Sesungguhnya kematian para ulama adalah salah satu tanda nubuwwah Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam. Beliau pernah bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan sekaligus dari hamba-hamba-Nya. Akan tetapi, Dia mencabut ilmu ini dengan mematikan para ulama, hingga setelah tidak menyisakan lagi seorang ulama pun, manusia mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Lalu mereka ditanya kemudian berfatwa tanpa ilmu. Akhirnya mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiallahu ‘anhuma)
Bertolak dari hadits ini, manusia sangat membutuhkan ulama yang bertakwa. Ulama yang membawa dan menyodorkan syariat yang bersih dan murni kepada mereka, seperti yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam. Terlebih lagi ketika muncul orang-orang yang mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan sehingga kebanyakan anak-anak dan para pemuda Islam, baik laki-laki maupun perempuan, menjadi santapan lezat bagi tokoh-tokoh sesat dan pengikut hawa nafsu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pernah mengkhawatirkan golongan manusia seperti ini. Beliau shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan terhadap umatku adalah kaum munafik yang sangat ahli berbicara.” (HR. Ahmad dari Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu)
Demikian pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa salam,
“Yang aku takutkan terhadap umatku hanyalah imam-imam penyesat.” (HR. Ahmad dari Tsauban radhiallahu ‘anhu)
Maka dari itu, sudah sepantasnya kita mencurahkan segenap kemampuan untuk menuntut ilmu syar’i, yang memberi manfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Hakikatnya, ilmu yang bermanfaat itu lebih tinggi dari kerajaan, kemuliaan dan kedudukan, bahkan dari dunia seisinya. Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Seandainya para raja dan anak-anak mereka tahu apa yang kita rasakan (dengan ilmu ini), tentulah mereka akan memukul kita dengan pedang-pedangnya.”
Di samping itu, Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah memerintah kita untuk meminta tambahan kekayaan dunia yang fana ini. Justru yang Ia perintahkan adalah agar kita meminta tambahan ilmu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan katakanlah, “Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.” (Thaha: 114)
Nama dan Nasab Beliau
Beliau adalah al-‘Allamah al-Muhadits al-Mujahid, mujaddid dakwah salafiyah di negeri Yaman, asy-Syaikh Muqbil bin Hadi bin Muqbil bin Qayidah al-Hamdani al-Wadi’i, dari kabilah Alu Rasyid, berkuniah dengan Abu Abdir Rahman. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati beliau.
Beliau lebih dikenal dengan namanya daripada nasab (keluarga besar) atau kabilah (suku). Padahal Wadi’ah merupakan kabilah yang besar dan terkenal di antara sekian banyak kabilah besar yang ada di belahan utara Yaman. Meskipun ada sebagian orang menyebut beliau dengan panggilan asy-Syaikh al-Wadi’i, namun tampaknya beliau lebih dikenal dan lebih akrab dipanggil dengan nama aslinya, yaitu asy-Syaikh Muqbil.
Banyak ulama di zaman dahulu maupun sekarang yang tersohor dan lebih dikenal dengan sebutan nasab, suku, atau asal daerah/negeri kelahirannya.
Sebagai contoh, ulama yang hidup di masa kita (tanpa mengurangi kemuliaan dan kehormatan ulama yang lain), yaitu asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. Beliau dinisbahkan kepada nama kakek yang keempat, yaitu ‘Utsman, yang akrab dipanggil dengan sebutan Utsaimin. Sementara itu, beliau sendiri bernama Muhammad bin Shalih bin Sulaiman bin Abdurrahman bin Utsman, dari Bani Tamim.
Contoh lain, asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah. Beliau dinisbahkan kepada Alu Baz (keluarga Baz). Padahal beliau bernama Abdul Aziz bin Abdillah bin Abdur Rahman, dari Alu Baz.
Misal yang lain, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah. Beliau dinisbahkan kepada asal negeri kelahiran beliau, yaitu Albania. Nama beliau sendiri ialah Muhammad Nashiruddin bin Nuh Najati al-Albani.
Masa Kecil dan Tumbuh Kembang Beliau
Beliau lahir di desa Dammaj, kota Sha’dah, sebelah utara Shan’a, ibukota Yaman, belahan utara. Ayahnya wafat saat beliau masih kecil. Beliau tidak sempat mengetahuinya. Beliau hidup dalam keadaan yatim. Selama beberapa waktu,
beliau hidup dalam asuhan sang ibu.
Saat itu sang ibu meminta agar beliau bekerja untuk mencari nafkah. Ibunya memerintah beliau agar melihat keadaan masyarakat pada umumnya agar bisa hidup seperti mereka (berharta dan berkecukupan).
Akan tetapi, beliau tidak berkenan. Beliau berkata kepada sang ibu, ”Aku akan pergi belajar, menuntut ilmu.”
Sang ibu berkata dengan mendoakan, “Allahu yahdiik (semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberimu petunjuk).”
Kalimat ini biasanya terucap saat seseorang merasa kesal, jengkel, dan emosi terhadap lawan bicaranya, meski tidak sampai marah.
Dari ucapan sang ibu yang mengandung doa, dan bisa jadi waktu itu diucapkan bertepatan dengan saat terkabulnya doa, akhirnya Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan beliau menjadi seorang yang mendapat petunjuk dan bimbingan, serta memberi petunjuk kepada orang lain. Beliau rahimahullah menjadi ulama yang masyhur.
Beliau tumbuh di lingkungan yang dikuasai oleh kebodohan, kesyirikan, khurafat, dan sikap berlebih-lebihan (pengultusan) terhadap ahlul bait. Seolaholah, inti agama hanya berporos pada mencintai ahlul bait. Kondisi seperti ini menimpa keumuman penduduk negeri Yaman bagian utara. Mereka tidak mengenal kecuali Zaidiyah (nisbah kepada Zaid bin Ali), al-Hadi, al-Hasan, al-Husain, dan Ali bin Abi Thalib.
Meski demikian, asy-Syaikh Muqbil rahimahullah tidak berani memastikan dan menyebut mereka yang awam sebagai Zaidiyah. Sebab, mereka hanyalah mengikuti siapa yang mereka percayai. Mereka mengira bahwa orang yang selama ini mengajak dan menjadi panutan adalah orang yang agamanya berpedoman di atas al-Qur’an dan as-Sunnah. Menurut beliau, tidaklah tepat seseorang dikatakan Zaidiyah, kecuali bagi yang mempelajari dan menekuni mazhab Zaidiyyah, serta rela dan merasa puas dengan mazhab tersebut.
Adapun masyarakat Yaman bagian selatan, kebanyakan mereka berpemahaman Sufi dan komunis.
Beliau mengawali belajar di Sha’dah, kurang lebih selama tiga tahun. Lembaga pendidikan (sekolah) tersebut berlatar belakang paham Syiah Zaidiyah.
Sedikit pengetahuan dan kecintaan beliau terhadap Sunnah Rasulullah membuat beliau benci terhadap ajaran Zaidiyah. Sebab, dalam hal akidah, Zaidiyah mengadopsi (mencuri) dari pemahaman Mu’tazilah; dalam hukum-hukum ibadah, Zaidiyah mengambil dari mazhab Hanafiyah; dan dalam bermazhab Syi’ah, mereka mengambil dari Rafidhah.
Meskipun sempat mempelajari mazhab Zaidiyah, tetapi setiap kali mempelajarinya, justru semakin menambah kebencian beliau terhadapnya. Menurut beliau, bermazhab adalah perkara yang bukan dari Islam. Bahkan, al-Imam Ibnu Abdil Bar rahimahullah mengatakan, “Para ulama sepakat, seorang muqallid (fanatik pada mazhab tertentu), tidak terhitung sebagai ahlul ilmi.”
Di lembaga tersebut beliau mengawali belajar dengan mengenal ejaan abjad al-Qur’an, menghafal, atau membacanya, sebagaimana umumnya anak yang baru mengawali proses belajar. Namun, selama itu beliau tidak mendapatkan kelezatan membaca al-Qur’an dan tidak tahu mengapa harus dibaca!
Setelah berlalu sekian waktu, beliau merasa bahwa waktu berlalu dan berjalan dengan sia-sia. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada beliau untuk mulai mempelajari Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Inilah belajar yang sesungguhnya.
Maka dari itu, beliau memuji Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberinya petunjuk untuk menempuh jalan yang mulia ini. Kalau bukan karena petunjuk Allah subhanahu wa ta’ala semata, pastilah beliau tidak mendapatkan petunjuk dan berjalan di atas petunjuk-Nya.
Bentuk Fisik Beliau
Beliau berperawakan sedang, tidak tinggi dan tidak pendek, tidak gemuk dan tidak pula kurus. Tampak tegap dan enerjik jika berjalan, berkulit sawo matang, rambut ikal, hidung mancung, berjenggot tipis, dan berwajah oval. Beliau tampak berwibawa.
Guru-Guru Beliau
Merupakan sunnatullah, untuk mendalami dan mempelajari ilmu agama dilakukan rihlah dan berguru kepada seorang alim, terutama yang dikenal dari sisi keilmuan, kebaikan akhlak, budi pekerti, dan muamalah, serta kelurusan akidah dan manhaj.
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah menyebutkan sebuah bab dalam kitab Shahih-nya dengan judul Safar dalam Menuntut Ilmu. Kemudian beliau menyebutkan kisah rihlah (perjalanan) Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu selama satu bulan untuk menemui Abdullah bin Unais radhiallahu ‘anhu. Jabir menempuh perjalanan tersebut hanya untuk memastikan sebuah hadits yang pernah didengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam.
Demikian pula kisah Nabi Musa ‘alaihissalam yang Allah subhanahu wa ta’ala ceritakan dalam surat al-Kahfi. Dengan kedudukan dan kemuliaan beliau, Allah subhanahu wa ta’ala memerintah beliau untuk berguru kepada Nabi Khidhir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Musa berkata kepada Khidhir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (al-Kahfi: 66)
Sampai akhir cerita yang ada dalam surat tersebut.
Salah satu pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini adalah ketawadhuan dan kesabaran Nabi Musa ‘alaihissalam dalam berguru kepada Nabi Khidhir ‘alaihissalam, meskipun kedudukan beliau lebih tinggi dan lebih mulia daripada Nabi Khidhir ‘alaihissalam.
Demikian pula asy-Syaikh Muqbil rahimahullah. Allah subhanahu wa ta’ala memberinya taufik untuk rihlah ke negeri al-Haramain, Makkah (di Ma’had al-Haram al-Makki) dan Madinah (al-Jami’ah al-Islamiyah/Universitas Islam Madinah). Beliau masuk kuliah di Universitas Islam Madinah Fakultas Ushuluddin, dan mengambil intisab di Fakultas Syariah. Di negeri itulah beliau berguru kepada ulama-ulama yang mulia, di antaranya adalah:
Enam bulan atau lebih asy-Syaikh Muqbil menimba ilmu dari beliau, terkhusus dalam bidang ilmu hadits dan mengenal rijal (perawi hadits) Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
Asy-Syaikh Muqbil mengatakan, “Barangkali sangat sedikit orang yang mempunyai kemampuan seperti beliau dalam hal mengenali perawi hadits al- Bukhari & Muslim, bahkan bisa jadi tidak ada yang menyamainya.”
Beliau termasuk salah satu guru asy-Syaikh Muqbil di tingkat ‘ulya.
Beliau adalah salah satu guru asy-Syaikh Muqbil di Makkah. Asy-Syaikh Muqbil belajar darinya Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Tafsir Ibnu Katsir.
Beliau termasuk salah seorang guru asy-Syaikh Muqbil di Makkah. Beliau adalah alumni Universitas al-Azhar. Beliau memiliki pengetahuan yang kuat dalam masalah hadits dan menjauhi sifat taklid.
Asy-Syaikh Muqbil belajar ilmu faraidh dari beliau.
Beliau adalah salah seorang guru asy-Syaikh Muqbil di tingkat ulya. Asy- Syaikh Muqbil belajar ilmu hadits darinya.
Beliau adalah guru asy-Syaikh Muqbil di Fakultas Dakwah. Asy-Syaikh Muqbil belajar darinya kitab Subulus Salam. Beliau juga menjadi pembimbing asy- Syaikh Muqbil dalam menyelesaikan tesis magisternya.
Beliau adalah guru asy-Syaikh Muqbil di Fakultas Dakwah dalam bidang ilmu tafsir. Ilmunya kuat dan kokoh.
Beliau adalah guru asy-Syaikh Muqbil di Ma’had al-Haram al-Makki
Kekuatan hafalannya merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau tidak pernah terbata-bata ketika menyebut ayat al-Qur’an.
Sebelum melakukan rihlah ke Negeri Dua Tanah Suci, beliau sempat belajar di Madrasah al-Ula (madrasah Syiah). Di antara guru beliau dari Yaman adalah:
Dia adalah orang Syiah yang paling berilmu di Yaman, sekaligus penyeru mazhab al-Hadawi. Darinya beliau banyak mendapatkan pelajaran ilmu nahwu di Najran.
radhiallahu ‘anhuma. Muhammad bin Hasan al-Mutayyiz
Murid-Murid Beliau
Murid-murid beliau mayoritas berasal dari berbagai daerah Yaman, baik bagian utara maupun bagian selatan, seperti Dammaj, Sha’dah, ‘Amran, Shan’a, Ma’bar, Ibb, Ta’iz, Yafi’, Dhali’, Lahj, ‘And, Syabwah, Ma’rib, Hadhramaut, dan yang lain.
Adapun murid beliau dari luar Yaman, di antaranya dari Sudan, Somalia, Bahrain, Libya, Irak, Aljazair, Mesir, Inggris, Malaysia, Indonesia, dan yang lain.
Karya Ilmiah Beliau
Beliau memiliki banyak karya ilmiah dalam beberapa cabang ilmu syariat. Di antara yang bisa disebutkan adalah:
Dalam bidang tafsir
Dalam bidang akidah
Dalam bidang hadits dan mushthalah
Dalam bidang fiqih
Karya ilmiah yang lain
Pujian Ulama terhadap Beliau
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Sampaikanlah kepada beliau bahwa saya menganggap beliau sebagai mujaddid (pembaru).”
Asy-Syeikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Mereka yang mengkritik kedua syaikh ini—yaitu asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali dan asy-Syaikh Muqbil—ada dua kemungkinan. Pertama, bisa jadi dia seorang yang tidak tahu sehingga perlu diajari. Atau (kedua), dia seorang pengekor hawa nafsu, maka kita harus berlindung kepada Allah dari kejahatannya. Kita mohon agar Allah memberinya petunjuk atau menimpakan bencana kepadanya (membinasakannya).”
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali rahimahullah mengatakan, “Beliau adalah mujaddid di negeri Yaman. Sejak zaman Abdur Razzaq ash-Shan’ani sampai hari ini, belum ada seorang pun (di Yaman) yang menjalankan dakwah dan memperbaruinya sebagaimana yang dilakukan oleh al-Wadi’i.”
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin