Selain didasari keikhlasan, satu amal bisa diterima sebagai bentuk ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala (amal saleh), harus didasari pula bahwa amal tersebut selaras dengan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Saat menjelaskan pengertian ayat,
لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلًاۚ
“Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (al-Mulk: 2)
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah menjelaskan bahwa yang lebih baik amalnya adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Sebab, apabila amal itu dilakukan secara ikhlas, tetapi tidak dilakukan secara benar (sesuai dengan As-Sunnah), amal tersebut tidak diterima. Begitu pula satu amal yang dilakukan secara benar (sesuai dengan tuntunan As-Sunnah), tetapi tidak diiringi dengan keikhlasan, amal tersebut tetap tertolak. Satu amal diterima apabila berlandaskan keikhlasan dan dilakukan secara benar.
Yang dimaksud keikhlasan ialah menjadikan (amal tersebut) hanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun yang dimaksud ‘dilakukan secara benar’ ialah menjadikan amal tersebut berdasarkan As-Sunnah. Semua ini telah ditunjukkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا
“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110) (Syarh Hadits Innamal A’malu bin Niyat, Ibnu Taimiyah rahimahullah, hlm. 9—10)
Baca juga: Syarat Diterimanya Amal
Nyatalah, agar sebuah amal memiliki nilai di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, tidak bisa cuma mencukupkan keikhlasan atau mencukupkan dengan mengikuti tuntunan As-Sunnah (tanpa diiringi keikhlasan). Keduanya, keikhlasan dan ittiba’ (mengikuti) Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam merupakan syarat diterimanya amal seorang hamba.
Mengikuti As-Sunnah merupakan salah satu komponen yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan seorang muslim. Dalam Syarhus Sunnah, Imam al-Barbahari rahimahullah menyebutkan, “Sesungguhnya Islam adalah As-Sunnah dan As-Sunnah adalah Islam. Tidak bisa tegak salah satu dari keduanya kecuali dengan yang lainnya.”
Imam Al-Barbahari rahimahullah juga menyebutkan bahwa manusia tidaklah melakukan satu perbuatan bid’ah hingga dia meninggalkan As-Sunnah yang semisalnya. Maka dari itu, berhati-hatilah dari perkara-perkara baru yang diada-adakan dalam agama karena sesungguhnya setiap perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah. Setiap bid’ah itu sesat, dan setiap yang sesat dan pelakunya di neraka.
Betapa dahsyat akibat yang ditimbulkan oleh tindakan meninggalkan As-Sunnah. Betapa tidak, ini menyangkut keselamatan dirinya di akhirat kelak.
Baca juga: Wajib Menerima Sunnah Nabi dalam Hal Akidah, Ibadah, dan Muamalah
Karena itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menjelaskan kewajiban setiap muslim yang mukalaf untuk mengenal Nabi-Nya. Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah, maknanya ialah satu bentuk pengenalan yang menjadikan seorang muslim memiliki komitmen untuk menerima petunjuk dan agama yang haq (benar) yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dalam bentuk membenarkan terhadap apa pun yang beliau kabarkan, menunaikan apa yang beliau perintahkan, dan menjauhi segala yang beliau larang. Lantas, dia mau berhukum dengan syariat beliau dan ridha dengan segala ketetapan hukum beliau. Allah azza wa jalla berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikanmu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa: 65)
Demikianlah semestinya komitmen seorang muslim terhadap agamanya. Dia akan senantiasa mematri sikap hidupnya di atas landasan Sunnah Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Setiap apa yang sah datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, senantiasa dikedepankan walau secara akal belum bisa dicerna, bahkan mungkin akan dirasa sebagai sesuatu yang bertentangan. Namun, lantaran bentuk iltizam (komitmen) terhadap syariat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang begitu membaja dalam keyakinan di hatinya, rasa penentangan yang bersemi di akalnya, ia luluhkan. Akalnya ditundukkan di hadapan As-Sunnah. Rasa ketaatan ia bangun dalam kalbunya.
Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Dia menyadari bahwa kemampuan akal yang ada pada dirinya memiliki keterbatasan-keterbatasan. Karena itu, ia menyadari benar bahwa tak semua perkara agama harus bisa dicerna oleh akalnya. Kata Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu,
لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ
“Andai agama ini atas dasar rakyu (akal), sungguh mengusap bagian bawah khuf lebih utama dibanding mengusap bagian atasnya.”[1]
Ibnu Abbas radhiallahu anhuma mengatakan,
إنَّمَا هُوَ كِتَابُ اللَهِ وَسُنَّةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ قَالَ بَعْدَ ذَلِكَ بِرَأْيِهِ فَلَا أَدْرِي أَفِي حَسَنَاتِهِ يَجِدُ ذَلِكَ أَمْ فِي سَيِّئَاتِهِ
“Sungguh, yang ada hanyalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Barang siapa berkata setelah itu dengan rakyunya, saya tidak mengetahui apakah ucapannya itu ada dalam (catatan) kebaikannya atau (catatan) kejelekannya.”
Baca juga: Kedudukan Akal dalam Islam
Perhatikan pula apa yang diungkapkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu perihal keterpurukan akibat mengunggulkan rakyu tatkala berbicara agama.
إِيَّاكُمْ وَأَرَأَيْتَ أَرَأَيْتَ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِأَرَأَيْتَ أَرَأَيْتَ، وَلَا تَقِيْسُوا شَيْئًا فَتَزِلُّ قَدَمٌ بَعْدَ ثُبُوتِهَا وَإِذَا سُئِلَ أَحَدُكُمْ عَمَّا لَا يَعْلَمُ فَلْيَقُلْ لَا أَعْلَمُ، فَإِنَّهُ ثُلُثُ الْعِلْمِ
“Hati-hatilah kalian dari (perkataan) ‘Apa pendapatmu, apa pendapatmu.’ Sesungguhnya, kehancuran orang-orang sebelum kalian disebabkan oleh ‘Apa pendapatmu, apa pendapatmu.’ Janganlah kalian analogikan (dalam urusan agama) dengan sesuatu pun sehingga kalian tergelincir setelah kokoh pijakanmu. Apabila di antara kalian ditanya tentang sesuatu yang tidak (kalian) ketahui, jawablah, ‘Saya tidak tahu.’ Menjawab dengan perkataan seperti itu adalah sepertiga ilmu.” (I’lamul Muwaqqi’in, Ibnul Qayyim rahimahullah, hlm. 53—54)
Peringatan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu merupakan salah satu bentuk dorongan, hendaknya seorang muslim menjauhi sumber malapetaka yang diakibatkan oleh rakyu, pendapat pribadi seseorang yang tak sejalan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana dipahami oleh salafus shalih.
Secara lebih rinci, Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam kitab I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin, menyebutkan ragam rakyu yang batil. Di antaranya, beliau menyebutkan bahwa rakyu yang batil adalah yang menyelisihi nas (Al-Qur’an dan As-Sunnah, -ed.). Selain itu, rakyu batil pun bisa dikemas dalam bentuk perkataan (kalam) yang secara tematikal mengangkat pembicaraan tentang perkara agama dengan duga-duga dan zhan (sesuatu yang tidak pasti). Termasuk rakyu yang batil pula ialah manakala rakyu (pemikiran) tersebut mengandung muatan meniadakan asma, sifat, dan perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala melalui cara analogi yang batil. Macam rakyu batil lainnya adalah pemikiran yang mengada-ada dalam urusan agama hingga melahirkan bid’ah.
Baca juga: Perkara Baru dalam Sorotan Syariat
Apa jadinya apabila agama ini diwarnai oleh pemikiran-pemikiran liar yang tidak terbimbing dengan pemahaman salafus shalih. Apa jadinya pula agama ini tatkala setiap individu pemeluknya bebas memberi tafsir dalam setiap perkara agama, tanpa diiringi kaidah-kaidah yang telah baku sebagaimana dilakukan salafus shalih. Maka dari itu, tak sepatutnya seorang muslim meninggalkan ketentuan yang telah secara sah berdasarkan nas, lalu mengambil pemikiran manusia, hanya karena pemikiran tersebut sejalan dengan akalnya.
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا
“Dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi wanita mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
Menyikapi berbagai peristiwa yang bakal terjadi menjelang hari kiamat, yang didasari hadits-hadits yang dinyatakan sahih, merupakan bagian dari wujud keimanan seorang muslim terhadap hal-hal gaib. Dirinya tunduk dan taat lantaran iktikadnya yang lurus. Karena itu, bukanlah hal yang sulit untuk mengimani bahwa menjelang akhir zaman kelak akan turun Isa alaihis salam. Peristiwa turunnya Isa alaihis salam telah dikabarkan secara kuat di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah yang sahih lagi mutawatir. Hal ini juga menjadi salah satu dari tanda-tanda hari kiamat kubra (besar).
Baca juga: Tanda-Tanda Kedatangan Hari Kiamat
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَمَّا ضُرِبَ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ مَثَلًا إِذَا قَوۡمُكَ مِنۡهُ يَصِدُّونَ ٥٧ وَقَالُوٓاْ ءَأَٰلِهَتُنَا خَيۡرٌ أَمۡ هُوَۚ مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلَۢاۚ بَلۡ هُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُونَ ٥٨ إِنۡ هُوَ إِلَّا عَبۡدٌ أَنۡعَمۡنَا عَلَيۡهِ وَجَعَلۡنَٰهُ مَثَلًا لِّبَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ٥٩ وَلَوۡ نَشَآءُ لَجَعَلۡنَا مِنكُم مَّلَٰٓئِكَةً فِي ٱلۡأَرۡضِ يَخۡلُفُونَ ٦٠ وَإِنَّهُۥ لَعِلۡمٌ لِّلسَّاعَةِ فَلَا تَمۡتَرُنَّ بِهَا وَٱتَّبِعُونِۚ هَٰذَا صِرَٰطٌ مُّسۡتَقِيمٌ ٦١
Tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. Mereka berkata, “Manakah yang lebih baik, sembahan-sembahan kami atau dia (Isa)?” Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja. Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.
Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil. Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun-temurun. Dan sesungguhnya (turunnya) Isa itu benar-benar pertanda akan datangnya hari kiamat. Karena itu, janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah aku. Inilah jalan yang lurus. (az-Zukhruf: 57—61)
Inilah ayat yang memberitakan tentang Isa alaihis salam. Pada akhir ayat disebutkan,
وَإِنَّهُۥ لَعِلۡمٌ لِّلسَّاعَةِ
“Dan sesungguhnya (turunnya) Isa itu benar-benar pertanda akan datangnya hari kiamat.”
Maksudnya, turunnya Isa alaihis salam sebelum hari kiamat merupakan pertanda telah dekatnya kiamat.
Ditunjukkan pula oleh qiraah yang lain, yang membaca dengan mem-fathah huruf ‘ain dan lam,
وَإِنَّهُۥ لَعَلَمٌ لِّلسَّاعَةِ
yang memiliki pengertian alamat (tanda) atas terjadinya kiamat. Ini merupakan qiraah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan kalangan imam ahli tafsir lainnya.
Baca juga: Turunnya Nabi Isa di Akhir Zaman
Kemudian, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَقَوۡلِهِمۡ إِنَّا قَتَلۡنَا ٱلۡمَسِيحَ عِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ رَسُولَ ٱللَّهِ وَمَا قَتَلُوهُ وَمَا صَلَبُوهُ وَلَٰكِن شُبِّهَ لَهُمۡۚ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِ لَفِي شَكٍّ مِّنۡهُۚ مَا لَهُم بِهِۦ مِنۡ عِلۡمٍ إِلَّا ٱتِّبَاعَ ٱلظَّنِّۚ وَمَا قَتَلُوهُ يَقِينَۢا ١٥٧ بَل رَّفَعَهُ ٱللَّهُ إِلَيۡهِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا ١٥٨ وَإِن مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا لَيُؤۡمِنَنَّ بِهِۦ قَبۡلَ مَوۡتِهِۦۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يَكُونُ عَلَيۡهِمۡ شَهِيدًا ١٥٩
Dan karena ucapan mereka, “Sesungguhnya, Kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,’ padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.
Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Tidak ada seorang pun dari ahli kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Di hari kiamat nanti, Isa akan menjadi saksi terhadap mereka.” (an-Nisa: 157—159)
Ayat di atas menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi tidaklah membunuh atau menyalib Isa alaihis salam. Ayat tersebut justru mengungkapkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah mengangkat beliau ke langit. Ini sebagaimana dijelaskan pula dalam firman-Nya,
إِذۡ قَالَ ٱللَّهُ يَٰعِيسَىٰٓ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ
(Ingatlah), ketika Allah berfirman, “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku….” (Ali Imran: 55)
Demikian pula ayat,
وَإِن مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا لَيُؤۡمِنَنَّ بِهِۦ قَبۡلَ مَوۡتِهِۦَۖ
“Tidak ada seorang pun dari ahli kitab kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya.” (an-Nisa: 159)
Baca juga: Syubhat Seputar Turunnya Nabi Isa
Ayat di atas menjelaskan bahwa dari kalangan ahli kitab ada yang beriman kepada Isa alaihis salam pada akhir zaman kelak hingga turunnya Isa (secara hakiki ke bumi) sebelum kematiannya. Ini seperti dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir yang sahih.
Saat ditanya berkenaan dengan wafat dan diangkatnya Isa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab,
“Alhamdulillah. Isa alaihis salam masih hidup. Sungguh, telah kuat dinyatakan dalam ash-Shahih dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yang bersabda,
يَنْزِلُ فِيْكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلًا وَإِمَامًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرُ الصَّلِيْبَ وَيَقْتُلُ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعُ الْجِزْيَةَ
“Ibnu Maryam turun di tengah-tengah kalian sebagai hakim dan imam yang adil. Dia akan menghancurkan salib, membunuh babi, dan meletakkan jizyah.”
Selanjutnya, kata Ibnu Taimiyah rahimahullah, telah tetap/pasti dalam kitab ash-Shahih bahwa Isa akan turun di menara putih di sebelah timur Damaskus. Dia akan membunuh Dajjal.
Baca juga: Nabi Isa Membunuh Dajjal
Seseorang yang terpisah antara roh dan jasadnya, tentulah jasadnya tidak turun dari langit. Apabila dihidupkan kembali, tentu dia akan bangkit dari kubur. Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِذۡ قَالَ ٱللَّهُ يَٰعِيسَىٰٓ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ
(Ingatlah), ketika Allah berfirman, “Hai Isa, sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku dan membersihkan kamu dari orang-orang kafir.” (Ali Imran: 55)
Ini merupakan dalil bahwa sesungguhnya dia bukan menjumpai kematian (maut). Sebab, jika yang dimaksud adalah kematian, Isa sama dengan mukmin yang lainnya. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala mengambil arwah orang-orang yang beriman dan menaikkannya ke langit. Dengan demikian, tidak ada lagi kekhususan bagi Isa alaihis salam.
Firman-Nya,
وَمُطَهِّرُكَ مِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ
“Dan membersihkan kamu dari orang-orang kafir.” (Ali Imran: 55)
Andai roh dan jasadnya terpisah, niscaya badannya ada di bumi sebagaimana para nabi lainnya atau yang selain nabi.
Jadi, jelaslah bahwa Isa telah diangkat oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan mengangkat tubuh dan rohnya sekaligus, sebagaimana halnya Isa akan turun ke bumi dengan tubuh dan rohnya. Demikian yang dijelaskan dalam hadits yang sahih. (Asyrathus Sa’ah, Yusuf al-Wabil, hlm. 343—344)
Baca juga: Misi Nabi Isa Turun ke Bumi
Hadits-hadits yang sahih juga telah menjelaskan perihal turunnya Isa alaihis salam ke bumi. Di antaranya disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu,
كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا نَزَلَ ابْنُ مَرْيَمَ فِيْكُمْ وَإِمَامُكُمْ مِنْكُمْ
“Bagaimana keadaan kalian nanti apabila putra Maryam telah turun di tengah-tengah kalian, sedangkan imam kalian adalah dari antara kalian sendiri?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mengimani akan turunnya Isa alaihis salam adalah akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Mengimaninya termasuk ushul (prinsip) As-Sunnah (ushulus sunnah).
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah menyatakan, “Prinsip-prinsip As-Sunnah menurut kami ialah berpegang teguh dengan apa yang dipegangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengikuti dan meneladani mereka, meninggalkan bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.”
Kemudian, Imam Ahmad menyebutkan beberapa kalimat tentang akidah Ahlus Sunnah. Lantas, beliau rahimahullah berkata,
الدَّجَّالُ خَارِجٌ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ (كَافِرٌ) وَالْأَحَادِيْثُ الَّتِي جَاءَتْ فِيهِ وَالْإِيْمَانُ بِأَنَّ ذَلِكَ كَائِنٌ وَأَنَّ عِيْسَى يَنْزِلُ فَيَقْتُلُهُ بِبَابِ لُدٍّ
“Dajjal akan muncul (di muka bumi ini), tertulis di antara kedua matanya ‘kafir’. Dan (mengimani) hadits-hadits yang datang (membicarakan) tentangnya dan mengimani (pula) sesungguhnya hal itu bakal terjadi, serta (mengimani) bahwa Isa akan turun lantas membunuh Dajjal di Bab Ludd.” (Thabaqat al-Hanabilah, 1/241—243, karya al-Qadhi al-Hasan bin Muhammad bin Abi Ya’la, dinukil dari Asyrathus Sa’ah, Yusuf al-Wabil hlm. 353)
Wallahu a’lam.
[1] Yang terkena kotoran adalah bagian bawah khuf. Jadi, menurut logika, tentunya bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap. Namun, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan tuntunan untuk mengusap bagian atas khuf ketika berwudhu. Karena agama ini tidaklah berlandaskan kepada akal, yang pantas hanyalah tunduk kepada bimbingan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.