(ditulis oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin)
Bumi diguncang. Gunung-gunung menghamburkan isinya. Angin bertiup teramat kencang, memorak-porandakan hunian manusia. Gelombang air laut menggunung, menggulung apa yang ada di daratan. Bencana menerpa. Mengguncang kehidupan umat manusia. Tiada yang mampu menerka, kapan bencana itu tiba, kapan pula mereda. Tiada pula yang mampu menerka, berapa kerugian yang bakal ada. Sungguh, kala itu manusia tiada daya. Hanya tangis yang terdengar telinga. Ratapan demi ratapan menggugah rasa. Seakan tipis asa untuk memperbaiki kehidupan yang senyatanya fana.
“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (an-Nisa: 28)
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah.” (al-Ma’arij: 19—20)
Allah l yang mencipta alam semesta, Allah l pula yang mengaturnya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Ali Imran: 189)
“Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, lalu Dia naik di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang. (Masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (al-A’raf: 54)
“Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia naik di atas ‘Arsy, serta menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Rabbmu.” (ar-Ra’d: 2)
Namun, ada di antara manusia yang memahami berbagai bencana semata-mata dari akalnya. Jelajah akalnya yang sangat terbatas dipaksa untuk memutus keterkaitan berbagai fenomena alam dengan kehendak Allah l. Tak ada bahasa keimanan yang mencuat dari dirinya. Berbagai kejadian yang menimpa kehidupan manusia dianggap semata-mata karena hukum alam. Seakan-akan semua terlepas dari kekuasaan Allah l. Lepas, tak terkait takdir yang telah ditetapkan oleh Allah l. Padahal, beragam fenomena yang terjadi di alam ini adalah atas izin Allah l. Allah l berfirman:
“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (al-A’raf: 57—58)
“Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah). Maka, apakah mereka tidak mendengarkan (memerhatikan)? Dan apakah mereka tidak memerhatikan, bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang darinya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memerhatikan?” (as-Sajdah: 26—27)
Perhatikanlah, beragam bencana (musibah) yang menimpa umat manusia dan terjadi di muka bumi ini adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah l. Semuanya telah tercatat dalam Lauhul Mahfuzh. Allah l berfirman:
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (al-Hadid: 22—23)
Allah l menyebutkan pula, betapa musibah (bencana) yang menimpa seseorang adalah atas perkenan-Nya. Firman Allah l:
“Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (at-Taghabun: 11)
Dengan memahami dan merenungi ayat-ayat di atas, apakah pantas jika manusia angkuh dengan mengatakan bahwa bencana yang terjadi hanya lantaran hukum alam? Hanya sebuah fenomena yang berasal dari alam itu sendiri tanpa izin Allah l? Dengan bahasa yang seakan-akan ilmiah, mereka mengatakan bahwa gempa bumi terjadi lantaran pergerakan lempeng bumi, tanpa mengaitkan itu semua dengan kehendak Allah l. Atau, mereka mengatakan bahwa gempa bumi terjadi lantaran pergerakan magma di gunung berapi, tanpa menghubungkan bahwa semua fenomena alam itu adalah atas ketentuan dari Allah l. Terlalu angkuh dan lancang jika manusia berani berbuat hal itu. Dirinya terlampau mengedepankan akal, sementara dia tidak memiliki kecerdasan dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dirinya jahil sehingga tidak mampu membersitkan bahasa keimanan dari lubuk hatinya. Yang dia mampu hanya membahasakan hal-hal yang bersifat materi. Adapun hal-hal gaib tidak mampu dicerna. Betapa banyak manusia terjebak pemikiran akalnya semata dalam melihat fenomena di muka bumi ini. Kala musibah (bencana) mencuat lantaran disulut pergolakan politik, ekonomi, atau sosial, hingga manusia hidup penuh ketidakpastian, diliputi rasa takut yang mencekam, tak sedikit manusia yang hanya melihat dari sisi materi (tidak dikaitkan dengan sebab-sebab syar’i).
Sebagaimana diungkapkan oleh asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t, “Sungguh, banyak manusia pada masa sekarang mengaitkan berbagai macam musibah yang menimpa mereka, baik musibah dalam hal ekonomi, keamanan, maupun politik. Semuanya hanya dianggap sebab yang bersifat materialistis. Sebab ini dikaitkan pada sebab-sebab perubahan politik, ekonomi, atau hukum. Tak diragukan lagi bahwa hal ini adalah kedangkalan pemahaman dan kelemahan iman mereka. Mereka lalai dari memahami dan merenungi Kitabullah serta Sunnah Rasulullah n. Di balik sebab tersebut, ada sebab syar’i. Justru sebab syar’i inilah yang paling kuat dan besar pengaruhnya dibandingkan dengan sebab yang bersifat materialistis. Akan tetapi, terkadang beberapa penyebab yang bersifat materialistis menjadi perantara terjadinya sebab-sebab yang bersifat syar’i. Allah l berfirman:
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (ar-Rum: 41) (Atsaru adz-Dzunub wa Ma’ashi ‘ala al-Fardi wa al-Mujtama’, hlm. 9. Lihat al-‘Adzabu al-Adna Haqiqatuhu Anwa’uhu, Asbabuhu, Dr. Muhammad bin Abdullah bin Shalih as-Suhaim, hlm. 10)
Selisiklah, melalui ayat-ayat berikut, betapa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Allah l mampu menimpakan angin yang teramat kencang, membenamkan apa yang ada di permukaan bumi, atau mendatangkan air bah yang dahsyat, yang semuanya merupakan fenomena alam, kejadian-kejadian yang bisa dilihat secara kasatmata. Semua fenomena tersebut akan menampakkan bencana (musibah) sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman agar mereka bersabar dan bertawakal. Namun, bisa juga sebagai bentuk azab bagi orang-orang yang kafir kepada Allah l.
Allah l telah menimpakan angin kepada kaum ‘Ad, yakni kaum Nabi Hud q, selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Mereka akhirnya mati bergelimpangan. Allah l mengisahkan hal ini sebagai pelajaran bagi hamba-hamba-Nya, khususnya orang-orang yang beriman. Firman-Nya:
“Adapun kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin yang sangat dingin lagi amat kencang, yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus. Maka kamu lihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (al-Haqqah: 6—7)
Lihat pula apa yang terjadi dengan kaum Saba’ di negeri Yaman. Mereka enggan bersyukur dan sangat kufur atas anugerah rezeki yang dilimpahkan oleh Allah l. Mereka berpaling dan kufur. Saat mereka dalam keadaan yang demikian, Allah l mendatangkan air bah yang dahsyat. Banjir besar melanda kaum Saba’. Al-Qur’an mengisahkan hal ini agar diambil pelajaran darinya. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun.’ Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon atsl dan sedikit dari pohon sidr. Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), ‘Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Rabbmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Rabbmu) adalah Rabb Yang Maha Pengampun’.” (Saba’: 15—17)
Petiklah pelajaran dari kisah Qarun. Wujud manusia materialistis yang membanggakan harta kekayaan, mengedepankan kehidupan dunia. Angkuh dengan apa yang telah dimilikinya hingga dia mengatakan, sebagaimana dalam firman Allah:
“Sesungguhnya aku diberi harta itu hanyalah karena ilmu yang ada padaku.” (al-Qashash: 78)
Lantas Allah l membenamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Tiada baginya seorang penolong pun atas balasan Allah l yang ditimpakan kepadanya.
“Maka Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya dari azab Allah. dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (al-Qashash: 81)
Salah satu pelajaran yang bisa diambil dari kisah-kisah di atas, fenomena alam yang berupa angin kencang, banjir besar, dan pembenaman ke dasar bumi tidak semata-mata terjadi lantaran hukum alam. Lebih dari itu, semua fenomena alam tersebut ada yang mengatur, menggerakkan, dan melakukan. Tidak terjadi dengan sendirinya. Tetapi semua itu atas kehendak Allah l.
“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Ali ‘Imran: 189)
Sisi lain, saat musibah (bencana) melanda, ada sebagian umat manusia yang menyikapi peristiwa tersebut sebagai peristiwa metaempiris yang didasari mitos dan kepercayaan terhadap roh-roh halus. Bencana yang terjadi merupakan bentuk kemurkaan roh para leluhur dan makhluk halus. Contoh kasus ini adalah hal yang diyakini sebagian masyarakat terkait dengan erupsi Gunung Merapi. Guna menghadapi hal yang tidak diinginkan, sebagian masyarakat terutama penduduk sekitar Merapi mengadakan upacara ritual dengan menyuguhkan sesaji. Tujuannya adalah memberi sedekah kepada para roh leluhur dan para makhluk halus agar memberi keselamatan dan kesejahteraan lahir dan batin. (Merapi dan Orang-Orang Jawa, Persepsi dan Kepercayaannya, L. Sasongko Triyoga, hlm. 156—157)
Mitos dan kepercayaan semacam ini tentu saja menggiring sebagian manusia kepada sikap irasional dan tidak ilmiah. Sarana untuk menjauhkan manusia dari Yang Maha Mencipta dan Maha Mengatur alam semesta ini, Allah l. Mereka terjatuh pada pelanggaran syariat yang telah ditetapkan Allah l. Di antara pelanggaran itu, munculnya keyakinan yang salah dalam peribadahan. Mereka melakukan perbuatan syirik, meminta bantuan atau pertolongan kepada selain Allah l. Padahal Allah l berfirman:
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan.” (al-Fatihah: 5)
Dengan ritual yang mereka lakukan, senyatanya mereka melakukan penyembahan kepada jin. Sebagaimana diketahui bahwa sebagian masyarakat Merapi meyakini bahwa Merapi dihuni makhluk halus, dengan segala macam nama seperti roh leluhur, lelembut, banaspati, wewe, genderuwo, peri, jrangkong, wedhon, buto, thethekan, atau gundul pringis. (Merapi dan Orang-Orang Jawa, hlm. 72—75)
Al-Qur’an telah menyebutkan bahwa ada di antara manusia yang melakukan penyembahan terhadap jin. Firman Allah l:
Malaikat-malaikat itu menjawab, “Mahasuci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka. Bahkan mereka telah menyembah jin, kebanyakan mereka beriman kepada jin itu.” (Saba: 41)
“Bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (al-Jin: 6)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t mengungkapkan bahwa kadang Allah l melakukan hal itu (memberikan musibah/bencana) disebabkan oleh kemaksiatan dan dosa. Maka, (jadilah musibah tersebut) sebagai hukuman yang disegerakan. Allah l terangkan pada firman-Nya:
“Musibah apa saja yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)
Pada umumnya, manusia bersikap meremehkan dan tidak mau menunaikan kewajibannya. Karenanya, tidak akan terjadi musibah itu melainkan disebabkan oleh dosa-dosa dan sikap meremehkan perintah Allah l.
Selanjutnya beliau t menyatakan, “Apabila musibah tersebut menimpa hamba-hamba-Nya yang saleh, dalam bentuk diberi penyakit dan selainnya, yang seperti ini merupakan jenis ujian yang menimpa para nabi dan rasul. Ujian (musibah) semacam ini bisa menaikkan derajat dan sebagai sarana untuk mendapat pahala yang agung, sebagaimana telah ditetapkan oleh Allah l pada para nabi dan sebagian orang pilihan-Nya.
Musibah kadang diberikan sebagai kaffarah (penghapus) dosa dari kesalahan yang telah lalu. Allah l berfirman:
“(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (an-Nisa: 123)
Nabi n bersabda:
مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tiadalah seorang muslim yang ditimpa musibah dalam bentuk kelelahan, sakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, dan kecemasan, melainkan Allah menghapuskan darinya segala kesalahan dan dosa, hingga duri yang menusuknya juga sebagai penghapus dosa.” (HR. al-Bukhari, no. 5318)
Nabi n juga bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ
“Barangsiapa yang Allah l kehendaki pada dirinya kebaikan, niscaya dia akan ditimpakan musibah.” (HR. al-Bukhari, no. 5321)
Kadang, terjadinya hukuman (dari Allah l) yang disegerakan (di dunia) adalah disebabkan perbuatan maksiat, tidak adanya kemauan untuk segera bertobat sebagaimana disebutkan hadits Nabi n. Sesungguhnya beliau n bersabda:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila Allah l menghendaki kebaikan pada hamba-Nya, disegerakanlah hukuman baginya di dunia. Jika Allah l menghendaki kejelekan pada hamba-Nya, Allah l akan menahan dia lantaran dosa-dosanya hingga (dibalas) secara sempurna kelak pada hari kiamat.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2396) (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, 2/478—488. Dinukil dari al-‘Adzabu al-Adna, hlm. 20—21)
Bencana yang terus menerpa, kini hendaknya menjadi cermin untuk introspeksi diri. Sejauh manakah manusia mau tunduk kepada Allah l, memurnikan peribadahan, merujuk pada syariat, dan mengikis setiap maksiat. Ketika kebebasan berzina dibiarkan, pornografi dikembangpesatkan, beragam kemungkaran lepas tiada kendali, maka bencana pun akan tiba atas kehendak Allah l. Sudah saatnya manusia kembali ke jalan-Nya yang lurus. Mempelajari, memahami, dan mengamalkan syariat-Nya. Mudah-mudahan dengan itu semua, Allah l mencurahkan kebaikan. Kalaupun Allah l menimpakan musibah, kita berharap musibah itu membawa berkah.
Wallahu a’lam.