Asysyariah
Asysyariah

menasabkan anak kepada lelaki yang menghamili ibunya di luar nikah

4 tahun yang lalu
baca 2 menit
Menasabkan Anak kepada Lelaki yang Menghamili Ibunya di Luar Nikah

Menurut pendapat kebanyakan ulama, anak yang lahir dari hubungan zina tidak boleh dinasabkan kepada laki-laki telah berzina dengan ibunya, meskipun dapat dipastikan bahwa anak tersebut dari hasil hubungan haram tersebut atau tidak ada laki-laki lain yang berhubungan badan dengan ibunya.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

“Anak itu milik suami sah ibunya, sedangkan untuk pelaku zina adalah batu.” (HR. al-Bukhari no. 6817 dan Muslim no. 1457 dari sahabat al-Bara bin Azib radhiallahu anhu)

Pendapat inilah yang dirajihkan (dinilai kuat) oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan al-Lajnah ad-Daimah Kerajaan Arab Saudi.

Baca juga: Status Anak Zina

Ada pendapat yang lain dalam masalah ini, yaitu anak tersebut tetap dinasabkan kepada laki-laki yang telah berzina dengan ibunya, selama dia (lelaki) mengakuinya dan sang ibu tidak berstatus istri sah lelaki lain. Sebab, memang dialah sebenarnya ayah sang anak sebagaimana anak dari hubungan zina tersebut tetap dinasabkan ke ibunya.

Pendapat ini berdalil dengan hadits tentang kisah seorang rahib bernama Juraij yang dituduh berzina dengan seorang wanita. Setelah wanita tersebut melahirkan bayinya, Juraij bertanya kepada bayi tersebut, “Siapa ayahmu?”

Dijawab oleh si bayi, “Ayahku adalah si penggembala kambing (yaitu lelaki yang sebenarnya telah berzina dengan ibunya).” (HR. al-Bukhari no. 3436 dan Muslim no. 2550 dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu).

Yang tampak dari kisah tersebut, si anak tetap menasabkan dirinya ke lelaki yang telah berzina dengan ibunya.

Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih dan beliau nisbatkan pendapat tersebut kepada Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, dan al-Hasan al-Bashri. Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Bahkan, Ibnu Qayyim mendiskusikan pembahasan ini secara panjang lebar dalam buku beliau Zadul Ma’ad (jilid 5 hlm. 452 dan setelahnya). Inilah pendapat yang menurut kami—wallahu a’lam—lebih kuat.

Ditulis oleh Ustadz Abu Ishaq Abdullah Nahar