Asysyariah
Asysyariah

nabi yusuf dan istri pembesar bagian 2 (sebuah renungan)

13 tahun yang lalu
baca 12 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

Dunia adalah tempat ujian dan cobaan
Sesungguhnya dunia adalah negeri tempat berbagai macam ujian dan cobaan serta amalan. Di dunia ini kita mengalami berbagai musibah, penyakit, dan semua yang mengeruhkan pikiran kita. Semua itu sesuai dengan takdir Allah Yang Maha Hakim (Menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya) lagi Maha mengetahui. Musibah dan kesulitan-kesulitan tersebut umumnya disebabkan oleh dosa yang kita lakukan. Sehingga berbagai petaka dan musibah itu mungkin berfungsi sebagai penghapus dosa dan kesalahan seorang manusia, atau mengangkat derajat dan kedudukannya di sisi Rabb semesta alam, sebagaimana ujian dan musibah yang dialami oleh para Nabi Allah l.
Rasulullah n bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ بَلاَءً ْالأَنْبِيَاءُ ثُمَّ ْالأَمْثَلُ فَْالأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ، وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Manusia yang paling berat cobaannya adalah para Nabi, kemudian yang semisal mereka, kemudian yang semisal mereka. Seseorang itu diuji sesuai dengan kadar agamanya. Maka apabila dia teguh dan kokoh dalam agamanya, semakin keras pula ujian yang diterimanya. Kalau dalam agamanya ada kelembekan, maka dia diuji sesuai dengan kadar agamanya. Dan senantiasa seseorang menerima ujian, hingga dia dibiarkan berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak menanggung dosa.”
Rasulullah n juga bersabda:
إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ
“Sesungguhnya besarnya balasan seiring dengan besarnya ujian. Dan sesungguhnya Allah, jika Dia mencintai suatu kaum, niscaya Dia uji mereka. Sehingga siapa yang ridha (menerima ujian itu) maka dia akan memperoleh keridhaan dan siapa yang marah (tidak rela menerima ujian itu) maka dia tentu menerima kemarahan.”
Adapun fitnah atau ujian paling membahayakan seorang laki-laki adalah fitnah wanita. Rasulullah n bersabda:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan sepeninggalku satu fitnah yang lebih membahayakan terhadap kaum laki-laki daripada (fitnah) wanita.”
Hal ini adalah karena manusia itu sebagaimana dinyatakan oleh Allah l dalam firman-Nya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang.” (Ali ‘Imran: 14)
Semua ini merupakan hal-hal yang jika manusia memandangnya begitu indah dalam kehidupan dunia mereka. Bahkan menjadi salah satu sebab ujian bagi mereka. Namun yang paling beratnya adalah fitnah wanita. Sedangkan berita dari Nabi n tentang kenyataan ini adalah agar waspada terhadap fitnah wanita.
Melalui hadits ini pula kita dapatkan faedah adanya upaya menutup segala pintu yang membawa kepada fitnah wanita. Sebab itu pula wajib bagi kaum wanita untuk berhijab, tidak menampakkan perhiasannya di hadapan pria yang bukan mahram atau suaminya. Wajib pula kaum wanita menjauhkan dirinya dari tempat-tempat yang penuh dengan ikhtilat (campur baur) antara laki-laki dan perempuan. Dan demi menjaga hal ini pula Rasulullah n mengingatkan:
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan paling jeleknya adalah yang paling belakang. Sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang, dan yang paling jeleknya adalah yang paling depan.”
Semua itu adalah agar menjauhkan wanita dari barisan laki-laki. Bahkan dalam sebagian riwayat, disebutkan bahwa Nabi n sengaja duduk beberapa saat, tidak berbalik menghadapi para sahabatnya seusai shalat agar memberi kesempatan kaum wanita keluar lebih dahulu, tidak berebut pintu dengan kaum laki-laki.

Menundukkan pandangan
Untuk menjaga dan menutup semua jalan yang dapat membawa seseorang kepada perbuatan keji inilah, adanya perintah kepada orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan agar menundukkan pandangannya.
Allah l berfirman:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, serta janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya..” (An-Nur: 30-31)
Ibnul Qayyim t menerangkan bahwa dalam ghadhdhul bashar (menundukkan pandangan) ini terdapat sejumlah faedah:1
Faedah pertama, menahan pandangan akan melepaskan jiwa dari pedihnya kekecewaan/penyesalan. Karena orang yang mengumbar pandangan matanya, semakin panjang kekecewaannya. Dia melihat sesuatu yang memperbesar keinginannya tetapi dia tidak mampu bersabar menahannya, namun juga tidak mampu meraih seluruhnya. Itulah penderitaan. Sebagaimana dikatakan:
وَكُنْتَ مَتَى أَرْسَلْتَ طَرْفَكَ رَائِدًا
لِقَلْبِكَ يَوْمًا أَتْعَبَتْكَ الْمَنَاظِرُ
رَأَيْتَ الَّذِي لاَ كُلَّهُ أَنْتَ قَادِرٌ
عَلَيْهِ وَلاَ عَن بَعْضِهِ أَنْتَ صَابِرُ
Jika engkau lepaskan pandanganmu sebagai duta
Bagi hatimu, niscaya kelak pemandangan itu akan memayahkanmu
Kau lihat apa yang tidak semuanya dapat kau raih
Tidak pula terhadap sebagiannya kau dapat bersabar
Pandangan itu menembus ke dalam jantung seperti panah menembus. Kalau panah itu tidak membunuhmu, maka dia pasti melukai. Seperti api yang dilemparkan ke rerumputan kering, kalau tidak melalap habis seluruhnya, dia tentu membakar sebagiannya. Benarlah ungkapannya:
كُلُّ الْحَوَادِثِ مَبْدَاهَا مِنَ النَّظَرِ
وَمَعْظَمُ النَّارِ مِن مُسْتَصْغَرِ الشَّرَرِ
كَمْ نَظْرَةً بَلَغَتْ فِى قَلْبِ صَاحِبِهَا
كَمَبْلَغِ السَّهْمِ بَيْنَ الْقَوْسِ وَالْوَتَرِ
Semua kejadian awalnya dari pandangan
Api yang besar asalnya adalah percikan yang kecil
Betapa banyak pandangan yang melukai hati pemiliknya
Bagai serbuan panah di antara busur dan senarnya
Faedah kedua, menahan pandangan mewariskan cahaya dalam hati, kecemerlangan yang nampak pada mata dan wajah serta anggota tubuh. Sebagaimana halnya melepaskan pandangan mata menyebabkan kegelapan yang terlihat pada wajah dan anggota tubuh pelakunya. Sebab itulah –wallahu a’lam– Allah l menyebutkan ayat surat An-Nur:
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi,” sesudah firman-Nya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.”
Faedah ketiga, menahan pandangan mewariskan firasat yang sehat. Karena firasat yang benar merupakan bagian dari cahaya sekaligus buahnya. Apabila hati itu bersinar terang, niscaya firasat itu benar, karena hati bagai cermin yang bening, menampakkan semua obyek yang diketahui sebagaimana adanya. Sedangkan lepasnya pandangan, seperti embusan nafas di kaca tersebut. Sehingga jika seseorang melepaskan pandangannya, maka nafasnya naik menyelimuti cermin hatinya sehingga memudarkan cahaya hati tersebut.
Syuja’ Al-Karmani mengatakan: “Siapa yang memenuhi lahiriahnya dengan mengikuti sunnah, mengisi batinnya dengan senantiasa muraqabah dan menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, menahan nafsunya dari syahwat, serta memakan yang halal, niscaya firasatnya tidak akan meleset.” Dan firasat Syuja’ t tidak pernah meleset.
Allah l memberi balasan kepada hamba-Nya sesuai dengan jenis amalannya. Sehingga, siapa yang menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, tentu Allah l gantikan untuknya berupa tajamnya cahaya bashirah (mata hatinya). Maka ketika dia menahan pandangannya karena Allah l, maka Allah l lepaskan cahaya bashirahnya. Sebaliknya, siapa yang melepaskan pandangannya kepada yang diharamkan, niscaya Allah l tahan bashirahnya.
Faedah keempat, menahan pandangan membukakan untuknya jalan-jalan dan pintu-pintu ilmu, memudahkan baginya segala sebab meraih ilmu tersebut. Hal itu karena adanya cahaya hati. Sehingga, jika hati itu bercahaya, tampaklah semua hakikat ma’lumat (yang diketahui), tersingkaplah semua hakikat itu dengan segera baginya dan menembus kepada yang lainnya. Sebaliknya, siapa yang melepaskan pandangannya, niscaya perbuatan itu mengeruhkan hatinya, menggelapinya serta menghalanginya dari pintu dan jalan-jalan ilmu.
Faedah kelima, menahan pandangan menyebabkan kekuatan, keteguhan, dan keberanian hati hingga memberinya kekuasaan bashirah kepadanya disertai kekuatan hujjah. Dalam sebuah atsar disebutkan: “Sesungguhnya orang yang menyelisihi hawa nafsunya, setan pun akan takut kepada bayangan orang tersebut.”
Sebab itulah didapati pada mereka yang menuruti hawa nafsunya, kehinaan dan kelemahan hati serta kerendahan jiwa, yang memang Allah l berikan kepada mereka yang lebih mementingkan hawa nafsunya daripada keridhaan-Nya.
Al-Hasan (Al-Bashri t) pernah mengatakan: “Sesungguhnya mereka, meski (suara derap) bighal (peranakan kuda dan keledai, red.) berjalan mengiringi mereka dan keledai-keledai berbaris di belakang mereka, kehinaan maksiat ada dalam hati mereka. Allah l tidak suka kecuali menghinakan orang-orang yang mendurhakai-Nya.”
Faedah keenam, menahan pandangan menyebabkan kegembiraan, kebahagiaan, dan kelapangan hati yang lebih hebat daripada kelezatan, kesenangan yang diperoleh karena memandang (sesuatu yang diharamkan). Tidak diragukan lagi, bahwa jiwa kita, bila dia menyelisihi hawanya, niscaya menimbulkan kebahagiaan dan kegembiraan serta kelezatan yang lebih sempurna daripada kelezatan karena menuruti hawa dalam hal-hal yang tidak ada kecocokan di antara keduanya. Di sinilah letak keistimewaan akal daripada hawa nafsu.
Faedah ketujuh, menahan pandangan akan melepaskan hati dari tawanan syahwat. Karena yang dikatakan tawanan adalah orang yang ditawan oleh syahwat dan hawa nafsunya. Seperti burung pipit di tangan seorang balita yang mempermainkan si pipit kecil itu tanpa daya untuk terbang.
Faedah kedelapan, menahan pandangan akan menutup pintu jahannam darinya.
Faedah kesembilan, menahan pandangan akan memperkuat akal, menambah dan meneguhkannya. Sedangkan kebiasaan mengumbar pandangan tidak terjadi melainkan karena kurangnya akal dan tidak memiliki perhatian terhadap akibat yang terjadi.
Faedah kesepuluh, menahan pandangan akan membersihkan hati dari mabuk syahwat dan lelapnya kelalaian. Karena mengumbar pandangan menyebabkan kuatnya kelalaian dari Allah l dan negeri akhirat bahkan menjerumuskan pelakunya ke dalam perasaan dimabuk asmara. Sebagaimana Allah l berfirman tentang orang-orang yang dimabuk cinta terhadap wajah yang rupawan:
“(Allah berfirman): ‘Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)’.” (Al-Hijr: 72)
Karena itu, mengumbar pandangan bagai secangkir arak (tuak, minuman keras) dan ‘isyq adalah rasa mabuk akibat minuman tersebut. Sementara, mabuk karena ‘isyq lebih hebat daripada mabuk karena khamr. Sebab, orang mabuk karena minuman keras mungkin akan sadar, tetapi mabuk karena ‘isyq amat jarang menjadi sadar kecuali ketika dia di ambang kematian.

Kisah ‘Atha’ bin Yasar t
Pernah pula di kalangan tabi’in yang mengalami ujian seperti ini. ‘Atha’ bin Yasar, saudara Sulaiman bin Yasar. Dalam riwayat hidup beliau, diceritakan:
Suatu hari dia berangkat dari Madinah bersama saudaranya Sulaiman dan beberapa sahabat mereka. Kemudian mereka singgah di Abwa’ dan membuat kemah. Di daerah itu ada seorang wanita badui yang cantik jelita yang ingin menimbulkan fitnah pada ‘Atha’ bin Yasar. Maka masuklah wanita itu ke dalam tenda di saat ‘Atha’ tinggal sendirian. Ketika itu beliau sedang shalat, maka beliau pun mempercepatnya karena mengira wanita itu sedang dalam keperluan.
Setelah itu beliau bertanya kepada wanita itu: “Engkau ada keperluan?”
“Ya,” kata wanita itu.
“Apa itu?”tanya ‘Atha’.
“Bangun dan gauli saya. Saya tidak bersuami,” jawab wanita itu.
“Pergilah dari sini. Jangan kau bakar aku dan dirimu dengan api neraka,” kata ‘Atha’. Lalu mulailah beliau menangis sampai tersedu-sedu.
Melihat ‘Atha’ menangis, wanita itu tersentuh, lalu ikut pula menangis mendengar nasihat yang diucapkan ‘Atha’ tadi. Akhirnya wanita itu pun duduk menangis. Dua orang laki-laki dan perempuan itu menangis hebat. Kemudian datanglah Sulaiman bin Yasar dan melihat dua orang ini sedang menangis. Dia tidak tahu apa yang tadi terjadi. Tapi jiwanya ikut terdorong untuk menangis menyaksikan keadaan mereka berdua. Tak lama datang pula sahabat mereka lalu masuk ke dalam tenda. Mereka melihat ada seorang wanita menangis bersama ‘Atha’ dan Sulaiman yang juga menangis. Mereka pun terpengaruh, lalu ikut menangis tanpa tahu ada kejadian apa sebelum ini.
Akhirnya, semua terduduk sambil menangis tersedu-sedu. Setelah tenang, wanita itu bangkit dan pergi. Kemudian yang lain pun berdiri dan beranjak dari tempat itu. Semuanya pergi ke tempat tidurnya. Sementara Sulaiman merasa segan bertanya kepada saudaranya ada yang terjadi?
Hari-hari berlalu. Suatu ketika mereka safar ke Mesir.
Pada malam harinya, di sebuah kamar, ‘Atha’ terbangun sambil menangis. Mendengar isak tangis saudaranya, Sulaiman tergugah dari tidurnya. Beliau bertanya kepada ‘Atha’: “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai saudaraku?
Tangis ‘Atha’ semakin keras. Sulaiman kembali bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai saudaraku?”
“Mimpi yang baru saja kulihat malam ini,” kata ‘Atha’.
“Mimpi apa?” tanya Sulaiman. Lalu beliau terus mendesak agar ‘Atha’ menceritakannya. Maka ‘Atha’ meminta kesepakatan dan janji saudaranya untuk tidak menceritakannya selama dia masih hidup.
Kata ‘Atha’: “Aku melihat Nabi Yusuf q dalam mimpiku. Mulailah aku memandang beliau. Ketika aku melihat eloknya rupa beliau, aku menangis –dalam mimpi–. Beliau pun memandangku dan berkata: ‘Apa yang menyebabkan engkau menangis, wahai fulan?’
Aku berkata: ‘Demi bapak dan ibuku tebusanmu, wahai Nabi Allah. Aku teringat engkau dan istri pembesar itu serta ujian yang engkau alami dengannya. Penjara yang engkau rasakan, perpisahanmu dengan Nabi Ya’qub q, maka aku pun menangis karenanya’.”
Aku merasa takjub kepada beliau.
Beliau pun berkata: ‘Akulah yang mestinya takjub dengan lawan wanita badui di Abwa’ itu?’ Aku tahu apa yang beliau maksud, maka aku pun menangis dan terbangun sambil terus menangis. Kemudian ‘Atha’ t menceritakan pula kisahnya dengan wanita badui di Abwa.
Kisah ini disimpan oleh Sulaiman bin Yasar sampai ‘Atha’ meninggal dunia. Setelah ‘Atha’ meninggal dunia, dia pun menceritakan kisah ini hingga menjadi terkenal di Madinah.
Sulaiman bin Yasar sendiri adalah seorang yang gagah dan rupawan. Suatu hari, seorang wanita masuk ke dalam rumahnya dan merayunya agar menggauli dirinya. Tapi Sulaiman menolak. Wanita itu berkata kepadanya: “Kalau begitu aku akan mempermalukanmu.”
Akhirnya, Sulaiman melarikan diri keluar dari rumahnya, dia biarkan rumah itu untuk si wanita.

Kisah Abu Bakr Al-Miski t
Lain lagi dengan Abu Bakr Al-Miski.
Dia digelari Al-Miski (berbau misik/minyak wangi) karena sebuah kejadian. Ada seorang wanita meminta agar Abu Bakr masuk ke dalam rumahnya. Abu Bakr adalah seorang pedagang. Maka beliau pun masuk. Ternyata wanita itu menginginkan perbuatan yang haram. Untuk itu, dia (wanita tersebut) tutup pintu rumahnya. Lalu apa yang dilakukan Abu Bakr?
Dia bekata: “Saya ingin ke kamar kecil.” Kemudian di dalam kamar mandi (WC) dia melaburi tubuhnya dengan kotoran dan keluar dari kamar mandi. Wanita itu menjauh darinya lalu membuka pintu rumahnya, akhirnya Abu Bakr pun keluar meninggalkan wanita itu. Sejak saat itulah tubuhnya berbau misik (meskipun tidak menggunakan minyak wangi). Wallahu a’lam.

Yang terakhir, jatuh cinta karena semata rupa yang elok termasuk hal-hal yang disebabkan oleh unsur kesyirikan. Semakin jauh seseorang dari keikhlasan, semakin dekat kepada kesyirikan, maka cintanya kepada rupa yang elok semakin kuat. Semakin kuat tauhid dan keikhlasan seseorang semakin jauh dia dari godaan rupa yang elok. Kenyataan inilah yang menjerumuskan istri pembesar kepada apa yang diceritakan Allah l, yaitu syirik yang ada padanya. Sedangkan Nabi Yusuf q selamat dari perbuatan tersebut karena keikhlasannya. Allah l berfirman:

“Demikianlah, agar Kami memalingkan darinya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (Yusuf: 24)
Kata السُّوءَ (kemungkaran) di sini bermakna al-’isyq (cinta) sedangkan الْفَحْشَاءَ (kekejian) adalah perbuatan zina. Orang yang mukhlash ialah orang yang memurnikan cintanya karena Allah l, sehingga Allah l pun membersihkannya dari fitnah ‘isyq terhadap rupa. Dan orang yang musyrik, hatinya terpaut kepada sesuatu selain Allah l, tidak membersihkan tauhid dan cintanya karena Allah k. Wallahul Muwaffiq.


1 Raudhatul Muhibbin hal. 97 dengan ringkas.