Betapa kuat pengaruh teman dekat dan sahabat karib, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh, Allah tidaklah mengutus seorang nabi atau seorang khalifah, kecuali mempunyai dua macam bithanah (orang kepercayaan). Bithanah yang mengarahkan kepada kebaikan dan mencegahnya dari kemunkaran atau bithanah yang selalu mengarahkan kepada keburukan. Siapa saja yang terlindungi dari bithanah yang buruk, sungguh ia telah terjaga. ”
Takhrij Hadits
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, kata per katanya sesuai dengan riwayat al-Imam al-Bukhari dalam karya beliau al-Adabul Mufrad (256).
Hadits di atas juga disebutkan oleh at-Tirmidzi dalam as-Sunan (2/58—59) dan asy-Syama-il al-Muhammadiyah (134), ath-Thahawi dalam Musykilul Atsar (1/195—196) , al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/131), dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/17/2).
Seluruh ulama hadits di atas meriwayatkan hadits ini dari berbagai jalur riwayat yang berbeda. Namun, semuanya kembali dan bermuara pada jalur riwayat Abdul Malik bin Umair, dari Abu Salamah bin Abdur Rahman, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian. Hadits ini—walhamdulillah—dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (1641).
Sabda Rasulullah subhanahu wa ta’ala di atas, sebenarnya mempunyai asbabul wurud (kronologi kejadian) yang juga disebutkan dalam riwayat. Saat itu, Rasululllah subhanahu wa ta’ala bertanya kepada sahabat Abul Haitsam, “Apakah engkau mempunyai budak pelayan?”
Ternyata Abul Haitsam tidak memilikinya.
“Apabila tiba nanti rombongan tawanan, silahkan engkau menemui saya,” pesan Rasulullah.
Selanjutnya, ada dua orang tawanan yang dibawa ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abul Haitsam yang mendengar berita tersebut segera menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memberi kesempatan Abul Haitsam untuk memilih salah satunya. Namun, Abul Haitsam memohon kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berkenan memilihkannya.
“Sungguh, orang yang dimintai pendapatnya adalah orang yang memperoleh amanat. Silakan engkau ambil budak yang ini, karena aku melihatnya mau mengerjakan shalat. Berbuat baiklah engkau kepadanya!” demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil keputusan sekaligus berpesan.
Sepulang ke rumah dan setelah bercerita, istri Abul Haitsam menyampaikan, “Sungguh, engkau belum akan bisa melaksanakan pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk berbuat baik), kecuali dengan cara memerdekakan budak itu.”
Abul Haitsam lantas memerdekakan budak tersebut.
Mengetahui hal tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan sabda di atas, “Sungguh, Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah mengutus seorang nabi atau seorang khalifah, kecuali mempunyai dua macam bithanah (orang kepercayaan). Bithanah yang mengarahkan kepada kebaikan dan mencegahnya dari kemungkaran atau bithanah yang selalu mengarahkan kepada keburukan. Siapa saja yang terlindungi dari bithanah yang buruk, sungguh ia telah terjaga.”
Makna Hadits
An-Nawawi rahimahullah dalam karya beliau yang berjudul Riyadhus Shalihin, menuliskan sebuah judul untuk hadits ini, “Bab tentang anjuran bagi penguasa tertinggi, qadhi, atau jajaran pemerintahan untuk mengangkat penasihat yang baik, serta berhati-hati menerima masukan dari para pembisik yang buruk.”
Dalam keterangannya, Ibnu Utsaimin (Syarah Riyadhus Shalihin) menyatakan, “Hal ini merupakan fakta yang nyata. Anda menyaksikan seorang pemimpin, kepribadian aslinya mulia dan mempunyai keinginan yang baik. Namun, Allah subhanahu wa ta’ala mengujinya dengan penasihat-penasihat yang buruk—wal ‘iyadzu billah. Mereka menghalang-halanginya dari keinginan yang baik, dan justru membujuknya untuk melakukan perbuatan buruk.”
Sebaliknya juga, masih keterangan dari Ibnu Utsaimin, “Anda bisa menyaksikan seorang pemimpin yang wataknya kurang baik, tetapi di sekelilingnya berdiri para penasihat yang baik. Mereka mengarahkan kepada kebaikan. Mereka menyarankan dia untuk melakukan program yang melahirkan kecintaan antara dirinya dan rakyat. Akhirnya, dirinya dan keadaannya akan lurus dan baik.”
Kemudian asy-Syaikh Ibnu Utsaimin menasihati kita semua bahwa hal ini tidak hanya berlaku di kalangan penguasa atau di jajaran pemerintahan. Beliau mengatakan, “Oleh sebab itu, silakan introspeksi dirimu sendiri! Jika Anda melihat sahabat-sahabat dekatmu selalu mengarahkan kepada kebaikan, mendukung Anda dalam kebaikan, bila Anda lupa mereka segera mengingatkan, dan kalau Anda tidak mengetahui mereka langsung berbagi ilmu; pegang erat-erat ikat pinggang mereka dan gigitlah dengan gigi geraham!”
Setelah itu, asy-Syaikh Ibnu Utsaimin mengingatkan kita tentang pengaruh negatif dari teman-teman yang buruk. Kita harus menjauh dan menghindar dari mereka karena sedikit banyak pengaruh buruk mereka akan terlihat pada cara berpikir, tingkah laku, dan pola bicara kita.
Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun Demikian?
Barangkali hadits di atas sempat dipertanyakan, bagaimana mungkin seorang nabi ada kemungkinan untuk mempunyai bithanah yang buruk?
Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadir menjelaskan bahwa tidak mungkin seorang nabi mengikuti masukan orang yang jahat atau melaksanakan sarannya.
Mengapa? Sebab, nabi adalah hamba yang maksum; terjaga dari dosa.
Buktinya? Bukankah di akhir hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan?
Beliau bersabda, “Siapa saja yang terlindungi dari bithanah yang buruk, sungguh ia telah terjaga.”
Oleh sebab itu, al-Munawi mengingatkan kita bahwa seorang nabi atau seorang khalifah saja mungkin diuji dengan pembisik jahat, apalagi kita sebagai orang biasa. Karena itu, kita harus selalu waspada dan berhati-hati dari pengaruh orang-orang buruk di sekitar kita.
Sejarah Kaum Syiah sebagai Bithanah yang Jahat
Memberi akses untuk kaum Syiah dalam berperan di kehidupan bermasyarakat atau bernegara adalah langkah yang tidak boleh diambil. Memberi peluang untuk kaum Syiah sama saja menanam bibit-bibit kehancuran. Kaum Syiah tidak boleh mendapat pintu untuk tampil di hadapan publik. Kaum Syiah mesti ditekan, dilarang, dan diminimalkan.
Kita tidak boleh lupa, pura-pura lupa atau berusaha menutup mata dari sejarah Syiah. Mereka melakukan konsep clandestine di tubuh pemerintahan. Menyusupkan kader-kadernya, menggalang para simpatisan dan mengondisikan hukum perundang-undangan, sudah mereka lakukan sejak zaman dahulu. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menghancurkan Islam.
Sebagai contoh adalah dua tokoh Syiah yang bernama Ibnul Alqami dan at-Thusi (al-Bidayah wan Nihayah). Mereka berdua secara licik masuk menyusup dalam struktur pemerintahan di zaman Kekhalifahan Abbasiyah. Perlahan tapi pasti, mereka menapaki jenjang demi jenjang struktur pemerintahan. Itu semua dilakukan dengan menyembunyikan paham dan ideologi Syiahnya.
Sampai kemudian mereka berdua mencapai kedudukan seorang menteri di masa Khalifah al-Mush’tashim al-Abbasi. Apa yang mereka lakukan?
Mereka mengajukan usulan agar jumlah pasukan Islam dikurangi dengan alasan efisiensi. Terutama pasukan inti yang berada di pusat pemerintahan, di kota Baghdad, pengurangan pasukan terlihat secara besar-besaran. Sampai yang tersisa hanya sekira sepuluh ribu prajurit.
Dalam kesempatan yang sama, kedua menteri yang berideologi Syiah ini bersurat kepada pasukan Tatar untuk menyerang Baghdad. Gambar kota Baghdad dikirimkan, lengkap dengan struktur pertahanan, benteng, dan pos-pos keamanan turut dibocorkan. Titik-titik kelemahan kota Baghdad juga mereka jual kepada pasukan Tatar.
Saat pasukan Tatar benar-benar datang mengepung Baghdad, kedua menteri Syiah ini berusaha meyakinkan kaum muslimin bahwa kedatangan pasukan Tatar tidak untuk berperang. Mereka bertujuan untuk membangun persahabatan, kata kedua menteri Syiah ini.
Mereka berdua juga membujuk Khalifah untuk keluar menemui pasukan Tatar dengan diiringi para penasihat dan orang-orang pentingnya. Sementara itu, kedua menteri beragama Syiah ini meyakinkan pasukan Tatar untuk membunuh Khalifah bersama para pengiringnya. Mereka diminta untuk memerangi penduduk Baghdad dan menguasainya.
Akhirnya, Khalifah dan seluruh pengiringnya pun terbunuh. Bahgdad dikuasai, dihancurkan, dan dijadikan hangus arang. Apa sebenarnya tujuan kedua menteri beragama Syiah ini?
Mereka ingin menggunakan kekuatan Tatar untuk menguasai Baghdad. Harapannya, mereka berdua dianggap berjasa lalu diberi kesempatan untuk memimpin Baghdad. Setelah itu tercapai, mereka bercita-cita untuk membangun Kerajaan Syiah!
Lihat kelicikan dan kejahatan kaum Syiah! Jika diberi peluang, andai diberi angin, mereka akan melakukan tindak pengkhianatan. Demi membangun paham dan kekuasaan Syiah, mereka korbankan nyawa kaum muslimin. Tahukah Anda berapa jumlah korban yang jatuh dalam peristiwa Baghdad? Sekitar dua juta jiwa muslim hilang. Wanita dan anak-anak dalam jumlah besar ditawan dan dijadikan budak.
Hasilnya? Kedua menteri itu pun terbunuh.
Tahukah Anda bahwa kedua menteri di atas, Ibnul Alqami dan ath-Thusi, diagung-agungkan dan dipuja oleh kaum Syiah?
Khomeini dalam tulisannya, al-Hukumah al-Islamiyah (hlm. 133) mengatakan, “Umat merasa sangat rugi dengan kehilangan seorang tokoh agung, yakni Nusharuddin at-Thusi dan al-Alqami serta orang-orang yang semisalnya. Mereka telah memberikan jasa-jasa yang banyak untuk Islam.”
Contoh Lain
Pada masa kekhalifahan ar-Rasyid, seorang menteri berpemahaman Syiah yang bernama Ali bin Yaqthin, hanya dalam satu malam memerintahkan untuk membunuh kurang lebih lima ratus orang atas dakwaan menentang keinginannya.
Lima ratus orang tersebut sedang menjalani hukuman penjara. Menteri Ali memerintah pengikutnya untuk meruntuhkan atap penjara sehingga menimpa mereka yang sedang dipenjara dan mengakibatkan kematian.
Apakah bukti-bukti sejarah semacam ini belum cukup?
Lihatlah konflik perang di Suriah dan Yaman dalam beberapa waktu terakhir ini. Suriah misalkan. Dalam kurun waktu dua tahun (1432—1434 H), korban meninggal mencapai lebih dari seratus ribu orang. Belum lagi yang luka atau cacat.
Itu semua terjadi, salah satu sebabnya adalah karena salah memilih penasihat, keliru dalam mengangkat kawan dekat.
Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berpesan, “Orang-orang dekatmu yang engkau ajak musyawarah, hendaknya mereka yang bertakwa, dipercaya, dan mempunyai rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala.”
Mengenai hadits di atas, al-Imam Ibnu Baththal (Syarah Shahih al-Bukhari 8/272) mengatakan, “Mestinya, setiap orang yang mendengar hadits ini untuk bersikap tunduk. Hendaknya dia memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar selalu dijaga sehingga terhindar dari bithanah (orang dekat) yang buruk.”
Kita dan Penguasa
Salah satu kewajiban kita sebagai warga negara adalah selalu mendoakan kebaikan untuk pemerintah. Kita selalu memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar pemerintah kita selalu diberi taufik dan hidayah dalam memimpin dan mengelola negeri Indonesia ini. Kita yakin, apabila ratusan juta kaum muslimin di Indonesia ini selalu mendoakan kebaikan untuk pemerintah, pasti Allah subhanahu wa ta’ala akan mengabulkannya.
Sayangnya, ajaran Islam semacam ini tidak ditegakkan. Yang ada malah mencela dan melaknat pemerintah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Abu Darda’,
“Tidaklah seorang hamba muslim mendoakan (kebaikan) untuk saudaranya dengan tanpa sepengetahuannya kecuali malaikat akan mengatakan, ‘Untukmu seperti (yang engkau doakan untuk saudaramu)’.” (HR. Muslim)
Salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah yang bernama Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah pernah menyatakan, “Seandainya aku memiliki doa (yang dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala), tidaklah aku tujukan doa itu kecuali untuk kebaikan penguasa.”
Bahkan, suatu saat beliau mengemukakan sebuah keinginan mulia, “Seandainya aku memperoleh bagian harta dari Baitul Mal, akan aku ambil lalu aku manfaatkan untuk membuat jamuan makan. Kemudian, aku akan mengundang orang-orang yang saleh dan terpandang.
Setelah selesai, aku akan mengajak mereka, ‘Marilah kita berdoa kepada Rabb kita, agar Dia melimpahkan taufik untuk pemimpin kita dan seluruh (pihak) yang mengatur urusan-urusan kita’.”
Demikianlah bimbingan indah Islam dalam menyikapi pemerintahnya. Semua ini diajarkan oleh Islam, tentu untuk meciptakan stabilitas keamanan dan demi ketertiban hidup bermasyarakat.
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala melimpahkan taufik dan hidayah untuk para pemimpin kita di dalam pemerintahan agar selalu bersikap adil dan mengedepankan keadilan.
Marilah selalu berdoa agar pemerintah kita didekatkan dengan para penasihat yang baik, para penasihat yang selalu mengarahkan pemerintah dalam kebaikan dan ketakwaan. Marilah selalu berdoa agar pemerintah kita dijauhkan dari para pembisik yang jahat, para pembisik yang berusaha mencari kesempatan untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Allahumma amin.
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai