Patut disyukuri, kebutuhan pangan halal dan sehat kian meningkat belakangan ini. Sikap kritis bukan lagi soal halal haram, bahkan masyarakat pun kian sadar untuk tidak mengonsumsi makanan halal namun diberi zat kimia berbahaya. Pemerintah—melalui BPOM dan LPPOM MUI—yang memberikan pengawasan ketat terhadap makanan, minuman, dan obat-obatan yang beredar di pasaran kian memberikan kenyamanan bagi kaum muslimin di negeri ini.
Namun, adanya labelisasi halal, tidak berarti membuat kita lengah. Masih banyak produsen “nakal” yang tak terpantau oleh pemerintah. Masih banyak pedagang makanan kecil yang cenderung mau cari untung namun mengabaikan kesehatan konsumen dengan menggunakan zat kimia berbahaya. Masih banyak juga bahan baku ataupun produk olahan yang beredar di pasar tradisional karena memang belum memungkinkan diberi label halal, seperti daging, bakso, dan sebagainya. Kasus-kasus daging ayam “tiren”, daging sapi yang dicampur babi, atau produk olahan berbahan dasar atau yang mengandung unsur yang diharamkan oleh syariat, tetap mewajibkan kita waspada.
Syariat sendiri telah memberikan kaidah dasar atas makanan-makanan yang dihalalkan dan yang diharamkan. Islam bahkan telah memberikan keluasan dalam hal ini, karena secara hukum asal, segala makanan di muka bumi ini adalah halal, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya. Yang patut dicamkan, Allah subhanahu wa ta’ala telah menghalalkan setiap makanan yang mengandung maslahat dan manfaat. Demikian pula sebaliknya, Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan setiap makanan yang memudaratkan atau yang mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya.
Karena Allah subhanahu wa ta’ala adalah Pencipta dan Penguasa alam semesta ini, Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui segala yang baik dan yang buruk bagi para hamba-Nya. Dia-lah yang Maha Berhak untuk menentukan apa yang halal dan yang haram bagi para hamba-Nya, serta memilihkan apa yang terbaik bagi mereka sesuai dengan hikmah dan kasih sayang-Nya yang sempurna.
Oleh karena itu, tak sepantasnya setiap muslim bermudah-mudah menghalalkan sesuatu, termasuk dengan alasan pengobatan. Sebagai contoh, dengan dalih “darurat”, ada orang mengonsumsi daging anjing hanya semata-mata sebagai “obat” kuat. Alasan darurat pun menjadi sangat relatif. Padahal sekali lagi, kebaikan dari apa yang kita konsumsi—setelah taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala—bisa menjaga kebaikan jasmani dan rohani kita.
Pembahasan halal dan haram ini menjadi kian penting karena masih banyak kaum muslimin yang awam soal kehalalan sejumlah daging hewan tertentu. Juga ada kelompok sesat yang mencukupkan diri dengan ketetapan halal dan haram yang terdapat dalam al-Qur’an, namun tak mau mengambil ketetapan halal dan haram dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal telah diketahui bersama bahwa ketetapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Selain itu, di antara konsekuensi keimanan, adalah menerima dengan lapang dada segala ketetapan syariat, termasuk dalam permasalahan yang bertalian dengan halal dan haram.
Jika kita mau jujur, apa yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya sebenarnya sangat sedikit. Hanya saja, dengan perkembangan teknologi, apa yang sedikit itu bisa menjadi banyak dan beragam. Banyak dari bahan-bahan haram yang dimanfaatkan sebagai bahan baku, bahan tambahan, atau bahan pendukung pada berbagai produk olahan. Akhirnya yang halal dan yang haram menjadi tidak jelas.
Bagi seorang muslim, makanan memang bukan sekadar pengisi perut, tetapi di samping itu juga harus halal, baik halal pada zatnya maupun halal pada cara mendapatkannya. Mengonsumsi produk halal adalah perwujudan ketaatan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.