Tanya: Apakah menyusui anak laki-laki yang sudah besar punya pengaruh dalam kemahraman? Bagaimana bila ada seorang wanita menyusui anak laki-laki yang sudah besar karena ia membutuhkan mahram?
Jawab: Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh t menjawab: “Ulama memiliki beberapa pendapat dalam masalah ini. Jumhur berpendapat bahwa penyusuan yang menyebabkan kemahraman secara syar’i adalah bila si anak menyusu lima kali susuan atau lebih, dan penyusuan itu terjadi ketika si anak dalam batasan usia dua tahun. Dengan dalil sabda Rasulullah n yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah x:
لاَ يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ إِلاَّ مَا فَتَقَ الْأَمْعَاءَ وَكَانَ قَبْلَ الْفِطَامِ
“Suatu penyusuan tidaklah menjadikan mahram kecuali yang mengisi usus dan berlangsungnya sebelum anak itu disapih.”4 Hadits ini diriwayatkan At-Tirmidzi dan ia menshahihkannya.”
Asy-Syaikh t melanjutkan, “Inilah mazhab/pendapat yang kami pegangi.
Sebagian ahlul ilmi yang lain berpendapat teranggapnya penyusuan anak yang sudah besar. Mereka berargumen dengan kisah Salim maula Abi Hudzaifah c. Disebutkan bahwa Sahlah istri Abu Hudzaifah berkata, “Wahai Rasulullah, Salim biasa masuk menemuiku sementara ia sudah besar sehingga dalam diri Abu Hudzaifah ada rasa tidak senang.” Rasulullah n bersabda kepadanya:
أَرْضِعِيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْكِ
“Susuilah Salim hingga ia bisa masuk menemuimu.”5
Mereka yang menolak teranggapnya penyusuan anak yang sudah besar memberikan tanggapan tentang kisah Salim, dengan beberapa jawaban. Di antaranya: kejadian Salim adalah khusus baginya. Sebagaimana pernyataan para Ummahatul Mukminin –semoga Allah l meridhai mereka– ketika menyatakan, “Kami tidaklah memandang peristiwa itu melainkan sebagai rukhshah (keringanan) yang Rasulullah n berikan kepada Salim secara khusus. Maka tidak boleh seorangpun masuk menemui kami dan melihat kami dengan penyusuan seperti itu.”
Dua orang syaikh, Ibnu Taimiyah t dan Ibnul Qayyim t mengambil jalan tengah dalam permasalahan ini. Keduanya menyebutkan bahwa kisah Salim Maula Abi Hudzaifah ini merupakan satu jenis peristiwa yang khusus berlaku dalam seluruh keadaan yang serupa dengan keadaan Sahlah bersama Salim. Hukumnya seperti hukum kisah Abu Burdah ketika menyembelih kurban sebelum dilangsungkannya shalat Id, maka Rasulullah n bersabda kepadanya:
شاَتُكَ شَاةُ لَحْمٍ. فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَيْسَ عِنْدِي غَيْرَهَا غَيْر جَذَعٍ مِنَ الْمَعْزِ. فَأَجَازَهُ n، وَقَالَ: وَلَنْ تَجْزِيَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ
“Kambing yang telah engkau sembelih itu keberadaannya sebagai kambing yang sekadar untuk dinikmati dagingnya (tidak teranggap sembelihan qurban karena disembelih sebelum shalat Id, pent.).” Abu Burdah berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak punya lagi kambing (untuk disembelih) selain kambing tersebut, kecuali seekor jadza’ dari ma’iz (anak kambing kacang/kambing jawa yang berusia 6 bulan –pent.).” Rasulullah n pun membolehkan Abu Burdah berqurban dengan anak kambingnya yang masih ada6seraya bersabda, “Dan ini tidak dibolehkan bagi seorang pun setelahmu.”7
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Maksudnya, tidak boleh lagi setelah keadaanmu ini.”
Apa yang kami isyaratkan ini disebutkan dengan jelas oleh Syaikhul Islam dalam Al-Ikhtiyarat, di mana beliau menyatakan, “Penyusuan lelaki/anak yang telah besar menyebabkan tersebarnya hurmah (hubungan kemahraman) dari sisi bolehnya ia masuk menemui ibu susunya dan berduaan dengannya, apabila memang si anak/lelaki yang sudah besar itu sebelumnya telah dididik/dibesarkan di rumah tersebut, di mana penghuni rumah tidak marah dengan keluar masuknya karena kebutuhan yang ada. Hal ini berdasarkan kisah Salim, maula Abi Hudzaifah.”
Dengan apa yang telah kami sebutkan, menjadi jelaslah jawaban yang ada dan menjadi jelas dengannya keberadaan wanita yang anda tanyakan. Keadaannya tentu tidak sama dengan keadaan Sahlah istri Abu Hudzaifah, karena wanita itu ingin menyusui seorang anak yang sudah besar agar menjadi mahramnya. Yang seperti ini tidak dibolehkan.
Adapun kalau si wanita mengatakan, ia butuh kepada mahram, karena kalau aku mati siapa yang akan memasukkanku ke dalam kubur dan melepas ikatan kafanku?
Maka jawabannya, tidak apa-apa seorang lelaki ajnabi memasukkan jenazah seorang wanita ke dalam kuburnya dan melepas ikatan kafannya, walaupun di sana ada mahram si wanita. Demikian, dan hanya Allah l-lah yang memberi taufik. (Fatawa wa Rasa`il Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, 11/176, 177. Fatwa ini bernomor 2182/1, bertanggal 12 Sya’ban 1385 H)