Sembilan benteng telah kami sebutkan guna mengupayakan terjaganya rumah dari musuh yang terkutuk. Berikut ini kelanjutan dari dua tulisan sebelumnya sebagai akhir dari pembahasan ini:
Ucapan yang baik dan wajah yang cerah
Setan pasti punya ambisi untuk menghancurkan masyarakat Islam hingga ia membuat rencana, makar dan tipu daya. Di antara rencana yang diprogramkannya adalah menggoyahkan pondasi rumah tangga keluarga muslim, di mana rumah tangga ini merupakan batu bata awal dalam bangunan sebuah masyarakat. Sebagaimana telah kita ketahui dari hadits Jabir ibnu Abdillah c, ia berkata, “Rasulullah n bersabda:
إِنَّ إِبلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْماَءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً، يَجِيءُ أَحَدُهُم فَيَقُولُ: فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: مَا صَنَعْتَ شَيْئًا. ثُمَّ يَجِيْءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ: مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ. قَالَ: فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ: نِعْمَ أَنْتَ
Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air lantas ia mengirim kan tentara-tentaranya. Maka yang paling dekat di antara mereka dengan iblis adalah yang paling besar fitnah yang ditimbulkannya. Datang salah seorang dari anak buah iblis menghadap iblis seraya berkata, “Aku telah melakukan ini dan itu.” Iblis menjawab, “Engkau belum melakukan apa-apa.” Lalu datang setan yang lain melaporkan, “Tidaklah aku meninggalkan dia (anak Adam yang diganggunya) hingga aku berhasil memisahkan dia dengan istrinya.” Maka iblis pun mendekatkan anak buahnya tersebut dengan dirinya dan memujinya, “Engkaulah yang terbaik.” (HR. Muslim no. 7037)
Dengan terpisahnya pasangan suami istri niscaya pada akhirnya akan hancur pondasi suatu masyarakat. Hancurnya masyarakat manusia inilah yang didambakan oleh si musuh besar anak manusia.
Mengingat akan hal ini dan yang lainnya, maka sudah menjadi kemestian bagi seorang suami untuk bergaul dengan baik terhadap istrinya, karena Allah k telah memerintahkan:
“Dan bergaullah kalian (para suami) terhadap mereka (para istri) dengan baik.” (An-Nisa: 19)
Suami selaku qawwam[1] dalam sebuah keluarga semestinya memberikan kalimat-kalimat yang baik kepada istrinya, sehingga setan tidak memancing di air keruh dalam hubungan dia dengan istrinya. Bukankah Rabbul Izzah telah berfirman:
Katakanlah (ya Muhammad) kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaknyalah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (Al-Isra’: 53)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t, “Allah tabaraka wa ta’ala memerintahkan hamba-Nya dan Rasul-Nya n, untuk menyuruh hamba-hamba Allah yang beriman agar berbicara dan bercakap-cakap menggunakan perkataan-perkataan yang paling baik dan kalimat-kalimat thayyibah/bagus. Karena bila mereka tidak melakukan hal tersebut, niscaya setan akan menimbulkan perselisihan di antara mereka dan meningkatkan ucapan kepada perbuatan/tindakan. Hingga terjadilah kejelekan, pertikaian dan perkelahian. Karena setan, musuh Adam dan anak turunan Adam sejak saat iblis (nenek moyang para setan) menolak untuk sujud kepada Adam, dan permusuhannya ini tampak nyata….” (Tafsir Al Qur’anil Azhim, 5/66)
Al-‘Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata saat menafsirkan ayat di atas, “Ini merupakan perintah untuk mengucapkan seluruh perkataan yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Allah, baik berupa membaca Al-Qur’an, berzikir, menyampaikan ilmu atau diskusi ilmiah, amar ma’ruf, nahi mungkar dan kalimat-kalimat baik yang lembut terhadap sesama makhluk dengan perbedaan martabat dan kedudukan mereka. Bila beredar suatu perkara di antara dua perkara yang baik, maka kita diperintah untuk mengutamakan yang paling baik di antara keduanya, jika memang tidak mungkin keduanya disatukan atau dikumpulkan.
Perkataan yang baik akan mengajak kepada seluruh akhlak yang indah dan amal yang shalih. Karena siapa yang dapat menguasai lisannya niscaya ia dapat menguasai seluruh perkaranya.
Firman Allah:
“Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka”, yaitu setan mengupayakan perkara yang dapat merusak agama dan dunia mereka. Maka obat dari hal ini adalah mereka tidak menaati setan yang mengajak mereka agar mengucapkan perkataan-perkataan yang tidak baik. Bahkan hendaknya mereka bersikap lunak di antara sesama mereka agar mematahkan setan yang ingin menimbulkan perselisihan di antara mereka. Karena setan adalah musuh mereka yang hakiki, hingga pantaslah mereka memeranginya. Apatah lagi si musuh ingin mengajak mereka, agar mereka termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.
Karena setan ini terus berupaya menimbulkan perselisihan di antara mereka dan permusuhan, maka yang seharusnya dan semestinya mereka lakukan adalah berupaya melawan musuh mereka dan mematahkan jiwa-jiwa mereka yang memerintahkan kepada kejelekan, di mana setan masuk dari arah tersebut. Dengan begitu, berarti mereka menaati Rabb mereka. Akan luruslah perkara mereka, dan mereka akan terbimbing kepada kebenaran/kelurusan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 460)
Kata-kata yang baik akan melapangkan dada, melanggengkan pergaulan, menebarkan kebahagiaan di antara suami istri, mewujudkan ketenangan yang diharapkan dari diciptakannya para istri untuk para lelaki, memperkuat unsur-unsur mawaddah/ cinta dan menyuburkanrahmah/kasih sayang di antara suami istri. Allah l berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk kalian pasangan hidup/istri-istri dari jenis kalian sendiri, agar kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kalian rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang-orang yang berpikir.” (Ar-Rum: 21)
Bayangkanlah keadaan sebuah rumah tangga di mana sang suami suka berkata kasar kepada istrinya, menghardik dan membentak. Atau ia suka mengungkit apa yang telah diberikannya kepada istrinya, seperti mengatakan, “Aku yang capek cari duit. Kamu enak aja tinggal pakai. Makanya harus tahu diri, jangan seenaknya menggunakan duitku! “
Kalimat seperti ini tentunya melukai seorang istri, walaupun memang dalam kenyataannya si suami yang mencari nafkah dan uang yang ada dalam rumah adalah miliknya. Kalau tujuan si suami hendak menegur istrinya dalam hal pengaturan belanja rumah tangga, maka suami yang cerdas tentunya tidak akan mengungkapkannya dengan kalimat yang dapat menorehkan luka di dada istrinya.
Lalu apa persangkaan kita terhadap si suami bila ia suka mengucapkan kalimat demikian, padahal istrinya telah berupaya hemat dalam membelanjakan uang yang diberikan suaminya dan berlaku amanah terhadap harta suaminya? Tidak lain karena lisannya yang memang buruk dan tidak pandai bergaul baik dengan istrinya. Kepada suami yang demikian, hendaklah ia menyadari keburukan lisannya. Jangan terus menyakiti istrinya. Waspadalah dari kehancuran mahligai yang telah dibangun bersama istrinya, karena seperti yang telah disinggung di atas bahwa setan bisa menyusup antara dia dan istrinya untuk menimbulkan perselisihan di antara mereka.
Di sisi lain, seorang istri juga lebih utama dituntut untuk bertutur kata yang baik kepada suaminya dan penuh adab dalam menyampaikan ucapan, sehingga istri tidak mengangkat suaranya lebih dari suara suaminya.
Membentengi istri
Abdullah ibnu ‘Amr ibnul ‘Ash c mengabarkan sabda Rasulullah n:
إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا، فَليَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيرَهَا وَخَيرَ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيهِ وَأَعُوذُ بِكَ مِن شَرِّهَا وَمِن شَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيهِ؛ وَإِذَا اشْتَرَى بَعِيرًا فَلْيَأخُذ بِذَرْوَةِ سَنَامِهِ وَلْيَقُلْ مِثْلَ ذَلِكَ.
قَالَ أَبو داود: زاد أبو سعيد: (
“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak, hendaknya ia mengucapkan ; Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan dia di atasnya dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan apa yang Engkau ciptakan dia di atasnya. Apabila ia membeli seekor unta, hendaklah ia memegang puncak punuk untanya dan hendaknya ia mengucapkan doa semisal di atas.”
Abu Dawud berkata, “Abu Said menambahkan:
ثُمَّ لِيَأخُذْ بِنَاصِيَتِهَا وَلْيَدْعُ باِلْبَرَكَةِ فِي الْمَرأَةِ وَالْخَادِمِ
“Kemudian hendaknya ia memegang ubun-ubun istrinya dan mendoakan keberkahan pada istri atau si budak.” (HR. Abu Dawud no. 2160, dihasankan dalam Shahih Abi Dawud)
Disenangi bagi seorang pengantin menunaikan shalat dua rakaat bersama istrinya saat ia masuk menemui istrinya sebagai upaya menjaga kehidupan rumah tangganya kelak dari setiap perkara yang tidak disenangi. Hal ini dinukilkan dari salaf. Salah satunya dari Syaqiq, ia berkata, “Datang seseorang bernama Abu Hariz. Ia mengabarkan, “Aku telah menikahi seorang gadis perawan yang masih muda dan aku khawatir ia akan membenciku.” Ibnu Mas’ud z berkata:
إِنَّ الْإِلْفَ مِنَ اللهِ وَالْفِرْكَ مِنَ الشَّيْطَانِ، يُرِيدُ أَنْ يُكَرِهَّ إِلَيْكُمْ مَا أَحَلَّ اللهُ لَكُم. فَإِذَا أَتَتْكَ فَأْمُرْهَا أَنْ تُصَلِّيَ وَرَاءَكَ رَكْعَتَينِ.
“Sesungguhnya kedekatan itu dari Allah dan kebencian itu dari setan. Setan ingin membuat kalian benci terhadap apa yang Allah halalkan kepada kalian. Maka bila engkau mendatangi istrimu, suruhlah dia shalat dua rakaat di belakangmu.”
Dalam riwayat lain dari Ibnu Mas’ud ada tambahan:
وَقُلْ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لِي فِي أَهْلِي وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ، اللَّهُمَّّ اجْمَعْ بَينَنَا مَا جَمَعْتَ بِخَيرٍ وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيرٍ
“Dan ucapkanlah: Ya Allah, berilah berkah untukku pada keluarga/isteriku dan berilah berkah untuk mereka pada diriku. Ya Allah, kumpulkanlah kami selama Engkau mengumpulkannya dengan kebaikan dan pisahkanlah kami jika memang Engkau memisahkannya kepada kebaikan. (HR. Ibnu Abu Syaibah danAbdurrazzaq dalam Mushannafnya 6/191/10460-10461. Sanadnya shahih kata Al-Imam Al-Albani t. Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabsrani, 3/21/2, dengan dua sanad yang shahih. Lihat Adabuz Zafaf hal. 96)
Menjaga anak dari gangguan setan
Seorang muslim semestinya menjaga zikir yang diucapkan ketika hendak berhubungan intim dengan istrinya. Karena dengan mengucapkan zikir yang demikian berarti ada upaya menjaga anak dari gangguan setan. Ibnu Abbas c menyampaikan dari Nabi n, sabda beliau, “Seandainya salah seorang dari kalian ketika mendatangi istrinya mengucapkan:
بِسمِ اللهِ اللُّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيطاَنَ مَا رَزَقتَناَ؛ فَإِنْ قَضَى اللهُ بَينَهُمَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيطَانُ أَبَدًا
“Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rezkikan pada kami,” lalu Allah tetapkan lahirnya anak dari hubungan keduanya, niscaya setan tidak akan membahayakan si anak selama-lamanya. (HR. Al-Bukhari no. 5165 dan Muslim no. 3519)
Al-Qadhi Iyadh t berkata tentang bahaya yang disebutkan dalam hadits, “Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah setan tidak dapat merasuki anak yang lahir tersebut (terjaga dari kesurupan jin –pent.). Ada yang mengatakan setan tidak akan menusuk anak tersebut saat lahirnya sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang hal ini[2]. Tidak ada seorangpun yang membawa pengertian bahaya dalam hadits di atas kepada keumuman yang berupa penjagaan dari seluruh kemadaratan, was-was dan penyimpangan[3].” (Al-Ikmal, 4/610)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t menyebutkan adanya berbagai pendapat tentang maksud penjagaan si anak dari bahaya yang ditimbulkan setan seperti dinyatakan dalam hadits. Ada yang memaknakan, setan tidak apat menguasai si anak karena berkah tasmiyah (ucapan bismillah). Bahkan si anak termasuk dalam sejumlah hamba-hamba yang Allah nyatakan:
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, tidak ada kekuasaanmu atas mereka (engkau tidak bisa menguasai mereka) terkecuali orang-orang yang mengikutimu dari kalangan orang-orang sesat/menyimpang.” (Al-Hijr: 42)
Ada pula yang mengatakan setan tidak akan menusuk perut si anak. Namun pendapat ini jauh dari kebenaran, karena bertentangan dengan zahir hadits yang menyebutkan:
كُلَّ بَنِي آدَمَ يَطْعُنُ الشَّيطَانُ فِي جَنْبَيهِ بِإِصْبِعَيْهِ حِينَ يُولَدُ، غَيرَ عِيسَى بْنِ مَريَمَ ذَهَبَ يَطعُنُ فَطَعَنَ فِي الْحِجَابِ
Ada yang berpendapat, setan tidak dapat membuatnya kesurupan. Ada pula yang berpandangan, setan tidak dapat membahayakan tubuh si anak. Ibnu Daqiqil ‘Id t berkata, “Dimungkinkan setan tidak dapat memadaratkan si anak pada agamanya juga.” Akan tetapi pendapat ini juga dipermasalahkan, karena tidak ada manusia yang maksum (terjaga dari dosa). Kata Ad-Dawudi tentang makna setan tidak akan memadaratkan si anak adalah, “Setan tidak dapat memfitnah si anak dari agamanya hingga ia keluar dari agamanya kepada kekafiran. Bukan maksudnya si anak terjaga dari berbuat maksiat.”
Ada pula yang berpandangan, setan tidak akan memadaratkan si anak dengan menyertai ayahnya menggauli ibunya, sebagaimana riwayat dari Mujahid, “Seorang lelaki yang berhubungan intim dengan istrinya dan ia tidak mengucapkan bismillah, setan akan meliliti saluran kencingnya lalu ikut menggauli istrinya bersamanya. Mungkin ini jawaban yang paling dekat. Dalam hadits ini ada beberapa faedah. Di antaranya, hadits ini mengisyaratkan setan itu terus menyertai anak Adam, tidak terusir darinya kecuali dengan berzikir kepada Allah.” (Fathul Bari, 9/285-286)
Menjaga anak dari hewan berbisa dan dari pandangan hasad
Anak kita yang masih kecil belum bisa membentengi dirinya sendiri dengan zikir dan doa, termasuk tentunya zikir pagi dan petang yang dengannya Allah menjanjikan penjagaan bagi hamba yang mengamalkannya. Karenanya, kitalah sebagai orangtua yang membacakan doa perlindungan untuk si anak setiap pagi dan petang. Sambil mengusap kepalanya, kita berdoa:
أُعِيذُكُمْ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِن كُلِّ شَيطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ
“Aku melindungkan kalian dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan[4], hewan berbisa dan dari setiap pandangan mata yang menyakiti.”
Rasulullah n dahulu melindungkan kedua cucu beliau, Al-Hasan dan Al-Husain, dengan doa perlindungan ini, dan bersabda:
إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسمَاعِيلَ وَإِسحَاقَ
“Sesungguhnya ayah kalian berdua[5] dulunya mengucapkan doa perlindungan ini untuk Ismail dan Ishaq.” (HR. Al-Bukhari no. 3371)
Demikianlah beberapa benteng yang dapat kita upayakan untuk menjaga rumah kita. Bila kita berpegang dengannya niscaya setan akan terusir sehingga kedamaian dan ketentraman pun bisa kita peroleh dalam rumah kita, Insya Allah.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
[1] Sebagaimana Allah k berfirman:
“Kaum lelaki adalah qawwam/pemimpin atas kaum wanita….” (An-Nisa’: 34)
[2] Abu Hurairah z menyampaikan sabda Rasulullah n:
كُلَّ بَنِي آدَمَ يَطعُنُ الشَّيطَانُ فِي جَنْبَيهِ بِإِصْبِعَيْهِ حِينَ يُولَدُ، غَيرَ عِيسَى بْنِ مَريَمَ ذَهَبَ يَطعُنُ فَطَعَنَ فِي الْحِجَابِ
“Setiap anak Adam ditusuk oleh setan dengan dua jemarinya pada dua rusuk si anak Adam saat ia dilahirkan kecuali Isa ibnu Maryam. Setan ingin menusuknya ternyata setan menusuk pada hijab/tabir penghalang.” (HR. Al-Bukhari no. 3286)
Dalam riwayat lain dari Abu Hurairah z juga, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah n bersabda:
ماَ مِنْ بَنِي آدَمَ مَوْلُودٌ إِلاَّ يَمَسُّهُ الشَّيطَانُ حِيْنَ يُوْلَدُ فَيَسْتَهِلُّ صَارِخًا مِنْ مَسِّ الشَّيطَانِ، غَيرَ مَريَمَ وَابْنِهَا. ثُمَّ يَقُولُ أَبُو هُرَيرَةَ: {ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ }
“Tidak ada seorang pun dari anak Adam yang lahir melainkan setan menyentuhnya (menusuknya) saat ia lahir. Maka bayi yang baru lahir itu pun menjerit karena tusukan setan tersebut, selain Maryam dan putranya. Kemudian Abu Hurairah membaca ayat: “Dan sesungguhnya aku melindungkan dia (Maryam) dan anak turunannya kepada-Mu dari setan yang terkutuk.” (Ali ‘Imran: 36)
Disebabkan tusukan setan inilah, bayi yang baru lahir menangis karena rasa sakit yang didapatkannya. (Fathul Bari, 9/573)
[3] Maksudnya tidak ada satu ulama pun yang berpendapat si anak terjaga dari seluruh bahaya sehingga tak satupun bahaya dapat menyentuhnya.
[4]) Termasuk di dalamnya setan dari kalangan jin dan manusia.) Fathul Bari, 6/497)
[5] ) Yakni Ibrahim u. Rasulullah n menyebutnya dengan ayah karena Ibrahim adalah kakek buyut mereka.