(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc)
Ketika jiwa ammarah bis-su’ menguasai kalbu, berarti kalbu dalam bahaya yang sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, sangat diperlukan upaya pengobatannya. Ibnul Qayyim t menjelaskan bahwa pengobatannya dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan cara muhasabah dan mukhalafah. Mukhalafah artinya menentang jiwa al-ammarah, tidak menuruti kemauannya. Adapun muhasabah artinya senantiasa mengintrospeksi diri.
Ibnul Qayyim t mengatakan, “Kehancuran kalbu adalah dengan tidak melakukan muhasabah dan memperturutkan kemauannya.”
Dari sini, kita mengetahui betapa pentingnya peran muhasabah dalam mengobati jiwa. Tak heran apabila kita dapati para pendahulu kita sangat memerhatikan dan menganjurkannya. Umar ibnul Khaththab z mengatakan,
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُوزَنُوا، فَإِنَّهُ أَهْوَنُ فِي الْحِسَابِ غَدًا أَنْ تُحَاسِبُوا أَنْفُسَكُمُ الْيَوْمَ
“Bermuhasabahlah kalian pada diri kalian sebelum amal kalian dihisab, timbanglah amal diri kalian sebelum kalian ditimbang. Sesungguhnya hal itu lebih ringan bagi kalian besok di akhirat dengan kalian hisab diri kalian pada hari ini….” (Ighatsatul Lahafan)
Abu Musa z mengatakan,
حَاسِبْ نَفْسَكَ فِي الرَّخَاءِ قَبْلَ حِسَابِ الشِّدَّةِ
“Bermuhasabahlah pada dirimu dalam keadaan lapang, sebelum hisab di saat yang susah.” (Ghidza’ul Albab, 2/350)
Al-Hasan al-Bashri t mengatakan, “Engkau tidak akan menjumpai seorang mukmin melainkan dia akan mengintrospeksi dirinya, ‘Wahai jiwaku, apa yang hendak kau lakukan?’ ‘Wahai jiwaku, apa yang hendak engkau makan, apa yang hendak engkau minum (haram atau halal –pen.)?’ Sementara itu, seorang pendosa akan berlalu saja tanpa mengintrospeksi dirinya.
Beliau t juga mengatakan, “Sesungguhnya seorang hamba tetap dalam keadaan baik selama masih ada penasihat dari jiwanya dan muhasabah selalu menjadi pikirannya.”
Maimun bin Mihran t mengatakan, “Seseorang tidak dikatakan bertakwa sampai dia menghisab dirinya melebihi seorang pengusaha mengoreksi teman serikat usahanya. Oleh karena itu, dikatakan, ‘Jiwa itu bagaikan teman serikat kerja yang pengkhianat. Kalau engkau tidak benar-benar mengawasinya, dia akan membawa pergi hartamu’.”
Ibnul Qayyim t menjelaskan bahwa muhasabah ada dua macam: sebelum melakukan amalan dan setelah melakukannya.
1. Muhasabah sebelum beramal
Hendaknya seseorang berhenti sejenak di saat awal keinginannya, tidak segera beramal sampai jelas baginya kebaikan mengamalkannya daripada meninggalkannya.
Al-Hasan t mengatakan, “Semoga Allah l merahmati seorang hamba yang berhenti sejenak (berpikir) saat ingin berbuat. Apabila amalnya ikhlas karena Allah l, ia lanjutkan. Apabila bukan karena Allah l, ia mengurungkannya.”
Sebagian ulama menerangkan maksud beliau bahwa ketika jiwa tergerak untuk mengamalkan sebuah amalan dan bertekad melakukannya, ia menahan diri dan berpikir: apakah amalan tersebut dalam batas kemampuannya atau tidak? Apabila ternyata di luar kemampuannya, ia tidak melanjutkannya.
Apabila masih dalam kemampuan, ia tetap menahan diri dan berpikir kembali: apakah melakukannya lebih baik dari meninggalkannya atau meninggalkannya lebih baik dari melakukannya? Apabila yang akan terjadi adalah yang kedua, ia tidak melanjutkannya.
Apabila yang akan terjadi adalah kemungkinan pertama, ia berhenti untuk ketiga kalinya dan berpikir lagi: apakah yang mendorong amalan tersebut adalah menginginkan wajah Allah l dan pahala dari-Nya atau menginginkan kedudukan, pujian, dan berharap materi dari makhluk?
Apabila jawabannya adalah yang kedua, ia tidak melanjutkannya walaupun perbuatannya akan menyampaikan dirinya kepada keinginannya. Hal ini dilakukan agar jiwanya tidak terbiasa berbuat syirik dan merasa ringan untuk beramal karena selain Allah l. Karena, seukuran dengan ringannya beramal untuk selain Allah l, akan berat baginya untuk beramal karena Allah l. Akhirnya, keikhlasan menjadi sesuatu yang paling berat baginya.
Apabila jawabannya adalah yang pertama, yakni karena ikhlas, ia berhenti lagi dan berpikir: apakah akan ada yang membantunya dan menolongnya apabila amalan itu membutuhkan bantuan, atau tidak? Apabila tidak ada yang membantunya, ia tidak melanjutkannya… Apabila ia mendapatkan penolong, ia melanjutkannya, dan tentu dia akan mendapat pertolongan.
Kesuksesan tidak akan luput kecuali apabila terlewatkan salah satu dari bagian-bagian (muhasabah) ini. Sebaliknya, dengan terpenuhinya tahapan-tahapan tersebut, tidak akan terlewatkan kesuksesannya.
2. Muhasabah setelah beramal
Muhasabah jenis ini ada ada tiga macam.
a. Muhasabah terhadap jiwa dalam hal ketaatan yang ia tidak dapat melaksanakannya dengan sempurna terhadap hak Allah l.
Hak Allah l dalam hal amal ketaatan ada enam, yaitu (1) ikhlas dalam beramal, (2) berbuat yang terbaik untuk Allah l, (3) mengikuti Rasul-Nya dalam ketaatan tersebut, (4) melaksanakan ihsan (betul-betul merasa diawasi oleh Allah l), (5) merasakan karunia Allah l terhadapnya, dan (6) merasakan kekurangannya dalam melaksanakannya.
b. Muhasabah terhadap dirinya atas segala amalan yang ditinggalkannya lebih baik daripada yang dikerjakannya.
c. Muhasabah terhadap amalan yang mubah atau terbiasa dilakukan, mengapa dia melakukannya?
Apakah ia meniatkannya karena Allah l dan negeri akhirat sehingga mendapat keberuntungan, ataukah karena dunia sehingga ia merugi dan tidak mendapatkan keberuntungan?
Praktiknya, pertama, dia melakukan muhasabah terhadap dirinya dalam hal amal-amal yang wajib. Apabila dia ingat ada kekurangan padanya, segera dia susul dengan qadha atau dengan memperbaikinya.
Selanjutnya, ia melakukan muhasabah terhadap dirinya dalam hal larangan-larangan Allah l. Apabila dia tahu bahwa dia telah melakukan sebagiannya, segera ia susul dengan bertaubat dan beristighfar, serta dengan amalan-amalan saleh yang dapat menghapusnya.
Berikutnya, dia melakukan muhasabah terhadap dirinya dalam hal kelalaiannya. Apabila dia telah lalai dari tujuan dia diciptakan (yakni ibadah), segera ia menyusulnya dengan berzikir dan menghadapkan dirinya kepada Allah l.
Kemudian, ia melakukan muhasabah terhadap apa yang diucapkan (oleh mulutnya), langkah kedua kakinya, apa yang diperbuat dengan kedua tangannya, atau yang didengar oleh kedua telinganya. Ia meneliti, apa tujuannya, apa niatnya, dan bagaimana cara melakukannya.
Hendaknya dia mengetahui bahwa dalam setiap gerak dan ucapannya akan ada dua catatan. Yang pertama, untuk siapa engkau melakukannya? Yang kedua, bagaimana engkau melakukannya?
Yang pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasannya, sedangkan yang kedua adalah pertanyaan tentang ittiba’nya. Allah l berfirman,
“Maka demi Rabbmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (al-Hijr: 92—93)
“Sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami), maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedangkan (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (al-A’raf: 6—7)
“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih.” (al-Ahzab: 8)
Apabila orang-orang yang jujur dan benar saja ditanya dan dihisab atas kejujurannya, lantas bagaimana dengan para pendusta?
Qatadah t mengatakan, “Dua kalimat yang orang-orang terdahulu dan orang-orang belakangan akan ditanya tentangnya: Apa yang kalian ibadahi? Bagaimana kalian manyambut para rasul? Setiap orang akan ditanya tentang sesembahannya dan bagaimana ibadahnya.
Memetik Buah Muhasabah
Muhasabah, amal baik pengobat jiwa ini, tentu sangat bermanfaat buahnya. Muhasabah yang benar akan menghasilkan buah yang sangat dirasakan oleh jiwa yang baik. Di antara buahnya adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui cacat atau kekurangan jiwa
Barang siapa tidak mengetahui cacat dan kekurangan dirinya, ia tidak mungkin menghilangkannya. Apabila sebuah jiwa yang baik mengetahui aib dirinya, dia akan marah terhadap dirinya karena Allah l.
Al-Imam Ahmad t mengatakan, “Seseorang tidak akan menjadi faqih yang sebenar-benarnya hingga ia marah terhadap orang-orang karena Allah l. Lantas ia kembali melihat dirinya, dan ternyata dia lebih marah terhadap dirinya.”
Bakr bin Abdillah al-Muzani t mengatakan, “Ketika aku memandangi jamaah haji di Arafah, aku mengira mereka telah diberi ampunan kalau bukan karena aku di tengah-tengah mereka.”
Ayyub as-Sikhtiyani t mengatakan, “Apabila disebutkan tentang orang-orang saleh, aku begitu jauh dari mereka.”
Muhammad bin Wasi’ t mengatakan, “Andai dosa itu berbau, tidak ada seorang pun akan mampu duduk di sampingku.”
Marah terhadap diri sendiri karena Allah l dan karena teringat aib-aibnya adalah sifat orang-orang yang jujur dalam hal beriman. Dengan itu, seorang hamba akan mendekat kepada Allah l dalam sesaat berkali-kali lipat lebih jauh dari mendekatnya kepada Allah l dengan amalan.
2. Mengetahui hak Allah l
Adapun orang yang tidak mengetahui hak Allah l atas dirinya, ibadahnya hampir-hampir tidak bermanfaat baginya. Ibadahnya sedikit sekali manfaatnya.
Di antara hal yang sangat bermanfaat untuk kalbu adalah melihat hak Allah l atas hamba-Nya. Hal itu akan mewariskan kemarahan terhadap jiwanya sendiri dan merendahkannya, serta akan menyelamatkan dirinya dari sifat bangga diri dan merasa sudah berbuat (baik). Selain itu juga akan membuka pintu ketundukan, kerendahan diri, dan penyesalan untuknya di hadapan Rabbnya, lalu akan putus asa dari dirinya. Sungguh, keselamatan tidak akan dia dapatkan selain dengan ampunan dari Allah l, maghfirah, dan rahmat-Nya. Sesungguhnya, di antara hak-Nya adalah Dia ditaati dan tidak dimaksiati, Dia diingat dan tidak dilupakan, serta Dia disyukuri dan tidak dikufuri.
Barang siapa melihat hak Rabbnya yang semacam ini atas dirinya, tentu dia mengetahui secara yakin bahwa dia belum menunaikan haknya sebagaimana mestinya. Ia juga akan mengetahui bahwa tiada peluang baginya selain (mencari) ampunan dan maaf-Nya. Ia akan mengetahui pula apabila dia diserahkan kepada amalnya sendiri, pasti dirinya akan hancur.
Inilah pusat renungan orang-orang yang mengenal Allah l dan mengenal jiwanya. Inilah yang membuat mereka putus asa dari diri mereka, lantas menggantungkan seluruh harapannya kepada ampunan Allah l dan rahmat-Nya.
Apabila Anda perhatikan keadaan mayoritas manusia, Anda akan dapati mereka berlawanan dengan hal itu. Mereka justru melihat hak mereka atas Allah l, namun tidak melihat hak Allah l atas mereka. Dari sinilah mereka terputus dari Allah l. Kalbu mereka tertutup untuk mengenal Allah l dan mencintai-Nya, merindukan perjumpaan dengan-Nya, dan merasa nikmat saat mengingat-Nya. Ini adalah puncak kebodohan manusia terhadap Rabbnya dan terhadap jiwanya.
Jadi, muhasabah terhadap jiwa, adalah—pertama—seorang hamba melihat hak Allah l atas dirinya, lalu—kedua—apakah dirinya telah melakukannya sebagaimana mestinya? Sebaik-baik berpikir adalah berpikir dalam hal ini.
Dengan cara ini, kalbu akan berjalan menuju Allah l lalu akan menjatuhkan dirinya di hadapan-Nya dalam keadaan terhina, tunduk, menyesal dengan penyesalan yang menjadi obat penyesalannya, dalam keadaan butuh dengan rasa butuh yang akan mencukupinya, dalam keadaan terhina dengan penghinaan yang menjadi tempat kemuliaannya, andai dia beramal dengan apa pun kiranya yang dia amalkan. Namun, apabila dia kehilangan hal itu, kebaikan yang terlewatkannya lebih baik daripada kebaikan yang dia lakukan. (diringkas dari Ighatsatul Lahafan)