Asysyariah
Asysyariah

menepati janji

4 tahun yang lalu
baca 18 menit
Menepati Janji

Janji ringan diucapkan, tetapi berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orang tua yang mudah mengobral janji kepada anaknya, tetapi tak pernah menepati. Betapa banyak orang yang dengan mudahnya berjanji untuk bertemu, namun tak juga menepatinya. Betapa banyak pula orang yang berutang, tetapi menyelisihi janjinya, bahkan meminta uzur pun tidak.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah banyak memberikan teladan dalam hal ini, termasuk larangan keras melanggar janji dengan orang-orang kafir.

Dalam kehidupan ini, setiap orang pasti memiliki suatu keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka dari itu, seseorang yang mempergauli manusia dengan baik dan menjaga amanah dari mereka, kedudukannya di tengah-tengah mereka akan menjadi tinggi, ia juga akan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Baca juga: Meneladani Akhlak Nabi

Perlu diketahui, seseorang itu akan dikatakan sebagai orang yang baik dan mulia jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji ketika bergaul dengan sesama; dan salah satunya adalah menepati janji.

Sungguh, Al-Qur’an telah memperhatikan masalah janji ini dan mendorong manusia untuk menepatinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَنقُضُواْ ٱلۡأَيۡمَٰنَ بَعۡدَ تَوۡكِيدِهَا

“Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah, setelah diikrarkan. (an-Nahl: 91)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَأَوۡفُواْ بِٱلۡعَهۡدِۖ إِنَّ ٱلۡعَهۡدَ كَانَ مَسۡ‍ُٔولًا

“Dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 34)

Demikianlah perintah Allah subhanahu wa ta’ala kepada para hamba-Nya yang beriman agar senantiasa menjaga dan melaksanakan janji mereka.

Janji yang dimaksud di sini mencakup janji seorang hamba kepada Allah subhanahu wa ta’ala, para hamba-Nya, dan dirinya sendiri (seperti nazar). Termasuk pula segala sesuatu yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan semisalnya.

Para Rasul Selalu Menepati Janji

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa menepati janji itu merupakan salah satu akhlak terpuji yang paling mulia. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika para rasul yang merupakan panutan umat, yang menyampaikan risalah-Nya shallallahu alaihi wa sallam kepada manusia; menghiasi diri mereka dengan akhlak mulia ini.

Inilah Ibrahim alaihis salam, bapak para nabi dan imam ahli tauhid. Allah subhanahu wa ta’ala telah menyifatinya sebagai orang yang menepati janji. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِبۡرَٰهِيمَ ٱلَّذِي وَفَّىٰٓ

“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (an-Najm: 37)

Maksudnya, Nabi Ibrahim alaihis salam telah melaksanakan seluruh ujian dan perintah dari syariat Allah subhanahu wa ta’ala, baik yang pokok maupun cabangnya.

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman mengenai Nabi Ismail alaihis salam,

إِنَّهُۥ كَانَ صَادِقَ ٱلۡوَعۡدِ

Dia benar-benar seorang yang benar janjinya. (Maryam: 54)

Maksudnya, tidaklah beliau menjanjikan sesuatu, kecuali pasti beliau penuhi. Hal ini mencakup janji yang beliau ikrarkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala ataupun kepada manusia.

Oleh karena itu, tatkala beliau berjanji untuk sabar disembelih bapaknya—karena menaati perintah Allah subhanahu wa ta’ala—beliau pun menepatinya dengan mempersembahkan diri beliau untuk tunduk kepada perintah Allah subhanahu wa ta’ala (untuk disembelih). (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 822 dan 496)

Baca juga: Mendulang Mutiara Hikmah dari Perjalanan Hidup Nabi Ibrahim

Adapun Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, beliau dianugerahi bagian yang besar dalam permasalahan menepati janji ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau shallallahu alaihi wa sallam telah dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi tepercaya. Maka dari itu, tatkala beliau shallallahu alaihi wa sallam diangkat menjadi rasul, perangai mulia ini semakin menjadi sempurna pada diri beliau. Orang-orang kafir pun mengagumi beliau, terlebih orang-orang yang mengikuti dan beriman kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Pada tahun keenam Hijriah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah bersama para sahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy.

Ketika sampai di al-Hudaibiyah, beliau shallallahu alaihi wa sallam dan kaum muslimin diadang oleh kaum musyrikin. Kemudian terjadilah perundingan antara Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mereka, yang menelurkan beberapa butir perjanjian, di antaranya: gencatan senjata selama sepuluh tahun; tidak boleh saling menyerang; kaum muslimin tidak boleh melaksanakan umrah tahun ini, namun tahun depan; dan jika ada penduduk Makkah masuk Islam lantas pergi ke Madinah, kaum muslimin harus memulangkannya ke Makkah.

Baca juga: Perjanjian Hudaibiyah

Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail—juru runding orang Quraisy—masuk Islam dan ingin ikut bersama para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam ke Madinah.

Suhail berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, jika anaknya tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun akhirnya menandatangani perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan dan kaum muslimin harus membatalkan umrahnya. Namun, di balik peristiwa itu justru terdapat suatu kebaikan bagi kaum muslimin: dakwah kian tersebar dan ada semangat untuk menyusun kembali kekuatan.

Belum lama perjanjian itu berjalan, orang-orang kafir justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa Penaklukan Kota Makkah (Fathu Makkah), yang membuat mereka bertekuk lutut dan menyerah kepada kaum muslimin.

Baca juga: Fathu Makkah (bagian 4): Islamnya Sejumlah Tokoh Quraisy

Dengan demikian, jatuhlah markas komando kaum musyrikin ke tangan kaum muslimin, dan manusia pun masuk Islam dengan berbondong-bondong. Inilah salah satu buah menepati janji, yaitu datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah. (Zadul Ma’ad, 3/262)

Teladan Para Salaf dalam Menepati Janji

Dahulu ada seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Anas bin an-Nadhr radhiallahu anhu. Dia amat menyesal karena tidak mengikuti Perang Badr bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dia pun berjanji; jika Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkannya untuk terjun kembali menuju medan pertempuran bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, niscaya Allah subhanahu wa ta’ala akan melihat pengorbanan yang dilakukannya.

Ketika Perang Uhud berkobar, dia ikut berangkat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dalam perang ini kaum muslimin terpukul mundur dan sebagiannya lari dari medan pertempuran. Di sinilah janji Anas terbukti; dia terus maju menerobos barisan musuh hingga terbunuh.

Ketika perang telah usai, kaum muslimin segera mencari para syuhada Uhud, lalu didapatilah tubuh Anas bin an-Nadhr yang terbaring dengan delapan puluh lebih bekas tusukan pedang, tombak, dan panah. Tidak ada yang bisa mengenalinya kecuali saudarinya. Kemudian turunlah ayat,

مِّنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُواْ مَا عَٰهَدُواْ ٱللَّهَ عَلَيۡهِۖ فَمِنۡهُم مَّن قَضَىٰ نَحۡبَهُۥ وَمِنۡهُم مَّن يَنتَظِرُۖ وَمَا بَدَّلُواْ تَبۡدِيلًا

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya), (al-Ahzab: 23) [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surah al-Ahzab, 3/484; dan Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 3200]

Baca juga: Perang Uhud (2): Kekalahan Akibat Kelalaian

Diriwayatkan dari Auf bin Malik al-Asyja’i radhiallahu anhu, dia berkata, “Dahulu kami—berjumlah—tujuh, delapan, atau sembilan orang di sisi Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau pun bersabda, ‘Tidakkah kalian berbaiat kepada Rasulullah?’

Kami membentangkan tangan kami. Tiba-tiba ada yang berkata, ‘Kami telah berbaiat kepadamu, wahai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam! Lalu, atas apa kami membaiat Anda?’

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ‘Kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya sedikit pun, menegakkan shalat lima waktu, mendengar dan taat (kepada penguasa)—dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengucapkan kalimat yang samar—(lalu berkata), dan kalian tidak meminta apa pun kepada manusia.’”

Auf bin Malik radhiallahu anhu berkata, “Sungguh, aku melihat cambuk sebagian orang-orang itu jatuh dan mereka tidak meminta seorang pun untuk mengambilkannya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 2334)

Baca juga: Tiga Hal yang Diridhai dan Tiga Hal yang Dimurkai Allah

Seperti itulah besarnya urusan menepati janji di mata generasi terbaik umat ini. Sebab, mereka yakin bahwa janji itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Tiada satu kalimat pun yang terucap, kecuali ada malaikat yang selalu mencatatnya. Intinya, keimanan yang benar itulah yang akan mewariskan segala perilaku dan perangai terpuji.

Hal ini sangat berbeda dengan orang-orang yang hanya bisa memberikan segala macam janji manis yang tidak pernah terpenuhi.

Tidakkah mereka takut kepada azab Allah subhanahu wa ta’ala karena ingkar janji? Tidakkah mereka tahu bahwa ingkar janji adalah akhlak Iblis dan kaum munafikin? Ya. Seruan ini mungkin bisa didengar, tetapi bagaimana mungkin orang yang hatinya telah mati dan dikuasai oleh setan, bisa mendengar seruan ini.

Iblis Menebar Janji Manis

Semenjak Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan Adam alaihis salam dan memuliakannya di hadapan para malaikat, muncullah kedengkian dan api permusuhan pada diri Iblis. Terlebih lagi ketika Allah subhanahu wa ta’ala mengutuknya dan mengusirnya dari surga. Iblis berikrar akan menyesatkan manusia dengan mendatangi mereka dari berbagai arah. Berbagai cara licik dilakukannya demi mendapatkan banyak teman di neraka nanti. Salah satunya adalah dengan membisikkan beragam janji palsu dan angan-angan hampa pada hati manusia.

Baca juga: Manusia vs Iblis; bagian ke-1

Saat Perang Badr, Iblis datang bersama para pasukannya dengan membawa bendera. Ia menjelma menjadi seorang lelaki dari Bani Mudlaj bernama Suraqah bin Malik bin Ju’syum. Ia berkata kepada kaum musyrikin, “Tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan kalian pada hari ini. Sesungguhnya aku adalah penolong kalian.”

Tatkala dua pasukan telah siap bertempur, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengambil segenggam debu lalu menaburkannya ke wajah pasukan musyrikin sehingga mereka pun lari ke belakang.

Kemudian, Malaikat Jibril mendatangi Iblis. Ketika Iblis melihat Jibril—waktu itu tangannya (Iblis) sedang digenggam oleh seorang lelaki, ia berusaha melepaskannya dan lari terbirit-birit bersama pasukannya. Lelaki tadi berkata, “Wahai Suraqah, bukankah kamu telah berjanji akan membela kami?” Iblis menjawab, “Sungguh, aku telah melihat sesuatu yang tidak bisa kamu lihat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/330; dan ar-Rahiq al-Makhtum, hlm. 304)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذۡ زَيَّنَ لَهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَعۡمَٰلَهُمۡ وَقَالَ لَا غَالِبَ لَكُمُ ٱلۡيَوۡمَ مِنَ ٱلنَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَّكُمۡۖ فَلَمَّا تَرَآءَتِ ٱلۡفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيٓءٌ مِّنكُمۡ إِنِّيٓ أَرَىٰ مَا لَا تَرَوۡنَ إِنِّيٓ أَخَافُ ٱللَّهَۚ وَٱللَّهُ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ

“Dan (ingatlah) ketika setan menjadikan mereka memandang baik perbuatan (dosa) mereka dan mengatakan, ‘Tidak ada (orang) yang dapat mengalahkan kalian pada hari ini, dan sungguh, aku adalah penolongmu.’ Maka ketika kedua pasukan itu telah saling melihat (berhadapan), setan berbalik ke belakang seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian; aku dapat melihat apa yang kalian tidak dapat melihat; sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Allah sangat keras siksa-Nya.” (al-Anfal: 48)

Tanda-Tanda Kemunafikan

Menepati janji adalah bagian dari iman. Barang siapa tidak menjaga perjanjiannya, maka tidak ada agama baginya. Demikian pula dengan ingkar janji, ia termasuk salah satu tanda kemunafikan dan bukti rusaknya hati.

آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

Tanda kemunafikan ada tiga: apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia ingkar; dan apabila dipercaya, ia justru berkhianat.” (HR. Muslim, “Kitabul Iman”, “Bab Khishalul Munafiq”, no. 107 dari jalur Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Baca juga: Mewaspadai Kaum Munafik

Seorang mukmin tentu berbeda dengan munafik. Apabila dia berbicara, jujur ucapannya; apabila telah berjanji, ia akan berusaha menepatinya; dan jika dipercaya untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, ia akan menjaganya.

Menepati janji akan membedakan orang yang baik dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat Khuthab Mukhtarah, hlm. 382—383)

Menjaga Ikatan Perjanjian Walaupun dengan Orang Kafir

Orang yang membaca sirah (sejarah) Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan generasi Salafus Shalih, akan mendapati bahwa menepati janji dan ikatan perjanjian tidaklah terbatas pada sesama kaum muslimin saja, bahkan terhadap lawan pun demikian.

Sekian banyak perjanjian yang telah dibuat antara Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan orang-orang kafir (Ahlul Kitab dan musyrikin), tetap beliau shallallahu alaihi wa sallam jaga, hingga akkhirnya justru mereka sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِلَّا ٱلَّذِينَ عَٰهَدتُّم مِّنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ثُمَّ لَمۡ يَنقُصُوكُمۡ شَيۡ‍ًٔا وَلَمۡ يُظَٰهِرُواْ عَلَيۡكُمۡ أَحَدًا فَأَتِمُّوٓاْ إِلَيۡهِمۡ عَهۡدَهُمۡ إِلَىٰ مُدَّتِهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَّقِينَ

“Kecuali orang-orang musyrik yang telah mengadakan perjanjian dengan kamu dan mereka sedikit pun tidak mengurangi (isi perjanjian) dan tidak (pula) mereka membantu seorang pun yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (at-Taubah: 4)

Baca juga: Keharusan Membenci dan Berlepas Diri dari Orang Kafir

Dahulu, Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu anhuma memiliki ikatan perjanjian (gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu ketika Muawiyah bermaksud menyerang mereka; dia memulai satu bulan lebih cepat (sebelum habis masa perjanjiannya).

Tiba-tiba datang seorang lelaki mengendarai kudanya dari negeri Romawi seraya berkata, “Penuhilah janji dan jangan berkhianat!”

Ternyata, dia adalah seorang sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang bernama Amr bin Absah. Muawiyah pun memanggilnya. Amr berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْمٍ عَهْدٌ، فَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَحِلَّ عُقْدَةً حَتَّى يَنْقَضِي أَمَدُهَا أَوْ يُنْبِذُ إِلَيْهِمْ سَوَاءٌ

Barang siapa memiliki perjanjian dengan suatu kaum, tidak halal baginya untuk melepasnya sampai berlalu masanya, atau ia mengembalikan perjanjian tersebut kepada mereka dengan cara yang jujur.’”

Akhirnya, Muawiyah menarik diri dan pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman, no. 4049—4050; dan ash-Shahihah, 5/472, hadits no. 2357)

Kalau hal itu (menepati janji) saja bisa berlaku terhadap kaum musyrikin, terlebih terhadap kaum muslimin. Namun, jika perjanjian itu berupa maksiat, tentu janji tersebut tidak boleh ditunaikan. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَالمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

“Kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan perkara yang dihalalkan atau menghalalkan perkara yang diharamkan.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 1352. Lihat Irwaul Ghalil, no. 1303)

Menunaikan Nazar dan Membayar Utang

Di antara bentuk menunaikan janji adalah membayar utang apabila telah jatuh temponya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا، أَدَّاهَا اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا، أَتْلَفَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Barang siapa mengambil harta manusia (berutang) dan ia berusaha menunaikannya, niscaya Allah akan (memudahkan untuk) menunaikannya. Namun, barang siapa mengambilnya dan justru ingin merusaknya, niscaya Allah azza wa jalla akan melenyapkannya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dan Ibnu Majah, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. Lihat Faidhul Qadir, 6/54)

Baca juga: Adab Utang Piutang

Adapun menunaikan nazar, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يُوفُونَ بِٱلنَّذۡرِ وَيَخَافُونَ يَوۡمًا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيرًا

“Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (al-Insan: 7)

Janji yang Paling Berhak untuk Dipenuhi

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَحَقُّ الشُّرُوطِ أَنْ تُوفُوا بِهِ مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الفُرُوجَ

“Syarat/janji yang paling berhak untuk ditepati adalah syarat yang kalian menghalalkan kemaluan dengannya.” (HR. al-Bukhari, no. 2721)

Maksudnya, syarat/janji yang paling berhak untuk dipenuhi adalah yang berkaitan dengan akad nikah, seperti mahar dan sesuatu yang tidak melanggar aturan agama. Jika persyaratan tadi bertentangan dengan syariat, hal itu tidak boleh dilakukan. Sebagai contoh, seorang wanita yang hanya mau dinikahi dengan syarat ia (laki-lakinya) menceraikan istrinya terlebih dahulu. (Lihat Fathul Bari, 9/218)

Larangan Ingkar Janji Terhadap Anak Kecil

Sikap mengingkari janji, terhadap siapa pun itu, tidaklah dibenarkan oleh agama Islam; meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau tidak, kita telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan perangai yang tercela pada diri mereka.

Imam Abu Dawud rahimahullah telah meriwayatkan hadits dari sahabat Abdullah bin Amir radhiallahu anhuma, dia berkata, “Pada suatu hari, ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang duduk di tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dan berkata, ‘Kemarilah! Aku akan memberimu sesuatu!’

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada ibuku, ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab, ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

أَمَا إِنَّكِ لَوْ لـَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ

Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu, akan ditulis untukmu satu kedustaan. (HR. Abu Dawud, Bab at-Tasydid fil Kadzib, no. 498. Lihat ash-Shahihah, no. 748)

Baca juga: Kejujuran

Ada faedah dalam hadits ini, yaitu sesuatu yang biasa diucapkan manusia kepada anak-anak kecil ketika mereka menangis, seperti kalimat janji yang tidak ditepati atau menakut-nakuti mereka dengan sesuatu yang tidak ada, adalah perbuatan yang diharamkan. (Aunul Ma’bud, 13/ 229)

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata,

لَا يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلَا هَزْلٍ، وَلَا أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لَا يُنْجِزُ لَهُ

“Kedustaan itu tidak diperbolehkan, baik serius maupun bercanda. Janganlah salah seorang dari kalian menjanjikan sesuatu kepada anaknya, lalu ia malah tidak memenuhinya.” (Shahih al-Adabul Mufrad, no. 300)

Larangan Menunaikan Janji yang Berupa Maksiat

Menunaikan janji itu dilakukan pada perkara yang baik dan bermaslahat, serta pada sesuatu yang sifatnya mubah/boleh menurut syariat. Adapun jika seorang memberikan janji dengan suatu bentuk kemaksiatan dan kemudaratan, atau mengikat perjanjian yang mengandung bentuk kejelekan dan permusuhan; menepati janji pada perkara-perkara ini bukanlah sifat orang-orang yang beriman, dan ia tidak boleh menunaikannya.

Baca juga: Hukum Nadzar Mubah

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ

“Tidak ada nazar (yang boleh ditunaikan) dalam perkara maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad, dari sahabat Jabir radhiallahu anhu. Lihat Shahihul Jami’, no. 7574)

Surga Firdaus Bagi Orang yang Menepati Janji

Hanya orang-orang yang beriman lagi bersih jiwanya, yang akan memasuki surga. Surga itu memiliki banyak tingkatan, dan yang paling utama adalah Firdaus. Sungai-sungai surga memancar darinya, dan di atasnya adalah Arsy ar-Rahman.

Tempat dengan keutamaan yang besar ini hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat baik, di antaranya adalah menepati janji. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَٱلَّذِينَ هُمۡ لِأَمَٰنَٰتِهِمۡ وَعَهۡدِهِمۡ رَٰعُونَ

“Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya.” (al-Mu`minun: 8)

Baca juga: Kisah Sebatang Kayu, Amanah yang Nyaris Punah

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اضْمَنُوا لِي سِتًّا مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ: اصْدُقُوا إِذَا حَدَّثْتُمْ، وَأَوْفُوا إِذَا وَعَدْتُمْ، وَأَدُّوا إِذَا اؤْتُمِنْتُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ، وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ

“Jagalah enam perkara ini oleh kalian, niscaya aku akan menjamin surga untuk kalian: jujurlah dalam berbicara, tepatilah janji, tunaikanlah amanah apabila kalian diberi amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan, dan tahanlah tangan-tangan kalian (dari sesuatu yang dilarang).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi, dalam Syu’abul Iman. Lihat ash-Shahihah, no. 1470)

Ingkar Janji Mendatangkan Kutukan dan Menjerumuskan ke dalam Siksa

Siapa pun orangnya, jika fitrahnya masih sehat, ia tidak akan menyukai orang yang berbuat ingkar janji. Sebab, orang yang seperti ini akan dijauhi oleh masyarakat dan tidak memiliki harga diri di mata mereka.

Namun, anehnya, ternyata masih banyak orang yang jika berjanji hanya sebatas igauan belaka. Dia tidak acuh dengan kehinaan yang disandangnya. Sebab, hanya orang rendahanlah yang tidak risih dengan kotoran yang menghinggapinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ شَرَّ ٱلدَّوَآبِّ عِندَ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ فَهُمۡ لَا يُؤۡمِنُونَ ٥٥ ٱلَّذِينَ عَٰهَدتَّ مِنۡهُمۡ ثُمَّ يَنقُضُونَ عَهۡدَهُمۡ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمۡ لَا يَتَّقُونَ ٥٦

“Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah orang-orang kafir, karena mereka tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang terikat perjanjian dengan kamu, kemudian setiap kali berjanji mereka mengkhianati janjinya, sedang mereka tidak takut (kepada Allah).” (al-Anfal: 55—56)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Setiap pengkhianat akan memiliki bendera (yang akan ditancapkan) di pantatnya pada Hari Kiamat.” (HR. Muslim, “Bab Tahrimul Ghadr”, no. 1738 dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu)

Khatimah

Demikianlah keindahan ajaran Islam yang menjunjung tinggi etika dan adab pergaulan. Ini sangat berbeda dengan apa yang disaksikan oleh dunia saat ini, berupa kecongkakan Yahudi, Nasrani, dan musyrikin, serta pengkhianatan mereka terhadap kaum muslimin.

Saat melihat sejarah, kita bisa menyaksikan para pengkhianat perjanjian akan berakhir dengan kemalangan. Tentu kita tidak akan melupakan nasib tiga kelompok Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizhah, Bani an-Nadhir, dan Bani Qainuqa’, yang terhinakan akibat mengkhianati perjanjian dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sebagian mereka ada yang dibunuh, diusir, dan ditawan.

Watak tercela itu jelas sangat melekat pada diri mereka karena mereka tidak memiliki keimanan yang benar. Akan tetapi, orang-orang yang mendambakan kebahagiaan hakiki dan pertolongan atas musuh-musuhnya, mereka akan menjadikan akhlak mulia sebagai salah satu modal untuk menegakkan kalimat Allah subhanahu wa ta’ala. Yakinlah, Islam akan senantiasa tinggi, dan tidak akan ada yang bisa menandinginya.

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc.

Sumber Tulisan:
Menepati Janji