Asysyariah
Asysyariah

menyikapi nikmat dunia sebagai ujian

4 tahun yang lalu
baca 14 menit
Menyikapi Nikmat Dunia Sebagai Ujian

Suatu anggapan yang keliru apabila cobaan hanya terbatas pada hal yang tidak mengenakkan saja. Sebut misalnya kefakiran dan penyakit. Pandangan yang sempit tentang cobaan tersebut merupakan akibat dari ketidaktahuan seorang tentang kehidupan dunia.

Allah subhanahu wa ta’ala dalam banyak ayat Al-Qur’an telah menegaskan, demikian pula Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sekian haditsnya, nikmat dan kesenangan duniawi merupakan ujian bagi hamba sebagaimana kesengsaraan hidup juga dijadikan cobaan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَنَبۡلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةًۖ وَإِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ  

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (al-Anbiya: 35)

Ibnu Abbas radhialllahu anhuma berkata menafsirkan ayat ini, “(Kami menguji kalian) dengan kesusahan dan kesenangan, dengan sehat dan sakit, dengan kekayaan dan kefakiran, serta dengan yang halal dan yang haram. Semuanya adalah ujian.”

Ibnu Yazid rahimahullah mengatakan, “Kami uji kalian dengan sesuatu yang disenangi dan yang dibenci oleh kalian, agar Kami melihat bagaimana kesabaran dan syukur kalian.”

Al-Kalbi rahimahullah berkata, “(Maksud Kami menguji) dengan kejelekan ialah yang berupa kefakiran dan musibah. Adapun diuji dengan kebaikan ialah yang berupa harta dan anak.”

Baca juga:

Harta, Antara Nikmat dan Fitnah

Dalam ayat lain, Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

فَأَمَّا ٱلۡإِنسَٰنُ إِذَا مَا ٱبۡتَلَىٰهُ رَبُّهُۥ فَأَكۡرَمَهُۥ وَنَعَّمَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّيٓ أَكۡرَمَنِ ١٥ وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبۡتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيۡهِ رِزۡقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّيٓ أَهَٰنَنِ ١٦ كَلَّاۖ

“Adapun manusia apabila Rabb-nya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, dia akan berkata, ‘Rabb-ku telah memuliakanku.’ Adapun apabila Rabb-nya mengujinya lalu membatasi rezekinya, dia berkata, ‘Rabb-ku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak (demikian).” (al-Fajr: 15—17)

Perhatikanlah ayat-ayat ini, bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala menguji hamba-Nya dengan memberikan kemuliaan, nikmat, dan keluasan rezeki, sebagaimana pula Allah subhanahu wa ta’ala mengujinya dengan menyempitkan rezeki. Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengingkari orang yang menyangka bahwa diluaskannya rezeki seorang hamba merupakan bukti pemuliaan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya dan bahwa disempitkannya rezeki adalah bentuk dihinakannya hamba.

Allah subhanahu wa ta’ala mengingkari dengan mengatakan كَلَّا (sekali-kali tidak), yakni bahwa perkara yang sebenarnya tidak seperti yang diucapkan oleh (sebagian) orang. Justru Aku (Allah subhanahu wa ta’ala) terkadang menguji dengan nikmat-Ku, sebagaimana terkadang Aku memberi nikmat dengan cobaan-Ku.

Masih banyak ayat yang semakna dengan yang telah disebutkan. Misalnya,

وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ دَرَجَٰتٍ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (al-An’am: 165)

إِنَّا جَعَلۡنَا مَا عَلَى ٱلۡأَرۡضِ زِينَةً لَّهَا لِنَبۡلُوَهُمۡ أَيُّهُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًا

“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya.” (al-Kahfi: 7) (lihat ‘Uddatush Shabirin, karya Ibnul Qayyim rahimahullah hlm. 247—248, cet. Darul Yaqin)

Baca juga:

Jangan Terpikat dengan Dunia

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

“Sesungguhnya bagi tiap umat ada fitnah (ujian yang menyesatkan), dan fitnah umatku adalah harta.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 2336)

Sufyan rahimahullah mengatakan, “Tidak termasuk orang yang mendalam ilmunya apabila seseorang tidak menganggap bala (musibah) sebagai nikmat dan kenikmatan sebagai cobaan.” (lihat ‘Uddatush Shabirin, hlm. 211)

Musibah dianggap sebagai nikmat karena musibah yang menimpa seorang mukmin adakalanya sebagai penghapus dosa yang dilakukannya, atau untuk meninggikan derajatnya, atau sebagai cambuk peringatan agar dia kembali ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala.

Syukur Nikmat

Segala nikmat yang diperoleh hamba dalam bentuk apa pun, baik yang bersifat materi maupun nonmateri, yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, menuntut hamba untuk bersyukur. Tentunya semakin banyak dan besar suatu pemberian, kewajiban untuk bersyukur pun semakin besar.

Allah memberikan kepada Nabi Dawud  alaihis salam dan keluarganya berupa nikmat duniawi serta ukhrawi, yang tidak Dia berikan kepada kebanyakan orang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ٱعۡمَلُوٓاْ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكۡرًاۚ وَقَلِيلٞ مِّنۡ عِبَادِيَ ٱلشَّكُورُ

“Beramallah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah), dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Saba: 13)

Sebagian salaf berkata, “Tatkala dikatakan hal ini kepada keluarga Dawud, maka tidaklah datang suatu waktu kecuali di tengah-tengah mereka ada yang melakukan shalat. Ketika Khalid bin Shafwan masuk menemui Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, ia mengatakan, ‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak ridha ada seseorang yang kedudukannya berada di atasmu. Maka dari itu, janganlah engkau mau ada orang lebih bersyukur darimu’.” (Syarh Hadits Syaddad, Ibnu Rajab rahimahullah, hlm. 41—42)

Bersyukur merupakan ibadah yang besar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱشۡكُرُواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ

“Dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (an-Nahl: 114)

Mensyukuri nikmat juga sebab paling utama untuk dilanggengkannya nikmat dan ditambahkannya. Sebaliknya, mengufuri nikmat dan menggunakannya pada kemaksiatan merupakan faktor utama dicabutnya nikmat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)

Baca juga:

Antara Syukur dan Kufur Nikmat

Tentunya merupakan sikap yang sangat tercela apabila seorang tidak mau berterima kasih kepada Sang Pemberi nikmat. Terlebih lagi sampai menggunakannya pada perkara yang mendatangkan kemurkaan Sang Pemberi. Apabila seperti ini seseorang menyikapi pemberian Allah subhanahu wa ta’ala, azab lebih dekat ketimbang rahmat. Kenikmatan pun sudah di ambang pintu untuk meninggalkannya.

Ini persis seperti yang dialami oleh kaum Saba dahulu. Kaum Saba—suatu kabilah Arab yang tinggal di Ma’rib, Yaman—telah mampu membuat bendungan raksasa sehingga negeri itu subur dan makmur. Namun, kemewahan dan kemakmuran ini menyebabkan mereka ingkar kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan mendustakan para rasul. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menimpakan azab berupa banjir hebat yang ditimbulkan oleh bobolnya bendungan Ma’rib.

Kerajaan Saba yang waktu itu mencapai puncak kemewahan dan kemakmuran, tinggal cerita. Negeri itu menjadi kering. Kerajaan Saba pun runtuh. Allah subhanahu wa ta’ala telah kisahkan tentang runtuhnya Kerajaan Saba dalam Al-Qur’an surah Saba’ ayat 15—17.

Baca juga:

Nikmat Berganti Petaka, Pelajaran dari Kisah Kaum Saba

Mensyukuri meliputi beberapa perkara:

  1. Meyakini dalam hati bahwa nikmat yang diterima adalah semata-mata pemberian Allah subhanahu wata’ala.

Seperti inilah sikap seorang mukmin. Dia tidak menisbahkan nikmat kepada kekuatan, kepintaran, keberaniannya, dan semisalnya. Tatkala singgasana Ratu Saba bisa didatangkan di hadapan Nabi Sulaiman alaihissalam dalam tempo sekejap, beliau berkata,

هَٰذَا مِن فَضۡلِ رَبِّي لِيَبۡلُوَنِيٓ ءَأَشۡكُرُ أَمۡ أَكۡفُرُۖ

“Ini termasuk karunia Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (an-Naml: 40)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Nabi Sulaiman alaihis salam tidak teperdaya dengan (menyombongkan) kerajaan, kekuasaan, dan kemampuannya. Ini berbeda dengan kebanyakan para raja yang bodoh. Nabi Sulaiman alaihis salam tahu bahwa ini adalah ujian dari Rabb-nya sehingga khawatir bila apatidak mampu mensyukurinya.” (Tafsir as-Sa’di, hlm. 605)

Baca juga:

Kisah Nabi Dawud dan Sulaiman

Coba bandingkan dengan sikap dan ucapan Qarun yang menyombongkan kemampuannya. Allah subhanahu wa ta’ala mengisahkan,

قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ

Qarun berkata, “Sesungguhnya aku diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (al-Qashash: 78)

Ucapan dan kesombongan Qarun sudah berlalu beribu-ribu tahun, tetapi sikapnya masih terus terwariskan sampai saat ini. Kerap sekali kita dengar ucapan yang senada dengannya, seperti, “Harta ini saya peroleh semata-mata karena hasil karya dan ketekunan (kerja keras) saya.” Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

وَمَا بِكُم مِّن نِّعۡمَةٍ فَمِنَ ٱللَّهِۖ  ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ ٱلضُّرُّ فَإِلَيۡهِ تَجۡ‍َٔرُونَ

“Dan nikmat apa saja yang ada padamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Apabila kamu ditimpa oleh kemudaratan, hanya kepada-Nya kamu meminta pertolongan.” (an-Nahl: 53)

  1. Memuji Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya dengan mengucapkan puji syukur dan menceritakannya secara lahir.

Sebab, selalu mengingat dan menceritakan pemberian Allah subhanahu wa ta’ala akan mendorong untuk bersyukur. Hal itu karena manusia mempunyai tabiat menyukai orang yang berbuat baik kepadanya.

  1. Menggunakan nikmat untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bukan untuk maksiat, serta merealisasikan beragam amal saleh sebagai bentuk mensyukuri nikmat.

Sebab, nikmat hanyalah titipan yang seharusnya dijaga dan tidak dipergunakan kecuali pada batasan-batasan yang dibolehkan agama. Apabila kita perhatikan perjalanan hidup para kekasih Allah subhanahu wa ta’ala dari kalangan para nabi dan orang-orang saleh, niscaya kita dapati mereka adalah teladan dalam mensyukuri nikmat.

Kedudukan dan kekuasaan yang ada pada mereka dijadikan sarana untuk menebarkan keadilan di tengah-tengah manusia. Harta yang mereka peroleh dibelanjakan pada pos-pos kebaikan serta untuk menyokong untuk kemuliaan Islam dan muslimin. Ilmu yang mereka dapatkan diamalkan dan ditebarkan tanpa mengharapkan apapun kecuali keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga:

Sebab Hilangnya Nikmat

Lihat teladan terbaik bagi kita, yaitu Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, bagaimana beliau banyak melakukan shalat malam hingga bengkak kakinya. Tatkala beliau ditanya tentang hal itu, padahal dosa dan kesalahannya yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni, beliau bersabda,

أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْداً شَكُورًا

“Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur.” (HR. al-Bukhari)

Tidak Tertipu dengan Nikmat

Sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata,

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَخْلَاقَكُمْ، كَمَا قَسَمَ بَيْنَكُمْ أَرْزَاقَكُمْ، وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُعطي الْمَالَ مَنْ أَحَبَّ وَمَنْ لَا يُحب، وَلَا يُعْطِي الْإِيمَانَ إِلَّا مَنْ يُحِبُّ

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah menentukan watak kalian sebagaimana telah menentukan rezeki di antara kalian. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memberi harta kepada orang yang Dia cintai dan orang yang Dia benci. (Namun,) Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberi keimanan kecuali kepada yang Dia cintai.” (Shahih al-Adab al-Mufrad, no. 209)

Allah subhanahu wa ta’ala memberikan harta dan kedudukan kepada orang yang Dia cintai dari kalangan para nabi dan wali, seperti Nabi Sulaiman alaihis salam dan sahabat Utsman bin Affan radhiallahu anhu. Dia juga memberi kemewahan dunia yang sementara kepada para musuh-Nya, semisal Fir’aun dan Qarun. Hal ini seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,

كُلّٗا نُّمِدُّ هَٰٓؤُلَآءِ وَهَٰٓؤُلَآءِ مِنۡ عَطَآءِ رَبِّكَۚ وَمَا كَانَ عَطَآءُ رَبِّكَ مَحۡظُورًا

“Kepada setiap golongan, baik golongan ini maupun golongan itu, Kami berikan bantuan dari kemurahan Rabb-mu. Dan kemurahan Rabb-mu tidak dapat dihalangi.” (al-Isra: 20)

Baca juga:

Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia

Oleh sebab itu, janganlah seorang tertipu apabila melihat orang kafir dan para pelaku maksiat diberi kemewahan dunia dan kedudukan terpandang. Sebab, itu adalah istidraj (jebakan) bagi hamba dari Allah subhanahu wa ta’ala. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ

Apabila kamu melihat Allah subhanahu wa ta’ala memberi hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan) dari Allah.” (HR. Ahmad dan selain beliau, lihat Shahihul Jami’, no. 561)

Kenikmatan Dunia Bukan Ujian Ringan

Kenikmatan dunia dengan berbagai macamnya merupakan ujian yang berat. Sahabat Abdurrahman bin Auf radhiallahu anhu berkata, “Dahulu kami diuji bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan kesengsaraan dan kami (mampu) bersabar. Setelah Nabi shallallahu alaihi wa sallam meninggal, kami diuji dengan kesenangan dan kami tidak bersabar.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 2464)

Abdurrahman bin Auf radhiallahu anhu hendak mengatakan bahwa mereka diuji dengan kefakiran, kesulitan, dan siksaan (musuh); dan mereka mampu bersabar. Namun, tatkala (kesenangan) dunia, kekuasaan, dan ketenangan datang kepada mereka, mereka bersikap sombong. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi)

Di saat kran dunia dibuka lebar-lebar, manusia akan berlomba-lomba untuk mendapatkannya meskipun ada sesuatu yang harus dikorbankan. Persaudaraan yang dahulu terjalin erat kini harus rusak berantakan karena ambisi kebendaan. Sikap saling cinta dan benci yang dahulu diukur dengan agama, sekarang sudah terbalik timbangannya. Mereka menjalin persaudaraan karena dunia. Karena dunia pula mereka melontarkan kebencian. Dengan ini mereka tega memutuskan tali kekerabatan, mengalirkan darah, dan melakukan beragam kemaksiatan. Seperti inilah apabila kemewahan dunia menjadi puncak tujuan seseorang.

Baca juga:

Ketika Dunia Menjadi Harga Keyakinan

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم

“Bukan kefakiran yang aku takutkan atas kalian. Akan tetapi, aku khawatir akan dibuka lebar (pintu) dunia kepada kalian, seperti telah dibuka lebar kepada orang sebelum kalian. Nanti kalian akan saling bersaing untuk mendapatkannya sebagaimana mereka telah bersaing untuknya. Nantinya (kemewahan) dunia akan membinasakan kalian seperti telah membinasakan mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Pada akhir-akhir masa sahabat telah muncul gejala yang dikhawatirkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Perebutan kekuasaan telah memicu adanya peperangan. Persatuan mulai tercabik-cabik dan ketenangan sudah mulai terusik serta jiwa solidaritas melemah di antara manusia.

Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma berkata, “Sungguh, kami telah mengalami suatu masa saat tidak ada seorang pun (menganggap) lebih berhak dengan uang dinar dan dirham yang dimilikinya lebih daripada saudaranya yang muslim. Akan tetapi, sekarang dinar dan dirham lebih dicintai oleh seseorang daripada saudaranya yang muslim.” (Shahih Adab al-Mufrad, no. 81)

Baca juga:

Mencintai Orang Beriman dan Membenci Orang Kafir, Tali Keimanan Terkokoh dalam Islam

Tentunya, semakin jauh suatu masa dari zaman kenabian akan didapatkan kenyataan yang lebih pahit dan lebih menyedihkan dari sebelumnya. Tidak asing apabila sekarang ada orang yang masih mengaku muslim, tetapi tidak lagi peduli dengan kewajiban dan agamanya. Ambisi dunia telah menyita seluruh waktu, tenaga, dan hartanya. Seolah lisan hal-nya hendak mengatakan, “Hidup hanya di dunia, di sini kita hidup, di sini pula kita mati, dan tidak ada hari kebangkitan.”

Orang seperti ini, apabila engkau ajak kepada kebaikan dan majelis ilmu, seribu alasan akan dikemukakan untuk tidak mendatanginya. Subhanallah, untuk dunia yang fana, yang nantinya akan dia tinggalkan, segala kemampuan dia curahkan. Namun, untuk amal kebaikan sebagai bekal untuk akhirat yang kekal ternyata tidak ada kesempatan barang sedikit pun.

Seseorang Akan Ditanya tentang Nikmat

Nikmat bukan pemberian cuma-cuma yang kita bebas mempergunakannya semau kita. Ia merupakan amanat yang kita akan dimintai pertanggungjawabannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

ثُمَّ لَتُسۡ‍َٔلُنَّ يَوۡمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (at-Takatsur: 8)

Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nikmat di sini adalah sehatnya badan, pendengaran, dan penglihatan. Allah subhanahu wa ta’ala menanyai hamba-hamba-Nya tentang nikmat tersebut, untuka hal apa mereka pergunakan. Allah subhanahu wa ta’ala menanyai mereka padahal Allah subhanahu wa ta’ala lebih tahu tentangnya daripada mereka.

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa ayat tersebut adalah berita dari Allah subhanahu wa ta’ala bahwa seluruh nikmat akan ditanya oleh-Nya. Qatadah berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menanyai semua hamba-Nya tentang apa yang telah Dia titipkan kepada mereka berupa nikmat dan hak-Nya.” (lihat Tafsir al-Qasimi, 7/379)

Baca juga:

Hisab, Pasti Terjadi

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أفنَاهُ؟ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ؟ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ؟ وَمَا ذَا عَمِلَ فِيمَ عَلِمَ؟

“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) dari sisi Rabb-nya di hari kiamat hingga ditanya tentang lima hal: (1) tentang umurnya untuk apa ia gunakan, (2) tentang masa mudanya pada apa ia habiskan, (3 & 4) tentang hartanya darimana ia peroleh dan pada apa ia belanjakan, dan (5) tentang apa yang ia amalkan dari ilmunya.” (Dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 2417, cet. al-Ma’arif)

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.