Asysyariah
Asysyariah

nabi musa di negri madyan

13 tahun yang lalu
baca 8 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

 

Pelajaran dari kisah ini
Di dalam kisah ini, tampak jelas dalil yang melarang ikhtilath (berbaur) antara laki-laki dan wanita. Ketika Nabi Musa q menjumpai sekelompok orang yang sedang memberi minum ternak mereka, beliau melihat jauh di belakang mereka, dua orang wanita sedang menahan kambing-kambing mereka dari tempat minum tersebut.
Keduanya tidak mampu memberi minum ternak mereka bersama orang laki-laki. Nabi Musa q tidak rela melihat keadaan tersebut dan merasa heran melihat ada dua wanita yang tidak didampingi mahramnya, berada di luar rumah mereka. Kemudian, beliau bertanya kepada keduanya: “Apa maksud kalian berdua?”
Keduanya mengajukan uzur, mengapa mereka keluar dari rumah mereka. Keduanya memberikan jawaban sangat ringkas, sesuai kebutuhan, sebagaimana firman Allah l:
“Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.”1
Perhatikanlah dialog di antara mereka. Pertanyaan seperlunya sesuai kebutuhan, begitu pula jawaban, seperlunya sesuai kebutuhan. Tanpa bumbu atau tambahan lainnya.
Seperti itu pula adab yang diajarkan Allah l kepada manusia-manusia pilihan-Nya. Allah l mendidik orang-orang yang dipilih-Nya untuk mendampingi kekasih-Nya Muhammad n agar senantiasa berada dalam kesucian hati yang prima.
Itulah bimbingan yang diberikan Allah l untuk para istri kekasih-Nya n, bagaimana berbicara kepada laki-laki yang bukan mahram mereka:
“Wahai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Firman Allah l:
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir.” (Al-Ahzab: 53)
Allah l berfirman:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias serta bertingkah-laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Itulah hukum asal yang diberlakukan oleh Allah l Yang Maha Mengetahui kemaslahatan makhluk ciptaan-Nya. Allah  l yang Mahabijaksana menetapkan syariat yang bermanfaat bagi mereka, kapan dan di mana saja. Hukum asal, bahwasanya keberadaan kaum perempuan yang paling utama adalah di dalam rumah-rumah mereka.
Kalau bukan karena kebutuhan yang mendesak, tidak mungkin dua wanita utama putri orang tua yang shalih ini keluar dari rumah mereka. Wallahul musta’an.
Alangkah jauhnya pekerti ini dari sebagian muslimah dewasa ini. Mereka merasa bangga ketika berhasil menempati berbagai kedudukan di kantor-kantor, perusahaan-perusahaan, atau kegiatan sosial masyarakat, berbaur dengan kaum pria, sedangkan tugas-tugas sebagai seorang ibu atau istri di dalam rumah, hanya sambil lalu.
Pembaca, ada sebuah pedoman (kaidah) yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim rahimahumallah dalam beberapa tempat di kitab-kitab mereka. Bahwa apapun dalil ‘aqli atau dalil syar’i yang dijadikan dasar oleh orang-orang yang sesat untuk mendukung kebatilannya, dalil-dalil itu justru menerangkan lawan dari kebatilan mereka (membantah kesesatan mereka, ed.).
Pernyataan beliau berdua rahimahumallah, dapat kita buktikan dalam setiap permasalahan agama baik ushul maupun furu’. Salah satunya adalah permasalahan ikhtilath ini.
Sebagian orang yang menginginkan tersebarnya kerusakan di tengah-tengah kaum muslimin, berdalil tentang bolehnya ikhtilath dengan sejumlah dalil. Antara lain:
a. Kisah Nabi Musa q ketika tiba di sumber air negeri Madyan dan berbicara dengan dua orang wanita.
b. Kisah para sahabat wanita yang menyertai Nabi n di masjid, dua shalat ied, dan sejumlah peperangan.
Seandainya kita mau memerhatikan dua dalil mereka ini, maka keduanya justru merupakan bantahan terhadap mereka.
Dalam kesempatan ini kita akan melihat dalil yang pertama, yaitu kisah Nabi Musa q di Madyan, yang menunjukkan sanggahan terhadap kekeliruan mereka dari beberapa sisi.
Yang pertama, firman Allah l:
“Dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya).”
Dengan tegas dalam ayat ini Allah l menerangkan bahwa kedua wanita tersebut tidak ikhtilath dengan kaum laki-laki yang sedang memberi minum ternak mereka.
Kata tadzuudaan artinya sama dengan tathrudaan (mengusir, menjauhkan). Artinya, mereka berdua menjauhkan kambing-kambing mereka dari tempat para penggembala, sehingga mereka tidak berdesakan dan bercampur-baur dengan kaum laki-laki. Ternak mereka juga tidak bercampur dengan ternak para penggembala.
Yang kedua, firman Allah l:
“Apakah maksud kalian berdua (dengan berbuat begitu)?”
Ayat ini menceritakan rasa heran Nabi Musa q akan keberadaan mereka. Seandainya keberadaan wanita bersama laki-laki dalam kondisi seperti itu adalah biasa, tentulah beliau tidak mempertanyakannya. Ini terjadi sebelum beliau menjadi nabi.
Artinya, keadaan wanita tidak bercampur-baur dengan kaum pria, sudah merupakan fitrah manusia. Bahkan merupakan syariat umat sebelum kita.
Yang ketiga, firman Allah l:
Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya).”
Jawaban ini menunjukkan bahwa mereka berdua tidak ikhtilath dengan para penggembala tersebut.
Artinya, mereka berdua menerangkan keadaan mereka sebagai wanita yang memerhatikan hijab mereka. Mereka tidak sanggup untuk bergabung dengan kaum pria dan merasa malu bercampur-baur dengan kaum pria. Karena itu, mau tidak mau, mereka harus menunggu para penggembala itu pulang membawa ternak mereka.
Yang keempat, firman Allah l:
“Sedangkan ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.”
Dalam ayat ini, keduanya menerangkan uzur mengapa mereka keluar mencari minum untuk ternak mereka. Karena pada dasarnya, yang keluar adalah kaum laki-laki.
Artinya, keadaan daruratlah yang mendorong mereka untuk keluar dari tempat yang seharusnya, yaitu rumah mereka.
Yang kelima, firman Allah l:
“Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya.”
Ayat ini menerangkan bahwa laki-lakilah yang bertugas memberi minum, sedangkan wanita menunggu sampai para penggembala itu memulangkan ternak mereka.
Yang keenam, firman Allah l:
“Kemudian dia kembali ke tempat yang teduh.”
Ini menerangkan bahwa beliau tidak menemani mereka berdua dan tidak berbicara dengan mereka tanpa keperluan.
Yang ketujuh, firman Allah l:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu.”
Tidak keluar selain hanya satu orang wanita, karena tugas ini cukup dilakukan satu orang. Kecuali memberi minum gembalaan.
Yang kedelapan, firman Allah l:
“Wanita itu berjalan dengan malu-malu.”
Menurut ‘Umar z, sebagaimana riwayat Ibnu Abi Hatim, dengan sanad yang shahih: “Wanita itu datang memanggil dengan malu-malu, sambil menutupi wajahnya dengan kainnya. Bukan wanita ‘berani’, yang suka keluar masuk (menemui laki-laki).”
Yang kesembilan, firman Allah l:
“Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya)….”
Ketika yang diajak bicara adalah seorang laki-laki, beliau menceritakan kisahnya. Tetapi, ketika yang diajak bicara adalah wanita, beliau pergi berteduh ke bawah sebatang pohon.
Yang kesepuluh, firman Allah l:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),” adalah permintaan mereka agar tidak terpaksa lagi keluar rumah untuk memberi minum.
Yang kesebelas, firman Allah l:
“Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung ia berkata kepada keluarganya: ‘Tunggulah (di sini)…’.” (Al-Qashash: 29)
Ini adalah dalil bahwa hukum asal wanita itu tetap di rumah, tidak ikhtilath (berbaur) dengan kaum pria.
Dari kisah ini, kita dapat memetik banyak faedah lain. Di antaranya adalah sebuah kaidah syar’i bahwa syariat orang-orang sebelum kita menjadi bagian syariat kita juga, selama syariat kita tidak menyelisihinya.
Melalui kisah dan kaidah ini, jelaslah bahwa wanita itu tidak bercampur-baur dengan kaum pria. Tidaklah mereka keluar melainkan karena keadaan yang sangat darurat, baik untuk menunaikan hajat atau menggembala kambing. Sebab, kaum pria wajib bertanggung jawab tentang urusan kaum wanita dan kebutuhan mereka.
Kemudian, setelah selesai menunaikan hajatnya karena alasan darurat, hendaknya dia dalam posisi terpisah, jauh dari kaum laki-laki agar tidak ikhtilath dengan mereka.
Itulah kemuliaan yang harus ditempuh oleh seorang wanita sehingga tidak menimbulkan gejolak fitnah di dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebab itulah, Allah l berfirman:
“Di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya).”
Artinya, jauh dari kaum laki-laki.
Itulah syariat Allah k yang diberlakukan pada syariat kita dan syariat para nabi sebelumnya. Syariat yang ditetapkan Dzat yang Maha Mengetahui kebutuhan dan keadaan makhluk ciptaan-Nya.
Allah l berfirman:
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)
Pertanyaan dalam ayat ini mengandung makna pengingkaran, yang artinya memang tidak ada satu pun yang lebih baik hukumnya daripada Allah l.
Allah Maha Mengetahui keadaan dan perkembangan makhluk ciptaan-Nya. Dia Mahabijaksana dalam menetapkan syariat bagi makhluk ciptaan-Nya. Tidak mungkin merugikan dan menzalimi makhluk ciptaan-Nya, kapan pun dan di mana pun.
Akan tetapi sebagaimana Allah l sebutkan pada akhir ayat tersebut, bahwasanya yang memahami kenyataan ini tidak lain hanyalah mereka yang yakin kepada Allah l dan syariat-Nya.
Penutup
Setelah menyempurnakan waktu yang disepakati sebagai mahar pernikahannya, Nabi Musa q bersiap kembali membawa keluarganya menuju tanah kelahirannya, Mesir.
Mulailah babak baru dalam kehidupan beliau sebagai pengemban risalah.2
Wallahul muwaffiq.


1 Para ulama berselisih pendapat tentang siapa orang tua yang shalih tersebut. Ibnu Katsir t merajihkan bahwa dia bukan Nabi Syu’aib q. Alasan beliau antara lain ialah, seandainya memang Nabi Syu’aib, tentulah akan disebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an. Tidak pula ada hadits shahih yang menyebutkan secara tegas tentang nama orang tua yang shalih ini. Wallahu a’lam.
2 Kisah selanjutnya, dapat dilihat pada edisi-edisi sebelumnya.