Asysyariah
Asysyariah

menjalin kerja sama dalam ranah dakwah

8 tahun yang lalu
baca 16 menit
Menjalin Kerja Sama Dalam Ranah Dakwah

Tak diragukan lagi bahwa dakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala merupakan ibadah yang sangat mulia. Demikian pula orang-orang yang menjalankannya dengan penuh ikhlas dan meniti jejak baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Pahala yang besar dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah Rabb Alam Semesta adalah balasannya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَنۡ أَحۡسَنُ قَوۡلٗا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ ٱلۡمُسۡلِمِينَ ٣٣

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah (berdakwah), mengerjakan amal saleh, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (Fushshilat: 33)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا، خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ

“Demi Allah, sungguh jika Allah menunjuki seseorang dengan lantaran kamu, (pahalanya) lebih mulia bagimu daripada mendapatkan unta merah.” (HR . al-Bukhari no. 3701 dan Muslim no. 2406 dari sahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu)

مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.” (HR . Muslim no. 1893 dari Abu Mas’ud al-Anshari radhiallahu ‘anhu)

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

“Barang siapa menyeru kepada petunjuk, niscaya akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala mereka.” (HR . Muslim no. 2674 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Subhanallah… orang yang berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala hari-harinya dipenuhi pahala, langkah-langkahnya diliputi berkah, dan janji-janji kebaikan untuknya pun menanti di hadapan.

Itulah sesungguhnya jalan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang mengikuti beliau dengan sebaik-baiknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٠٨

Katakanlah, “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah (berdakwah) dengan hujah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108)

moon

Amalan dakwah terbuka bagi setiap muslim. Siapa pun dari umat ini berkesempatan menjalankannya sesuai dengan kadar ilmu dan kemampuan yang dimiliki. Sebab, dakwah tidak ditakar dengan kekayaan, kedudukan, ataupun status sosial. Rambu-rambu globalnya adalah ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala dan mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang mulia.

Layaknya amalan yang besar, dakwah pun membutuhkan bekal. Menurut asy-Syaikh al-’Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, bekal terpenting yang harus dimiliki oleh setiap da’i adalah:

  1. Berilmu tentang materi dakwah yang disampaikan.
  2. Bersabar dalam menjalankan dakwah dengan segala konsekuensinya.
  3. Bersikap hikmah.
  4. Berhias dengan akhlak mulia.
  5. Menghilangkan sekat-sekat yang mengganggu lancarnya komunikasi dengan mad’u (objek dakwah).
  6. Berlapang dada terhadap orang yang menyelisihi, terutama jika diketahui niatnya baik dan perbedaan yang terjadi disebabkan dalil yang dimilikinya. (Disadur dari kitab Zadud Da’iyah Ilallah, karya asy-Syaikh al-’Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin)

 

Urgensi Kerja Sama dalam Ranah Dakwah

Kerja sama dalam ranah dakwah merupakan amalan yang urgen. Tak heran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat dengannya saat mengutus dua sahabatnya yang mulia, Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu dan Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, ke negeri Yaman dalam rangka berdakwah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَسِّرَا وَلاَ تُعَسِّرَا، وَبَشِّرَا وَلاَ تُنَفِّرَا، وَتَطَاوَعَا وَلاَ تَخْتَلِفَا

“Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari, saling bekerja samalah kalian berdua dan jangan berselisih.” (HR . al-Bukhari no. 3038 dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu)

Asy-Syaikh al-’Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Kerja sama dalam ranah dakwah di jalan Allah dan dalam setiap kebaikan, amat dibutuhkan sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (al-Maidah: 2)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ

“Barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan memenuhi kebutuhannya.” ( HR.al-Bukhari Kitabul Mazhalim wal Ghashab no. 2442, Muslim Kitabul Birri wash Shilah no. 2580, at-Tirmidzi Kitabul Hudud no. 1426, dan Abu Dawud Kitabul Adab no. 4893)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱلۡعَصۡرِ ١  إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢  إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr: 1—3)

Manakala ada sekelompok da’i yang berdakwah di suatu negeri atau di tempat mana saja, mereka wajib saling bekerja sama dalam kebajikan dan takwa. Inilah yang terbaik.

Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh orang sahabat ahli al-Qur’an kepada sebagian kabilah dalam rangka berdakwah di jalan Allah subhanahu wa ta’ala dan memberikan pengajaran agama kepada mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus Mush’ab bin Umair radhiallahu ‘anhu ke Kota Madinah sebelum hijrah untuk memberikan pengajaran dan pemahaman ilmu agama kepada kaum Anshar yang telah masuk Islam.

Intinya, bekerja sama dalam ranah dakwah dan pembinaan umat yang dilakukan oleh dua orang, tiga orang, atau lebih agar mudah berkonsolidasi, saling memberikan dukungan satu dengan yang lainnya, saling mengevaluasi ilmu dan amal yang mesti dimiliki, dan agar lebih mendalami hakikat dakwah memiliki kebaikan yang banyak.

Namun, mereka wajib berpegang teguh dengan kebenaran beserta dalil-dalilnya, menghindari hal-hal yang dapat menjauhkan objek dakwah dari kebenaran, dan menempuh metode dakwah yang dapat mengantarkan kepada kemanfaatan, mentransfer kebenaran dengan jelas, mendorong umat kepada kebenaran, dan memperingatkan mereka dari kebatilan.

Kerja sama semacam ini amat dibutuhkan, dengan syarat ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala, bersih dari riya’ (ingin dilihat orang) dan sum’ah (ingin disanjung), serta berada di atas ilmu dan bashirah.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 8/178-179)

Dalam kesempatan lain beliau rahimahullah berkata, “Manakala pengusung kebenaran (ahlul haq) berdiam diri tidak menjelaskan kesalahan (baca: penyimpangan) orang-orang yang bersalah dan kekeliruan orang-orang yang keliru, niscaya tak akan terwujud dakwah kepada kebaikan dan amar ma’ruf nahi mungkar yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada mereka.

Telah dimaklumi, tergoresnya sebuah dosa adalah karena sikap diam terhadap kemungkaran, membiarkan orang yang menyimpang tetap di atas penyimpangannya dan orang yang menyelisihi kebenaran tetap di atas kesalahannya. Sikap diam tersebut tentu bertentangan dengan syariat Allah subhanahu wa ta’ala, berupa penyampaian nasihat, tolong-menolong di atas kebaikan, dan amar ma’ruf nahi mungkar. Wallahul Muwaffiq.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah 3/69)

Dari keterangan asy-Syaikh al-’Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah di atas, ada beberapa pelajaran berharga dan rambu-rambu penting dalam berdakwah, antara lain:

  1. Bekerja sama dalam ranah dakwah merupakan amalan yang urgen.
  2. Kewajiban menjalankan kerja sama tersebut di atas keikhlasan, jauh dari perbuatan riya’ atau sum’ah, dan berada di atas ilmu.
  3. Kerja sama dalam ranah dakwah tidak berarti mengabaikan amar ma’ruf nahi mungkar.
  4. Kewajiban berpegang teguh dengan kebenaran beserta dalil-dalilnya.
  5. Kewajiban menghindari halhal yang dapat menjauhkan umat dari kebenaran dan menempuh metode dakwah yang tepat agar kebenaran tersampaikan dengan mudah dan gamblang.
  6. Mendorong umat kepada kebenaran dan memperingatkan mereka dari kebatilan.

jalan panjang di pedesaan 

Ketika Kerja Sama dalam Ranah Dakwah Ternodai

Kerja sama dalam ranah dakwah tak selamanya mulus. Beragam problem acap kali melepas satu demi satu jalinan kerja sama yang sebelumnya terajut rapi, hingga berujung pada perpecahan,bahkan permusuhan. Wallahul Musta’an.

Di antara sebab yang dapat menodai kerja sama dalam ranah dakwah adalah sebagai berikut.

  1. Tidak ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala

Tidak ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala dalam berdakwah adalah sebab utama yang menodai kerja sama dalam ranah dakwah.

Kepentingan pribadi dengan ragam bentuknya yang terselip dalam amalan dakwah seringkali menodai kerja sama mulia tersebut. Demikian pula haus kedudukan, memburu popularitas, target harta dan komisi. Semua itu bak kerikilkerikil tajam yang menghalangi keikhlasan dan dapat merusak kerja sama mulia dalam ranah dakwah.

Betapa banyak kerja sama dakwah yang gagal akibat berebut kedudukan dan popularitas. Betapa banyak kerja sama dakwah yang tercerai-berai akibat harta dan komisi. Betapa banyak pula kerja sama dakwah yang berantakan akibat kepentingan pribadi yang mendominasi.

  1. Menyelisihi jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia

Menyelisihi jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia dalam berdakwah menjadi sebab utama berikutnya yang menodai kerja sama dalam ranah dakwah. Mengapa demikian? Karena segala sesuatu yang menyelisihi jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya akan mengantarkan kepada perpecahan, termasuk dalam ranah dakwah.

Tak heran apabila ulama salaf senantiasa mengiringkan segala sesuatu yang menyelisihi jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya (bid’ah) dengan perpecahan dan mengiringkan segala sesuatu yang sesuai dengan jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya (sunnah) dengan persatuan.

  1. Hasad

Hasad adalah menginginkan nikmat yang ada pada orang lain dan mengharapkan kesirnaannya dari orang tersebut. Hasad disebut juga iri atau dengki. Islam sangat membenci sifat hasad. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَقَاطَعُوا، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا

“Janganlah kalian saling berbuat hasad, saling membenci, dan saling memutuskan hubungan. Jadilah kalian hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang bersaudara.” (HR . Muslim no. 2559 dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)

Dalam ranah dakwah, hasad seringkali terjadi. Terkadang karena saudara sesama da’i lebih populer, lebih dicintai oleh mad’u (objek dakwah), lebih cakap dalam menjabarkan permasalahan agama, atau sering dijadikan tempat rujukan umat ketika menghadapi berbagai problem.

Jika demikian, hasad benar-benar dapat menghancurkan kerja sama yang dibangun dalam ranah dakwah. Setiap kali bangunan itu tegak, setiap kali itu pula hasad menghancurkannya. Wallahul Musta’an.

  1. Dusta

Dusta adalah lawan dari kejujuran. Dusta sangatlah tercela. Ia akan mengantarkan pelakunya kepada kejahatan, sebagaimana kejahatan akan mengantarkan pada an-nar (neraka).

Islam sangat membenci sifat dusta dan pelaku kedustaan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا

“Waspadalah kalian dari sifat dusta, karena sesungguhnya dusta mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan mengantarkan kepada an-nar (neraka). Tetaplah seseorang berbuat dusta dan selalu berdusta hingga dicatat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebagai pendusta.” (HR.Muslim no. 2607 dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

Sifat dusta terkadang bercokol pada diri seorang da’i. Tentu amat naif baginya.  Namun, itulah realitas.

Dusta kerap menjadi senjata demi harga diri, demi menjaga nama baik, demi menjatuhkan rivalnya, dll. Memelintir data, menyembunyikan fatwa dengan alasan tak ada fatwa, menuduh pihak lain dengan tuduhan dusta, kerap pula terjadi dalam ranah dakwah.

Sudah barang tentu, semua itu akan membinasakan jalinan kerja sama yang telah dirajut dan dibina.

 

  1. Makir, la’ab, mutalawwin (MLM)

Makir artinya pembuat makar. La’ab maknanya suka bermain-main. Mutalawwin adalah pemeran watak yang berubah-ubah sikap sesuai dengan situasi dan kondisi, layaknya bunglon yang berubah-ubah warna di tempat dia hinggap.

MLM sangat berbahaya bagi dakwah. Kerja sama dalam ranah dakwah tak mungkin terjalin manakala ada MLM pada elemen da’inya.

Setiap kali terajut jalinan kerja sama, si makir akan merusaknya, si la’ab akan bermain-main dengannya, dan si mutalawwin pun akan memasang banyak muka demi kepentingan pribadinya (baca: hawa nafsunya). Wallahul Musta’an.

  1. Sombong

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ، وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” ( HR . Muslim no. 147 dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu)

Sikap sombong kerap terjadi dalam ranah dakwah. Terkadang dalam bentuk menolak kebenaran dan terkadang dengan merendahkan manusia. Ego yang tinggi dan merasa lebih baik dari orang lain merupakan pupuk yang subur bagi sikap sombong.

Kerja sama dalam ranah dakwah tak mungkin terwujud tatkala sikap sombong masih mengendap pada diri seorang da’i. Bagaimana mungkin akan terwujud sebuah kerja sama, sementara kebenaran ditolak dan manusia direndahkan?!

Menyoroti Kerja Sama dalam Ranah Dakwah Ala Ikhwanul Muslimin (IM)

Mungkin Anda sering mendengar slogan persatuan yang diproklamasikan oleh Hasan al-Banna, sang pendiri IM. Slogan itu berbunyi, “(Mari) kita saling tolong-menolong dalam urusan yang kita sepakati dan saling toleran dalam urusan yang kita perselisihkan.”

Misi apakah yang terselubung di balik slogan tersebut?

Ali Asymawi (mantan tokoh IM) berkata, “IM getol sekali mendengungkan slogan mereka yang amat terkenal di kalangan kelompok-kelompok dan ormas-ormas Islam ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam perkara yang kita sepakati dan saling toleran dalam perkara yang kita perselisihkan.’ Sebuah slogan yang diluncurkan untuk memegang kendali (umat) dan menggiring segala laju permasalahan untuk kepentingan mereka.” (at-Tarikh as-Sirri li Jama’atil Ikhwanil Muslimin, hlm. 4; dinukil dari al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hlm. 76)

Bagaimanakah aplikasi slogan tersebut di kalangan IM?

Ali Asymawi berkata, “(Dalam aplikasinya -pen.) tidak ada upaya pembenahan, pembersihan hal-hal yang negatif, atau meluruskan penyimpangan yang telah menggurita di tengah-tengah kelompok pergerakan Islam. Akhirnya, (penyimpangan itu pun -pen.) bercokol dengan kokohnya di seluruh penjuru dunia. Faktor penyebabnya adalah terjatuhnya mayoritas mereka ke dalam sikap ekstrem (berlebihan)—ketika menerapkan slogan tersebut.” (at-Tarikh as-Sirri li Jama’atil Ikhwanil Muslimin, hlm. 4; dinukil dari al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hlm. 76)

Fakta dan data di lapangan menunjukkan kebenaran ucapan Ali Asymawi. Terlebih hari-hari ini, ketika slogan itu lebih dikonkretkan dalam bahasa-bahasa yang keren, lugas, dan terkesan adem: “Islam Liberal”, “Islam Warna-warni”, “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”, yang digandrungi oleh banyak kelompok, ormas, dan parpol.

Ketika para tokoh IM telah berlebihan dalam merealisasikan slogan mereka itu, maka jerit peringatan dari dalam tubuh IM pun terdengar, sebelum adanya fatwa dari para ulama.

Lagi-lagi Ali Asymawi mengatakan, “Untuk itu, aku melihat bahwa sekaranglah saatnya memberi peringatan dan membuka jendela-jendela, agar sinar mentari dan udara segar bisa masuk ke lorong-lorong jamaah (IM) yang telah pengap dan membusuk baunya. Juga agar pengalaman hidupku bersama mereka dapat menjadi pelajaran berharga bagi para pemuda untuk tidak gegabah mencari jalan hidupnya, mempertimbangkan secara matang ke mana kakinya hendak dilangkahkan, dan tidak mudah hanyut memberikan loyalitas dan ketaatannya kepada siapa pun…

Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala telah mengaruniai kita akal pikiran sebagai kehormatan bagi anak manusia. Tidaklah sepantasnya kita sia-siakan, agar tidak mudah dijadikan bulan-bulanan oleh siapa pun dan bergerak di bawah slogan apapun.” (at-Tarikh as-Sirri li Jama’atil Ikhwanil Muslimin, hlm. 4; dinukil dari al-Quthbiyyah Hiyal Fitnah Fa’rifuha, hlm. 76)

 

Fatwa Ulama tentang Slogan IM

Adapun fatwa para ulama sunnah tentang slogan IM tersebut antara lain:

Fatwa 

  1. Fatwa asy-Syaikh al-‘Allamah Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

“Ya, wajib saling tolong-menolong dalam kebenaran yang disepakati dan berdakwah kepadanya, serta memperingatkan (umat) dari segala yang dilarang oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.

Adapun saling toleran dalam urusan yang diperselisihkan secara mutlak, ini tidak bisa dibenarkan, justru harus dirinci. Manakala urusan tersebut termasuk masalah ijtihad yang tidak ada dalilnya secara jelas, maka tidak boleh di antara kita saling mengingkari. Adapun jika urusan tersebut jelas-jelas menyelisihi nash-nash (dalil-dalil) al-Qur`an dan as-Sunnah, wajib diingkari dengan hikmah, nasihat, dan dialog dengan cara terbaik.” (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 3/58—59)

 

  1. Fatwa asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

“Merekalah orang yang pertama kali menyelisihinya. Kami yakin bahwa penggalan (pertama -pen.) dari slogan tersebut benar, yaitu ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam urusan yang kita sepakati.’ Ini tentu dipetik dari firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (al-Maidah: 2)

Adapun penggalan kedua ‘Dan saling toleran dalam urusan yang kita perselisihkan’, harus dipertegas… Kapan? (Yaitu) ketika kita saling menasihati, dan kita telah mengatakan kepada yang berbuat kesalahan, ‘Anda salah, dalilnya adalah demikian dan demikian.’

Jika dia belum puas dan kita tahu bahwa dia orang yang ikhlas (pencari kebenaran -pen.), kita beri dia toleransi dan saling tolong-menolong dengannya dalam urusan yang disepakati.

Adapun apabila dia seorang penentang kebenaran, sombong lagi berpaling darinya, saat itulah tidak berlaku penggalan kedua dari slogan tersebut. Tidak ada toleransi di antara kita dalam urusan yang diperselisihkan itu.” (Majalah al-Furqan Kuwait, edisi 77, hlm. 22; dinukil dari Zajrul Mutahawin, hlm. 130)

  1. Fatwa asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah.

“Slogan mereka ‘(Mari) kita saling tolong-menolong dalam urusan yang

kita sepakati’, ini benar.

Adapun ‘Dan saling toleran dalam urusan yang kita perselisihkan’, ini harus dirinci,

  • Jika termasuk masalah ijtihad yang memang dibolehkan berbeda, hendaknya kita saling toleransi. Tidak boleh ada sesuatu di kalbu karenanya.
  • Adapun jika termasuk masalah yang tertutup pintu ijtihad padanya, kita tidak boleh toleran kepada orang yang menyelisihinya. Dia pun harus tunduk kepada kebenaran.

Jadi, bagian pertama benar, sedangkan bagian akhir harus dirinci.” (ash-Shahwah al-Islamiyyah Dhawabith wa Taujihat 1/218—219; dinukil dari Zajrul Mutahawin, hlm. 129)

Demikianlah sajian Manhaji edisi kali ini. Mudah-mudahan bermanfaat, terkhusus yang berkecimpung dalam dunia dakwah dan pembinaan umat.

Amin ya Rabbal Alamin….

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi