Asysyariah
Asysyariah

mengenal ulama dakwah salafiyah

9 tahun yang lalu
baca 14 menit
Mengenal Ulama Dakwah Salafiyah

Al-Ustadz Muhammad Afifuddin

 Al_Quran_by_durooob

Konsekuensi dari pilar kedua adalah seorang salafi yang sesungguhnya harus mengenal para ulama dakwah salafiyah, terutama yang dikenal kegigihannya membela manhaj salaf dan kokoh keilmuannya dalam meruntuhkan paham hizbiyin ahli bid’ah.

Seorang salafi pasti mencintai, memuliakan, dan menghormati ulama dakwah salafiyah, serta menjadikan mereka sebagai marja’iyah (tempat rujukan) dalam segala persoalan. Ini sekaligus menjadi ciri dan tanda-tanda Ahlus Sunnah salafiyin.

Al-Imam Abu Muhammad al-Hasan bin Ali al-Barbahari rahimahullah menyatakan, “Apabila engkau melihat seseorang mencintai Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Usaid bin Hudhair g, ketahuilah bahwa dia adalah Ahlus Sunnah, insya Allah.

Dan apabila engkau melihat seseorang mencintai Ayyub bin ‘Aun, Yunus bin Ubaid, Abdullah bin Idris al- Audi, asy-Sya’bi, Malik bin Mighwal, Yazid bin Zurai’, Muadz bin Muadz, Wahb bin Jarir, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Malik bin Anas, al-Auza’i, dan Zaidah bin Qudamah, ketahuilah bahwa dia adalah Ahlus Sunnah.

Apabila engkau melihat seseorang mencintai Ahmad bin Hanbal, al-Hajjaj bin Minhal, dan Ahmad bin Nashr, menyebut mereka dengan kebaikan dan mengambil pendapat mereka, ketahuilah bahwa dia adalah Ahlus Sunnah.” (Syarhus Sunnah hlm. 117—118)

Al-Imam Abu Utsman Ismail bin Abdurrahman ash-Shabuni rahimahullah dalam kitabnya, Aqidah Salaf wa Ashhabil Hadits (hlm. 112—113) menjabarkan, “Salah satu ciri Ahlus Sunnah adalah mencintai imam-imam sunnah, ulama sunnah, pembela-pembela dan pecinta-pecinta sunnah, serta membenci tokoh-tokoh bid’ah yang menyeru kepada neraka dan menunjukkan para pengikutnya ke negeri kehancuran.

Allah ‘azza wa jalla telah menghiasi dan menyinari hati-hati Ahlus Sunnah dengan kecintaan kepada ulama sunnah sebagai bentuk keutamaan dari-Nya ‘azza wa jalla.”

Dengan sanadnya, beliau meriwayatkan dari Abu Raja Qutaibah bin Sa’id dalam Kitab al-Iman karya beliau, disebutkan di bagian akhirnya, “Apabila engkau melihat seseorang mencintai Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, al-Auza’i, Syu’bah, Ibnul Mubarak, Abul Ahwash, Syarik, Waki’, Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi, ketahuilah bahwa dia adalah Ahlus Sunnah.”

Ahmad bin Salamah rahimahullah berkata, “Saya sertakan di bawahnya dengan tulisan tanganku: Yahya bin Yahya, Ahmad bin Hanbal, dan Ishaq bin Rahawaih.”

Tatkala kami sampai pada pembahasan ini, orang Naisabur memandang ke arah kami seraya berkata, ‘Kaum itu fanatik kepada Yahya bin Yahya.’

Kami pun bertanya kepadanya (Qutaibah), ‘Wahai Abu Raja, siapa Yahya bin Yahya?’

Beliau menjawab, ‘Seorang lelaki saleh, imam kaum muslimin, Ishaq bin Rahawaih juga imam, sedangkan Ahmad bin Hanbal menurutku adalah orang yang paling besar dari semua yang telah aku sebutkan namanya.’

Saya (ash-Shabuni, -pen.) sertakan pula dengan tokoh-tokoh yang telah disebutkan Qutaibah rahimahullah (nama-nama berikut) yang barang siapa mencintai mereka berarti dia adalah Ahlus Sunnah.

Mereka adalah tokoh-tokoh ahli hadits yang dijadikan suri teladan oleh orang-orang yang dimasukkan dalam kelompok (ahli hadits), pengikut dan pembela mereka, dan banyak orang yang didapati meniti jejak langkah mereka. Di antara tokoh-tokoh itu adalah:

  • Muhammad bin Idris asy-Syafi’i al-Muthallibi, sang imam yang dikedepankan, tokoh yang diagungkan, orang yang sangat besar jasanya untuk pemeluk Islam dan Ahlus Sunnah, orang yang diberi taufik, ilham, dan diluruskan langkahnya, orang yang berbuat pada agama Allah ‘azza wa jalla dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk pembelaan dan pertolongan yang tidak bisa diperbuat oleh seorang pun dari ulama masanya dan ulama setelahnya.
  • Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah orang-orang yang sebelum masa asy-Syafi’i, seperti Said bin Jubair, az-Zuhri, asy-Sya’bi, dan at-Taimi,
  • Dan tokoh-tokoh setelah mereka, seperti Laits bin Sa’ad al-Mishri, al-Auza’i, ats-Tsauri, Sufyan bin Uyainah al-Hilali, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Yunus bin Ubaid, Ayyub as-Sikhtiyani, Ibnu ‘Aun, dan yang semisal mereka.
  • Dan tokoh-tokoh setelah mereka seperti, Yazid bin Harun al-Wasithi, Abdur Razzaq bin Hammam ash-Shan’ani, dan Jarir bin Abdul Hamid adh-Dhabbi.
  • Dan tokoh-tokoh setelah mereka, seperti Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi, Abu Dawud as-Sijistani, Abu Zur’ah ar-Razi, Abu Hatim ar-Razi dan putranya (yaitu Abdur Rahman, -pen.), Muhammad bin Muslim bin Warah ar-Razi, Muhammad bin Aslam ath-Thusi, Abu Said Utsman bin Said ad-Darimiy as-Sijzi, al-Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah an-Naisaburi—yang dikenal dengan sebutan ‘imamnya para imam’ dan sungguh beliau adalah imamnya para imam pada masanya—, Abu Ya’qub Ishaq bin Ismail al-Busti, al-Hasan bin Sufyan al-Fasawi, kakekku dari pihak kedua orang tuaku, yaitu Abu Said Yahya bin Manshur az-Zahid al-Harawi, Abu Hatim Adi bin Hamdawaih ash-Shabuni, dan kedua putranya, yaitu Saifus Sunnah Abu Abdillah ash-Shabuni dan Saifus Sunnah Abu Abdir Rahman ash-Shabuni.
  • Dan tokoh-tokoh sunnah yang selain mereka yang gigih berpegang teguh dengannya, membelanya, mendakwahkannya, dan berwala di atasnya….”

Asy-Syaikh Abdullah bin Shalfiq al-Qasimi hafizhahullah dalam kitabnya, Sallus Suyuf Wal Asinnah ‘Ala Ahlil Hawa wa Ad’iyais Sunnah (hlm. 76—79) lebih jauh menguraikan tentang ulama sunnah, ulama dakwah salafiyah, “… Seseorang yang mencermati sejarah umat Islam sejak terbitnya fajar Islam, akan mengetahui dengan jelas bagaimana Allah ‘azza wa jalla sepeninggal Nabi-nya shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga agamanya dengan para ulama, ulama Ahlus Sunnah, ahlu hadits. Merekalah yang melakukan rihlah (perjalanan) dari satu negeri ke negeri yang lain untuk mengumpulkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyatukannya dalam lembaranlembaran (karya tulis) dengan beragam metode, seperti kitab musnad, majma’,mushannaf, sunan, muwaththa’, serta kitab-kitab zawaid dan mu’jam.

Mereka menjaga hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemalsuan para pemalsu hadits dan tadlis para mudallisin. Mereka memisahkan antara yang sahih dan yang dhaif. Mereka menyusun kaidah-kaidah ilmu hadits untuk dapat memilah hadits-hadits yang diterima dan yang ditolak. Mereka juga mengklasifikasi para rawi. Mereka pun menulis (kitabkitab) tentang rawi-rawi tsiqah, rawi-rawi dhaif, dan para pemalsu hadits, lalu menukilkan penjelasan imam al-jarh wat ta’dil tentang rawi-rawi tersebut. Bahkan, mereka mengklasifikasi riwayat-riwayat satu orang rawi, (dijelaskan) mana yang dia riwayatkan dari penduduk Syam, mana pula yang dia riwayatkan dari penduduk Irak dan penduduk Hijaz, atau yang dia riwayatkan sebelum pikun dan yang setelah pikun kalau memang dia mengalami kepikunan. Demikian seterusnya….

Sungguh, orang yang mencermati ilmu hadits ini, berbagai bidangnya, macam dan jenisnya, dan kitab-kitab yang ditulis tentangnya, dia akan sangat tercengang dengan khidmat yang begitu jauh yang dilakukan oleh ulama hadits terhadap hadits Nabi mereka.

Mereka (ulama sunnah) pula yang tampil menjelaskan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah pada semua bab sekaligus membantah ahli bid’ah dan orang-orang yang menyimpang.

Ulama sunnah mentahdzir (memperingatkan umat) dari ahlul hawa wal bida’, melarang bermajelis dan berbicara dengan mereka, tidak menjawab salam mereka, bahkan tidak menikah/menikahkan (putrinya) dengan mereka, dalam rangka menegur serta meredam mereka dan yang semisal mereka. (Ulama sunnah) juga menulis kitab-kitab bantahan yang sangat banyak….”

Mereka (ulama sunnah) juga yang tampil mengumpulkan hadits dan atsar dalam tafsir al-Qur’an, seperti Tafsir Ibnu Abi Hatim, Tafsir ash-Shan’ani, dan Tafsir an-Nasai. Di antara mereka juga ada yang menafsirkan al-Qur’an secara sempurna, seperti Tafsir ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, dan lainnya.

Selain itu, mereka pun menyusun kaidah-kaidah dan ushul tentang tafsir al-Qur’an al-Karim sekaligus memilah antara tafsir dengan atsar dan tafsir dengan ra’yu (akal).

Merekalah juga yang menulis karyakarya dalam bidang fikih. Mereka menulis semua babnya, membahas masalahmasalahnya, menjelaskan hukum syar’i amali dengan dalil-dalilnya yang rinci dari al-Kitab, sunnah, ijma’, dan qiyas. Mereka menyusun kaidah-kaidah fikih yang mengumpulkan berbagai cabang permasalahan yang disatukan oleh sebuah illat (sebab hukum).

Mereka juga menyusun ushul fikih, yaitu kaidah-kaidah untuk mengambil istinbath hukum-hukum syar’i. Tidak lupa, mereka juga menulis karya yang sangat banyak dalam bidang ini.

Mereka pula yang menulis tentang sirah, tarikh, adab, zuhud, raqaiq, lughah, nahwu, dan beragam bidang ilmu.

Ulama adalah pewaris nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi hanya mewariskan ilmu. Sungguh, para ulama sunnah telah mengambil bagian yang sangat banyak dari ilmu tersebut. Mereka mengumpulkan ilmu tersebut, menjelaskan agama kepada umat, dan membela sunnah serta akidah umat.

Ulama tersebut semisal Ahmad bin Hanbal, ad-Darimi, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Malik bin Anas, Sufyan ats-Tsauri, Ali bin al-Madini, Yahya bin Said al- Qaththan, asy-Syafi’i, Abdullah bin Mubarak, Abdurrahman bin Mahdi, Ibnu Khuzaimah, ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, Ibnu Adi, Ibnu Mandah, al-Lalikai, Ibnu Abi Ashim, al-Khallal, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Ibnu Abdil Barr, al-Khatib al-Baghdadi, dan banyak lagi selain mereka.

Begitu pula ulama yang berjalan di atas manhaj mereka, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya semisal Ibnul Qayyim, adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil Hadi. Merekalah para ulama yang telah menulis karya ilmiah yang berharga dan sangat banyak. Mereka membela akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, menerangkan agama yang sahih dengan dalil-dalil yang tegas dan bukti-bukti yang cukup. Para pencari ilmu senantiasa mengambil fikih (pemahaman) dari karya-karya ilmiah mereka dan berdalil dengannya. Bahkan, di berbagai perguruan tinggi Islam, karya-karya di atas dijadikan sebagai kurikulum resmi untuk para mahasiswanya.

Begitu pula ulama yang berjalan di atas manhaj mereka, seperti mujaddid (pembaru) dakwah tauhid, Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab, putra-putranya dan murid-muridnya dari kalangan ulama Najd dan ulama dunia Islam yang sejalan dengan mereka, semisal asy-Syaukani, ash-Shan’ani, ulama India, ulama Mesir seperti Muhibbuddin al-Khatib Ahmad Syakir, Muhammad Hamid al-Faqi, ulama Sudan, ulama Maroko al-‘Arabi, dan ulama Syam yang tampil menyebarkan hadits dan akidah salafiyah di negerinya dan membelanya.

Mereka semua (ulama sunnah), walhamdulillah, terus tegak di atas manhaj ini. Inilah pembenaran yang diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala bersabda,

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ

“Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang tampil hingga datang urusan Allah ‘azza wa jalla dalam keadaan mereka tampil (di atas kebenaran).” (al-Fath, 13/293)

Dalam riwayat yang lain,

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرَةً عَلَى الدِّينِ عَزِيزَةً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Akan senantiasa ada satu kelompok dari umatku yang tampil di atas agama lagi mulia hingga bangkit hari kiamat.” (al-Ibanah, 1/200)

Di antara ulama kita di masa kini—sekadar contoh, bukan pembatasan—adalah asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz, mufti Saudi Arabia, asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani, asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah Alu Syaikh, asy-Syaikh Shalih al-Atsram, dan para pembesar dari kalangan qadhi, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, asy-Syaikh Abdullah al-Ghudayyan, asy-Syaikh Shalih al-Luhaidan, asy-Syaikh Abdur Razzaq ‘Afifi, asy-Syaikh Hamud at-Tuwaijiri, asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, asy-Syaikh Hammad al-Anshari, asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, asy-Syaikh Muhammad Aman al-Jami, asy-Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi, asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al-Madkhali, asy-Syaikh Shalih al-Abud, dan ulama dunia Islam selain mereka.

Kami memohon kepada Allah ‘azza wa jalla, al-Hayyu al-Qayyum, agar menjaga mereka yang masih hidup dan merahmati yang telah wafat. Semoga Allah ‘azza wa jalla menganugerahkan taufik kepada kami agar dapat meniti jejak langkah mereka dan menggabungkan kami dengan mereka semua bersama Nabi dan teladan kami, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga al-Firdaus al-A’la.

Saya sertakan pula dalam risalah ini para ulama dakwah salafiyah masa ini yang dikenal keteguhan, kegigihan, dan ketabahannya membela sunnah dan manhaj salaf, selain juga dikenal tegas menyikapi hizbiyin yang menebar ragam syubhat, sabar, dan secara ilmiah meruntuhkan syubhat mereka. Di antara mereka adalah:

  • Al-Muhaddits Syaikh Muqbil Bin Hadiy al-Wadi’i Abu ‘Abdir Rahman rahimahullah . Beliau adalah seorang ahli hadits tersohor di negeri Yaman yang memiliki ribuan murid dari penjuru negeri, bahkan dari penjuru dunia Islam, bahkan dari negeri kafir, semisal Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris. Beliau adalah pendiri darul hadits di desanya, Dammaj, Provinsi Sha’dah, sekaligus tokoh dakwah salafiyah di negeri Yaman. Dakwahnya tersebar hampir ke pelosok dan bebukitan batu negeri Yaman, bahkan ke seluruh penjuru dunia melalui murid-muridnya. Yaman yang dahulu gelap gulita dengan Syi’ah dan Sufi kini terang benderang dengan sunnah.

Keteguhan beliau bermanhaj dan membela sunnah serta meruntuhkan “singgasana” ahli bid’ah menyebabkan beliau disegani dan ditakuti musuhmusuh sunnah.

Kearifan, kelembutan, perhatian, dan kasih sayang beliau kepada murid-muridnya dan salafiyin pada umumnya menjadikan beliau sebagai sosok yang dikagumi, dimuliakan, dicontoh, dan sudah dianggap sebagai “ayah” yang penyayang bagi dakwah salafiyah yang mulia ini. Semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati beliau dan menempatkannya di dalam surga Firdaus al-A’la.

  • Di antara ulama dakwah salafiyah masa kini adalah Syaikh al-‘Allamah ‘Ubaid bin Sulaiman Al-Jabiri hafizhahullah

Beliau adalah sosok alim besar kota Madinah, tokoh dakwah salafiyah yang masyhur dengan uraian-uraian yang jelas, padat, singkat, dengan klasifikasi penggambaran masalah yang menyeluruh dan tepat.

Orang yang duduk dengan beliau akan merasakan nyaman, senang, dan betah walaupun masih seorang pemula dalam mencari ilmu, bahkan awam sekalipun. Sebab, majelisnya penuh dengan faedah-faedah ilmiah dan amaliah, diselingi oleh candaan ringan yang menyegarkan suasana.

Beliau menjadi momok yang menghantui hizbiyin karena bantahan-bantahan beliau yang tegas dan ilmiah terhadap syubhat mereka.

Beliau bersama ulama dakwah salafiyah lainnya, semisal pembawa bendera al-jarh wat ta’dil masa ini al-’Allamah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah, dan Fadhilatus Syaikh Abdullah bin Abdir Rahim al-Bukhari hafizhahullah, serta Samahatus Syaikh Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah, dan yang lainnya, tampil dengan gagah perkasa, gigih, dan tabah menyuarakan al-haq di tengah-tengah gelombang penyimpangan dan kesesatan yang sedang digelembungkan oleh hizbiyun dan para pengaku salaf.

Satu persatu fitnah yang dimunculkan dapat dipatahkan, diredam, dan dibantah oleh mereka, dengan taufik serta pertolongan Allah ‘azza wa jalla. Dimulai dari fitnah ‘Adnan ‘Ar’ur, lalu Muhammad al-Maghrawi, kemudian Abul Hasan al-Mishri al-Ma’ribi, diteruskan oleh fitnah al-Halabi, dan disambung oleh gemuruh fitnah Hajawirah (pengikut Hajuri).

Fitnah-fitnah yang menerjang dakwah salafiyah ini, walhamdulillah, dihadapi oleh ulama besar dengan sabar, hikmah, tegar, tabah, dan kokoh, bagaikan gunung tinggi menjulang tak tergoyahkan.

Mereka dan ulama dakwah salafiyah lain di seluruh penjuru dunia menjadi rujukan umat, terkhusus salafiyin dalam segala problem yang ada.

Barang siapa mencintai, menghormati, dan memuliakan mereka secara tulus dan syar’i, dia adalah Ahlus Sunnah. Sebaliknya, siapa mencela, membenci, dan merendahkan mereka, berarti dia adalah pengikut hawa nafsu. Wallahul Muwaffiq.

 

Ulama Salaf, Rujukan Umat

Secara syar’i, para ulama salaf, ulama dakwah salafiyah pada tiap generasi adalah tempat rujukan bagi umat. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Maka bertanyalah kepada orang yang punya ilmu bila kamu tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43 dan al-Anbiya: 7)

Mereka adalah tempat meminta fatwa, bimbingan, dan arahan. Umat mengambil ilmu dan pemahaman agama dari mereka. Di meja merekalah diletakkan semua persoalan dan problem umat.

Inilah pelajaran adab yang Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam firman-Nya,

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya, jika mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka (rasul & ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepadamu tentulah kamu mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja (di antaramu).” (an-Nisa’: 83)

Ibnu Hazm al-Andalusi rahimahullah menasihatkan dalam risalahnya, Mudawatun Nufus, sebagaimana dalam Majmu’ Rasail Ibnu Hazm (hlm. 411), “Apabila engkau menghadiri majelis ilmu, engkau harus hadir sebagai orang yang ingin menambah ilmu dan pahala, bukan orang yang merasa cukup dengan ilmu yang ada padanya, orang yang mencari ketergelinciran (alim) yang hendak engkau jelekkan atau keganjilan (pendapat alim) yang hendak engkau sebar luaskan. Sebab, ini adalah perbuatan orang-orang rendah, yang selamanya tidak akan beruntung, pada seorang alim.”

Ibrahim bin Abi ‘Ablah rahimahullah menyatakan, “Barang siapa membawa ilmu-ilmu yang syadz (ganjil), dia telahmemikul kejelekan yang sangat banyak.” (Siyar ‘Alamin Nubala, 6/324)

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah juga menegaskan, “Barang siapa mencari-cari rukhshah (keringanan) dari beragam mazhab dan ketergelinciran ahli ijtihad, berarti telah tipis/rapuh agamanya.” (as-Siyar 8/90)

Termasuk talbis (upaya pengaburan) yang dilakukan hizbiyin adalah mereka berdalil dengan ucapan para ulama untuk membenarkan kaidah-kaidah mereka yang batil.

Syaikhul Islam rahimahullah tatkala menjelaskan ahlu bid’ah berkata, “Mereka terkadang mendapati kalimat-kalimat mujmal (yang global/tidak jelas) dari ucapan sebagian ulama, lalu mereka bawa pada makna yang rusak. Ini seperti yang dilakukan oleh Nasrani tentang yang dinukil kepada mereka dari para nabi, akhirnya mereka mengikuti yang samar (mutasyabih).” (Majmu’ Fatawa 2/374)

Di antara trik yang dilakukan hizbiyin dalam melegalkan dan menguatkan penyimpangan mereka adalah menggambarkan kebenaran manhaj mereka yang menyimpang kepada alim yang tidak atau kurang mengetahui keadaan mereka sesungguhnya. Setelah mendapatkan tazkiyah atau ucapan-ucapan yang sekiranya memihak mereka dari alim tersebut, mereka pun menggunakannya untuk menghadapi ulama yang tahu keadaan mereka dan telah membongkar penyimpangan-penyimpangan mereka. Dengan cara seperti ini, banyak kalangan muslimin bahkan salafiyin tertipu oleh mereka.

Wallahul Musta’an wa ’alaihit tiklan.