Asysyariah
Asysyariah

muraqabah

13 tahun yang lalu
baca 7 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)

Kita, sebagai orang tua, tentu tidak bisa memantau setiap detil tingkah laku anak. Sehingga menjadi kemestian bagi kita untuk memahamkan kepada anak bahwa ia senantiasa berada di dalam pengawasan Rabbnya.

Anak, dengan bertambah luasnya lingkup pergaulan, bertambah pula saat-saat dia tak bersama ayah atau ibunya. Dia akan mulai menjelajah lingkungannya, berbaur dengan teman-temannya atau pun dengan orang lain di sekelilingnya.
Dalam keadaan demikian, terkadang didapati anak yang biasa nampak penurut di hadapan orang tuanya, begitu manis dan jarang berbuat ulah, namun ketika lepas dari pengawasan orang tua, dia menjadi ‘berani’ berulah, bahkan berbuat segala sesuatu yang terlarang. Seolah dia merasa merdeka dan bebas dari pengawasan.
Tentu tak ada yang menginginkan hal itu terjadi. Namun tentunya harus ada sesuatu yang dilakukan agar anak tak selalu mencari ‘jalan belakang’ untuk berbuat kenakalan. Sementara sulit atau bahkan tidak memungkinkan jika orang tua harus terus-menerus mengarahkan pandangannya pada segala tingkah anak-anaknya.
Oleh karena itu, semestinya diajarkan kepada anak bahwa senantiasa ada pengawasan yang senantiasa menyertai dirinya, di mana pun dia berada. Sehingga walaupun si anak jauh dari orang tua, tetap ada yang mengawasi tindak-tanduknya. Tidak lain dan tidak bukan, yang mengawasi dirinya adalah Allah I, Dzat Maha Mengetahui. Dia harus mengenal muraqabah.
Muraqabah kepada Allah I adalah mengetahui bahwa Allah I mengetahui segala yang dia lakukan, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun keyakinan.(Syarh Riyadhush Shalihin 2/218)
Ini pula yang diajarkan oleh Luqman Al-Hakim kepada anaknya dalam nasihatnya:

“Wahai anakku, sesungguhnya jika ada sesuatu perbuatan seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan membalasnya. Sesungguhnya Allah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui.” (Luqman: 16)
Nasihat Luqman ini berisi anjuran untuk muraqabatullah (merasakan pengawasan Allah I) dan melakukan ketaatan kepada Allah I, apa pun yang mungkin untuk dilakukan, serta ancaman dari perbuatan jelek, sedikit ataupun banyak. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 649)
Bila kita menyimak ucapan Rasulullah r tatkala beliau menjelaskan tentang ihsan, maka kita akan mendapati pula anjuran agar senantiasa muraqabah dan merasa takut kepada Allah I. Dalam hadits Jibril yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab t , beliau ditanya oleh Jibril u:

“Beritahukan padaku tentang ihsan!” Beliau r pun menjawab, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim no. 8)
Seseorang selayaknya beribadah kepada Allah I seakan-akan dia melihat-Nya, karena ini menunjukkan keikhlasannya kepada Allah U serta kekokohan amalannya dalam mengikuti Rasulullah r. Seseorang yang beribadah kepada Allah I dengan gambaran yang seperti ini pastilah di dalam hatinya ada rasa cinta dan pengagungan kepada Allah I yang dapat mendorongnya untuk memperbaiki dan mengokohkan amalannya.
Apabila seseorang tidak dapat beribadah seperti gambaran ini, maka hendaknya dia beribadah kepada Allah I dengan jalan muraqabah dan rasa takut kepada Allah I. Dan tentu saja ibadah kepada Allah I karena pengharapan itu lebih sempurna daripada ibadah karena rasa takut. (Syarh Riyadhush Shalihin, 1/327)
Demikianlah, hingga perlu ditanamkan pada diri sang anak bahwa Allah I senantiasa mengetahui segala perbuatan hamba-Nya, yang nampak maupun yang tersembunyi. Allah I mengetahui segalanya tanpa terkecuali.
Apabila seorang hamba mengetahui kesempurnaan ilmu Allah I, maka akan berbuah muraqabah dan rasa takut yang sempurna kepada Allah U. (Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyah, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, hal. 150)
Di dalam Kitab-Nya, Allah I banyak menyebutkan tentang pengawasan-Nya dan ilmu-Nya terhadap segala sesuatu. Sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” (Al Ahzaab: 52)
Dalam ayat yang lain Allah I berfirman:

“Apakah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya Kami mendengar, dan utusan-utusan Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (Az-Zukhruf: 80)
Dalam ayat ini disebutkan bahwa malaikat-malaikat Allah I yang mulia senantiasa mencatat di sisi mereka segala yang mereka lakukan dan catatan amalan itu akan senantiasa terjaga hingga mereka datang pada hari kiamat nanti, lalu mereka akan mendapati di hadapan mereka segala amalan yang dulu mereka lakukan, dan Allah I tidaklah berbuat dzalim pada siapa pun.(Taisirul Karimir Rahman, hal. 770)
Demikian pula dalam firman-Nya:

“Pada hari ketika mereka dibangkitkan oleh Allah seluruhnya, lalu Allah memberitakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah mencatat amal perbuatan itu, sementara mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Tidakkah engkau perhatikan bahwa sesungguhnya Allah mengetahui segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi ? Tiada pembicaraan rahasia di antara tiga orang, kecuali Dialah yang keempatnya, dan tiada pembicaraan rahasia di antara lima orang, kecuali Dialah yang keenamnya. Dan tiada pula pembicaraan di antara orang yang kurang dari itu atau lebih banyak, kecuali Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Mujadilah: 6-7)
Allah I berfirman pula:

“Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah, baik di bumi maupun di langit.” (Ali ‘Imran: 5)
Di ayat yang lain Allah I berfirman:

“Dan di sisi-Nyalah kunci-kunci hal yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia, dan Dia mengetahui segala sesuatu yang ada di daratan ataupun di lautan, dan tak satu pun daun yang jatuh kecuali Dia mengetahuinya, dan tak ada satu biji pun yang berada di kegelapan bumi, tidak pula sesuatu yang basah maupun yang kering, kecuali hal itu ada dalam kitab yang nyata.” (Al-An’am: 59)
Para ulama menga-takan, jika dedaunan yang jatuh saja Allah I mengetahuinya, maka bagaimana pula kiranya dengan dedaunan yang Dia tumbuhkan dan Dia ciptakan! Tentu Allah U lebih mengetahuinya. (Syarh Riyadhush Shalihin 1/220)
Begitu pula kita gambarkan, sebuah biji kecil yang terkubur di dasar lautan, dia berada dalam lima kegelapan. Kegelapan pertama adalah gelapnya tanah yang menguburnya, kegelapan kedua adalah gelapnya air lautan, kegelapan ketiga adalah gelapnya malam, kegelapan keempat adalah gelapnya gumpalan mendung, dan kegelapan kelima adalah gelapnya hujan yang turun. Lima kegelapan meliputi di atas biji kecil tadi, sementara Allah U mengetahuinya. Demikian juga tidak ada sesuatu pun yang basah maupun yang kering, kecuali telah tertulis dengan gamblang dan jelas di sisi Rabb semesta alam ini.
Jika demikian luasnya ilmu Allah I, maka seorang yang beriman tentunya harus merasakan pengawasan Allah I, merasa takut kepada-Nya dalam keadaan tersembunyi, sebagaimana dia pun merasa takut kepada-Nya dalam keadaan terang-terangan. Bahkan seorang yang mendapatkan taufik dari Allah I adalah orang yang menjadikan rasa takutnya kepada Allah I tatkala dalam keadaan yang tersembunyi lebih besar dan lebih kuat daripada rasa takutnya tatkala dalam keadaan terang-terangan, karena takut kepada Allah dalam keadaan tersembunyi itu lebih kuat keikhlasannya karena tak ada seorang pun di sisinya. Sementara rasa takut kepada Allah dalam keadaan terang-terangan terkadang muncul riya` dalam hatinya atau keinginan dilihat oleh orang lain. (Syarh Riyadhush Shalihin, 1/220-221)
Sebuah teladan dalam hal ini dapat disaksikan dari diri seorang penggembala yang ditemui oleh ‘Abdullah bin ‘Umar c dalam perjalanannya ke Makkah. ‘Abdullah bin Dinar yang menyertai perja-lanan itu mencerita-kan, “Aku pernah pergi bersama Ibnu ‘Umar ke Mekkah. Kami sempat berhenti seje-nak untuk beristirahat. Saat itu, turun seorang penggembala kambing dari gunung. Ibnu ‘Umar bertanya padanya, “Engkaukah penggembala kambing-kambing ini?” “Benar,” jawabnya.
Ibnu ‘Umar berkata lagi, “Juallah padaku seekor kambingmu!” Dia pun menjawab, “Saya ini hanya seorang budak.”
“Katakan saja pada tuanmu bahwa kambing itu dimakan serigala!” kata Ibnu ‘Umar. “Lalu di manakah Allah…?” demikian jawabnya.
Ibnu ‘Umar mengulang jawaban si penggembala, “Lalu di manakah Allah…?” Ibnu ‘Umar pun menangis. Kemudian Ibnu ‘Umar membeli budak itu lalu memerdekakannya. (Siyar A’lamin Nubala`, 3/216)
Inilah yang perlu ditanamkan, agar anak-anak tak ‘salah jalan’. Merasakan pengawasan Rabbnya akan menjadi kendali yang akan menahan langkahnya dari keburukan dan akan mendorong langkahnya menuju kebaikan.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Sumber Tulisan:
Muraqabah