Asysyariah
Asysyariah

mencintai orang beriman dan membenci orang kafir tali keimananterkokoh dalam islam

13 tahun yang lalu
baca 15 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi)

Sudah menjadi ketetapan ilahi (sunnatullah) bahwa kebenaran (al-haq) dan kebatilan (al-batil) tidak akan pernah bersatu. Keduanya laksana dua kutub yang selalu berseberangan. Demikian pula para pengusungnya, mereka akan terus berseteru hingga akhir zaman nanti. Para pengusung kebenaran (ahlul haq) adalah para wali Allah l dari kalangan orang beriman, sedangkan para pengusung kebatilan (ahlul batil) adalah para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.

Kecintaan dan Kebencian di Ranah Keimanan
Kecintaan (al-hubbu) dan kebencian (al-bughdhu) merupakan amalan hati yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan seseorang. Demikian pula dalam kehidupan beragama, keduanya tak bisa dipisahkan dari ranah keimanan seseorang. Secara kelaziman, kecintaan (al-hubbu) akan mewariskan sikap loyal/setia (al-muwalah), sedangkan kebencian (al-bughdhu) akan mewariskan sikap permusuhan (al-mu’adah).1
Keempat amalan tersebut akan terbilang sebagai amalan mulia, bahkan sebagai tanda bukti kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya l manakala dilakukannya karena Allah l (fillah), bukan karena hawa nafsu atau kepentingan tertentu.2 Tak heran bila kemudian dikukuhkan sebagai tali keimanan terkokoh dan salah satu prinsip keyakinan (akidah) terpenting dalam Islam. Rasulullah n bersabda:
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيْمَانِ: الْمُوَالاَةُ فِي اللهِ وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Tali keimanan terkokoh adalah bersikap loyal (setia) karena Allah l dan memusuhi karena Allah l, mencintai karena Allah l dan membenci karena Allah l.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabir no.11537 dari sahabat Abdullah bin Abbas c, dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah no. 1728)
Di antara bentuk kecintaan dan sikap loyal (setia) karena Allah l (fillah) adalah mencintai para wali Allah l dari kalangan orang beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka. Adapun di antara bentuk kebencian dan sikap permusuhan karena Allah l (fillah) adalah membenci dan memusuhi para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.
Al-Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya, ad-Da’ wad Dawa’, menegaskan bahwa kecintaan dan sikap loyal (setia) kepada orang beriman tersebut tidaklah sah jika tidak diiringi dengan kebencian dan sikap permusuhan terhadap musuh-musuh Allah l dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.
Prinsip keyakinan di atas, sungguh telah terpatri pada jiwa para sahabat Nabi n selaku generasi terbaik umat ini, bahkan menjadi simbol kepribadian mereka yang diabadikan dalam Al-Qur’anul Karim. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah l:
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya sangatlah keras terhadap orang-orang kafir, namun berkasih sayang sesama mereka.” (al-Fath: 29)

Kewajiban Mencintai Orang Beriman dan Membenci Orang Kafir
Manakala perseteruan antara para wali Allah l dari kalangan orang beriman selaku pengusung kebenaran (ahlul haq) dengan para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya selaku pengusung kebatilan (ahlul batil) tidak pernah berhenti hingga akhir zaman nanti, maka di antara norma luhur dan keadilan yang ditanamkan oleh Islam kepada umatnya—sebagai konsekuensi keimanan—adalah kewajiban mencintai para wali Allah l dari kalangan orang beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka. Sebagaimana pula Islam menanamkan kebencian dan sikap permusuhan kepada para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya, al-Wala’ wal Bara’ fil Islam, berkata, “Sesungguhnya setelah mencintai Allah l dan Rasul-Nya n, wajib mencintai para wali Allah l dan memusuhi musuh-musuh-Nya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu adalah para wali Allah l, sebagian mereka adalah pembela bagi sebagian yang lain. Adapun orang-orang kafir adalah musuh Allah l dan musuh orang-orang beriman. Allah l mewajibkan sikap loyal (setia) terhadap sesama orang-orang beriman dan menjadikannya sebagai konsekuensi keimanan, sebagaimana pula Dia l melarang orang-orang beriman dari sikap loyal (setia) kepada orang-orang kafir.” (Majmu’ Fatawa 28/190)
Di antara dalil wajibnya mencintai para wali Allah l dari kalangan orang beriman dan bersikap loyal (setia) kepada mereka adalah firman Allah l:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taubah: 71)
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Maka dari itu, damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudara kalian itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kalian mendapat rahmat.” (al-Hujurat: 10)
“Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (al-Maidah: 55—56)
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)3
Di antara dalil wajibnya membenci para wali setan dari kalangan orang kafir dan para pembelanya adalah firman Allah l:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang.” (al-Mumtahanah: 1)
“Sesungguhnya telah ada teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian ibadahi selain Allah, kami ingkari (kekafiran) kalian, dan telah nyata permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah semata’.” (al-Mumtahanah: 4)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Maidah: 51)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai para pemimpin, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan barang siapa di antara kalian menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (at-Taubah: 23)
“Kalian tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” (al-Mujadilah: 22)4

Fenomena Berinteraksi dengan Orang Kafir
Para Pembaca yang mulia, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa membenci orang kafir dan memusuhinya karena Allah l ialah tali keimanan terkokoh dalam Islam. Adapun mencintai orang kafir dan bersikap loyal (setia) kepadanya adalah perbuatan yang diharamkan dalam syariat Islam. Namun, realitas menunjukkan bahwa berinteraksi dengan orang kafir merupakan sebuah fenomena dalam kehidupan ini. Baik dengan orang kafir yang tinggal di negeri muslim dengan segala hak dan kewajibannya (dzimmi), orang kafir yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin (mu’ahad), orang kafir yang mendapatkan jaminan keamanan untuk tinggal di negeri muslim (musta’man), maupun orang kafir yang sedang bermusuhan dengan kaum muslimin (harbi). Bagaimanakah bimbingan Islam mengompromikan masalah ini? Untuk mengetahuinya, ikuti dengan saksama bahasan berikut.

a. Hukum berinteraksi (muamalah) dengan orang kafir
Para Pembaca yang mulia, Islam dengan segala kesempurnaan dan keadilannya senantiasa membimbing umatnya agar bersikap adil dan menjauhkan diri dari perbuatan zalim, termasuk dalam masalah menyikapi orang kafir.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjelaskan bahwa setiap muslim wajib berlepas diri dari orang-orang musyrik (kafir) dan menampakkan kebencian kepada mereka karena Allah l. Namun, ia tidak boleh menyakiti, mencelakai, dan berbuat semena-mena terhadap mereka dengan cara yang tidak benar, khususnya dari jenis yang tidak memerangi kita (bukan harbi). Meski demikian, tetap tidak boleh menjadikan mereka sebagai kawan dekat ataupun sebagai saudara. (Majmu’ Fatawa asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz 6/420)
Adapun berinteraksi (muamalah) dengan orang kafir merupakan permasalahan tersendiri dalam Islam yang tidak ada kaitannya dengan kecintaan dan sikap loyal (setia) kepada mereka. Secara hukum asal, berinteraksi (muamalah) dengan orang kafir karena suatu kebutuhan (dengan batasan-batasannya) diperbolehkan dalam Islam. Lebih dari itu, tidak ada dasar pengharamannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjelaskan bahwa secara hukum asal tidak diharamkan bagi semua manusia untuk melakukan interaksi (muamalah) yang dibutuhkannya, melainkan jika ada dasar pengharamannya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. (Lihat as-Siyasah asy-Syar’iyah hlm. 155)
Maka dari itu, Allah l tidak melarang kaum muslimin untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang kafir yang tidak menyakiti dan memerangi mereka. Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya l:
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kalian karena agama dan tidak (pula) mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (al-Mumtahanah: 8)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya al-Wala’ wal Bara’ fil Islam berkata, “Maksud dari ayat ini adalah bahwa orang kafir yang tidak menyakiti kaum muslimin, tidak memerangi mereka, dan tidak pula mengusir mereka dari negeri-negeri mereka, tidak mengapa bagi kaum muslimin membalas kebaikan tersebut dan berlaku adil dalam urusan duniawi, namun tidak mencintainya dalam hati. Karena yang disebutkan Allah l dalam firman-Nya l adalah, ‘Untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka’ bukan ‘Bersikap loyal (setia) dan mencintai mereka’. —hingga ucapan beliau—Maka dari itu, berinteraksi dan membalas kebaikan duniawi berbeda dengan kecintaan karena berinteraksi dan berbuat baik dapat menyebabkan ketertarikan kepada Islam, dan ini adalah bagian dari dakwah. Berbeda dengan kecintaan dan sikap loyal (setia), keduanya sarat akan persetujuan dan keridhaan terhadap orang kafir tersebut, dan ini tidak membuatnya tertarik dengan Islam.” (al-Wala’ wal Bara’ fil Islam)
Seiring dengan itu, asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengingatkan agar kita semua berhati-hati ketika berinteraksi (bermuamalah) dengan orang-orang kafir tersebut. (Lihat al-Muntaqa 2/45, fatwa no. 6901)

b. Hukum berjual-beli dengan orang kafir
Berjual-beli dengan orang kafir termasuk jenis interaksi (muamalah) yang diperbolehkan dalam Islam dan bukan termasuk kecintaan serta sikap loyal (setia) kepada mereka karena tidak adanya dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengharamkannya. Jual-beli hanyalah sebuah proses transaksi untuk memenuhi suatu kebutuhan yang hakikatnya tidak ada unsur kecintaan dan sikap loyal (setia). Lebih dari itu, Rasulullah n pernah membeli seekor kambing dari seorang lelaki musyrik. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari t dalam kitab Shahih-nya. Kalaulah jual-beli dengan orang kafir itu termasuk dari kecintaan dan sikap loyal (setia) kepadanya, niscaya tidak akan dilakukan oleh Rasulullah n. Kalaulah jual-beli dengan orang kafir itu dilarang secara mutlak dalam Islam, niscaya tidak akan dicontohkan oleh Rasulullah n.
Bagaimana dengan safar (bepergian) ke negeri kafir (musuh) dalam rangka membeli barang atau berdagang? Safar ke negeri kafir (musuh) dalam rangka membeli barang atau berdagang diperbolehkan. Hal ini sebagaimana pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, “Seseorang bersafar ke negeri kafir (musuh) dalam rangka membeli barang atau berdagang adalah diperbolehkan, menurut hemat kami. Dasarnya adalah riwayat tentang berdagangnya sahabat Abu Bakr z di masa hidup Rasulullah n ke negeri Syam yang statusnya ketika itu sebagai negeri kafir (musuh).” (Iqtidha’ ash-Shiratil Mustaqim, hlm. 229)
Tidak berbeda pula dengan mengimpor barang dari negeri kafir. Hal itu juga diperbolehkan, sebagaimana fatwa asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam kitabnya, al-Wala’ wal Bara’ fil Islam. Di antara dasar yang beliau sebutkan adalah bahwa kaum muslimin sejak zaman dahulu telah melakukan hal itu, dan semuanya dilakukan dengan transaksi pembayaran yang jelas. Oleh karena itu, dalam hal ini tidak ada sama sekali unsur utang jasa atau yang semisalnya terhadap mereka. Tidak pula ada sebagai sebab kecintaan dan sikap loyal (setia) kepada mereka.
Adapun menjual sesuatu kepada orang kafir yang dapat membantu mereka (musuh) untuk memudaratkan kaum muslimin—seperti menjual persenjataan, red.—, al-Imam Ibnu Baththal t menegaskan bahwa hal itu hukumnya haram. (Lihat Fathul Bari, 4/410)
Sama halnya dengan menjual sesuatu seperti makanan, pakaian, dan wewangian di hari raya orang kafir, juga diharamkan. Mengapa? Karena mengandung unsur saling menolong dengan orang kafir dalam memeriahkan dan mewujudkan hari raya mereka yang diharamkan itu. Demikianlah yang ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam kitab Iqtidhaush Shirathil Mustaqim (hlm. 229).

c. Hukum memboikot produk orang kafir
Bagaimana dengan ajakan memboikot produk orang kafir yang seringkali dimunculkan oleh pihak-pihak tertentu?
Menyikapi hal ini, hendaknya kaum muslimin tidak mudah terpancing dengan ajakan boikot tersebut. Masalah boikot produk tertentu yang beredar di negeri muslim, baik milik orang kafir maupun lainnya, bukan kewenangan pribadi atau kelompok tertentu. Ia adalah kewenangan pemerintah kaum muslimin. Walau demikian, hendaknya kaum muslimin tidak bermudah-mudahan membeli produk kafir, terlebih jika produk yang sama juga dimiliki oleh orang muslim. Membeli produk orang muslim tentunya lebih utama. Sama halnya dengan membeli sesuatu di toko milik orang kafir. Hukum asalnya diperbolehkan, dan tidak termasuk kecintaan atau sikap loyal kepadanya. Namun, jika sesuatu yang diinginkan itu ternyata ada di toko milik orang muslim, membeli dari saudara muslim tentunya lebih utama. Wallahu a’lam.

d. Hukum menjalin hubungan silaturahim dengan orang tua yang kafir
Menjalin hubungan silaturahim dengan orang tua yang kafir dan bergaul dengan baik terhadapnya, diperbolehkan dalam Islam (dengan batasan-batasannya). Hal ini sebagaimana dalam firman Allah l:
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kalian mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (Luqman: 15)
Di dalam “Kitabul Hibah” dari Shahih al-Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah n membimbing Asma’ bintu Abi Bakr x untuk menjalin tali silaturahim dengan ibunya yang masih musyrik, ketika sang ibu mendatanginya dan meminta jalinan tali silaturahimnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajr t menegaskan dalam Fathul Bari (5/233) bahwa berbakti, silaturahim, dan berbuat baik tidaklah mengharuskan adanya kecintaan dan kasih sayang yang dilarang dalam firman Allah l:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara, ataupun keluarga mereka.” (al-Mujadilah: 22)

e. Hukum menjenguk orang kafir yang sakit dan bertakziah saat meninggal dunia
Menjenguk orang kafir yang sakit diperbolehkan dalam Islam jika dipandang ada maslahatnya. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dalam “Kitabul Jana’iz” dari Shahih al-Bukhari bahwa Rasulullah n melakukannya terhadap seorang anak muda Yahudi yang biasa membantu beliau n, hingga berujung pada masuk Islamnya anak muda tersebut. Demikian pula terhadap paman beliau n Abu Thalib (yang masih musyrik) pada sakit menjelang kematiannya walaupun akhirnya tidak mau masuk Islam.

Al-Imam Ibnu Baththal t mengatakan, “Hal itu disyariatkan jika si sakit bisa diharapkan untuk masuk Islam. Akan tetapi, jika kecil kemungkinannya, tidak disyariatkan.”
Adapun al-Hafizh Ibnu Hajar t memandang bahwa hal itu tergantung tujuan menjenguk tersebut, karena terkadang ada maslahat lain (selain keislamannya) yang bisa diraih dari tindakan tersebut. (Lihat Fathul Bari, 10/119)
Adapun bertakziah kepada salah seorang dari mereka yang meninggal dunia, hal itu diperbolehkan jika dipandang ada maslahatnya, dan diperbolehkan pula mendoakan yang hidup dari mereka agar mendapatkan hidayah dari Allah l. Namun, tidak boleh mendoakan si mayit dengan ampunan ataupun rahmat. Demikianlah yang dijelaskan oleh asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagaimana dalam Fatawa Nur ‘Alad Darb, pada penjelasan tema al-Wala’ wal Bara’.
Wallahu a’lam bish-shawab.5

 

Catatan Kaki:

1 Lihat Qa’idah fil Mahabbah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hlm. 198.
2 Lihat Ma’arijul Qabul karya asy-Syaikh Hafizh bin Ahmad al-Hakami 1/383.

3 Di antara bentuk kecintaan dan sikap loyal terhadap orang-orang beriman: (1) Berhijrah dari negeri kafir (yang ditinggalinya) ke negeri kaum muslimin demi menyelamatkan agama. (2) Membela dan membantu mereka dengan jiwa, harta, dan lisan dalam hal yang mereka butuhkan, baik terkait dengan urusan agama maupun dunia. (3) Turut merasakan suka dan duka yang mereka rasakan. (4) Menyampaikan nasihat (masukan) kepada mereka, menginginkan kebaikan untuk mereka, tidak berbuat curang dan melakukan tipu muslihat terhadap mereka. (5) Menghormati dan menghargai, serta tidak merendahkan mereka. (6) Satu hati bersama mereka dalam kondisi sulit dan mudah, sempit dan lapang. (7) Mengunjungi mereka, senang bertemu dengan mereka, dan bergabung dengan mereka. (8) Menghargai hak-hak mereka dan berlemah lembut dengan kalangan lemah di antara mereka. (9) Mendoakan kebaikan untuk mereka dan memohonkan ampun atas kesalahan mereka (kepada Allah l). (Diringkas dari kitab al-Wala’ wal Bara’ fil Islam karya asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan)

4 Di antara bentuk kecintaan dan sikap loyal (setia) kepada orang kafir yang diharamkan oleh Allah l adalah: (1) Tasyabbuh (menyerupai cara hidup) orang kafir dalam hal berpakaian, ucapan, dan yang lainnya. (2) Tinggal di negeri kafir tanpa adanya upaya untuk pindah (hijrah) dalam rangka menyelamatkan agamanya. (3) Pergi ke negeri kafir dalam rangka rekreasi dan mencari ketenangan jiwa. (4) Membantu orang kafir dalam memerangi kaum muslimin, memuji-muji, dan membela mereka. (5) Meminta pertolongan kepada mereka (dengan penuh kehinaan), percaya penuh dengan mereka, memberikan jabatan strategis terkait dengan urusan intern/rahasia kaum muslimin, menjadikan mereka sebagai kawan dekat dan penasihat. (6) Ikut merayakan hari raya mereka, membantu pelaksanaannya, memberikan ucapan selamat hari raya, atau menghadiri acara ritual hari raya mereka. (7) Membanggakan mereka dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, terkesima dengan perangai dan kepandaian mereka tanpa melihat sisi akidah dan agama mereka yang batil. (8) Menggunakan nama-nama mereka sebagai nama identitas. (9) Memintakan ampunan dan mendoakan rahmat untuk mereka. (Diringkas dari kitab al-Wala’ wal Bara’ fil Islam karya asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan)
Apabila kecintaan dan sikap loyal (setia) kepada orang kafir sampai pada tingkat keberpihakan kepada mereka atas kaum muslimin, atau membela mereka dengan mengaburkan berbagai kekafiran mereka bahkan berbangga dengannya, hal itu dapat mengeluarkan seseorang dari Islam (murtad). (Lihat al-Muntaqa karya asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan 2/45 dan Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah no. 6901)