Asysyariah
Asysyariah

musik dan ritual ibadah

13 tahun yang lalu
baca 15 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’bin Sulaimi)

 

Musik adalah salah satu warna kehidupan di masa sekarang yang demikian kontras dengan masa sahabat dan ulama-ulama setelahnya. Jika dahulu generasi salaf demikian keras membenci musik berikut alat pendukungnya. Kini, musik justru dihalalkan, menjadi sumber nafkah, bahkan dijadikan sarana ibadah dan dakwah.

 

Fenomena Musik Di Tengah Kehidupan Umat

Musik, di mata kebanyakan orang “hanyalah” bagian dari seni dan budaya. Namun demikian berbagai alat musik dan perangkat pendukungnya telah sedemikian menjamur. Beragam tempat keramaian hampir tak pernah hampa dari musik. Televisi dan radio pun menjadi alat pemasar yang sangat efektif. Alhasil, musik semakin lekat dengan kehidupan umat. Seakan ia suatu kebutuhan primer yang mengiringi segala aktivitas kehidupan mereka. Hampir tak ada satu acara, baik besar maupun kecil kecuali diramaikannya. Festival, even olahraga, resepsi pernikahan, dan beragam acara lainnya di tengah umat, tak ada yang nihil darinya. Mulai dari dangdut, campursari, gending jawa, keroncong, pop, jazz, blues, rock, reggae, hip hop, R&B, rap, klasik, techno, house, country, black metal, hingga yang beraroma “padang pasir” seperti nasyid dan kasidah, saling berebut “pangsa pasar” yang tak lain adalah kaum muslimin.

Di banyak tempat, termasuk fasilitas-fasilitas umum, musik malah menjadi konsumsi “wajib”. Tempat ‘cangkruknya’ kawula muda, sarana transportasi darat, laut maupun udara, dan fasilitas umum lainnya pun tak sepi darinya. Tak heran, bila kemudian istilah full musik mempunyai nilai jual tersendiri. Bahkan tempat-tempat yang senyatanya diidentikkan dengan ibadah dan ketaatan pun dirambahnya. Masjid, pondok pesantren, madrasah, dan yang semisalnya acap kali ‘ramai’ dengan lantunan ‘musik Islami’, dalam anggapan mereka. Demikianlah fenomena musik di tengah kehidupan umat. Nada dan iramanya benar-benar telah “membelenggu” kehidupan mereka.

 

Musik Dalam Timbangan Islam

Dalam timbangan Islam, musik merupakan salah satu fitnah yang berbasiskan syahwat. Jatidirinya amat buruk. Peranannya pun amat besar dalam melalaikan umat dari ayat-ayat Allah l. Tak heran, bila Allah l yang Maha Rahman mengingatkan para hamba-Nya dari fitnah musik ini, sebagaimana dalam firman-Nya l:

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)

Menurut sahabat Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud c, ‘Ikrimah, Mujahid, dan Al-Hasan Al-Bashri rahimahumullah, ayat ini turun berkaitan dengan musik dan nyanyian. (Lihat Tahrim Alatith Tharbi, karya Asy-Syaikh Al-Albani hal.142-144)

Dalam Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, Al-Hafizh Ibnu Katsir t juga menegaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan keadaan orang-orang hina yang enggan mengambil manfaat dari (mendengarkan) Al- Qur`an, kemudian berupaya untuk mendengarkan musik dan nyanyian dengan segala irama dan perantinya.

Mungkin di antara kita ada yang mempertanyakan: “Bukankah ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna, nyanyian dan musik untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah l tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah  l sebagai olok-olokan?”

Menanggapi hal ini Al-Imam Ibnu ‘Athiyyah t mengatakan: “Ayat ini berkaitan pula dengan umat Muhammad. Bentuk penyesatannya dari jalan Allah  l tidak dengan kekufuran dan tidak pula dengan menjadikan ayat-ayat Allah l sebagai olok-olokan. Akan tetapi dalam bentuk memalingkan manusia dari ibadah, menghabiskan waktu untuk sesuatu yang dibenci (Allah l), serta menyeret mereka ke dalam barisan pelaku maksiat dan orang-orang yang berjiwa rendah…” (Al-Muharrar Al-Wajiz 13/9, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi, hal. 154)

Demikian halnya dengan Al-Wahidi, sebagaimana dalam pernyataannya: “Ayat ini meliputi siapa saja yang lebih memilih perkataan yang tidak berguna, nyanyian dan musik daripada Al-Qur`an. Karena kata isytira` seringkali bermakna memilih dan mengganti.” (Al-Wasith 3/441, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi hal. 144-145)

Para pembaca, Rasulullah n juga telah memperingatkan umatnya dari fitnah musik. Di antara sabda beliau n itu adalah1:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ، وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ، يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَـهُمْ، يَأْتِيهِمْ -يَعْنِي الْفَقِيرَ– لِـحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَداً، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ، وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Benar-benar akan ada sekelompok orang dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan musik/alat musik. Mereka tinggal di puncak gunung, setiap sore seorang penggembala membawa (memasukkan) hewan ternak mereka ke kandangnya. Ketika datang kepada mereka seorang fakir untuk suatu kebutuhannya, berkatalah mereka kepada si fakir: ‘Besok sajalah kamu kemari!’ Maka di malam harinya Allah l adzab mereka dengan ditumpahkannya gunung tersebut kepada mereka atau digoncang dengan sekuat-kuatnya, sementara yang selamat dari mereka Allah ubah menjadi monyet dan babi hingga hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, no. 5590 dari sahabat Abu Amir (Abu Malik) Al-Asy’ari z)2

Bagaimanakah sikap para sahabat Nabi n dan para ulama yang mengikuti jejak mereka tentang musik? Apakah mereka pernah menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada Allah l?

Dalam Majmu’ Fatawa (11/297-298), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t menegaskan bahwa para sahabat, para tabi’in, dan seluruh pemuka agama ini belum pernah menjadikan musik dengan segala jenisnya sebagai sarana beribadah kepada Allah l, dan tidak pula menganggapnya sebagai taqarrub (pendekatan diri kepada Allah l) dan ketaatan, bahkan mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela.

Sementara dalam Minhajus Sunnah 3/439, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah  t menandaskan bahwa imam yang empat; Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah telah sepakat tentang keharaman musik berikut alatnya.

Lebih spesifik lagi, Al-Imam Ibnul Jauzi t dalam kitabnya Talbis Iblis (hal. 230-231) menyitir sikap para pemuka murid-murid Al-Imam Asy-Syafi’i t dan generasi terdahulu madzhab Syafi’i, bahwa mereka sepakat mengingkari musik dan mendengarkannya. Adapun di kalangan muta’akhkhirin, para pemuka mereka mengingkarinya, di antaranya Al-Imam Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari t. Sedangkan yang membolehkannya, hanyalah orang-orang yang sedikit ilmu lagi dikuasai oleh hawa nafsu.

Para pembaca yang mulia, demikianlah beberapa dalil dan keterangan para ulama seputar haramnya musik dan mendengarkannya. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran.3

 

Ibadah dan Rambu-Rambunya

Ibadah merupakan ritual penting dalam kehidupan seorang hamba. Dengan ibadah, seorang hamba dapat bertaqarrub (mendekatkan dirinya) kepada Allah l. Dengan ibadah pula, seorang hamba menjadi insan bermakna dalam kehidupan ini. Kehidupannya akan senantiasa diberkahi, segala impitan dan kegalauan hidupnya pun akan teratasi dengan berbagai solusi. Allah l berfirman:

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia benar-benar akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Yaitu mereka tetap beribadah hanya kepada-Ku dengan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatupun. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

Ibadah pun mempunyai rambu-rambu. Jika rambu-rambu itu dikesampingkan, maka ibadah tersebut tidaklah bernilai sebagai amalan shalih dan tidak pula diterima di sisi Allah l.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t berkata: “Sebuah ibadah tidak bisa untuk bertaqarrub kepada Allah l, bahkan tidak diterima oleh-Nya kecuali dengan dua syarat:

1. Ikhlas karena Allah l, dengan mempersembahkan ibadah tersebut semata-mata mengharap wajah Allah dan kebahagiaan di negeri akhirat, tanpa ada niatan mengharap pujian dan sanjungan manusia.

2. Mengikuti (tuntunan) Nabi n dalam beribadah, baik dalam hal perkataan maupun perbuatan.” (Al-Manhaj Limuridil ‘Umrah wal Hajj)

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani t berkata: “Sesungguhnya di antara suatu ketentuan di kalangan ulama’ bahwasanya tidak diperbolehkan bertaqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang tidak disyariatkan (pada jenis ibadah tersebut), walaupun sesuatu itu asalnya masyru’ (boleh); seperti adzan untuk dua shalat ied…4” Kemudian beliau mengatakan: “Bila hal ini telah diketahui, maka bertaqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang haram lebih tidak boleh lagi, bahkan hukumnya sangat diharamkan.” (Tahrim Alatith Tharbi hal. 162)

 

Bolehkah Melaksanakan Ibadah Dengan Iringan Musik dan Nasyid/kasidah?

Para pembaca yang mulia, menyoal boleh dan tidaknya ritual ibadah yang diiringi alunan musik, cobalah anda perhatikan dengan cermat rambu-rambu ibadah di atas. Kemudian, lakukan tinjauan ulang tentang hukum musik yang telah lalu. Apa kesimpulannya? Anda dan juga saya akan menyimpulkan bahwa ritual ibadah dengan iringan musik tidaklah diperbolehkan dalam agama Islam, bahkan diharamkan. Mengapa demikian? Tentu karena beberapa hal:

1. Allah l telah memperingatkan para hamba-Nya akan bahaya musik sebagaimana dalam Surat Luqman ayat 6. Tentunya, sesuatu yang diperingatkan Allah l tidaklah bisa menjadi sarana untuk beribadah dan ber-taqarrub kepada-Nya.

2. Rasulullah l tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik. Bahkan dalam banyak sabdanya beliau n memperingatkan umatnya dari fitnah musik tersebut. Demikian pula para sahabat dan para ulama yang mengikuti jejak mereka (termasuk imam yang empat) tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik, tidak pernah menjadikannya sebagai sarana beribadah kepada Allah l, serta tidak pula menganggapnya sebagai taqarrub (pendekatan diri kepada Allah l) dan ketaatan. Bahkan mereka menganggapnya sebagai bid’ah yang tercela, sebagaimana yang ditegaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t dalam Majmu’ Fatawa (11/297-298).

Kalaulah Rasulullah n dan para sahabatnya serta para ulama yang mengikuti jejak mereka (termasuk imam yang empat) tidak pernah melakukan ritual ibadah dengan iringan musik bahkan memperingatkan umat darinya, maka dari sisi manakah diperbolehkan?!

3. Sebagaimana telah lalu pada pembahasan Musik Dalam Timbangan Islam, bahwa hukum musik adalah haram, berdasarkan dalil-dalil Al-Qur`an dan hadits Nabi n serta keterangan para ulama terkemuka. Di sisi lain, para ulama telah menentukan bahwa tidak diperbolehkan ber-taqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang tidak disyariatkan, walaupun sesuatu itu asalnya masyru’ (boleh). Tentunya, akan lebih tidak boleh lagi bahkan sangat diharamkan ber-taqarrub kepada Allah l dengan sesuatu yang haram (seperti halnya musik), sebagaimana keterangan Asy-Syaikh Al-Albani di atas.

4. Jika ditarik ke belakang, mata rantai sejarah menunjukkan bahwa pelaksanaan ritual ibadah dengan iringan musik dan semacamnya ini merupakan kebiasaan orang-orang kafir, termasuk di dalamnya kaum Nasrani. Allah l berfirman:

“(Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” (Al-A’raf: 51)

Demikian pula dengan kaum musyrikin Quraisy. Allah l berfirman:

“Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepuk tangan.” (Al-Anfal: 35)

Sementara Allah l dan Rasul-Nya telah melarang umat Islam dari sikap menyerupai orang-orang kafir dan musyrik (tasyabbuh) dalam segala hal. Atas dasar itulah, maka orang-orang yang beribadah dengan iringan musik dengan berbagai jenisnya itu hakikatnya telah mengikuti cara musuh-musuh Allah l dan Rasul-Nya dalam beribadah. (Lihat Tahrim Alatith Tharbi hal. 163)

Mungkin akan ada yang berkomentar: “Itu kan kalau pelaksanaannya dengan main-main dan senda gurau. Bagaimanakah jika pelaksanaannya dengan penuh kekhusyukan, bahkan yang didendangkan pun sesuatu yang mengajak kepada zuhud dan melembutkan qalbu, seperti nasyid dan kasidah?!”

Wahai saudaraku, sesungguhnya nasyid dan kasidah dengan iringan musiknya yang syahdu telah ada di zaman Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal. Di masa itu, penduduk Iraq lebih mengenalnya dengan sebutan taghbir. Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i t, taghbir merupakan warisan kaum zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen.) dalam rangka memalingkan umat Islam dari Al-Qur`an.

Sedangkan Al-Imam Ahmad bin Hanbal t saat ditanya tentangnya, mengatakan: “Ia adalah muhdats (sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada contoh sebelumnya dari Rasulullah n, pen).” Kemudian saat ditanya: “Apakah boleh duduk-duduk bersama mereka?” Beliau menjawab: “Tidak boleh duduk-duduk bersama mereka.” Beliau juga mengatakan: “Jika engkau bertemu dengan salah seorang dari mereka di satu jalan, maka lewatlah jalan selainnya.” (Lihat Majmu’ Fatawa 11/298, Tahrim Alatith Tharbi hal. 163 dan Mukhalafat Ash-Shufiyyah Lil Imam Asy-Syafi’i hal. 176-177)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t, setelah menyebutkan beberapa jenis musik termasuk di dalamnya taghbir, mengatakan: “Barangsiapa memainkan musik dengan segala jenisnya, dengan keyakinan menjalankan agama dan sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah l, maka tidak diragukan lagi kesesatan dan kebodohannya.” (Majmu’ Fatawa 11/576)

Seperti itu pula fatwa ulama lainnya. Di antaranya Al-Imam Abu Ath-Thayyib Ath-Thabari, Al-Imam Ath-Thurthusyi, Al-Imam Al-Qurthubi, Al-Hafizh Ibnush Shalah, Al-Imam Asy-Syathibi, Al-Imam Ibnul Qayyim, Al-Imam Al-‘Iz bin Abdus Salam, dan Al-Imam Mahmud Al-Alusi. (Lihatlah rincian fatwa mereka dalam kitab Tahrim Alatith Tharbi hal. 168-176)

Mungkin di antara pembaca ada yang menggugat, seraya berkata: “Mengapa taghbir/nasyid/kasidah ini disikapi demikian keras oleh para ulama tersebut? Bukankah Rasulullah n saat tiba di kota Madinah (sebagian menyebutkan saat berhijrah dan sebagian yang lain menyebutkan saat kepulangan beliau n dari perang Tabuk), disambut oleh para sahabatnya dengan rebana dan nasyid Thala’al badru ‘alaina * min tsaniyyatil wada’… ?!”

Mengenai hal ini, anda bisa merujuk kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah karya Asy-Syaikh Al-Albani (seorang pakar hadits abad ini) jilid 2, hal. 63, hadits no. 598. Di sana disebutkan bahwa riwayat tersebut dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan dalil. Karena telah jatuh pada isnadnya tiga orang perawi atau lebih secara berurutan (mu’dhal). Dengan sebab itu pula Al-Hafizh Al-Iraqi melemahkannya dalam takhrijnya terhadap kitab Ihya` ‘Ulumiddin (2/244). Sebagaimana pula beliau mengingkari Al-Ghazali tentang penyebutannya lafadz (بِالدُّفِّ وَالْأَلْحَانِ): Yakni, dengan rebana dan irama/nada. Mengingat, tambahan lafadz tersebut tidak ada asalnya sama sekali dalam riwayat tersebut.

Bisa jadi ada yang berkata: “Meskipun kami mendengarkan musik, nasyid dan kasidah, tapi itu semua tidak memalingkan kami dari Al-Qur`an!”

Saudaraku, perkataan semacam ini sesungguhnya hanya teoritas belaka. Karena Al-Qur`an dan musik (dengan berbagai jenisnya) selamanya tidak akan bisa bersatu pada qalbu seseorang, bahkan keduanya saling bertentangan. Al-Qur`an melarang memperturutkan hawa nafsu dan mengikuti langkah-langkah setan. Sebagaimana pula memerintahkan kepada ‘iffah (menjaga kehormatan), menjauhkan diri dari syahwat dan  sebab-sebab kesesatan. Adapun musik dan yang semisalnya memerintahkan kepada lawan dari semua itu. Demikianlah yang dinyatakan Al-Imam Ibnul Qayyim t dalam Ighatsatul Lahafan (1/248) dan dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Tahrim Alatith Tharbi (hal. 149).

Realita di lapangan pun menunjukkan demikian. Sebagaimana kesimpulan dari Asy-Syaikh Al-Albani t: “Engkau tidaklah mendapati seseorang yang gemar musik (dengan segala jenisnya, pen) dan gemar mendengarkannya, melainkan ada padanya suatu penyimpangan baik dalam hal ilmu maupun amalan. Ada pula padanya kekurangsukaan untuk mendengarkan Al-Qur`an dan kecenderungan untuk mendengarkan musik. Manakala terdengar olehnya bacaan Al-Qur`an dan juga suara musik, maka kecondongan jiwanya kepada musik akan lebih kuat daripada kepada Al-Qur`an….” (Tahrim Alatith Tharbi hal. 152)

Maka dari itu, tidaklah mengherankan bila sahabat Abdullah bin Mas’ud z mengatakan: “Musik/nyayian dapat menumbuh-suburkan sifat munafik pada qalbu.” Demikian pula Al-Imam Asy-Sya’bi t mengatakan: “Sesungguhnya musik/nyayian dapat menumbuhsuburkan sifat munafik pada qalbu, sebagaimana air dapat menumbuhsuburkan tanaman. Dan sesungguhnya dzikir dapat menumbuhsuburkan iman pada qalbu, sebagaimana air dapat menumbuhsuburkan tanaman.” (Lihat Tahrim Alatith Tharbi hal. 145 dan 148)

Akhir kata, sebagai bahan renungan bagi kita semua, simaklah mutiara kata dari Al-Imam Al-Alusi t berikut ini: “Bila anda telah candu dengannya (musik dengan segala jenisnya, pen.), maka hati-hatilah kemudian hati-hatilah dari keyakinan bahwa memainkannya atau mendengarkannya merupakan suatu taqarrub kepada Allah l, sebagaimana keyakinan orang-orang rendahan dari kalangan Shufi. Kalaulah permasalahannya seperti apa yang mereka yakini, niscaya para nabi telah melakukannya dan memerintahkannya kepada para pengikutnya. Realita membuktikan, tak ada satu riwayat pun yang ternukil dari mereka tentang hal ini. Tak ada satu kitab suci pun yang mengisyaratkannya. Sementara Allah l telah menyatakan:

“Pada hari ini Aku telah sempurnakan agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)

Kalaulah sekiranya memainkan musik dan mendengarkannya bagian dari agama, serta sebagai sarana ber-taqarrub kepada Allah l Rabbul Alamiin, niscaya telah disampaikan oleh Nabi n dan telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya kepada umat. Sedangkan beliau n telah mengatakan:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا تَرَكْتُ شَيْئًا يُقَرِّبُكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُكُمْ عَنِ النَّارِ إِلاَّ أَمَرْتُكُمْ بِهِ، وَمَا تَرَكْتُ شَيْئًا يُقَرِّبُكُمْ مِنَ النَّارِ وَيُبَاعِدُكُمْ عَنِ الْجَنَّةِ إِلاَّ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ

“Demi Dzat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan kalian kepada Al-Jannah dan menjauhkan kalian dari An-Nar melainkan telah kuperintahkan kalian untuk mengerjakannya, dan tidaklah ada sesuatu yang mendekatkan kalian kepada An-Nar dan menjauhkan kalian dari Al-Jannah melainkan telah kularang kalian untuk mengerjakannya.”5 (Ruhul Ma’ani 11/79, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi hal. 1175-176)

Wallahu a’lam bish-shawab.


1 Mengingat ruang rubrik yang terbatas dan akan disebutkan secara terperinci pada rubrik Kajian Utama, maka kami cukupkan dengan satu hadits saja.
2 Hadits ini dilemahkan (bahkan divonis palsu) oleh Ibnu Hazm, karena adanya keterputusan (dalam isnadnya) antara Al-Bukhari dengan Hisyam bin ‘Ammar, juga adanya keraguan tentang nama sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut, sebagaimana dalam Al-Muhalla (9/59).  Namun pendapat Ibnu Hazm ini merupakan pendapat yang lemah serta menyelisihi keputusan para pakar hadits.
– Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Berbagai macam alat musik, telah sah (pelarangannya) dari hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, dengan shighah ta’liq majzum (cara periwayatan dengan menggantungkan/tidak menyebutkan nama syaikh yang di atasnya, dan ketika menyebutkan nama syaikh yang di atas syaikh pertama, menggunakan kata penyampai yang tegas, seperti قَالَ : telah berkata, pen.), yang terpenuhi padanya syarat Shahih Al-Bukhari.” (Al-Istiqamah 1/294, dinukil dari Tahrim Alatith Tharbi karya Asy-Syaikh Al-Albani hal. 39)
Semakin kuat lagi manakala Al-Imam Ibnul Qayyim menegaskan: “Bahwasanya Al-Bukhari telah bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar dan pernah mendengar darinya. Maka bila Al-Bukhari mengatakan: ‘Telah berkata Hisyam’, kedudukannya sama dengan perkataannya: ‘Dari Hisyam’.” (Lihat Tahrim Alatith Tharbi, hal. 82-83)
– Al-Hafizh Ibnush Shalah berkata: “Hadits ini shahih, dikenal bersambung (isnadnya), terpenuhi (padanya) syarat Shahih Al-Bukhari.” (Muqaddimah Ibnish Shalah hal. 32)
– Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Kalaulah misalnya hadits ini dianggap ada keterputusan pada isnadnya, maka ia merupakan satu kelemahan yang hanya berkaitan dengan hadits ini saja dan tidak bisa digeneralisir terhadap hadits-hadits yang semakna dengannya. Padahal sungguh (hadits ini) telah bersambung melalui beberapa jalan dari para hafizh tsiqah yang mendengarnya secara langsung dari Hisyam bin ‘Ammar.” Kemudian Asy-Syaikh Al-Albani menyebutkan empat jalan tersebut, yaitu: Al-Husain bin Abdullah Al-Qaththan, Musa bin Sahl Al-Jauni Al-Bashri yang diiringi oleh Da’laj, Abdush Shamad Ad-Dimasyqi, dan Al- Hasan bin Sufyan Al-Khurasani An-Naisaburi. Asy-Syaikh Al-Albani juga mengatakan bahwa di sana masih ada empat orang perawi lainnya yang mendengarnya secara langsung dari Hisyam bin ‘Ammar, lalu beliau mengisyaratkan untuk merujuk kitab Taghliqut Ta’liq karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, 5/17-19, dan juga kitab Siyar A’lamin Nubala` karya Al-Imam Adz-Dzahabi (21/157 dan 23/7). (Lihat Tahrim Alatith Tharbi, hal. 40-41)
– Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Adanya keraguan tentang nama sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut, tidaklah berpengaruh pada keshahihannya (karena semua sahabat Nabi n itu adil dan tepercaya, pen.). Ibnu Hazm menjadikannya sebagai poin kelemahan bagi hadits ini, namun pendapat ini tertolak.” (Fathul Bari 10/56)
3 Untuk mengetahui lebih rinci syubhat-syubhat seputar musik berikut bantahan, silakan merujuk kitab Ighatsatul Lahafan karya Al-Imam Ibnul Qayyim, kitab Tahrim Alatith Tharbi karya Asy-Syaikh Al-Albani dan kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah lainnya.
4 Adzan, pada asalnya merupakan sesuatu yang disyariatkan untuk mengumumkan masuknya waktu shalat fardhu. Namun ia tidak disyariatkan pada dua shalat ied, karena Rasulullah n dan juga para sahabatnya tidak melakukannya.
5 Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1803.