عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ بَنَى لِلهِ مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللهِ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ.
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa membangun masjid dengan mengharapkan wajah Allah, sungguh Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di jannah/surga’.”
Hadits Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiyallahu anhu ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya (1/453), Muslim (1/378 no. 533), dan Ibnu Hibban (4/488 no. 1609,) melalui jalan Ubaidillah al-Khaulani dari Utsman bin Affan radhiyallahu anhu.
Diriwayatkan pula oleh al-Imam Ahmad dalam al-Musnad (1/61 & 70), at-Tirmidzi (2/134 no. 318), Ibnu Majah (1/243 no. 736) dalam Sunan keduanya, dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (2/269 no. 1291), melalui jalan Abu Bakr al-Hanafi, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari ayahnya, dari Mahmud bin Labid, dari Utsman bin Affan radhiyallahu anhu.
Hadits ini termasuk dalam deretan hadits-hadits mutawatir[1]. Puluhan sahabat meriwayatkan hadits tersebut, termasuk Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Dalam sebuah bait syair dikatakan,
مِمَّا تَوَاتَرَ حَدِيْثُ مَنْ كَذَبْ
وَمَنْ بَنَى لِلهِ بَيْتاً وَاحْتَسَبْ
Di antara yang mutawatir adalah hadits “Man kadzaba….”
dan “Barang siapa membangun sebuah rumah untuk Allah lalu mengharapkan pahalanya….”
Al-Imam as-Suyuthi rahimahullah (wafat 911 H) menyebutkan sahabat-sahabat yang meriwayatkan hadits ini. Di antara mereka adalah al-Khulafa’ ar-Rasyidin: Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib; juga Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Jabir bin Abdillah, Abdullah bin al-‘Abbas, Aisyah, Ummu Habibah, Abdullah bin Amr bin al-Ash, Watsilah bin al-Asqa’, Asma’ bintu Yazid, Nabith bin Syarith, Abu Umamah, Abu Dzar al-Ghifari, Abu Qarshafah, Mu’adz bin Jabal, dan ‘Amr bin ‘Abasah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka seluruhnya. (Qathful Azhar al-Mutanatsirah)[2]
Membangun masjid termasuk wakaf dan amalan yang tidak akan terputus pahalanya dengan kematian, selama manfaatnya masih dirasakan. Mendirikan masjid termasuk sedekah jariyah yang tersebut dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang diriwayatkan banyak ahlul hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang mati, terputuslah amalannya selain tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang selalu mendoakannya.”
Di samping pahala yang terus mengalir, Allah subhanahu wa ta’ala juga menjanjikan pahala yang besar bagi seseorang yang membangun masjid, sebagaimana halnya yang ditunjukkan oleh hadits Utsman radhiyallahu anhu di atas. Barang siapa membangun masjid karena Allah subhanahu wa ta’ala, tidak mengharapkan pujian manusia, riya (ingin dilihat), atau sum’ah (ingin didengar), sungguh Allah subhanahu wa ta’ala akan membangun baginya sebuah rumah di jannah.
Tentu, rumah itu tidak bisa dibayangkan keindahannya. Apa yang disediakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala tidak bisa dibandingkan dengan bangunan terindah sekalipun di dunia ini, sebagaimana ditunjukkan oleh sebuah hadits qudsi,
أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ، وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ، وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ
“Aku menyediakan bagi para hamba-Ku yang saleh, kenikmatan yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan belum pernah pula terbetik dalam kalbu manusia.” (HR. al-Bukhari no. 3244, 4779 dan Muslim no. 2824 dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)
Kata (مَسْجِدًا) dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di atas adalah kata nakirah (kata benda yang tidak tertentu). Ini menunjukkan bahwa semua masjid yang dibangun akan mendapatkan pahala yang dijanjikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, berapa pun ukurannya, besar atau kecil.
Makna ini datang dalam lafadz hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu,
مَنْ بَنَى لِلهِ مَسْجِدًا صَغِيرًا كَانَ أَوْ كَبِيرًا بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa membangun masjid, kecil atau besar, Allah subhanahu wa ta’ala akan membangunkan untuknya rumah di surga.” (HR. at-Tirmidzi dalam as-Sunan no. 319)[3]
Dalam hadits lain, hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan dorongan yang kuat untuk membangun masjid walaupun kecil. Beliau shallallahu alaihi wa sallam membuat permisalan yang sangat mendalam dengan sabdanya,
مَنْ بَنَى لِلهِ مَسْجِدًا وَلَوْ مَفْحَصَ قُطَاةٍ بَنَى اللهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Barang siapa membangun masjid walaupun seluas peraduan (tempat mengeram) burung, Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 1/310, Ahmad no. 2157, al-Bazzar, ath-Thabarani, dan Ibnu Hibban. Hadits ini dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’)
“Barang siapa membangun masjid, kecil atau besar, Allah subhanahu wa ta’ala akan membangunkan untuknya rumah di surga.” (HR. at-Tirmidzi dalam as-Sunan no. 319)
Al-Munawi rahimahullah mengatakan, “Mayoritas ulama membawa hadits di atas kepada makna mubalaghah (menyangatkan) karena peraduan burung hanyalah seukuran tempat telur dan tempat tidurnya. Sebuah ukuran yang tidak cukup untuk melakukan shalat.” (at-Taisir bi Syarh al-Jami’ ash-Shaghir)
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah berkata, “Masjid, sebagaimana diketahui, tidak mungkin berukuran sebesar peraduan (tempat mengeram) burung. Namun, sabda ini sebagai bentuk mubalaghah (perumpamaan bahwa sekecil apa pun bangunan masjid, Allah subhanahu wa ta’ala tetap memberi pahala besar atas amalan tersebut). Sebagian ulama mengatakan bahwa ukuran tersebut (yakni sekecil peraduan burung) mungkin saja terwujud. Hal itu terjadi manakala masjid dibangun dengan bergotong royong dengan andil yang sedikit dari setiap orang. Artinya, pembangunan masjid dilakukan oleh beberapa orang.” (Ceramah asy-Syaikh al-Abbad dalam syarah Sunan Abi Dawud)
Masjid adalah rumah Allah subhanahu wa ta’ala. Disandarkan kepada-Nya karena kemuliaannya. Allah subhanahu wa ta’ala memilih masjid sebagai tempat yang paling Dia cintai. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الْبِلَادِ إِلَى اللهِ تَعَالَى مَسَاجِدُهَا وَأَبْغَضُ الْبِلَادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهَا
“Tempat yang paling dicintai oleh Allah adalah masjid-masjidnya, sedangkan tempat yang paling Dia benci adalah pasar-pasarnya.” (HR. Muslim [1/464 no. 671] dari jalan Abdurrahman bin Mihran, maula Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari beliau)
Hati orang-orang yang beriman selalu terkait dengan rumah-rumah Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan penuh harap kepada Allah subhanahu wa ta’ala, mereka memuliakan masjid-masjid Allah subhanahu wa ta’ala dan memakmurkannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk ditinggikan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang. (Mereka mengerjakan hal itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (an-Nur: 36—38)
Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengizinkan, yakni memerintahkan, agar masjid ditinggikan. Apa makna “meninggikan rumah-rumah Allah” dalam ayat ini?
Dalam kitab-kitab tafsir disebutkan dua penafsiran ayat ini.
Hal ini seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala tentang Nabi Ibrahim dan Isma’il alaihimassalam ketika meninggikan Baitullah, yakni membangunnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membangun) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), “Ya Rabb kami, terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 127)
Perintah dan dorongan membangun masjid banyak diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seperti hadits mutawatir yang sedang kita bicarakan dalam rubrik ini. Demikian pula hadits Aisyah radhiyallahu anha,
أَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ فِي الدُّوْرِ وَأَنْ تُنَظَّفَ وَتُطَيَّبَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar masjid-masjid dibangun di kabilah-kabilah (kampung-kampung). Beliau juga memerintahkan agar masjid dibersihkan dan diberi wewangian.” (HR. at-Tirmidzi dalam “Kitab al-Jumu’ah” no. 594, Sunan Abu Dawud dalam “Kitab ash-Shalah” no. 455 dan Ibnu Majah dalam “Kitab al-Masajid wal Jama’at” no. 759, dinyatakan sahih oleh al-Albani)
Al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Diagungkan maksudnya tidak disebut ucapan-ucapan yang buruk dalam masjid.”[5]
Makna kedua ini ditunjukkan pula oleh sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang sangat banyak. Beliau memerintah kita untuk membersihkan masjid dan memberikan wewangian, seperti dalam hadits Aisyah radhiyallahu anha,
وَأَنْ تُنَظَّفَ وَتُطَيَّبَ
“Dan diperintahkan agar (masjid) dibersihkan dan diberi wewangian.”
Dahulu, pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ada seorang wanita yang selalu membersihkan dan menyapu Masjid Nabawi.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga mengajarkan umatnya shalat tahiyatul masjid sebelum duduk di dalamnya.
Untuk memuliaan masjid, beliau juga melarang kita makan bawang lalu masuk ke masjid karena bau yang ditimbulkan akan mengganggu kaum mukminin. Disebutkan dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي غَزْوَةِ خَيْبَرَ: مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ-يَعْنِي الثُّومَ-فَلَا يَأْتِيَنَّ الْمَسَاجِدَ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda ketika Perang Khaibar, “Barang siapa memakan dari pohon ini—yakni bawang—, jangan sekali-kali ia mendatangi masjid-masjid.” (HR. Muslim 1/393 no. 561)
Beliau juga melarang umatnya meludah di masjid atau mengotorinya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda,
عُرِضَتْ عَلَيَّ أَعْمَالُ أُمَّتِي حَسَنُهَا وَسَيِّئُهَا، فَوَجَدْتُ فِي مَحَاسِنِ أَعْمَالِهَا الْأَذَى يُمَاطُ عَنِ الطَّرِيقِ، وَوَجَدْتُ فِي مَسَاوِي أَعْمَالِهَا النُّخَاعَةَ تَكُونُ فِي الْمَسْجِدِ لَا تُدْفَنُ
“Ditampakkan kepadaku amalan-amalan umatku, yang baik dan yang buruk. Aku pun melihat, di antara amalan-amalan baik umatku adalah duri-duri/gangguan yang disingkirkan dari jalan. Aku juga melihat, di antara amalan jelek mereka adalah riak/dahak yang berada di masjid, tetapi tidak ia pendam (dibuang).” (HR. Muslim dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu anhu)
Membersihkan masjid dari ludah atau yang semisalnya tidak hanya dilakukan oleh orang yang mengotorinya, tetapi juga oleh orang yang melihatnya. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى بُصَاقًا فِي جِدَارِ الْقِبْلَةِ فَحَكَّهُ
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah melihat ludah menempel di dinding masjid, maka beliau mengoreknya.” (HR. Muslim 1/388 no. 547)
Di antara bentuk pengagungan kepada masjid, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang jual beli di dalam masjid.
Perintah mengagungkan masjid juga tampak dalam kisah seorang badui yang kencing di masjid Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu anhu bercerita,
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ، فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
“Seorang Arab badui datang lalu kencing di salah satu sisi masjid (Nabawi). Orang-orang pun bangkit untuk mencegahnya. Namun, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang para sahabat. Ketika sang badui selesai dari kencingnya, Rasulullah memerintahkan agar dibawakan satu ember air dan dituangkan pada tanah yang terkena kencing.” (HR. al-Bukhari no. 219 dan Muslim no. 284, dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu. Ada pula riwayat lain dari beberapa sahabat selain Anas radhiyallahu anhu)
Pada sebagian riwayat kisah di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan nasihat kepada si Badui,
إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ وَلَا الْقَذَرِ، إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya masjid-masjid itu tidak pantas untuk dikotori dengan kencing dan kotoran. Masjid itu didirikan hanyalah untuk berzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, shalat, dan membaca al-Qur’an.”
Memakmurkan masjid dengan membangunnya dan dengan beribadah di dalamnya adalah tanda orang-orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain Allah. Merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (at-Taubah: 18)
Baca juga:
Pahala yang besar dari ibadah tidak akan terwujud kecuali jika diiringi keikhlasan dan sesuai dengan bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dua hal ini adalah syarat diterimanya suatu amalan.
Demikian pula membangun rumah Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadah ini wajib diiringi oleh keikhlasan dan bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dalam hadits Utsman bin Affan radhiyallahu anhu disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَنَى لِلهِ مَسْجِدًا يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللهِ
“Barang siapa membangun masjid, dengannya ia mengharapkan wajah Allah….”
Mengingat pentingnya ikhlas, ulama memberikan peringatan ketika seorang membangun masjid agar tidak menulis namanya pada masjid yang ia bangun agar keikhlasannya lebih terjaga.
Baca juga:
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Siapa yang menulis namanya pada masjid yang ia bangun, dia jauh dari keikhlasan.” (Dinukil oleh al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 2/222)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang penamaan masjid dengan nama orang, misal Masjid Fulan bin Fulan.
Beliau menjawab, “Penamaan seperti itu mengandung sisi kebaikan dan sisi keburukan. Sisi kebaikannya, ketika manusia membaca nama masjid, manusia akan mendoakan pembangunnya, ‘Semoga Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni orang yang telah membangunnya. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan balasan yang baik kepadanya’, atau doa-doa yang semisal.
Di sisi lain, penamaan tersebut mengandung keburukan, yaitu dikhawatirkan munculnya riya. Hal ini manakala ia membuat penamaan itu agar manusia melihatnya. Saat riya mengiringi sebuah amalan, sungguh ia akan menggugurkan amalan tersebut. Telah sahih dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Aku adalah sesembahan yang tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa melakukan suatu amalan yang ia menyekutukan selain-Ku dengan-Ku pada amalan itu, sungguh Aku tinggalkan ia bersama sekutunya.” (HR. Muslim no. 2985, dari siaran “Nurun ‘Ala ad-Darb”)
Di samping keikhlasan ketika membangun masjid, seorang harus memperhatikan bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam amalan yang agung ini. Menyelisihi bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berakibat tidak diterimanya amalan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa mengamalkan sebuah amalan yang tidak ada ajarannya dari kami, amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah radhiyallahu anha)
Di antara penyelisihan syariat dalam hal membangun masjid adalah membangun masjid di atas kuburan. Hal ini sering kita saksikan di tengah-tengah umat.
Menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid dan tempat ibadah adalah perbuatan Yahudi dan Nasrani yang dilaknat oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani. Mereka telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid.” (HR. al-Bukhari no. 435 dan Muslim no. 531 dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu anha)
Dalam hadits Jundub radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ، أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ، فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Ketahuilah, sungguh kaum yang sebelum kalian menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid. Maka dari itu, janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid. Sungguh, aku melarang kalian dari perbuatan itu.” (HR. Muslim no. 532)
Menjadikan kuburan orang saleh atau yang dianggap saleh sebagai masjid dan tempat ibadah adalah sebab yang mengantarkan pelakunya kepada syirik akbar.
Lihatlah apa yang terjadi di sekitar kita, di negeri ini. Kuburan para wali dijadikan tempat untuk beribadah, dijadikan masjid, dijadikan tempat untuk shalat, dijadikan tempat untuk iktikaf, hingga manusia pun menggantungkan asa dan harapan kepada penghuni kubur. Mereka menangis dan khusyuk di sisi kuburan para wali. Mereka meyakini bahwa orang-orang yang mati itu akan menjadi perantara yang menyampaikan permohonan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Akhirnya, terjatuhlah banyak manusia ke dalam kesyirikan. Wal ‘iyadzu billah.
Ada seseorang yang dahulu pernah berziarah ke makam Sunan Kali Jaga, Kadilangu, Demak, bercerita kepada kami. Manusia demikian berdesak menanti giliran masuk ke dalam ruangan makam. Begitu masuk, mereka menangis, khusyuk, menyampaikan segala keluh kesah dan permohonan.
Tentang masjid-masjid yang dibangun di atas kubur, Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Dibenci mengerjakan shalat di masjid-masjid tersebut, yakni yang dibangun di atas kubur para nabi, orang saleh, atau raja-raja. Dalam masalah ini, saya tidak tahu ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama). Shalat (yang ditegakkan dalam masjid yang dibangun di atas kuburan) tersebut tidak sah karena adanya larangan dan laknat….” (Iqtidha’ ash-Shirath al-Mustaqim 2/675)
Al-Imam al-Baihaqi[6], seorang pemuka ulama mazhab Syafi’i, membuat sebuah bab dalam kitab beliau, as-Sunan al-Kubra, dengan judul “Larangan Shalat Menghadap Kubur”. Kemudian beliau meriwayatkan hadits melalui jalan beliau, dari sahabat Abu Martsad al-Ghanawi radhiyallahu anhu yang berkata,
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لاَ تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا
Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian duduk di atas kubur, jangan pula kalian shalat menghadapnya.”
Setelah menyebutkan hadits di atas, al-Baihaqi mengatakan, “(Hadits ini) diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam ash-Shahih, dari al-Hasan bin ar-Rabi’, dari Ibnul Mubarak.”
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kemudahan kepada kaum muslimin untuk beribadah sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan penuh keikhlasan, mengharapkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
[1] Istilah mutawatir secara bahasa berasal dari kata “tawatara” yang bermakna “silih berganti atau terus-menerus.” Hal ini seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturut-turut.” (al-Mu’minun: 44)
Adapun secara istilah, hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak rawi yang secara kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat di atas kedustaan, dan berita tersebut bersandar kepada pancaindra, yakni benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan mereka.
Adapun berita yang disandarkan pada persangkaan, khayalan, atau yang semisal itu, meskipun diriwayatkan oleh banyak manusia, bahkan diwariskan dari generasi ke generasi, tidaklah dikatakan sebagai berita mutawatir. Contohnya, keyakinan ahlul kitab bahwasanya Isa bin Maryam meninggal disalib. Allah subhanahu wa ta’ala membantah keyakinan mereka yang batil ini dalam firman-Nya,
“Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keraguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu melainkan mengikuti persangkaan belaka. Mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.” (an-Nisa: 157)
[2] “Kitab Shalat” hlm. 84 hadits ke-28.
[3] Dinyatakan dha’if oleh Syaikh al-Albani rahimahullah. Meskipun lemah, hadits Abu Dzar radhiyallahu anhu berikutnya menunjukkan kebenaran makna hadits tersebut. Wabillahit taufiq.
[4] Makna pertama ini disebutkan oleh beberapa ahli tafsir, seperti al-Imam Mujahid rahimahullah.
[5] Ma’alimut Tanzil (Tafsir al-Baghawi).
[6] Al-Hafizh Abu Bakr Ahmad bin al-Husain bin Ali al-Baihaqi. Beliau lahir pada 384 H dan meninggal pada 458 H, lima tahun sebelum wafat al-Khathib al-Baghdadi dan Ibnu Abdil Barr.