Tak kenal maka tak sayang, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi mereka tidak mencintai-Nya. Buktinya, mereka banyak melanggar perintah dan larangan-Nya. Sebabnya, ternyata mereka tidak mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan sebenarnya.
Sekilas, membahas persoalan bagaimana mengenal Allah subhanahu wa ta’ala bukanlah sesuatu yang asing. Bahkan, mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal Pencipta kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?
Kalau mengenal Allah subhanahu wa ta’ala sebatas di masjid, di majelis ilmu, atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian, atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali akan terlontar pertanyaan demikian.
Yang dimaksud dalam bahasan ini ialah mengenal Allah subhanahu wa ta’ala yang akan membuahkan rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan ketundukan hanya kepada-Nya. Dengan demikian, kita bisa mewujudkan segala bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Orang yang menegenal Allah ini akan hati tenteram hatinya saat orang-orang mengalami gundah-gulana dalam hidup. Dia mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut. Selain itu, dia akan berani menghadapi segala macam problem hidup.
Baca juga: Qalbun Salim, Hati yang Selamat
Faktanya, banyak yang mengaku mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi mereka selalu bermaksiat kepada-Nya siang dan malam. Lantas, apa manfaat kita mengenal Allah subhanahu wa ta’ala kalau keadaannya demikian? Apa pula artinya kita mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, sementara kita melanggar perintah dan larangan-Nya?
Maka dari itu, mari kita menyimak bahasan tentang masalah ini agar kita mengerti hakikat mengenal Allah dan bisa memetik buahnya dalam wujud amal.
Mengenal Allah subhanahu wa ta’ala meliputi empat hal, yaitu
Keempat hal ini telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur’an. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menyebutkannya di dalam As-Sunnah, baik secara global maupun terperinci.
Baca juga: Bersyukur atas Cahaya yang Allah Turunkan
Ibnul Qayyim dalam kitab al-Fawaid (hlm. 29) mengatakan,
“Allah subhanahu wa ta’ala mengajak hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al-Qur’an dengan dua cara. Yang pertama, dengan melihat segala perbuatan Allah. Yang kedua, dengan melihat dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah azza wa jalla. Di antaranya dengan firman-Nya,
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٍ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi orang-orang yang memiliki akal.” (Ali Imran: 190)
Demikian pula firman-Nya yang lain,
إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلۡفُلۡكِ ٱلَّتِي تَجۡرِي فِي ٱلۡبَحۡرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصۡرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلۡمُسَخَّرِ بَيۡنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ لَأٓيَٰتٍ لِّقَوۡمٍ يَعۡقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di lautan yang bermanfaat bagi manusia, dan apa yang telah Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin serta awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (al-Baqarah: 164)
Artinya, beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala itu ada. Adanya Allah subhanahu wa ta’ala telah diakui oleh fitrah, akal, dan pancaindra manusia, serta ditetapkan pula oleh syariat.
Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan bahwa keberadaan semua itu tentu ada yang mengadakannya. Tidak mungkin mereka ada dengan sendirinya.
Pancaindra kita pun mengakui adanya Allah subhanahu wa ta’ala. Kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah subhanahu wa ta’ala dan meminta sesuatu, lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkannya.
Adapun pengakuan fitrah, telah disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur’an,
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢ أَوۡ تَقُولُوٓاْ إِنَّمَآ أَشۡرَكَ ءَابَآؤُنَا مِن قَبۡلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِّنۢ بَعۡدِهِمۡۖ أَفَتُهۡلِكُنَا بِمَا فَعَلَ ٱلۡمُبۡطِلُونَ ١٧٣
Ingatlah ketika Rabbmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab, “(Betul, Engkau Rabb kami). Kami mempersaksikannya.”
(Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu),” atau agar kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang datang setelah mereka.” (al-A’raf: 172—173)
Baca juga: Menjaga Kesucian Fitrah Manusia
Ayat ini merupakan dalil yang sangat jelas bahwa fitrah manusia mengakui adanya Allah subhanahu wa ta’ala. Sekaligus ayat ini juga menunjukkan bahwa dengan fitrahnya, manusia mengenal Rabbnya.
Adapun bukti syariat, kita menyakini bahwa syariat Allah subhanahu wa ta’ala yang dibawa oleh para rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh makhluk. Hal ini menunjukkan bahwa syariat itu datang dari sisi Dzat yang Mahabijaksana. (Lihat Syarah al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hlm. 41—45)
Rububiyah Allah subhanahu wa ta’ala ialah mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam tiga perkara: penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah al-’Aqidah al-Wasithiyah, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hlm. 14)
Maknanya, menyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rezeki, mendatangkan segala manfaat, dan menolak segala mudarat. Dialah Dzat yang mengawasi dan mengatur alam semesta. Allah adalah penguasa, pemilik hukum, dan segala hal, yang menunjukkan kekuasaan-Nya yang tunggal.
Berdasarkan hal ini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorang pun yang menandingi Allah subhanahu wa ta’ala dalam urusan tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan,
قُلۡ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ١ ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ ٢ لَمۡ يَلِدۡ وَلَمۡ يُولَدۡ ٣ وَلَمۡ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدُۢ ٤
Katakanlah, “Dialah Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya.” (al-Ikhlash: 1—4)
Apabila seseorang meyakini bahwa ada pihak selain Allah subhanahu wa ta’ala yang memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal yang disebutkan di atas, berarti orang tersebut telah menzalimi Allah subhanahu wa ta’ala. Orang itu berarti menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Baca juga: Ghuluw, Jembatan Menuju Kesesatan
Dalam masalah rububiyah Allah subhanahu wa ta’ala, sebagian orang kafir jahiliah tidak mengingkarinya sedikit pun. Mereka meyakini bahwa yang mampu melakukan demikian hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala semata. Mereka tidak menyakini bahwa apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal-hal itu.
Lantas, apa tujuan mereka menyembah ’tuhan’ yang banyak itu? Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak bisa berbuat apa-apa? Apa yang mereka inginkan dari sembahan itu?
Allah subhanahu wa ta’ala telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan.
Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan sedekat-dekatnya.
Hal ini sebagaimana firman Allah,
وَٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ مِن دُونِهِۦٓ أَوۡلِيَآءَ مَا نَعۡبُدُهُمۡ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى ٱللَّهِ زُلۡفَىٰٓ
Orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka mengatakan), “Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya.” (az-Zumar: 3)
Kedua, agar mereka memberikan syafaat (pembelaan) di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيَعۡبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡ وَيَقُولُونَ هَٰٓؤُلَآءِ شُفَعَٰٓؤُنَا عِندَ ٱللَّهِۚ
“Mereka menyembah selain Allah, sembahan-sembahan yang tidak bisa memberikan mudarat dan manfaat bagi mereka. Mereka berkata, ‘Mereka (sembahan-sembahan itu) adalah yang memberi syafaat untuk kami di sisi Allah’.” (Yunus: 18) (lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
Baca juga: Mengharap Syafaat pada Hari Kiamat
Keyakinan sebagian orang kafir terhadap rububiyah Allah subhanahu wa ta’ala telah dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam beberapa firman-Nya. Di antaranya,
وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَهُمۡ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ فَأَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ
Kalau kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan mereka?” Mereka akan menjawab, “Allah.” Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)? (az-Zukhruf: 87)
وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَسَخَّرَ ٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۖ فَأَنَّىٰ يُؤۡفَكُونَ
Dan kalau kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan?” Mereka akan mengatakan, “Allah.” Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (al-Ankabut: 61)
وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّن نَّزَّلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ مِنۢ بَعۡدِ مَوۡتِهَا لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ
Dan kalau kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya?” Mereka akan menjawab, “Allah.” (al-Ankabut: 63)
Demikianlah Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid rububiyah-Nya. Sebatas keyakinan mereka tersebut tidak menyebabkan mereka masuk ke dalam Islam. Sekadar keyakinan tersebut masih menyebabkan halalnya darah dan harta mereka. Karena itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengumumkan peperangan melawan mereka.
Maka dari itu, jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin, kita sadari betapa besar kerusakan akidah yang melanda. Banyak yang masih menyakini bahwa selain Allah, ada yang mampu menolak mudarat dan mendatangkan manfaat, meluluskan mereka dalam ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit.
Mereka pun berbondong-bondong meminta-minta di kuburan orang-orang saleh, kuburan para wali, atau di tempat-tempat keramat.
Baca juga:
Bila Kuburan Diagungkan (1)
Bila Kuburan Diagungkan (2)
Mereka juga mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung—atau dengan istilah sekarang, paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini merupakan keyakinan yang rusak dan bentuk kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Baca juga:
Awas, Dukun & Tukang Ramal, Penciduk Agama dan Harta (bagian 1)
Awas, Dukun & Tukang Ramal, Penciduk Agama dan Harta (bagian 2)
Ringkasnya, tidak ada yang bisa memberi rezeki, menyembuhkan segala penyakit, menolak segala marabahaya, memberikan segala manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari segala ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan, selain Allah subhanahu wa ta’ala.
Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, tidak kepada selain-Nya.
Uluhiyah Allah subhanahu wa ta’ala adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi-Nya, seperti berdoa, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernazar, dan cinta. Demikian pula ibadah-ibadah lainnya yang diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Memperuntukkan satu jenis ibadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala termasuk perbuatan zalim yang besar di sisi-Nya. Perbuatan ini sering diistilahkan dengan syirik.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ
“Hanya kepada-Mu, ya Allah, kami menyembah dan hanya kepada-Mu, ya Allah, kami meminta.” (al-Fatihah: 5)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu anhuma,
إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Apabila kamu meminta, mintalah kepada Allah. Apabila kamu meminta tolong, minta tolonglah kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi, beliau mengatakan hadits ini hasan sahih)
Allah berfirman,
وَٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ
“Sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (an-Nisa: 36)
Baca juga: Syirik
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Hai sekalian manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 21)
Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang memberikan peribadatan sedikit pun kepada selain Allah. Sebab, semuanya itu adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala semata.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
يَقُولُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِأَهْوَنِ أَهْلِ النَّارِ عَذَابًا: لَوْ كَانَتْ لَكَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا، أَكُنْتَ مُفْتَدِيًا بِهَا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ. فَيَقُولُ: قَدْ أَرَدْتُ مِنْكَ أَهْوَنَ مِنْ هَذَا وَأَنْتَ فِي صُلْبِ آدَمَ: أَنْ لَا تُشْرِكَ – أَحْسِبُهُ قَالَ: وَلَا أُدْخِلَكَ النَّارَ – فَأَبَيْتَ إِلَّا الشِّرْكَ
Allah berfirman kepada penduduk neraka yang paling ringan azabnya, “Seandainya kamu memiliki dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan menebus dirimu?”
Dia menjawab, “Ya.”
Allah berfirman, “Sungguh, Aku telah menginginkan darimu lebih rendah dari ini ketika kamu berada di tulang rusuk Adam, yaitu agar kamu tidak menyekutukan Aku—rawi berkata: Aku mengira beliau berkata: … dan Aku tidak akan memasukkanmu ke dalam neraka—. Akan tetapi, kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” (Sahih, HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiallahu anhu)
Baca juga: Dahsyatnya Neraka
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي، تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
Allah berfirman dalam hadits qudsi, “Aku tidak butuh kepada sekutu-sekutu. Barang siapa melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku, Aku akan membiarkannya dan sekutunya.” (Sahih, HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Contoh konkret penyimpangan uluhiyah Allah subhanahu wa ta’ala ialah ketika seseorang mengalami musibah dan berharap bisa terlepas dari musibah tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada seorang dukun, atau ke tempat keramat, atau ke tempat lainnya. Di tempat itu, dia meminta agar penghuninya atau sang dukun melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut keinginannya tidak terpenuhi. Ia pun mempersembahkan sembelihan, bahkan bernazar dan berjanji akan beriktikaf di tempat tersebut jika terlepas dari musibah.
Baca juga: Hikmah di Balik Musibah
Ibnul Qayyim mengatakan, “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan pelecehan terhadap tauhid uluhiyah. Ia merupakan bentuk berburuk sangka terhadap Allah.”
Maksudnya, kita beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki nama-nama yang Dia telah menamai Diri-Nya dan nama-nama yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Kita juga beriman bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki sifat-sifat yang tinggi yang Dia sifati Diri-Nya dan disifati oleh Rasul-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi. Dalilnya adalah firman Allah,
وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (al-A’raf: 180)
وَلِلَّهِ ٱلۡمَثَلُ ٱلۡأَعۡلَىٰۚ
“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (an-Nahl: 60)
Dalam hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Kita tidak menyelewengkannya sedikit pun.
Imam asy-Syafii telah meletakkan kaidah dasar ketika berbicara tentang nama dan sifat-sifat Allah sebagai berikut, “Aku beriman kepada Allah dan apa (nama dan sifat Allah) yang datang dari Allah, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Allah. Aku beriman kepada Rasulullah dan (nama dan sifat Allah) yang datang dari Rasulullah, sesuai dengan apa yang dimaukan oleh Rasulullah.” (Lihat Syarah Lum’atul I’tiqad, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hlm. 36)
Baca juga: Makna Syahadat Muhammad Rasulullah
Ketika berbicara tentang sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, berarti kita telah berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu. Tentu saja, hal itu diharamkan dan dibenci dalam agama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنًا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
Katakanlah, “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah (keterangan) untuk itu, dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu.” (al-A’raf: 33)
Baca juga: Bahaya Berkata Atas Nama Allah Tanpa Ilmu
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولاً
“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungjawaban.” (al-Isra: 36)
Wallahu a’lam.