Asysyariah
Asysyariah

mandi yang syar’i

13 tahun yang lalu
baca 15 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)

Dalam Islam, dikenal beberapa aktivitas mandi yang merupakan bagian dari syariat. Sebagian besarnya bahkan diwajibkan. Apa saja itu?

Telah disebutkan pada edisi-edisi sebelumnya bahwa bertemunya dua khitan dan keluarnya mani merupakan dua faktor yang mewajibkan mandi. Dalam hal ini tidak dibedakan antara laki-laki ataupun perempuan. Ada pula dua sebab lain yang mewajibkan mandi namun hanya khusus bagi wanita dan tidak terjadi pada lelaki yaitu:
Pertama: berhentinya darah haid.
Kedua: berhentinya darah nifas. (Al-Hawil Kabir, 1/208)

Mandi karena Berhentinya Darah Haid
Kewajiban mandi karena berhentinya darah haid ini ditunjukkan dalam firman Allah I:

“Mereka bertanya kepadamu tentang darah haid, maka katakanlah bahwa darah haid itu adalah kotoran (najis). Maka jauhilah (jangan menggauli) para istri ketika haidnya (di tempat keluarnya darah/farji). Dan janganlah kalian mendekati (menjima’i) mereka hingga mereka suci. Maka apabila mereka telah suci (mandi), campurilah mereka di tempat yang Allah perintahkan kepada kalian.” (Al-Baqarah: 222)
Yang dimaksud dengan firman Allah I: adalah (mereka telah mandi). Demikian yang dinyatakan Al-Imam Al-Baghawi t dalam Ma’alimut Tanzil (1/145).
Sisi pendalilan dari ayat di atas, seorang istri harus menyerahkan dirinya bila suaminya ingin berjima’ dengannya setelah suci dari haid. Namun jima’ tidak boleh dilakukan hingga si istri mandi dari haidnya1. Kaidah yang ada, bila suatu kewajiban tidak bisa sempurna ditegakkan kecuali dengan suatu perkara yang menyempurnakannya, maka penyempurna kewajiban itu menjadi wajib karenanya. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 2/168)
Fathimah bintu Abi Hubaisy x pernah datang meminta fatwa kepada Rasulullah n. Ia berkata:

“Wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang ditimpa istihadhah, maka aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?”
Rasulullah n menjawab:

“Engkau tidak boleh meninggalkan shalat, karena darah yang keluar itu hanyalah darah dari urat bukan darah haid. Maka apabila datang haidmu tinggalkanlah shalat dan apabila haidmu telah berlalu cucilah darah darimu (mandilah) kemudian shalatlah.”2
Al-Imam Al-Hafizh Ibnul Qaththan t berkata: “Apabila wanita haid telah suci dan berhenti darahnya, dia wajib mandi. Dan tidak ada perselisihan pendapat di antara ahlul ilmi dalam masalah ini.” (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/104)

Mandi karena Berhentinya Darah Nifas
Darah nifas hukumnya sama dengan darah haid. Sehingga bila diwajibkan mandi setelah selesai haid, diwajibkan pula mandi setelah selesai nifas. Perkara ini merupakan ijma’ di kalangan ulama (Al-Iqna’ fi Masa`ilil Ijma’, 1/107-108).
Dengan demikian, darah nifas adalah sejenis dengan darah haid. Karena itulah Nabi n sendiri mengistilahkan haid dengan kata nifas, seperti disebutkan dalam hadits ‘Aisyah x berikut ini:

“Kami keluar (meninggalkan Madinah), tidak ada keinginan kami kecuali untuk melaksanakan ibadah haji. Maka tatkala kami berada di Sarif3, aku haid. Rasulullah n masuk menemuiku, ketika itu aku sedang menangis. Rasulullah n bersabda: ‘Kenapa engkau menangis, apakah engkau nifas (yakni haid)?’ ‘Ya’, jawabku.”4
Al-Imam Ibnu Hazm t berkata: “Wanita nifas dan haid adalah sesuatu yang satu (sama hukumnya, –pent.).” Beliau mengisyaratkan hadits di atas dan selainnya. (Al-Muhalla, masalah no. 184, 1/273)

Faedah 1
Bagaimana bila ada wanita yang melahirkan anak tapi tidak melihat keluarnya darah?
Dalam hal ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengatakan wajib mandi karena anak tercipta dari air mani ayah dan ibunya. Demikian pendapat Ibnu Suraij dan madzhab Al-Imam Malik5. (Al-Majmu’, 2/170)
Allah I berfirman:

“Maka hendaklah manusia memper-hatikan dari apakah ia diciptakan? Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan dada.” (Ath-Thariq: 5-7)
Yakni tulang sulbi laki-laki dan dada wanita. (Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 1500)
Allah I juga berfirman:

“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari nuthfah amsyaj.” (Al-Insan: 2)
yakni mani laki-laki dan mani wanita. maknanya bercampur. Ibnu ‘Abbas, Al-Hasan, Mujahid, dan Ar-Rubayyi’ mengatakan: “Mani laki-laki dan mani wanita bercampur di dalam rahim maka darinyalah terbentuk anak.” (Ma’alimut Tanzil, 1/395). Maka apabila si wanita melahirkan sementara anak yang lahir itu juga tercipta dari air maninya, berarti si wanita telah mengeluarkan maninya (inzal), sedangkan inzal mewajibkan mandi, maka demikian pula persalinannya mewajibkan mandi. (Al-Hawil Kabir, 1/217)
Namun peristiwa semacam ini (mela-hirkan tanpa keluarnya darah nifas) jarang sekali terjadi. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/223)
Adapula yang mengatakan tidak wajib mandi, karena tidak ada sesuatu yang mewajibkan mandi. Sebab, nifas adalah darah, padahal di sini tidak ada darah. Berarti tidak ada kewajiban mandi. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah dan sebagian ahlul ilmi yang lain.

Faedah 2
Adapun darah yang keluar ketika seorang wanita sedang hamil, pada perte-ngahan ataupun akhir masa kehamilannya, namun tidak disertai rasa sakit akan melahirkan, tidaklah terhitung darah nifas. Sehingga si wanita tetap mengerjakan shalat dan puasa Ramadhan, dan tidak diharam-kan baginya sesuatupun sebagaimana yang diharamkan terhadap wanita yang sedang nifas. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/223)

Cara Mandi Haid atau Nifas
Tata cara mandi bagi wanita yang telah suci dari haid atau nifas ditunjukkan dalam hadits ‘Aisyah x berikut ini:

Asma`6 pernah bertanya kepada Nabi n tentang mandi haid. maka beliau bersabda: “Salah seorang dari kalian mengambil airnya dan daun sidrnya lalu ia bersuci7 dan membaguskan bersucinya8. Kemudian ia tuangkan air ke atas kepalanya lalu ia gosok dengan kuat hingga mencapai pangkal-pangkal rambut. Kemudian ia tuangkan lagi air di atas tubuhnya. Begitu selesai, ia mengambil secarik kain (atau kapas) yang diberi misik (wewangian) lalu bersuci dengannya.” Asma` bertanya: “Bagaimana cara ia bersuci dengannya?” Nabi menjawab: “Subhanallah, bersucilah dengannya.” Aisyah berkata –dengan ucapan yang pelan/bisik-bisik (yang bisa didengar oleh orang yang diajak bicara namun tidak dapat didengar oleh yang lain, pent.)–: “Ikutilah bekas darah dengan kain tersebut.”9

Mandi yang Diperselisihkan Wajibnya
Di antara mandi syar’i yang diperse-lisihkan kewajibannya adalah memandikan mayat, mandi orang kafir yang baru masuk Islam, dan mandi Jum’at.

q Memandikan Jenazah
Pembicaraan di sini ditujukan kepada orang hidup, bukan kepada orang mati. Karena tidak lagi dibebankan kewajiban seorang mukallaf terhadap orang yang telah meninggal. Sehingga yang menjadi perma-salahan di sini apakah memandikan mayat adalah wajib atau tidak, bagi orang yang hidup10.
Permasalahan inilah yang termasuk diperselisihkan kalangan ulama. Adapun penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (5/112) tidaklah tepat. Perselisihan pendapat dalam masalah ini masyhur di kalangan madzhab Malikiyyah. Sampai-sampai Al-Imam Al-Qurthubi t menguatkan pendapat yang menyatakan hukumnya sunnah. Namun jumhur ulama berpendapat wajib. Dan Ibnul ‘Arabi t membantah orang yang berpendapat dengan selain pendapat jumhur ini. (Fathul Bari, 3/156).
Adapun yang rajih dalam masalah ini adalah wajibnya memandikan mayit. Di antara dalil yang menunjukkan jenazah itu wajib dimandikan adalah:
Ibnu ‘Abbas c berkata:

“Ketika seseorang sedang wuquf di Arafah, tiba-tiba ia jatuh dari hewan tung-gangannya yang seketika itu menginjaknya (sampai patah lehernya hingga ia meninggal). Nabi n memerintahkan para shahabatnya: ‘Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara…’.”11
Demikian pula hadits Ummu ‘Athiyyah x. Shahabiyyah yang biasa memandikan jenazah para wanita ini berkata:

“Rasulullah n masuk menemui kami ketika putri beliau (Zainab) wafat. Beliau memerintahkan: ‘Mandikanlah dia tiga kali, lima kali atau lebih, bila kalian pandang perlu, dengan air dan daun sidr…’.”12
Ibnul Mundzir t menyatakan: “Ulama sepakat bahwa mayat dimandikan seperti mandi janabah.” (Al-Ijma’, hal. 42, sebagaimana dinukil dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah, 1/181)

q Mandi Orang Kafir yang baru Masuk Islam
Al-Imam Ahmad bin Hambal t dan orang-orang yang sependapat dengan beliau menyatakan wajibnya mandi bagi orang kafir yang masuk Islam secara mutlak.
Sementara Al-Imam Asy-Syafi’i t berpandangan tidak wajib, tapi hanya mustahab/sunnah. Kecuali bila dia dalam keadaan junub ketika kafirnya, maka ia wajib mandi ketika masuk Islam, baik ia telah mandi di masa kafirnya ataupun belum.
Adapun Abu Hanifah tidak mewajib-kan mandi ketika itu, karena sekian banyak orang yang masuk Islam (di masa Nabi n). Seandainya diperintahkan mandi kepada setiap orang yang masuk Islam, niscaya akan dinukilkan beritanya kepada kita dengan penukilan yang mutawatir atau dzahir. Juga, alasan pendapat ini adalah ketika Nabi n mengutus Mu’adz ke negeri Yaman sebagai da’i kepada penduduk negeri tersebut yang mereka adalah dari kalangan ahlul kitab, Nabi tidak berpesan kepada Mu’adz agar memerintahkan mandi kepada ahlul kitab yang menerima ajakan dakwah untuk masuk Islam. Seandainya mandi itu wajib, niscaya Nabi akan perintahkan, karena mandi merupakan awal kewajiban dalam Islam sebelum orang yang masuk Islam itu mengerjakan kewajiban yang lain. (Al-Mughni Kitab Ath-Thaharah, masalah Wa Idza Aslamal Kafir, Subulus Salam, 1/134, At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘alar Raudhatun Nadiyyah, 1/188-189)
Namun yang penulis pandang rajih dalam perselisihan ini adalah pendapat yang mewajibkan, dengan dalil hadits Qais bin ‘Ashim z:

“Dia masuk Islam, maka Nabi n memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr.”13
Demikian pula hadits Abu Hurairah z tentang masuk Islamnya Tsumamah bin Atsal z, di mana Nabi n memerintah-kannya untuk mandi.14 Asal hadits ini ada dalam Ash-Shahihain, namun di dalam-nya tidak ada penyebutan perintah mandi, tapi Tsumamah sendiri yang ingin melakukannya.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi t berkata: “Jika seorang kafir berislam, dia wajib mandi. Baik ia kafir pada asalnya atau karena murtad, baik telah mandi sebe-lum keislamannya atau belum, serta sama saja baik ada perkara yang mewajibkan mandi dalam masa kekafirannya ataupun tidak. Demikian madzhab Al-Imam Malik, Abu Tsaur, dan Ibnul Mundzir.” (Al-Mughni, Kitab Ath-Thaharah, masalah Wa Idza Aslamal Kafir)

q Mandi Jum’at
Mandi pada hari Jum’at ini dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan shalat Jum’at, bukan mandi karena hari itu adalah hari Jum’at. Pendapat inilah yang dipegangi oleh Ibnu Hazm dan yang berpandangan seperti beliau.
Mandi Jum’at ini juga diperselisihkan kewajibannya oleh ahlul ilmi. Jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf serta fuqaha di penjuru negeri berpendapat mandi ini mustahab. Dalil mereka yang paling kuat sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t dalam At-Talkhishul Habir (2/585) adalah hadits riwayat Al-Imam Muslim (no. 1985) yang menyebutkan sabda Nabi n:

“Siapa yang berwudhu lalu memba-guskan wudhunya, kemudian ia mendatangi pelaksanaan shalat Jum’at, ia mendengarkan khutbah dan diam, maka akan diampuni dosanya antara hari itu dengan Jum’at berikutnya ditambah tiga hari. Dan siapa yang mengusap kerikil (ketika sedang mendengar khutbah, –pent.) sungguh ia telah berbuat sia-sia yang tercela.”
Namun kata Al-Hafizh t: “Dalam hadits ini tidak ada yang menunjukkan ditiadakannya kewajiban mandi. Sementara hadits ini diriwayatkan dari sisi yang lain dalam Ash-Shahihain dengan lafadz: 15. Dimungkinkan penyebutan wudhu di sini bagi orang yang telah melaksanakan mandi sebelum pergi, lalu ia perlu untuk mengulangi wudhunya.” (Fathul Bari, 2/467)
Yang rajih dalam masalah ini menurut penulis adalah bahwa mandi Jum’at itu wajib16, dengan dalil hadits-hadits Nabi n berikut ini:

“Mandi pada hari Jum’at wajib bagi setiap orang yang muhtalim.”17
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Wajib di sini dengan makna lazim secara pasti.” (Fathul Bari 1/468)
Rasulullah n juga bersabda:

“Apabila salah seorang dari kalian datang untuk shalat Jum’at, maka hendaklah ia mandi.”18

“Kewajiban kepada Allah I yang harus ditunaikan setiap muslim adalah agar si muslim mandi satu hari dalam setiap tujuh hari (yakni mandi di satu hari itu wajib dilakukan, sementara di hari lain tidak ada kewajiban, –pent.) 19
Ibnu ‘Umar c menceritakan: “Tatkala ‘Umar ibnul Khaththab z sedang berdiri menyampaikan khutbah pada hari Jum’at, tiba-tiba masuklah seorang shahabat Nabi n dari kalangan Muhajirin yang awal (masuk Islam, yaitu ‘Utsman bin Affan z). ‘Umar pun menyerunya: “Hari apakah ini?” Shahabat itu menjawab: “Aku tersibukkan dengan satu urusan hingga aku belum sempat kembali kepada keluargaku sampai akhirnya aku mendengar adzan berkumandang. Aku pun tidak menambah kecuali hanya berwudhu (lalu datang ke masjid ini, –pent.).” ‘Umar berkata: “Wudhu juga20! Sementara engkau tahu bahwa Rasulullah n memerintahkan untuk mandi.”21
Ibnul Mundzir t menghikayatkan dari Ishaq ibnu Rahawaih t bahwasanya kisah ‘Umar dan ‘Utsman c di atas menunjukkan wajibnya mandi (Jum’at), bukan menunjukkan tidak wajibnya. Hal ini dilihat dari sisi bahwa ‘Umar sampai meninggalkan khutbahnya dan sibuk mene-gur ‘Utsman (yang meninggalkan mandi Jum’at) di hadapan orang banyak. Bila meninggalkan mandi itu mubah, niscaya ‘Umar tidak melakukan hal itu. Adapun ‘Utsman tidak kembali untuk mandi karena sempitnya waktu, yang mana bila ia tetap kembali untuk mandi niscaya akan kehi-langan Jum’at, atau kemungkinan lain ia telah mandi (di awal siang)22.” (Fathul Bari, 2/465, Nailul Authar, 1/326)
Al-Imam Ash-Shanani t berkata: “Di samping hadits-hadits yang menunjukkan wajibnya mandi Jumat lebih sha-hih, hadits-hadits itu juga dikeluarkan oleh As-Sab’ah (yaitu Al-Imam Ahmad, Al-Bu-khari, Muslim, Abu Dawud, At-Tir-midzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah rahimahumullah, –pent.). Beda halnya dengan hadits Samurah bin Jundab z23 (yang menjadi dalil bagi pendapat yang mengatakan mandi Jum’at tidak wajib, –pent.). Hadits ini tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Sehingga yang lebih hati-hati bagi seorang mukmin adalah ia tidak meninggalkan mandi Jumat.”
Al-Imam Ash-Shan’ani juga menyata-kan bahwa kewajiban mandi pada hari Jum’at ini lebih kuat/tegas permasalahannya daripada kewajiban sejumlah masalah fiqhiyyah yang diperselisihkan. (Subulus Salam, 1/136)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: “Dengan ini, jelaslah bagimu bahwa dalil-dalil yang dipakai oleh jumhur untuk menyatakan tidak wajibnya mandi Jum’at tidak bisa terangkat dan tidak mungkin menjamak (mengumpulkan) antara dalil-dalil tersebut dengan hadits-hadits yang menyatakan wajib.” Beliau juga menekan-kan bahwa hadits-hadits yang menyatakan wajib lebih rajih (kuat) daripada hadits-hadits yang menetapkan tidak wajibnya. (Nailul Authar, 1/326)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Kesimpulan dalam masalah ini adalah hadits-hadits yang secara jelas mengandung kewajiban mandi Jum’at, memiliki hukum yang lebih (kokoh) dibandingkan hadits-hadits yang memberikan faedah istihbab. Sehingga tidak ada pertentangan antara keduanya. Yang wajib adalah mengambil ziyadah (tambahan, yaitu bahwa mandi Jum’at tersebut wajib, –pent.) yang terkandung di dalamnya.” (Tamamul Minnah, hal. 120).
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab wal ‘ilmu ‘indallah.

Catatan Kaki:

1 Di kalangan ahlul ilmi ada yang berpendapat tidak harus mandi ketika akan digauli oleh suaminya. Bahkan hanya sekedar selesai dari masa haid boleh langsung digauli oleh suaminya. Namun yang rajih dan tentunya lebih aman adalah pendapat wajibnya mandi terlebih dahulu. Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
2 HR. Al-Bukhari no. 228 dan pada beberapa tempat lain dalam kitab Shahih-nya. Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim no. 751.
3 Tempat yang berdekatan dengan kota Makkah, jarak antara keduanya sekitar 10 mil (Fathul Bari, 1/520)
4 HR. Al-Bukhari no. 294 dan Muslim no. 2911.
5 Sementara Al-Imam Ahmad memiliki dua pendapat dalam masalah ini.
6 Wanita yang bertanya ini adalah Asma` bintu Syakal x. Adapula yang mengatakan namanya Asma` bintu Yazid ibnus Sakan, wallahu a’lam. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/241)
7 Dalam hadits di atas, dua kali didapatkan Nabi n memerintahkan untuk tathahhur (bersuci). Al-Qadhi ‘Iyadh t berkata: “At-Tathahhur (bersuci) yang awal adalah bersuci (bersih-bersih) dari najis dan apa yang terkena darah haid.” Namun yang dzahir, kata Al-Imam An-Nawawi t, yang dimaukan dengan tathahhur yang awal adalah wudhu sebagaimana nash yang menyebutkan tentang tata cara mandi Nabi n. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/240)
8 Membaguskan bersuci adalah dengan menyempurnakan tata caranya. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 3/240)
9 HR. Muslim no. 748
10 Wajib bagi orang yang hidup untuk memandikan mayat karena tidak ada kewajiban yang berkaitan dengan tubuh bagi orang yang sudah meninggal. (Ad-Dararil Mudhiyyah, 1/187)
11 HR. Al-Bukhari no. 1265 dan Muslim no. 1206
12 HR. Al-Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939
13 HR. Abu Dawud no. 355, At-Tirmidzi no. 605 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih At-Tirmidzi, Shahih Abi Dawud, Irwa`ul Ghalil no. 128. Dishahihkan pula oleh Asy-Syaikh Muqbil t dalam Al-Jami‘ush Shahih 1/547. Beliau mengatakan bahwa rijal hadits ini seluruhnya tsiqah/orang-orang terpercaya.
14 HR. Al-Baihaqi (1/171). Asy-Syaikh Al-Albani t berkata dalam Irwa`ul Ghalil ketika menyebutkan syahid (penguat) untuk hadits no. 128: “Hadits ini sanadnya hasan menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim.”
15 Seperti hadits:
“Siapa yang mandi pada hari Jum’at, dan ia bersuci dengan apa yang ia mampu, kemudian meminyaki rambutnya (dengan wewangian) atau memakai wangi-wangian, lalu berangkat menuju ke masjid (tempat pelaksanaan shalat Jum’at) dan ia tidak memisahkan antara dua orang yang sedang duduk, setelahnya ia pun mengerjakan shalat (sunnah) dengan apa yang telah ditetapkan baginya, dan apabila imam telah keluar dari tempatnya menuju ke tempat khutbah ia diam mendengar khutbah sang imam, (bila ia melakukan semua itu, pent.) akan diampuni dosanya antara hari itu (Jum’at) dengan Jum’at yang lain (berikutnya).” (HR. Al-Bukhari no. 910)
16 Dihikayatkan wajibnya mandi ini dari sebagian shahabat. Ini merupakan pendapat ahlu dzahir. Dihikayatkan pula pendapat ini oleh Ibnul Mundzir dari Al-Imam Malik, Al-Khaththabi dari Al-Hasan Al-Bashri, dan Malik. Ibnul Mundzir juga menghikayatkan dari Abu Hurairah, ‘Ammar dan selain keduanya. Ibnu Hazm menghikayatkannya dari ‘Umar dan sekelompok shahabat serta orang-orang setelah mereka. Dihikayatkan pula dari Ibnu Khuzaimah. (Nailul Authar, 1/324)
Pendapat ini pula yang dipegangi oleh guru kami yang mulia Fadhilatusy Syaikh Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, semoga Allah merahmati beliau dengan rahmat yang luas dan menempatkan beliau di negeri kemuliaan-Nya.
Yang perlu diketahui bahwa mandi Jum’at ini hanya diwajibkan kepada laki-laki yang telah baligh lagi berakal. Karena merekalah yang diwajibkan menghadiri shalat Jum’at. Demikian kata Ibnu ‘Umar sebagaimana diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya. Rasulullah n bersabda:

“Wajib bagi setiap muhtalim (laki-laki yang telah baligh) mendatangi shalat Jum’at dan wajib bagi orang yang datang shalat Jum’at untuk mandi.” (HR. Abu Dawud. Kata Asy-Syaikh Muqbil dalam kitabnya Al-Jami`ush Shahih: “Hadits ini shahih, para perawinya shahih kecuali syaikh (gurunya) Abu Dawud, dan ia tsiqah (terpercaya).”).
Adapun wanita dan anak-anak serta orang yang diberi uzur meninggalkan shalat Jum’at tidaklah wajib untuk mandi Jumat.
17 HR. Al-Bukhari no. 879 dan Muslim no. 1954
18 HR. Bukhari no. 877 dan Muslim no. 1953
19 HR. Al-Bukhari no. 898 dan Muslim no. 1960. Ibnu Daqiqil ‘Ied t berkata: “Hadits ini secara jelas menunjukkan perintah untuk mandi. Sementara dzahir dari perintah adalah wajib, dan terdapat pula hadits lain yang secara jelas menyebutkan lafadz wajib…”. (Ihkamul Ahkam, Kitab Ash-Shalah, bab Al-Jumu’ah)
20 Yakni engkau mencukupkan dirimu dengan berwudhu, sementara mandi engkau tinggalkan. Dengan begitu, telah luput keutamaan darimu.
21 HR. Al-Bukhari no. 878 dan Muslim no. 1953
22 Kemungkinan kedua ini dikuatkan oleh hadits Humran bin Aban, maula ‘Utsman, yang mengabarkan bahwa ia yang meletakkan air untuk mandi ‘Utsman. Dan tidak lewat satu hari pun kecuali `Utsman mandi. Ibnu Hazm berkata: “Telah tsabit dengan sanad yang paling shahih bahwasanya ‘Utsman mandi setiap hari, sementara hari Jum’at merupakan salah satu dari hari-hari yang ada tanpa diragukan lagi… (berarti ‘Utsman pun melakukan mandi pada hari Jum’at –pent.) (Al-Muhalla, 2/21)
23 Yaitu hadits:

“Siapa yang berwudhu pada hari Jum’at maka bagus sekali dan siapa yang mandi maka mandi itu lebih utama.”