Memboikot Istri
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya tentang seorang suami yang memboikot istrinya selama dua tahun, tidak diceraikan serta tidak dipertemukan dengan anak-anaknya. Si suami tidak pula menunaikan kewajiban memberi belanja kepada istrinya tersebut, sementara si istri tidak memiliki kerabat dan tidak ada orang yang memberi infak/belanja kepadanya, hingga keadaannya demikian sulit dan sangat diliputi kesusahan. Ia terputus dari setiap orang kecuali dari Allah subhanahu wa ta’ala. Lalu apa hukum syar’i yang berkenaan dengan suami semacam itu, yang meninggalkan istrinya dan ibu dari anak-anaknya sehingga berada pada keadaan yang menyedihkan?
Asy-Syaikh hafizhahullah menjawab, “Tidaklah diragukan bahwa seorang istri memiliki hak-hak terhadap suaminya yang wajib ditunaikan oleh sang suami. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang maruf.” (al-Baqarah: 228)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dan istri-istri kalian memiliki hak terhadap kalian.”1
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Dan bergaullah kalian dengan para istri menurut yang ma’ruf.” (an-Nisa`: 19)
“Menahan (si istri untuk tetap dalam pernikahan) menurut yang ma’ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik.” (al-Baqarah: 229)
Dan selainnya dari dalil-dalil yang mengharuskan suami untuk bertakwa kepada Allah k dalam perkara istrinya, agar ia menunaikan hak-haknya dan tidak boleh baginya mengurangi haknya sedikitpun kecuali yang dibenarkan secara syar’i. Adapun bila istrinya berbuat nusyuz, maka apa yang anda sebutkan berupa hajr yang dilakukan sang suami terhadap istrinya dengan masa yang terlalu panjang serta menghalanginya dari memperoleh hak-haknya, itu adalah kedzaliman. Tidak boleh ia lakukan jika memang benar apa yang anda sebutkan.
Apa yang dilakukannya tidaklah bisa dibenarkan dalam syariat. Karena itu, seharusnya si suami bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menunaikan hak-hak istrinya serta meminta pemaafannya atas kedzaliman yang telah dilakukannya. Demikian pula anak-anaknya punya hak terhadap ayahnya. Tidak boleh si ayah menyia-nyiakan mereka dan bermudah-mudah dalam mentarbiyah mereka serta menunaikan hal-hal yang memberi kemaslahatan kepada mereka.
Tanggung jawab terhadap anak merupakan tanggung jawab yang besar. Walaupun antara si ayah dan ibu mereka ada perselisihan, tidak terjadi saling memahami di antara keduanya, namun hal itu tidaklah menggugurkan hak anak-anak terhadap ayahnya.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 2/551-552)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.