanita terbunuh di salah satu peperangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah pun melarang membunuh wanita dan anak-anak.” (HR. al-Bukhari no. 3015)
Memang, Syiah bukan Islam. Mereka sangat membenci Islam dan kaum muslimin. Karena itu, mereka tumpahkan kebencian itu dalam tindakan-tindakan yang sesuai dengan ajaran agama mereka, yang tentu saja jauh dari kata beradab sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.
Masihkah kita akan percaya dengan agama amoral seperti ini?
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran