Asysyariah
Asysyariah

mengatasi problematika remaja

13 tahun yang lalu
baca 6 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran)

Setiap manusia pasti melalui jenjang-jenjang usia dalam rentang waktu kehidupannya. Mulai dari bayi neonatus (baru lahir), lalu memasuki masa batita, balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, kemudian masa tua. Hal ini sebagaimana firman Allah l:
“Kemudian Kami keluarkan kalian sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kalian sampai pada kedewasaan, di antara kalian ada yang diwafatkan, dan (ada pula) di antara kalian yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya.” (al-Hajj: 5)
Saat seseorang beranjak dari masa kanak-kanak menuju dewasa, tepatnya pada masa remaja, banyak perubahan yang terjadi pada dirinya, baik fisik maupun psikis. Ini semua ditetapkan oleh Allah l sebagai persiapan bagi dirinya untuk memasuki dunia dewasa. Di antaranya, mulai tumbuh kecenderungan jiwanya terhadap lawan jenis.
Ironinya, masih banyak orang tua yang belum mengerti apa yang harus dilakukan ketika menghadapi hal ini. Apalagi, pergaulan yang bebas antara anak laki-laki dan perempuan makin dianggap sesuatu yang lumrah. Ikhtilath (campur baur lelaki dan perempuan), bahkan khalwat (berduaan dengan lawan jenis) tidak lagi menjadi sesuatu yang perlu dikhawatirkan menurut mereka. Toh cuma sekadar teman biasa, begitu pikir mereka.
Lebih-lebih lagi berbagai teori psikologi Barat turut melegalkan pergaulan semacam ini. Bahkan, hal ini dianggap sebagai bagian dari kehidupan sosial remaja. Akibatnya, orang tua merasa semakin ‘bisa mengerti dunia anak remajanya’ dengan cara membebaskan mereka ber-ikhtilath. Lebih jauh lagi, mereka menjadi sponsor dan fasilitator bagi anak mereka yang ingin berpacaran. Nas’alullah as-salamah (kita memohon keselamatan kepada Allah l).
Padahal senyatanya, dari sanalah justru pangkal segala kerusakan. Makin berjalan waktu, pergaulan yang bebas antara anak laki-laki dan perempuan makin dianggap wajar. Pemisahan antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai gaya hidup kolot dan tempo doeloe.
Akan tetapi, akibatnya kian memiriskan hati. Remaja adalah masa mulai bergejolak naluri seksual. Namun, alih-alih mendapatkan sesuatu yang meredakan sehingga tersalurkan dengan benar, situasi dan kondisi di sekeliling justru mendorong pelampiasannya secara salah. Jika terjadi sesuatu yang tak diharapkan, tinggallah si remaja menjadi kambing hitam. Sementara itu, orang tua seringkali tak merasa bersalah sama sekali.
Alangkah baiknya jika kita mendengar dan tunduk kepada syariat Allah l. Allah l dan Rasul-Nya n telah mengabarkan tentang haramnya ikhtilath dan khalwat. Bukankah sesuatu yang haram pasti berujung pada kejelekan, kerusakan, dan kebinasaan? Bukankah lebih baik mencegah kejelekan, kerusakan, dan kebinasaan dengan melaksanakan syariat Allah l daripada di belakang hari menuai penyesalan?
Untuk itu, alangkah baiknya jika kita simak bimbingan seorang alim yang telah puluhan tahun menghabiskan hidupnya sebagai seorang pendidik. Beliau memberikan arahan kepada kita—orang tua—tentang cara menghadapi problematika remaja yang tengah bergejolak naluri seksualnya.
Beliau, asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu t, menuliskan hal ini di tengah lembaran-lembaran kitab kecil yang beliau susun, Kaifa Nurabbi Auladana. Beliau katakan, “Sesungguhnya solusi paling utama bagi problematika remaja ini adalah menikah, jika memang hal ini memungkinkan dan jalannya pun mudah, seperti tersedianya mahar. Hal ini sebagai pengamalan sabda Rasul n:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَة فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَر وَأَحْصَنُ لِلْفَرْج، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu, hendaknya dia menikah, karena hal itu akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu, hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu tameng baginya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Tameng di sini maksudnya meredakan syahwat (keinginan) untuk jima’.
Jangan sampai pernikahan terhalang oleh keinginan menyelesaikan pendidikan, jika memang si pemuda itu dari keluarga kaya dan memiliki orang tua yang dapat mencukupi kebutuhannya, atau dia sendiri memiliki kekayaan/pekerjaan.
Begitu pun orang tua. Seyogianya mereka tidak menunda pernikahan anaknya ketika telah mencapai usia baligh, apabila memang mereka ini kaya. Ini lebih baik daripada membiarkan anaknya membujang sehingga terseret untuk berbuat keji dan merusak nama baik atau kehormatan orang tuanya. Ujungnya, si anak berbuat dosa, baik pada dirinya maupun orang tuanya.
Di sisi lain, si anak hendaknya meminta dengan lemah lembut kepada orang tuanya agar diizinkan menikah, jika memang orang tuanya adalah ‘orang yang berada’. Dia pun hendaknya bersemangat mencari ridha orang tuanya dan senantiasa bersikap baik kepada mereka. Sebaliknya, sang ayah hendaknya membantu sejauh kemampuannya agar hal ini terwujud.
Hendaknya setiap orang menyadari bahwa Allah l tidaklah mengharamkan sesuatu melainkan pasti menghalalkan hal lain yang dapat menggantikannya. Contohnya, Allah l mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli, Allah l mengharamkan zina dan menghalalkan pernikahan. Menikah adalah solusi terbaik bagi problematika para pemuda.
Namun, jika belum ada kemudahan untuk menikah, mungkin karena fakir sehingga tak memiliki sesuatu untuk mahar atau nafkah, solusi yang terbaik adalah:
Melaksanakan Puasa Sesuai Ajaran Syariat
Hal ini sebagai pengamalan hadits di atas:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Barang siapa belum mampu, hendaknya ia berpuasa karena puasa itu tameng baginya.”
Maksudnya, puasa itu akan menjaga si pemuda karena akan meredakan syahwatnya.
Puasa tidak hanya menahan diri dari makan dan minum, namun mencakup pula menahan diri dari melihat segala yang haram, bercampur dengan wanita, menyaksikan film-film porno, bacaan-bacaan cabul, dan berinteraksi dengan lawan jenis.
Hendaknya seorang pemuda juga bisa menjaga pandangannya untuk tidak melihat wanita. Allah l menjadikan kesehatan dengan sebab menjaga diri. Allah l menjadikan sakit dan berbagai musibah lain dengan sebab mengikuti syahwat yang tak bisa dia kendalikan. Tidak boleh syahwat itu disalurkan melainkan melalui jalan yang dibenarkan baginya, dan jalannya adalah menikah. Pernikahan itu akan menjaga kehormatannya dan memberi pengaruh yang baik kepadanya.
Melakukan Aktivitas Rohani
Para ahli jiwa menyatakan bahwa gejolak seksual dalam diri seseorang dapat diredakan. Jika seseorang belum mampu menikah, hendaknya jangan sampai mendekati perbuatan keji. Hendaknya dia berlomba dengan dirinya sendiri untuk melaksanakan berbagai aktivitas rohani, seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an, hadits nabawi, biografi, dan sebagainya. Bisa pula dia menyibukkan diri bekerja, sibuk mengadakan penelitian, mengisi waktu dengan menggambar dan berbagai kesibukan, seperti menggambar panorama sungai, pepohonan, pegunungan tanpa gambar manusia, atau yang lainnya.
Olahraga
Ini adalah aktivitas jasmani. Melakukan olahraga, memerhatikan latihan tubuh, bergabung dengan klub-klub yang bebas ikhtilath, semua ini akan mengalihkan pikirannya dari gejolak seksualnya. Selain itu, hal-hal ini juga akan menjauhkannya dari zina yang akan membahayakan fisik, akhlak, dan agamanya.
Saat seorang pemuda merasakan gejolak seksual, dia harus melakukan aktivitas jasmani untuk menyalurkan energinya. Ia bisa melakukan lari jarak jauh, angkat berat, gulat, berlomba, belajar memanah, berenang, mengikuti perlombaan ilmiah, dan sebagainya yang dapat meredakan syahwatnya.
Membaca Buku-Buku Agama
Yang terpenting adalah membaca al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits nabawi serta kitab-kitab tafsir. Kemudian berusaha menghafal al-Qur’an dan hadits, membaca sejarah hidup Nabi n, biografi al-Khulafa ar-Rasyidin dan para ulama, mendengarkan ceramah ilmiah dan keagamaan, serta mendengarkan bacaan al-Qur’an dari Idza’atul Qur’anil Karim (radio siaran milik pemerintah Saudi Arabia, pen.) atau yang lainnya.
Singkatnya, solusi yang paling bermanfaat bagi para pemuda adalah menikah. Jika ternyata belum mampu, bisa dengan berpuasa, melakukan aktivitas rohani, olahraga, menekuni ilmu yang bermanfaat—yang merupakan penenang dan sesuatu yang kuat yang dapat memberi manfaat tanpa merugikan—kemudian menjaga pandangan dari segala sesuatu yang dilarang oleh Allah l, dan memohon hanya kepada Allah l terutama di malam hari agar Allah l memudahkan mereka untuk menikah.” (Dinukil dari Kaifa Nurabbi Auladana hlm. 30—32)
Wallahu ta’ala a’lam.