Asysyariah
Asysyariah

meruntuhkan kesombongan dinasti sasanid

9 tahun yang lalu
baca 6 menit
Meruntuhkan Kesombongan Dinasti Sasanid

Meruntuhkan Kesombongan Dinasti Sasanid

Baiknya rakyat baru terwujud jika pemimpinnya telah memperbaiki dirinya. Walau tidak mutlak, tetapi kalimat ini banyak benarnya. Sebab, bisa jadi pula jika rakyat itu rusak iman dan akhlaknya, Allah subhanahu wa ta’ala akan pilihkan bagi mereka pemimpin yang sama seperti mereka. Bahkan, bisa jadi lebih jahat, sebagai hukuman terhadap mereka.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (al-An’am: 129)

Demikianlah sunnatullah, Dia menjadikan sebagian orang zalim itu menguasai orang yang zalim lainnya, mengajaknya kepada kejahatan, membuatnya tidak memerhatikan kebaikan, bahkan membuat mereka meninggalkan kebaikan itu. Itu semua adalah sebagian hukuman yang Allah subhanahu wa ta’ala timpakan kepada mereka.

Oleh karena itu, kaum muslimin di mana saja mereka bermukim, mendapati penguasa mereka berbuat zalim terhadap mereka, hendaklah mereka menyadari keadaan diri mereka sendiri lebih dahulu, sebelum mereka menyalahkan penguasa mereka. Sebagaimana dalam ayat yang mulia ini, bisa jadi penguasa yang mereka anggap berbuat zalim terhadap mereka, merampas hak-hak mereka, tidak mengayomi mereka, tidak membimbing mereka kepada yang haq, adalah hukuman atas kezaliman yang telah mereka lakukan lebih dahulu.

Kemaksiatan dan pelanggaran terhadap syariat Allah subhanahu wa ta’ala yang mereka lakukan akhirnya membuahkan kejelekan demi kejelekan, sampai munculnya penguasa yang menimpakan kejelekan yang lebih berat kepada mereka. Wallahul musta’an.

Ketika kaum muslimin yang ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radhiallahu ‘anhu masih berpegang teguh dengan agamanya, menjalankan sunnah Nabi-Nya, Allah subhanahu wa ta’ala memilihkan untuk mereka pemimpin yang setara dengan mereka. Sama baiknya, bahkan lebih, baik dalam hal ilmu, iman, takwa, maupun amal.

Itulah ‘Umar bin al-Khththab radhiallahu ‘anhu. Dia telah memperbaiki dirinya lebih dahulu sejak mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikrarkan keislamannya. Demikian pula selama menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendampingi Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu.

‘Umar selalu memperbaiki hubungan antara dia dan Rabbnya k. Kaum muslimin juga telah memperbaiki hubungan mereka dengan Allah subhanahu wa ta’ala, juga dengan sesama mereka, maka Allah subhanahu wa ta’ala membalas kebaikan mereka dengan memilihkan seorang pemimpin yang sebaik mereka, bahkan lebih.

‘Umar sangat takut kalau dia ditanya oleh Allah subhanahu wa ta’ala bagaimana bisa jiwa seorang muslim melayang begitu saja. Sering beliau terlihat mengantuk di siang hari, hingga ada yang menyarankan agar beliau tidur saja.

“Kalau aku tidur lelap di malam hari, hilang bagianku dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Kalau aku tidur di siang hari, telantarlah urusan rakyat yang menjadi tanggung jawabku,”

Tidak hanya urusan rakyat di dalam kota Madinah yang menjadi perhatian beliau, tetapi juga pasukan muslimin yang sedang berjihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, meninggalkan keluarga dan kampung halamannya. Beliau selalu mengingatkan para panglima agar jangan membawa pasukannya ke dalam bahaya.

Pernah diceritakan, salah seorang prajurit muslim mengalami kelumpuhan karena kedinginan. Berita itu sampai kepada Amirul Mukminin. Beliau kemudian berkata kepada Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali radhiallahu ‘anhu, yang menjadi komandan, “Hai Jarir, ini sum’ah (agar didengar dan dipuji orang). Sesungguhnya siapa yang berbuat sum’ah, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala perdengarkan.”

Maksudnya, seseorang berangkat pada musim dingin agar disebut-sebut bahwa dirinya berperang di musim dingin.

Begitu besar perhatian beliau terhadap jiwa pasukan muslimin, sampai-sampai beliau melarang mereka mengendarai kapal dan bertempur di laut. Ketika Mu’awiyah mendesak untuk berperang di laut, ‘Umar bertanya kepada ‘Amr bin al-‘Ash bagaimana naik kapal. ‘Amr menerangkan, “Seperti seekor ulat di atas sebatang ranting, kalau oleng, ulat itu tenggelam….”

Kemudian beliau menulis surat kepada Mu’awiyah, “Demi yang mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa al-haq, Aku tidak akan membawa seorang muslimin pun dengan kapal.”

Cintanya yang besar kepada seorang muslim dan antusiasnya atas keselamatan mereka membawa kepada keadaan yang mengherankan kaum muslimin; baik yang berada bersama beliau di Madinah, maupun yang sedang berada jauh di negeri lain, berhadapan dengan musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala.

Suatu ketika, Amirul Mukminin berdiri menyampaikan khutbah Jum’at di Masjid Nabawi. Belum lama berkhutbah, beliau berseru, “Ke gunung itu, ke gunung itu, wahai pasukan. Siapa yang mengambil serigala sebagai penggembala, berarti dia zalim.”

Kaum muslimin yang sedang mendengarkan khutbah tercengang keheranan. Ada apa dengan Amirul Mukminin? Mereka tidak paham apa maksud beliau berkata demikian? Siapa yang dimaksud?

Selesai shalat, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bertanya, “Apa yang Anda serukan ini?”

“Apakah kamu mendengarnya?” beliau balik bertanya.

Kata ‘Ali, “Ya. Saya dan semua yang di Masjid mendengarnya.”

“Muncul dalam batinku, orang-orang yang musyrik itu menyerang saudara-saudara kita dan mendesak mereka, sementara mereka (kaum muslimin) melewati sebuah gunung. Kalau mereka menuju ke gunung itu tentu mereka bisa menyerang siapa saja yang mereka temui dan pasti mereka menang. Kalau mereka melampauinya, niscaya mereka binasa, maka terucaplah olehku kalimat tadi.”

Sebulan kemudian, datanglah seorang kurir membawa berita gembira, lalu dia menyebutkan bahwa pada hari Jum’at itu, ketika mereka melewati sebuah gunung, mendengar suara yang mirip dengan suara ‘Umar yang menyerukan, “Ke gunung itu, ke gunung itu, wahai pasukan.” Mereka segera ke gunung itu, lalu Allah memberi kemenangan kepada mereka.

Itulah ‘Umar radhiallahu ‘anhu. Semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beberapa wahyu turun menyetujui pendapatnya. Firasatnya sering terbukti terhadap beberapa kejadian. Namun, beliau tidak selalu mengandalkan firasatnya memutuskan persoalan. Sebaliknya, beliau sering bermusyawarah dengan para sahabat.

Nun, di negeri seberang, dari balik gunung-gunung batu dan padang sahara, terdengar berita bahwa bangsa Persia telah bersiap-siap menyerang kaum muslimin. Amirul Mukminin segera mengumpulkan para sahabatnya untuk bermusyawarah. Beliau berniat memimpin sendiri pasukan kaum muslimin.

Akan tetapi, beberapa sahabat senior melarang beliau berbuat demikian. Mereka meminta agar Amirul Mukminin tetap di Madinah dan menunjuk seseorang untuk menjadi panglima kaum muslimin menghadapi Persia.

Siapakah dia?

Waktu itu, Sa’d bin Abi Waqqash sedang bertugas menarik zakat di Hawazin. Beliau menulis surat kepada Amirul Mukminin melaporkan tugasnya, bertepatan saat Amirul Mukminin sedang berdiskusi dengan para sahabatnya tentang siapa yang layak ditunjuk sebagai panglima.

Saat mereka berdiskusi, tiba-tiba ‘Abdurrahman bin ‘Auf berseru, “Saya menemukan calonnya, wahai Amirul Mukminin.”

“Siapa?” tanya ‘Umar.

“Si Singa, Sa’d bin Abi Waqqash,” jawab ‘Abdurrahman.

Ketika semua menyetujui Sa’d sebagai panglima, ‘Umar berkata, “Dia memang pemberani, juga ahli pedang dan panah.”

Setelah itu, Amirul Mukminin memerintahkan agar Sa’d segera pulang ke Madinah. Begitu keduanya bertemu, ‘Umar berkata, “Saya ingin memberimu tugas besar.”

“Kalau menarik zakat atau jizyah, saya tidak mau. Kalau berperang, saya siap,” jawab Sa’d dengan gagah.

“Memang untuk perang.”

Akhirnya, Sa’d menerima tugas panglima itu dalam keadaan menyadari betul bahaya besar yang akan dihadapi, karena mereka akan melawan para Kisra Persia, yang terkenal sebagai ahli-ahli perang. Wallahu a’lam.

(insya Allah bersambung)

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits