Asysyariah
Asysyariah

menjadi ahli hadits – sebuah doa untuk anak

9 tahun yang lalu
baca 13 menit
Menjadi Ahli Hadits – Sebuah Doa Untuk Anak

Dikisahkan bahwa Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma di masa kecilnya pernah menginap di rumah Maimunah bintu al-Harits radhiallahu ‘anha, bibinya. Maimunah sendiri adalah salah satu istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ibunda kaum muslimin. Saat itu Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma menyiapkan air untuk wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mendengar jawaban Maimunah bahwa Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma lah yang melakukannya, beliau pun berdoa untuk Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma,

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ

“Ya Allah, buatlah dia menjadi faqih di dalam agama ini, dan ajarilah dia ilmu ta’wil (ilmu tafsir al-Qur’an).”

 

Takhrij Hadits

Apabila dicermati, doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma ada dalam dua permohonan; menjadi faqih di dalam agama Islam dan menguasai ilmu tafsir. Sebagian orang menyangka bahwa kedua doa Rasulullah di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan Muslim. Apakah memang demikian?

Hadits dengan lafadz di atas, dengan menyebutkan dua permohoan doa sekaligus, diriwayatkan oleh at-Thabarani (3/164/2), Abu Ali ash-Shawwaf dalam kitab al-Fawaid (3/166—167), ad-Dhiya’ dalam al-Mukhtarah (2/226) dengan dua sanad, dari Syibl bin Abbad, dari Sulaiman al-Ahwal, dari Said bin Jubair, dari Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma.

Sementara itu, al-Imam al-Bukhari (no. 75) dan Muslim (no. 2477) hanya meriwayatkan lafadz pertama, yakni permohonan menjadi faqih di dalam agama. Adh-Dhiya’ menyatakan, “Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkan lafadz wa ‘allimhu at ta’wiil. Tambahan lafadz ini adalah tambahan yang hasan.”

Al-Albani menambahkan, “Al-Hakim menyatakan sahih (3/534) dan disepakati oleh adz-Dzahabi.”

Setelah menyebutkan beberapa bentuk lafadz lain, asy-Syaikh al-Albani menyimpulkan (Silsilah ash-Shahihah no. 2589), “Secara umum, dengan lafadz demikian hadits ini sahih. Di dalam syarah ath-Thahawiyah hlm. 234, penulis menyandarkan lafadz ini kepada al-Bukhari. Ini adalah wahm (kekeliruan), sebagaimana telah saya ingatkan dalam takhrij hadits di sana.”

 Doa

Mendoakan Anak

Satu hal penting yang sering dilupakan oleh orang tua adalah mendoakan kebaikan untuk anaknya. Sekian banyak dalil menyebutkan pentingnya orang tua sering mendoakan kebaikan untuk anak. Selain sebagai tanda kasih orang tua dan hak seorang anak, doa kebaikan menjadi salah satu sebab kebahagiaan anak di dunia dan akhirat kelak.

Selain itu, Islam juga melarang orang tua mendoakan kejelekan untuk anaknya. Apapun alasannya hal tersebut tidak boleh dilakukan. Senyatanya, dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita menemui orang tua yang saat emosi dan marah melaknat atau mendoakan kejelekan untuk anaknya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَوْلَادِكُمْ، وَلَا تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ، لَا تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيهَا عَطَاءٌ، فَيَسْتَجِيبُ لَكُم

“Janganlah kalian mendoakan kejelekan untuk diri sendiri! Janganlah mendoakan kejelekan untuk anak-anak kalian! Janganlah mendoakan kejelekan untuk harta milik kalian! Jangan sampai kalian (berdoa) dan tepat pada waktu yang ditentukan Allah ‘azza wa jalla untuk dikabulkan doa padanya, lantas doa kalian diwujudkan.” (HR . Muslim no. 3009, dari Jabir bin Abdillah)

Di dalam syarah Riyadhus Shalihin, asy-Syaikh Muhammad bin al-Utsaimin menyatakan, “Seandainya engkau menegur anakmu dengan mengatakan, ‘Kemari! Mengapa engkau melakukan perbuatan ini?! Semoga Allah ‘azza wa jalla tidak melimpahkan taufik untukmu! Semoga Satu hal penting yang sering dilupakan oleh orang tua adalah mendoakan kebaikan untuk anaknya.

Allah ‘azza wa jalla tidak membuatmu beruntung! Semoga Allah ‘azza wa jalla tidak menjadikanmu baik!’, dikhawatirkan bertepatan dengan waktu istijabah (dikabulkannya doa). Semua hal ini haram, tidak boleh!”

Alangkah lebih baiknya jika orang tua, pengajar atau siapa pun, ketika melihat dan bergaul dengan anak-anak untuk sering-sering mendoakan kebaikan. Barangkali saja tepat pada waktu istijabah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sering mendoakan kebaikan untuk anak-anak kecil semasa hidupnya. Salah satu contohnya adalah doa beliau untuk Abdullah bin Abbas di dalam hadits kita ini.

 

Doa Rasulullah Terkabul?

Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas pada waktunya benar-benar terkabul. Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma dikenal dan diakui sebagai ahli tafsir terkemuka di kalangan sahabat. Referensi-referensi Islam dipenuhi dengan riwayat, pendapat, dan fatwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Untuk menggambarkan profil Ibnu Abbas, kami akan menukilkan sedikit biografi beliau dari karya monumental al-Imam adz-Dzahabi yang berjudul Siyar A’lam an-Nubala.

Nama lengkap beliau adalah Abul Abbas Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib al-Hasyimi. Adz-Dzahabi menyebutnya dengan Habrul Ummah (Tinta Umat)[1], Faqiihul ‘Ashr (Tokoh Fiqih di Masanya), dan Imam at-Tafsir (Pemuka Utama dalam Tafsir). Secara garis nasab, Ibnu Abbas merupakan sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ibnu Abbas dilahirkan di sebuah lembah bernama Syi’b Abu Yusuf, sebuah daerah milik bani Hasyim. Syi’ib adalah lembah yang pernah digunakan oleh Rasulullah dan bani Hasyim untuk menetap ketika kaum kafir Quraisy melakukan blokade. Menurut pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Abdil Barr dan al-Hafizh Ibnu Hajar, Ibnu Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah. Oleh sebab itu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Ibnu Abbas telah berusia 13 tahun.

Secara fisik, Ibnu Abbas memiliki perawakan yang tegap, dada bidang, berwibawa, gagah rupawan, cerdas , berkulit putih, dan berpostur tinggi. Apabila Ibnu Abbas berjalan dan melewati rumah-rumah, orang dapat mengenalnya hanya dengan mencium harum wangi yang berasal dari tubuhnya.

Walaupun hanya sekitar tiga puluh bulan bermulazamah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, riwayat hadits Ibnu Abbas menyentuh bilangan 1.660 hadits. Di dalam ash-Shahihain ada 75 hadits; 120 hadits hanya diriwayatkan oleh al-Bukhari, sementara al-Imam Muslim ada 9 hadits yang hanya beliau yang meriwayatkan.

Selain meriwayatkan hadits langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibnu Abbas juga berguru dari Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Muadz bin Jabal, al-Abbas ayahnya, Abdurrahman bin Auf, Abu Sufyan, Abu Dzar, dan sahabat-sahabat lainnya g. Secara lebih khusus, Ibnu Abbas belajar al-Qur’an beserta ilmu-ilmu terapannya dari sahabat Ubai bin Ka’b dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhuma.

Melihat nama-nama besar sahabat tempat Ibnu Abbas berguru dan menimba ilmu, maka tidaklah heran jika sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu menyanjung, “Andai Ibnu Abbas berusia seperti kami (sezaman sahabat senior), tentu tidak ada seorang pun yang mampu menyainginya.” Dalam kesempatan lain, Ibnu Mas’ud memuji, “Sebaik-baik penafsir al-Qur’an adalah Ibnu Abbas.”

Siapakah sahabat yang paling mengerti dan memahami tentang al-Qur’an berikut kandungan maknanya? Di antara mereka adalah Ibnu Abbas. Sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma mengakuinya dengan mengatakan, “Ibnu Abbas adalah orang yang paling mengerti tentang ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk Nabi Muhammad.”

Pengakuan akan keilmuan Ibnu Abbas juga datang dari gurunya sendiri, Ubai bin Ka’b radhiallahu ‘anhu. Ubai pernah berkata, “Anak muda ini kelak akan menjadi tinta umat ini. Aku menyaksikan kecerdasan dan kepintaran terpancar dari dirinya. Sungguh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla agar menjadikannya faqih di dalam agama.”

Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma juga mengakui taraf keilmuan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang amat tinggi. Suatu saat Mu’awiyah berbicara kepada Ikrimah rahimahullah, mantan budak milik Ibnu Abbas sekaligus muridnya, “Demi Allah! Maula-mu (mantan majikanmu) adalah orang yang paling faqih di antara orang-orang yang telah meninggal, juga dibandingkan dengan orang-orang yang masih hidup.”

Demikianlah para sahabat memuji, menyanjung, dan mengakui keilmuan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Kemampuannya di dalam bidang tafsir, kefaqihannya dalam banyak masalah agama telah menempatkan beliau pada posisi istimewa di kalangan sahabat. Hal ini merupakan bukti bahwa doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk beliau sungguh-sungguh dikabulkan oleh Allah ‘azza wa jalla.

Sebagai salah satu indikator keluasan ilmu Ibnu Abbas adalah sebuah keterangan dari Ibnu Hazm di dalam kitabnya, al-Ihkam. Di sana Ibnu Hazm mengatakan, “Abu Bakr Muhammad bin Musa bin Ya’qub bin al-Makmun, seorang ulama besar Islam, mengumpulkan fatwa-fatwa Ibnu Abbas dalam dua puluh jilid kitab.”

Subhanallah! Fatwa Ibnu Abbas terhimpun dalam dua puluh jilid kitab? Sungguh, telah dikabulkan doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Fatwa-fatwa Ibnu Abbas yang dibangun di atas ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bukti kuat akan keluasan dan kedalaman ilmu beliau. Semoga Allah ‘azza wa jalla meridhai beliau.

 

Menuju Ahli Tafsir

Usia Ibnu Abbas masih 13 tahun ketika Rasulullah wafat. Akan tetapi, semangat juangnya untuk menimba dan mencari ilmu tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ibnu Abbas sempat mengajak seorang kawannya dari kaum Anshar untuk berkeliling belajar dari seorang sahabat ke sahabat lainnya. Namun, ajakan itu ditolak. Katanya, buat apa belajar sementara sahabat-sahabat Nabi g masih banyak yang hidup. Apakah orang-orang akan bertanya kepada kita?

Namun, semangat Ibnu Abbas selalu bergelora. Digambarkan oleh beliau sendiri, untuk bisa memperoleh sebuah riwayat, beliau terkadang harus rela menunggu sampai tertidur di depan rumah sahabat yang dituju. Usia muda, semangat tinggi, kecerdasan yang luar biasa ditambah lisan yang selalu bertanya, pada akhirnya membuat Ibnu Abbas menjadi salah satu sumber rujukan utama dalam masalah agama.

Bagaimana tidak menjadi seorang pemuka agama yang mumpuni, ilmu yang dihimpun dan dikumpulkan oleh Ibnu Abbas benar-benar berkualitas. Buktinya? Ibnu Abbas pernah menyatakan, “Sungguh! Untuk satu masalah saja, terkadang saya menanyakan jawabannya kepada tiga puluh orang sahabat Nabi.”

Kawannya yang sempat menolak ajakan Ibnu Abbas lalu berkomentar, “Anak muda yang satu ini memang lebih cerdas daripada saya.”

Dari beberapa hal di atas, seharusnya membuka harapan baru untuk anak-anak kita kelak. Kesempatan untuk menjadi seorang ahli tafsir, seseorang yang memahami makna dan kandungan al-Qur’an secara luas masih selalu ada. Asalkan kita sebagai orangtua atau pengajar selalu menanamkan semangat dan menaburkan benih motivasi dalam dada mereka. Menjadi seorang ahli tafsir? Mengapa tidak?

 

Warisan Ahli Tafsir, Murid-Murid Ahli Tafsir

Keilmuan Ibnu Abbas dalam hal menafsirkan al-Qur’an kemudian diwarisi oleh murid-muridnya. Oleh sebab itu, mayoritas tokoh dan pemuka ahli tafsir di kalangan tabi’in adalah murid-murid Ibnu Abbas. Tidak ada satu pun ayat al-Qur’an yang ditafsirkan lalu dituliskan di dalam karya-karya tafsir kecuali pasti tersebut salah satu dari nama murid-murid Ibnu Abbas.

Siapa yang tidak mengenal Mujahid bin Jabr? Seorang ahli tafsir yang disebut oleh ats-Tsauri, “Jika datang tafsir dari Mujahid, peganglah kuat-kuat!”

Siapa yang tidak mengenal Sa’id bin Jubair? Muhammad bin Sirin, Ikrimah, Thawus, Atha’ bin Yasar, asy-Sya’bi, Amr bin Dinar, Urwah bin az-Zubair, dan Arbadah at-Tamimi Shahibut Tafsir? Mereka semua adalah murid-murid utama Ibnu Abbas yang dikenal sebagai ahli tafsir juga.

Bagaimanakah Ibnu Abbas dalam pandangan murid-muridnya? Abu Wa’il bercerita, “Ibnu Abbas pernah menyampaikan khutbah untuk kami. Saat itu, beliau menjadi Amirul Hajj. Beliau membacakan surat an-Nur dan menafsirkannya. Sampai-sampai aku berkata, ‘Aku tidak pernah mendengar khutbah seindah ini. Andai khutbah ini didengar oleh orang-orang Persia, Romawi, dan Turki, niscaya mereka akan masuk Islam’.”

Mujahid memuji, “Aku tidak pernah melihat orang semacam Ibnu Abbas. Beliau adalah tinta umat ini.” Di waktu lain Mujahid menjelaskan, “Ibnu Abbas digelari dengan al-Bahr (Samudra) karena banyaknya ilmu yang dimiliki.”

Pujian yang sama juga dilayangkan oleh Ikrimah, murid beliau yang lain. Katanya, “Ibnu Abbas benar-benar samudra ilmu.”

Thawus menggambarkan untuk kita tentang keilmuan Ibnu Abbas di tengahtengah para sahabat. Kata Thawus, “Aku pernah bertemu sekitar lima ratus orang sahabat Nabi. Jika mereka berbeda pendapat, Ibnu Abbas selalu berusaha untuk meyakinkan mereka pada satu pendapat sampai akhirnya mereka pun sepakat dengan pendapat Ibnu Abbas.”

 

Ibnu Abbas di Mata Khalifah Umar bin al-Khaththab

Kefaqihan dan keluasan ilmu tafsir yang dimiliki Ibnu Abbas adalah alasan yang membuat Khalifah Umar bin al-Khaththab menunjuk beliau sebagai salah satu anggota Syura. Semula, sebagian sahabat kurang bisa menerima keputusan Umar. “Kalau anak muda ini bisa masuk dalam Syura, anak-anak kita yang seumur dengannya pun seharusnya bisa,” kata mereka.

Suatu saat, Khalifah Umar hendak menunjukkan bukti di hadapan seluruh anggota Syura bahwa Ibnu Abbas memang layak berada di sana. Umar lalu bertanya tentang makna firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat an-Nashr. Sebagian sahabat diam, meski ada juga yang berusaha menjawab.

Di akhir diskusi, Umar bin al-Khaththab mempersilakan Ibnu Abbas untuk menjawab. Kata Ibnu Abbas, “Yang dimaksud adalah ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla memberitahukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Setelah mendengar jawaban Ibnu Abbas, Umar menanggapi, “Aku pun tidak memahami ayat tersebut kecuali seperti yang engkau pahami!”

Dalam waktu yang berbeda, seorang utusan dari daerah datang bertemu dengan Khalifah Umar. Di dalam laporannya, utusan tersebut menceritakan semangat kaum muslimin di daerahnya yang begitu cepat mempelajari dan menghafal al-Qur’an. Ibnu Abbas secara terus terang menyatakan tidak senang dengan fenomena tersebut. Namun, Umar tidak menerima keberatan yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas.

Ibnu Abbas kemudian pulang ke rumah dalam keadaan sedih atas sikap Umar. Beliau berbaring sampai disangka jatuh sakit oleh sebagian anggota keluarganya. Akhirnya datang panggilan dari Umar untuk Ibnu Abbas agar datang menghadap. Berbicara berdua, Umar menanyakan tentang pernyataan Ibnu Abbas di hadapan utusan tersebut. Apa alasannya?

Ibnu Abbas lalu menjelaskan, “Jika orang-orang terlalu cepat mempelajari dan menghafal al-Qur’an, mereka akan mengklaim saling benar. Apabila hal itu terjadi, mereka akan berdebat. Setelah itu mereka akan berselisih. Pada akhirnya mereka akan saling membunuh.”

Kata Umar menilai keterangan Ibnu Abbas, “Sungguh menakjubkan pikiranmu! Sungguh, selama ini aku menyembunyikan perasaan semacam itu dari orang-orang, sampai akhirnya engkau pun mengutarakannya.”

 

Doakanlah Kebaikan!

Kekhawatiran Ibnu Abbas akhirnya benar-benar nyata terjadi. Akibat dari berbicara tentang al-Qur’an tanpa landasan ilmiah hanya akan menimbulkan kekacauan dalam beragama. Menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan hawa nafsu, kepentingan kelompok, atau kesenangan pribadi terlihat jelas pada kelompok-kelompok sempalan Islam. Serahkan

tafsir al-Qur’an pada ahlinya!

Sungguh benar ucapan sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang pernah menggambarkan semacam ini. Sebagian muridnya bertanya, kapankah hal itu terjadi?

Ibnu Mas’ud menjawab,

إِذَا كَثُرَ قُرَّاؤُكُمْ وَقَلَّ فُقَهَاؤُكُمْ، وَكَثُرَ أُمَرَاؤُكُمْ وَقَلَّ أُمَنَاؤُكُمْ، وَالْتُمِسَتِ الدُّنْيَا بِعَمَلِ الْآخِرَةِ، وَتُفُقِّهَ لِغَيْرِ الدِّينِ

“Apabila ahli membaca al-Qur’an banyak jumlahnya, tetapi yang mengerti tentang fiqihnya hanya sedikit. Banyak pemimpin bermunculan, namun yang bersikap amanah amat jarang. Dunia dicari dengan mengorbankan agama, dan orang belajar tetapi tidak tulus demi agama.” (Riwayat al-Hakim 4/514 dan ad-Darimi 1/64)

Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla memberikan taufik dan hidayah-Nya agar kaum muslimin kembali kepada paham Salafus Shalih dalam hal menafsirkan al-Qur’an. Semoga kita dan anak-anak kita kelak selalu istiqamah mempelajari al-Qur’an, mencintai, mengamalkan, mengajarkan, dan mendakwahkannya.

Seperti Ibnu Abbas! Walaupun telah buta di masa tuanya, Ibnu Abbas tetap mengajarkan al-Qur’an beserta tafsirnya. Ibnu Abbas adalah figur panutan kita dalam ilmu tafsir. Semoga Allah meridhai beliau dan orang tuanya.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar bin Rifai


[1] Kata hibr dengan meng-kasrah huruf ha, maknanya tinta atau ulama. Adapun dengan habr maknanya ialah ulama. (Mishbahul Munir, al-Fayyumi)