Apa hukumnya mengqadha Ramadhan yang telah lewat dan kapankah itu dilakukan?
Bersegera mengqadha puasa Ramadhan tentu lebih bagus daripada menunda-nundanya, karena manusia tidak tahu apa yang akan menimpanya esok (seperti kematian atau sakit, red.). Segera mengqadha tanggungan utang puasanya tentu lebih mantap dan menunjukkan semangatnya terhadap kebaikan. Kalaulah bukan karena hadits Aisyah radhiallahu anha,
كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ
“Dahulu saya menanggung utang (puasa) Ramadhan maka aku tidak bisa menggantinya kecuali di bulan Sya’ban.” (HR. al-Bukhari)
tentu akan kita katakan wajib bersegera mengqadha.
Hadits ini menunjukkan bahwa barang siapa memiliki tanggungan dari puasa Ramadhan hendaknya tidak menundanya sampai Ramadhan kedua. Seharusnya seperti itu.
Maka dari itu, seseorang yang punya kewajiban mengqadha puasa Ramadhan tidak boleh menundanya sampai Ramadhan berikutnya kecuali karena uzur (alasan syar’i, red.). Misalnya, dia sakit dan tidak mampu, atau seorang wanita yang menyusui dan tidak mampu berpuasa, tidak mengapa baginya untuk menunda qadha yang lalu hingga tiba Ramadhan kedua. (Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Ramadhan, 2/552)
Seseorang memasuki Ramadhan dalam keadaan memiliki tanggungan puasa Ramadhan sebelumnya. Apakah dia berdosa karena belum mengqadha sebelum masuknya Ramadhan? Apakah dia juga wajib membayar kafarat ataukah tidak?
Setiap orang yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan diharuskan mengqadhanya sebelum Ramadhan yang akan datang. Dia boleh menundanya sampai Sya’ban. Oleh karena itu, ketika datang Ramadhan berikutnya dan dia belum mengqadhanya tanpa alasan (syar’i, red.), dia berdosa.
Dia wajib mengqadha di waktu yang akan datang sekaligus memberi makan seorang miskin untuk ganti tiap harinya, sebagaimana difatwakan sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Adapun ukurannya adalah setengah sha’ (setengah zakat fitrah, red.) setiap harinya dari makanan penduduk negeri tersebut yang diberikan kepada sebagian orang miskin, walaupun hanya satu orang.
Adapun jika dia memiliki alasan (syar’i, red.) menunda qadha, baik karena sakit maupun musafir, dia wajib mengqadha saja dan tidak ada kewajiban memberi makanan, berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (al-Baqarah: 185)
Allah sajalah yang memberi taufik.
(Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Fatawa Ramadhan, 2/555)
Apa hukumnya seorang muslim yang melewati beberapa bulan Ramadhan—yakni beberapa tahun, tidak puasa dan dia melakukan kewajiban-kewajiban yang lain. Dia tidak berpuasa tanpa ada alasan. Apakah dia harus mengqadha jika bertobat?
Pendapat yang benar, ia tidak harus mengqadha jika bertobat. Semua ibadah yang telah ditetapkan waktunya, jika seseorang sengaja menundanya dari waktunya tanpa alasan, Allah tidak akan menerimanya.
Atas dasar ini, tidak ada manfaatnya jika dia mengqadhanya. Akan tetapi, hendaknya dia bertobat kepada Allah serta memperbanyak amal saleh. Barang siapa bertobat, Allah akan menerima taubatnya.
(Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatawa Ramadhan, 2/556)
Seseorang terkena penyakit menahun. Para dokter menyarankannya tidak berpuasa. Lantas, ketika sembuh ia telah melewati empat tahun. Apa yang mesti dilakukannya setelah Allah memberikan kesembuhan kepadanya? Apakah dia mengqadha puasanya ataukah tidak?
Barang siapa tidak berpuasa karena sakit lalu sembuh dan mampu berpuasa, dia wajib mengqadha hari-hari yang ia tidak berpuasa. Hal ini berdasarkan firman Allah,
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۚ
“Barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (al-Baqarah: 184)
Orang yang tidak berpuasa selama empat Ramadhan dan sekarang sembuh, dia wajib mengqadha empat bulan tersebut satu demi satu. Akan tetapi, ia boleh memisah-misahkan qadhanya sesuai dengan kemampuannya hingga ia menyelesaikan tanggungannya. Ia tidak wajib mengqadha sekaligus. Hal ini berdasarkan firman Allah,
فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (at-Taghabun: 16)
Selain itu, waktu mengqadha juga longgar. (Fatwa Syaikh Shalih al-Fauzan, Fatawa Ramadhan, 2/592)
Seseorang sakit menahun. Para dokter menyarankannya untuk selalu tidak berpuasa. Namun, dia berobat kepada dokter di luar daerahnya dan alhamdulillah sembuh, setelah berlalu lima tahun. Ia telah melewati lima Ramadhan tanpa berpuasa. Apa yang mesti dia lakukan setelah Allah memberikan kesembuhan kepadanya, apakah ia mengqadhanya atau tidak?
Jika para dokter yang menyarankan untuk selalu tidak berpuasa adalah dokter muslim yang tepercaya dan ahli dalam bidang penyakit tersebut, serta mereka menyebutkan bahwa itu merupakan penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya, tidak ada kewajiban qadha atasnya.
Cukup baginya untuk membayar fidyah, lalu dia melakukan puasa (Ramadhan) pada masa yang akan datang.
(Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Fatawa Ramadhan, 2/594)
Seseorang menggauli istrinya dalam keadaan dia berpuasa. Apakah boleh baginya untuk memberi makan enam puluh orang miskin untuk membayar kafaratnya?
Barang siapa menggauli istrinya pada siang hari Ramadhan sedangkan dia wajib berpuasa, ia harus membayar kafarat, yaitu membebaskan budak. Jika tidak mendapatkannya, dia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Pertanyaannya, bolehkah seseorang (langsung) memberi makan enam puluh orang miskin?
Kami katakan, jika seseorang mampu untuk berpuasa, ia harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Apabila seseorang telah bertekad melakukan sesuatu, akan menjadi ringan baginya. Adapun jika dia telah membayangkan kemalasan dirinya serta merasa berat untuk melakukan sesuatu, itu akan menjadi susah baginya.
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di dunia ini hal-hal yang kita ketahui dapat membebaskan kita dari hukuman akhirat.
Maka dari itu, kami katakan kepada Saudara, berpuasalah dua bulan berturut-turut jika Anda tidak mendapatkan budak. Mohonlah pertolongan kepada Allah.
Jika saat ini cuaca panas dan siangnya panjang, Anda punya kesempatan untuk menundanya hingga musim dingin yang hari-harinya pendek dan cuacanya dingin.
Begitu juga, seorang istri sama dengan suaminya (dalam hal hukumannya, red.) jika dia mengikuti kemauan suami. Akan tetapi, jika dia dipaksa dan tidak kuasa menghindar, puasanya sempurna dan tidak ada kafarat atasnya. Ia pun tidak perlu mengqadha hari yang ia berhubungan intim (dengan suaminya) dalam keadaan dipaksa.
(Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Fatawa Ramadhan, 2/606—607)