Kelalaian demi kelalaian masih saja terjadi pada diri orang tua. Kasus demi kasus masih bergulir dalam cerita kehidupan anak. Terakhir, berita hilangnya beberapa anak gadis karena kabur dengan teman laki-laki yang dikenalnya melalui jejaring sosial bernama Facebook (FB). Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Siapa kiranya yang paling bertanggung jawab atas semua ini kalau bukan kita, orang tua. Terkadang justru kita sendirilah yang memfasilitasi kerusakan anak. Wallahul musta’an.
Walau berjuta dalih dilontarkan dan berjuta argumen dinyatakan untuk mengaburkan kesalahan kita, namun di hadapan Allah l kita tidak bisa berkamuflase. Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui.
Oleh karena itu, yang lebih pantas bagi kita adalah berjiwa besar untuk mengakui kesalahan dan berhati lapang untuk memperbaiki keadaan. Sangat layak kita kaji nasihat seorang alim besar yang mengingatkan kita akan kewajiban yang harus kita tunaikan terhadap anak, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Rabb seluruh alam.
Berikut ini petikan nasihat Fadhilatus Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam salah satu khutbah beliau.
Wahai manusia! Bertakwalah kepada Allah l dan bersyukurlah pada-Nya atas nikmat berupa anak yang telah dianugerahkan-Nya kepada kalian.
Ketahuilah, anak merupakan cobaan dan ujian bagi hamba-hamba-Nya. Di antara mereka ada yang anaknya menjadi penyejuk matanya di dunia dan akhirat karena dia selalu memelihara mereka dan melaksanakan berbagai kewajiban yang harus ditunaikannya terhadap mereka. Dengan demikian, Allah l membaikkan keadaan anak-anaknya.
Allah l berfirman tentang sifat hamba-hamba ar-Rahman:
“Dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengatakan, ‘Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan-pasangan dan anak-anak sebagai penyejuk mata’.” (al-Furqan: 74)
Tidaklah mereka memanjatkan permohonan ini kepada Allah l, melainkan setelah menempuh berbagai sebab dan konsisten dengan usaha mereka itu.
Di sisi lain, ada di antara manusia yang anaknya hanya menjadi penyesalan di dunia dan akhirat karena dia tidak mendidik mereka dan tidak menunaikan kewajiban-kewajibannya terhadap mereka. Dia menyia-nyiakan hak yang telah ditetapkan oleh Allah l untuk anak, sehingga anak-anaknya pun menyia-nyiakan hak yang ditetapkan oleh Allah l untuk orang tuanya. Tidak ada gunanya si anak bagi orang tuanya di dunia maupun di akhirat. Jadilah dia orang yang rugi.
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang-orang yang merugikan diri mereka dan keluarga mereka pada hari kiamat. Ketahuilah, itulah kerugian yang nyata’.” (az-Zumar: 15)
Wahai hamba-hamba Allah! Sesungguhnya Allah l telah menitipkan anak dan keluarga kepada kalian. Allah l juga memerintahkan kalian untuk menjaga mereka dari berbagai kerusakan, dan mengarahkan mereka menuju kebaikan. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, yang padanya ada para malaikat yang keras lagi kasar yang tak pernah mendurhakai Allah pada segala yang Allah perintahkan pada mereka dan senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (at-Tahrim: 6)
Dalam ayat ini, Allah l memerintahkan kita untuk menjaga diri dan keluarga kita dari neraka yang amat mengerikan ini. Hal ini tidak mungkin dilakukan melainkan dengan menjaga diri dan keluarga dari berbagai kerusakan dan selalu melakukan kebaikan. Namun, sudahkah kita mewujudkan semua ini? Sudahkah kita menjaga, mengarahkan, dan mendidik anak-anak sejauh kemampuan kita? Sudahkah kita tunaikan semua faktor yang mendatangkan kebaikan bagi mereka? Sudahkah kita mengawasi gerak-gerik dan diam mereka? Sudahkah kita memerhatikan seluruh tindak-tanduk, baik ucapan, perbuatan, pulang, maupun pergi mereka? Ataukah kita justru melalaikan semua itu, tenggelam dalam kesibukan mencari serpihan dunia, atau merasa malas mengawasi dan tak pernah memedulikan mereka?
Kalau bukan kita yang mengurusi mereka, siapa lagi yang mau mengurusi mereka? Kalau bukan kita yang mendidik akhlak dan memperbaiki keadaan mereka, siapa lagi yang akan melakukannya? Apakah orang lain yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan si anak yang akan melakukan semua itu, padahal orang-orang tersebut berpikiran menyimpang dan berakhlak rusak?
Demi Allah! Tidaklah Allah l menitipkan anak-anak kepada kalian dan memerintahkan kalian untuk menjaga mereka, melainkan Dia menginginkan agar kalian betul-betul memelihara dan senantiasa menjaga mereka serta menunaikan amanat ini. Hal ini karena pada umumnya anak-anak itu lemah, membutuhkan uluran tangan. Mereka belum mampu memberikan kebaikan untuk dirinya sendiri. Adapun kalian adalah orang yang memelihara mereka. Maka dari itu, takutlah kepada Allah l dalam hal anak-anak ini, karena kelak Allah l akan menanyai kalian tentang mereka.
Wahai manusia! Mungkin ada di antara kalian yang mengajukan alasan yang lemah untuk membela dirinya jika dituntut untuk mendidik anak-anaknya. Mungkin dia beralasan bahwa dia tidak mampu mendidik mereka karena mereka durhaka kepada orang tuanya. Padahal, andaikata mau memikirkan hal ini tentu dia akan menemukan kesalahan itu terletak pada dirinya sendiri. Dari awal dia telah melalaikan perintah Allah l yang harus dia laksanakan terhadap anak-anak itu. Akhirnya, mereka pun menjadi anak-anak yang durhaka.
Seandainya dia bertakwa kepada Allah l, tentu Dia akan memberikan jalan keluar dan kemudahan dalam urusan ini. Namun, dia justru melalaikan dan menyia-nyiakan pendidikan mereka semasa kecil sehingga ketika dewasa mereka pun biasa membangkang, meremehkan, dan menyia-nyiakan perintah orang tuanya.
Walaupun demikian keadaannya, orang yang seperti ini hendaknya tidak berputus asa dari kasih sayang Allah l. Dia harus bertaubat kepada Allah l atas tindakannya di masa lalu yang melalaikan pendidikan anak-anaknya. Hendaknya ia memohon pertolongan kepada-Nya agar dapat memperbaiki keadaan mereka di kemudian hari, disertai sering berdoa dan bertindak penuh hikmah. Mudah-mudahan dengan itu, Allah l akan menjadikan anak-anak itu patuh kepadanya dan memperbaiki keadaan mereka.
Wahai manusia! Kalau kita memikirkan keadaan masyarakat kita, kebanyakan orang mempunyai ambisi terhadap harta lebih besar daripada ambisi mereka terhadap keluarganya. Dia menyibukkan badan dan pikiran untuk harta, bagaimana agar dapat menghasilkan harta lebih banyak, mengembangkan, mengelola, dan menjaganya. Adapun keluarga, tidak pernah dia perhatikan. Tidak pernah pula dia tanyakan. Ia tidak pernah juga mencari tahu tentang aktivitas dan teman-teman mereka.
Ini kesalahan besar dan sebuah kebodohan yang nyata! Ambisi untuk memperbaiki keluarga lebih wajib dan lebih pasti. Memerhatikan mereka lebih penting karena kebaikan mereka adalah kebaikan generasi masa depan, sedangkan rusaknya mereka adalah kerusakan generasi mendatang. Apakah kita rela—sementara kita ini adalah kaum muslimin—bahwa nanti akan tumbuh dari kita generasi-generasi yang melalaikan agama dan akhlak mulia?
Kita kelak akan menghadapi liburan musim panas. Selama liburan itu, para remaja akan memiliki kelonggaran aktivitas pikiran dan fisik. Oleh karena itu, kita harus memadati kesempatan seperti ini dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi mereka. Bisa dengan membaca buku-buku yang bermanfaat sesuai taraf kemampuan dan pemahaman mereka. Bisa dengan membaca pelajaran-pelajaran yang akan dipelajari tahun depan. Bisa pula dengan pekerjaan-pekerjaan yang bermanfaat seperti berdagang, membantu pekerjaan orang tua, atau aktivitas lain yang dapat mengisi waktu luang dan menyibukkan pikiran.
Setiap orang pasti memiliki aktivitas amalan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits. Apabila aktivitas ini diisi dengan hal-hal yang bermanfaat, dia akan memperoleh kebaikan. Kalau tidak, aktivitasnya akan menyimpangkannya dari jalan yang lurus, atau mengakibatkan kemalasan, kelemahan, kecemasan, dan kekacauan pikiran.
Maka dari itu—wahai anak-anakku—hendaklah kalian mengisi kesempatan liburan dengan hal-hal yang bermanfaat. Dan kalian—wahai para ayah—hendaknya bersemangat untuk mengawasi dan mendidik anak-anak kalian. Semoga Allah l memberikan taufik kepada kita semua untuk melakukan segala hal yang Dia cintai dan ridhai, serta memberikan kebaikan kepada kita di akhirat.
(Diterjemahkan oleh Ummu Abdirrahman bintu Imran dari khutbah beliau yang berjudul “Ri’ayatul Aulad” yang terhimpun dalam kitab adh-Dhiya’ul Lami’ minal Khuthabil Jawami’ hlm. 98—101)