Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Tidak ada dosa bagi seorang wanita untuk membuka hijabnya di depan lelaki yang buta berdasarkan hadits dalam Shahih Muslim dari Fathimah bintu Qais radhiallahu ‘anha. Ketika Fathimah ini dicerai oleh suaminya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
“Habiskan masa ‘iddahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum karena dia seorang yang buta, engkau bisa melepaskan pakaian luarmu.”[1]
Dalam ash-Shahihain dari hadits Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Izin itu hanyalah ditetapkan karena (menjaga) pandangan mata.”
Adapun hadits Nabhan dari Ummu Salamah radhiallahu ‘anha yang menyatakan bahwa Ibnu Ummi Maktum pernah masuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara di sisi beliau ada dua istri beliau, Ummu Salamah dan Maimunah. Beliau pun memerintahkan keduanya untuk berhijab dari Ibnu Ummi Maktum. Keduanya berkata, “Dia lelaki yang buta tidak bisa melihat kami.”
“Apakah kalian berdua juga buta, bukankah kalian berdua dapat melihatnya?” tanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari ucapan keduanya.
Hadits ini lemah karena syadz dan karena menyelisihi hadits-hadits yang sahih, sekalipun at-Tirmidzi menganggap hadits ini hasan shahih.
Ada kaidah yang ditetapkan ulama ushul dan ulama musthalahul hadits dalam hal ini, yaitu jika sebuah hadits sanadnya sahih namun menyelisihi hadits lain yang lebih sahih, hadits tersebut dianggap syadz, dha’if, tidak bisa diamalkan. Sebab, termasuk syarat hadits yang sahih adalah tidak syadz.
Hadits Nabhan ini syadz. Kalaupun hadits ini dianggap sahih, ia memiliki ‘illah (penyakit/cacat) lain yang mengharuskan dilemahkannya hadits ini, yaitu tidak ada ulama terpandang yang mentsiqahkan Nabhan. Lebih-lebih, dia sedikit sekali meriwayatkan hadits sehingga tidak bisa dijadikan sandaran dalam semisal hadits ini.
Sebagian ulama membawa hadits Nabhan sebagai kekhususan Ummahatul Mukminin dan tidak berlaku bagi wanita selain mereka. Namun, hal ini tidak bisa diterima. Sebab, pengkhususan sesuatu butuh dalil, dan di sisi kita tidak ada dalil yang menunjukkan pengkhususan.” (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 433—434)
[1] Dalam riwayat lain,
فَإِنَّكَ إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ
“Karena bila engkau melepas kerudungmu, dia tidak bisa melihatmu.” (pen)