Diakui atau tidak, salah satu sebab kerusakan yang merebak di masyarakat adalah tampilnya wanita dengan memamerkan auratnya. Pintu kerusakan pun kian lebar dengan dukungan teknologi yang kian mudah dan murah. Aurat wanita selain dapat ‘dinikmati’ secara langsung, juga dapat melalui media seperti foto, VCD, hingga dunia maya. Pelecehan seksual, perselingkuhan, seks bebas, pemerkosaan, maraknya prostitusi adalah sekelumit persoalan sekaligus mata rantai dari dampak yang ditimbulkannya.
Telah dimaklumi bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan wanita dengan tabiat senang berhias. Dengan kemurahan-Nya, Dia membolehkan wanita memakai seluruh perhiasan yang ada, selama tidak ada dalil yang melarang dan membolehkan wanita menempuh cara-cara yang diperkenankan oleh syariat guna mempercantik dan menghias dirinya.
Namun, ada sisi yang tak boleh diabaikan. Syariat menetapkan wanita adalah aurat, sebagaimana disabdakan Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu adalah aurat maka bila ia keluar rumah setan menyambutnya[1].” (HR. at-Tirmidzi no. 1183, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Irwaul Ghalil no. 273, demikian pula asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad, 2/36)
Yang namanya aurat berarti membuat malu bila terlihat oleh orang lain (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283), hingga perlu dijaga dengan baik. Karena wanita adalah aurat, berarti suatu hal yang mengundang malu bila ia terlihat oleh lelaki yang bukan mahramnya, apatah lagi bila ia terlihat dalam keadaan berhias. Dengan demikian wanita tidak diperbolehkan menampakkan perhiasannya di hadapan lelaki yang bukan mahram. Bahkan ia harus menutupnya, khususnya ketika keluar rumah dan ketika berhadapan dengan pandangan lelaki, karena menampakkan perhiasan di hadapan mereka dapat mengundang fitnah. (al-Mukminat, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, hlm. 31)
Allah subhanahu wa ta’ala melarang wanita untuk memperdengarkan suara dari perhiasan yang tersembunyi di balik bajunya, apatah lagi tentunya bila menampakkan wujud perhiasan yang sedang dikenakan. Dia Yang Mahasuci berfirman,
“Dan janganlah mereka (para wanita) menghentakkan kaki-kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (an-Nur: 31)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Janganlah seorang wanita menghentakkan kakinya ketika berjalan untuk memperdengarkan suara gelang kaki yang dikenakan, karena memperdengarkan suara perhiasan yang sedang dipakai sama dengan memperlihatkan wujud perhiasan tersebut bahkan lebih. Sasaran dari pelarangan ini adalah agar wanita menutup dirinya (dari segala hal yang dapat mengundang fitnah).” Beliau melanjutkan, “Siapa di antara wanita yang melakukan hal ini karena bangga dengan perhiasan yang dipakai maka perbuatan tersebut makruh. Bila ia melakukannya dengan maksud tabarruj[2] dan sengaja menunjukkannya kepada kaum lelaki maka ini haram lagi tercela.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/158)
Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta’ala melarang kaum wanita untuk keluar rumah dengan ber-tabarruj,
“Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan bertabarruj sebagaimana tabarruj orang-orang jahiliah yang dahulu.” (al-Ahzab: 33)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan ucapannya, “Yakni janganlah kalian banyak keluar rumah dengan berdandan dan memakai wewangian seperti kebiasaan orang-orang jahiliah yang dahulu, yang mereka itu tidak memiliki ilmu dan tidak pula agama.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hlm. 664)
Dalam Islam, wanita diperintah untuk berhijab[3] ketika berhadapan dengan lelaki yang bukan mahramnya, sama saja baik di luar rumah ataupun di dalam rumah.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berbicara tentang hijab ini,
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukminah, ‘Hendaklah mereka menundukkan pandangan mata mereka dan menjaga kemaluan mereka serta jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi). Hendaklah pula mereka menutupkan kerudung mereka di atas leher-leher mereka dan jangan mereka tampakkan perhiasan mereka kecuali di hadapan suami-suami mereka, atau ayah-ayah mereka, atau ayah-ayah suami mereka (ayah mertua), atau di hadapan putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau di hadapan saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka (keponakan laki-laki), atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau di hadapan wanita-wanita mereka, atau budak yang mereka miliki, atau laki-laki yang tidak punya syahwat terhadap wanita, atau anak laki-laki yang masih kecil yang belum mengerti aurat wanita. Dan jangan pula mereka menghentakkan kaki-kaki mereka ketika berjalan di hadapan laki-laki yang bukan mahram agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan hendaklah kalian semua bertaubat kepada Allah, wahai kaum mukminin, semoga kalian beruntung’.” (an-Nur: 31)
Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat di atas memerintahkan kaum wanita agar jangan memperlihatkan perhiasan mereka kecuali di hadapan beberapa orang yang disebutkan dalam ayat. Semua ini dalam rangka berhati-hati dari fitnah. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengecualikan perhiasan yang boleh ditampakkan yaitu perhiasan luar yang biasa tampak dan tidak mungkin ditutupi. Karena memang perhiasan wanita itu ada yang tampak (perhiasan luar) dan ada yang batin (perhiasan dalam). Perhiasan dzahir boleh dilihat oleh semua orang baik dari kalangan mahram maupun ajnabi (bukan mahram), adapun yang batin maka tidak halal ditampakkan kecuali di hadapan orang-orang yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam ayat di atas. Manusia berselisih pendapat tentang batasan perhiasan luar seorang wanita. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/152)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan, ‘Jangan menampakkan perhiasan mereka kecuali apa yang biasa tampak darinya (tidak mungkin ditutupi)’, yakni para wanita tidak boleh menampakkan sesuatu dari perhiasannya kepada lelaki ajnabi (nonmahram) kecuali perhiasan yang tidak mungkin disembunyikan, seperti rida dan tsiyab[4] yang dikatakan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, 3/294)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya,
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu dan putri-putrimu serta wanita-wanita kaum mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka di atas tubuh mereka. Hal itu lebih pantas bagi mereka untuk dikenali (sebagai wanita merdeka dan wanita baik-baik) sehingga mereka tidak diganggu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” (al-Ahzab: 59)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada kaum mukminin,
“Apabila kalian meminta sesuatu kepada para istri Nabi maka mintalah dari balik tabir. Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.” (al-Ahzab: 53)
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkisah tentang awal mula turunnya perintah hijab ini, “Aku berusia sepuluh tahun tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Mulailah aku melayani beliau sampai waktu sepuluh tahun dari akhir kehidupan beliau. Aku adalah orang yang paling tahu saat diturunkannya perintah hijab, bertepatan dengan pernikahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab bintu Jahsyin. Pagi hari setelah malam pengantin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan walimah dengan menyajikan roti dan gandum.
Aku pun diutus untuk mengundang para sahabatnya. Datanglah undangan sekelompok demi sekelompok, mereka menyantap hidangan kemudian keluar, demikian seterusnya. Aku memanggil semua sahabat beliau hingga tidak tersisa seorang pun kecuali telah menyantap hidangan.
Aku katakan kepada beliau, ‘Wahai Nabi Allah, aku tidak mendapatkan lagi orang yang bisa aku panggil untuk menyantap hidangan walimah ini.’
Beliau berkata, ‘Bila demikian, angkatlah makanan kalian.’
Di antara para undangan ada tiga orang yang belum beranjak dari tempat tinggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka asyik berbincang-bincang, hingga tinggal lama di tempat beliau. Beliau pun bangkit dan keluar. Aku ikut keluar bersama beliau agar orang-orang yang masih tinggal tersebut merasa dan berpikir untuk keluar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan, aku pun turut berjalan, hingga beliau sampai di ambang pintu rumah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Lalu berkata, ‘Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wahai ahlul bait.’
‘Aisyah menjawab, ‘Wa’alaikassalam wa rahmatullah, bagaimana engkau dapatkan istrimu yang sekarang, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahimu.’
Setelah itu beliau mendatangi rumah istri-istri beliau seluruhnya dan mengatakan sebagaimana perkataan beliau kepada ‘Aisyah dan mereka pun mengucapkan kepada beliau semisal dengan ucapan ‘Aisyah[5].
Beliau menyangka tiga orang yang berada di rumah beliau telah pergi, beliau pun kembali dan aku ikut menyertai sampai beliau masuk menemui Zainab. Ternyata mereka masih tetap duduk berkumpul di tempat tersebut belum beranjak pergi. Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat pemalu.[6]
Beliau keluar lagi dan aku tetap menyertai, hingga sampai di ambang pintu rumah ‘Aisyah. Lalu ketika beliau memastikan mereka telah pergi, beliau pun kembali dan aku ikut bersama beliau. Ketika kaki beliau menjejak ambang pintu, beliau pun menutupkan tirai antara aku dan beliau (yang sedang bersama istrinya).” (HR. al-Bukhari no. 4793, 5166 dan Muslim no. 1428)
Mungkin ada yang beranggapan bahwa berhijab adalah perintah yang khusus bagi ummahatul mukminin (ibu kaum mukminin, yakni istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), tidak berlaku bagi wanita selain mereka.
Kita tanyakan, siapakah yang lebih suci hatinya daripada Ummahatul Mukminin dan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah subhanahu wa ta’ala telah mempersaksikan keimanan mereka dan Dia ridha terhadap mereka?
Mereka diperintah untuk berhijab demi lebih menjaga kesucian hati mereka, lalu bagaimana lagi dengan orang-orang sekarang yang telah dikuasai oleh setan?
Adakah mereka mengaku hati mereka lebih suci daripada istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan akhirat sehingga mereka tidak perlu berhijab?
Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata tentang ayat Allah subhanahu wa ta’ala,
“Apabila kalian meminta sesuatu kepada para istri Nabi maka mintalah dari balik tabir. Yang demikian itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.” (al-Ahzab: 53)
“Hukum yang disebutkan dalam ayat ini berlaku umum untuk istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan wanita-wanita kaum mukminin.” (Hukmus Sufur wal Hijab, hlm. 58)
Beliau juga menyatakan, “Ayat yang mulia ini merupakan nash yang jelas tentang wajibnya wanita berhijab dan menutup diri dari lelaki. Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam ayat ini bahwasanya berhijab itu lebih suci bagi hati kaum lelaki dan wanita dan lebih menjauhkan dari perbuatan keji dan sebab-sebabnya. Allah subhanahu wa ta’ala mengisyaratkan bahwa tidak berhijab merupakan kekotoran dan kenajisan sedang berhijab merupakan kesucian dan keselamatan.” (at-Tabarruj wa Khatharuhu, hlm. 8)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Sekalipun lafadz ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun hukumnya umum untuk seluruh wanita yang beriman, karena perintah berhijab itu ditetapkan dengan alasan yang dinyatakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan firman-Nya:
“Hal itu lebih suci bagi hati-hati kalian dan hati-hati mereka.”
Alasan seperti ini jelas berlaku umum, maka keumuman alasannya menunjukkan keumuman hukumnya.” (al-Mukminat, hlm. 64)
Berhijab berarti kemuliaan bagi seorang wanita karena akan membedakan dirinya dengan wanita yang tidak baik, di samping sebagai penjagaan bagi dirinya dari kerusakan dan kejelekan yang semakin merata.
Sungguh, musuh Islam telah mengetahui bahwa keluarnya wanita dengan tabarruj merupakan satu pintu dari sekian pintu kejelekan dan kerusakan. Apabila wanita rusak, akan rusak pula masyarakatnya. Karena itulah, mereka begitu berambisi untuk menanggalkan hijab dari wanita muslimah dan mengoyak tirai malunya dengan berbagai propaganda setan. Sedikit banyak mereka bisa memengaruhi kaum muslimin dengan propaganda busuk nan berbisa tersebut, hingga kita dapatkan adanya kaum muslimin yang merasa “risih” dan “gerah” bila melihat seorang wanita mengenakan hijabnya. Bahkan, ada di antara kaum muslimin yang mengaku kenal agama ikut berkoar-koar menentang hijab. Wallahu al-musta’an (Allah subhanahu wa ta’ala sajalah tempat kita mohon pertolongan).
Wahai wanita mukminah, sesungguhnya hijab itu akan menjagamu dari pandangan-pandangan beracun yang terlahir dari hati yang sedang sakit. Berhijab akan memutus selera syahwat para serigala yang ingin menjerat dan memangsamu. Karena itu, jagalah dengan baik hijabmu dan jangan sekali-kali tertipu dengan propaganda berbisa dari para penipu. Sebab, tidak ada yang mereka inginkan darimu kecuali kejelekan, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan orang-orang yang mengikuti syahwatnya berkeinginan agar kalian berpaling sejauh-jauhnya dari kebenaran.” (an-Nisa: 27) [al-Mukminat, hlm. 68]
Allah subhanahu wa ta’ala sajalah yang memberi hidayah dan taufik. Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Menghias-hiasinya (mempercantik) dalam pandangan lelaki sehingga mereka terfitnah dengan wanita tersebut. (Tuhfatul Ahwadzi, 4/283)
[2] Tabarruj adalah menampakkan perhiasan, kecantikan, keindahan, dan segala sesuatu yang dapat mengundang syahwat di hadapan lelaki yang bukan mahram. (Lisanul Arab, 2/212)
[3] Berhijab maknanya seorang wanita menutup tubuhnya dari lelaki yang bukan mahramnya, dan penutup itu bisa berupa dinding/tembok, pintu, ataupun pakaian yang dikenakan (al-Mukminat, hlm. 63—64
[4] Rida adalah pakaian/kain yang diselimutkan ke bagian atas tubuh, sedangkan tsiyab adalah pakaian luar.
[5] Demikianlah kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehabis malam pengantin beliau. Beliau mendatangi semua rumah istrinya pada pagi harinya untuk mengucapkan salam kepada mereka dan mendoakan mereka. Mereka pun melakukan hal yang sama kepada beliau, sebagaimana hal ini disebutkan dalam riwayat Ahmad (Fathul Bari, 8/651).
Demikianlah akhlak Ummahatul Mukminin ketika mendapati suami mereka menikah lagi. Mereka doakan suami mereka dengan keberkahan, tidak seperti kebanyakan istri-istri kaum muslimin pada hari ini yang mungkin akan melontarkan sumpah serapah kepada suaminya bila menikah lagi atau melakukan hal-hal lain yang tidak pantas. Wallahu al-musta’an.
[6] Beliau malu menyuruh mereka keluar dari rumah beliau. Beliau hanya berdiri dan keluar agar mereka bisa memahami apa yang beliau inginkan tanpa harus beliau ucapkan dengan lisan (Fathul Bari, 8/651)