Asysyariah
Asysyariah

mandi janabah bagi wanita haid

11 tahun yang lalu
baca 9 menit
Mandi Janabah Bagi Wanita Haid

Apa hukum mandi janabah bagi wanita yang sedang haid?

Masalah ini mungkin terjadi dalam dua bentuk:

• Seorang wanita sedang haid, kemudian ia junub di tengah berlangsungnya haid karena bercumbu dengan suaminya atau mimpi basah. Adapun senggama saat haid diharamkan.

• Seorang wanita sedang junub, kemudian keluar darah haid sebelum sempat mandi junub.

 

Adapun masalah mandinya meliputi dua pembahasan:

1. Ia tidak berkewajiban mandi dari junubnya hingga haidnya berhenti.

Kata al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitab al-Mughni (1/278, terbitan Darul ‘Alam al-Kutub), “Pasal, jika ada seorang wanita haid berjunub, ia tidak diwajibkan mandi hingga haidnya berhenti.

Hal ini telah ditegaskan langsung oleh Ahmad rahimahullah, dan merupakan pendapat Ishaq bin Rahawaih rahimahullah. Sebab, mandi yang dilakukan pada saat haid berlangsung tidak memberi manfaat hukum apa pun

(karena ia masih berhadats besar dengan haidnya, -pen.).” Hal ini juga telah ditegaskan oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dalam al- Umm (Kitab ath-Thaharah, pada Bab “’Illah Man Yajibu alaihi al-Ghuslu wal Wudhu) (2/95) terbitan Dar al-Wafa’.

 

2. Terdapat silang pendapat apakah sah jika ia mandi junub saat haidnya masih berlangsung.

Pendapat pertama, sah dengan alasan haid yang berlangsung tidak menghalangi terangkatnya janabah yang dialami. Hal itu berfaedah meringankan hadats besar yang dialaminya. Ini mazhab Ahmad. Apakah disukai baginya agar melakukannya? Terdapat dua riwayat yang berbeda dari al-Imam Ahmad rahimahullah. Yang menjadi mazhab bagi fuqaha Hanabilah, hal itu disukai (mustahab). Kata Ibnu Qudamah rahimahullah selanjutnya dalam al-Mughni (1/278), “Jika ia mandi junub pada masa berlangsungnya haid, mandinya sah dan hukum junub hilang darinya (ia suci dari janabahnya).

Hal ini telah ditegaskan langsung oleh Ahmad. Kata al-Imam Ahmad rahimahullah, ‘Janabahnya hilang, sedangkan haidnya tetap ada sampai darahnya berhenti.’ Al-Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, ‘Aku tidak mengetahui ada yang berpendapat mandi junubnya tidak sah selain ‘Atha’ rahimahullah. Ia mengatakan bahwa haid yang sedang dialaminya lebih besar daripada hadatsnya, kemudian ia meralat ucapannya lantas berpendapat boleh mandi.’ Sebab, keberadaan salah satu dari dua hadats yang sedang dialami tidak menghalangi terangkatnya hadats yang lain, sebagaimana halnya jika orang yang juga berhadats kecil melakukan mandi (untuk mengangkat hadats besarnya).” Kata Ibnu Muflih rahimahullahdalam kitab al-Furu (1/260, terbitan Muassasah ar- Risalah),

“Mengenai masalah disukainya wanita yang sedang haid agar mandi janabah sebelum haidnya berhenti terdapat dua riwayat dari al-Imam Ahmad, dan hal itu sah.” Kata al-Mardawi rahimahullah dalam kitab al-Inshaf (1/240, tahqiq Muhammad Hamid al-Faqi), “Mandi junubnya sah menurut pendapat yang benar dalam mazhab Hanbali. Al-Imam Ahmad telah menegaskan langsung hal ini.

Ditegaskan kebenarannya oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni dan asy-Syarh al-Kabir serta Ibnu Tamim.” Al-Mardawi juga menyebutkan bahwa Ibnu Muflih mendahulukannya dalam al- Furu. Kemudian al-Mardawi berkata, “Demikian juga, disukai (mustahab) baginya agar mandi untuk mengangkat janabahnya menurut mazhab Hanbali. Ini didahulukan oleh Ibnu Tamim. Kata penulis kitab Majma al-Bahrain, ‘Disukai baginya agar mandi junub menurut jumhur (fuqaha Hanabilah, pen) dan dipilih oleh Majduddin’.”

Pendapat kedua, tidak sah karena terhalangi oleh haid yang sedang berlangsung. Ini adalah mazhab Syafi’I dan Maliki. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah telah menukil mazhab Syafi’i dalam al-Majmu bahwa hal itu tidak sah. An-Nawawi berkata dalam al-Majmu (2/171), “Jika seorang wanita haid kemudian mengalami junub atau ia junub kemudian datang haid, tidak sah mandi junub saat haidnya masih berlangsung lantaran hal itu tidak ada gunanya.” Mazhab Maliki telah dinukil oleh ad-Dasuqi dalam kitab Hasyiah ad- Dasuqi ala asy-Syarh al-Kabir (pada “Mawani’ al-Haidh”, 2/147, program al-Maktabah asy-Syamilah).

Ini juga adalah pendapat lain pada mazhab Hanbali yang dinukil sebagai riwayat lain dari al-Imam Ahmad. Alhasil, tampaknya pendapat yang mengatakan sah lebih kuat. Hal itu berfaedah meringankan hadats besarnya lantaran yang tersisa setelah itu hanya hadats besar dari haidnya yang wajib ia angkat sesucinya dari haid. Yang jelas, sebenarnya ia tidak diwajibkan mandi dari janabah yang dialaminya hingga haidnya berhenti lantas ia berkewajiban mandi suci dari hadats besar yang dialaminya karena junub dan haid. Wallahu alam.

Masalah ini telah dibahas oleh alim ulama dalam kitab-kitab fikih pada masalah “Jika terkumpul beberapa hadats yang mewajibkan wudhu atau mandi”. Ketentuan hukumnya sama antara wudhu dari beberapa faktor penyebab hadats kecil dan mandi dari beberapa faktor penyebab hadats besar. Masalah ini meliputi dua pembahasan.

 ______________________________________________________________________________________

Seorang wanita haid mengeluarkan mani karena bercumbu dengan suami. Apakah ketika suci cukup sekali mandi janabah? (08xxxxxxx)

1. Mandi suci dengan salah satu niat berikut:

a. Berniat untuk bersuci dari seluruh hadatsnya.

b. Berniat untuk bisa melaksanakan ibadah yang dispersyaratkan suci dari hadats, seperti shalat.

Kata Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni (1/292, terbitan Darul  ‘Alam al-Kutub), “Jika terkumpul dua faktor penyebab mandi dalam waktu bersamaan, seperti haid dan junub, bertemunya dua khitan (senggama) dan ejakulasi, lantas mandi dengan niat bersuci dari kedua hadats itu sekaligus, sah. Ini pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Di antaranya adalah ‘Atha, Abu az-Zinad, Rabi’ah, Malik, asy-Syafi’i, Ishaq, dan penganut rayu/logika (yaitu fuqaha mazhab Hanafi, -pen.).

Telah diriwayatkan dari al-Hasan (yaitu al-Bashri, pen) dan an-Nakha’I tentang wanita yang haid sekaligus junub bahwa ia wajib mandi dua kali.Dalil kami (yakni mazhab Hanbali yang sejalan dengan jumhur, -pen.) adalah bahwa Nabi n tidak pernah mandi dari senggama (jima’) yang dilakukannya kecuali satu kali saja. Padahal senggama yang dilakukannya mengandung dua hal lantaran senggama itu biasanya berkonsekuensi terjadinya ejakulasi, sedangkan senggama dan ejakulasi keduanya adalah faktor penyebab diwajibkannya mandi suci. Kenyataannya, satu mandi sah untuk mengangkat kedua hadats besar tersebut, seperti halnya hadats dan najis dapat terangkat sekaligus dengan sekali basuh (cuci).

Demikian pula hukumnya jika terkumpul beberapa hadats yang mewajibkan wudhu, seperti tidur, keluarnya najis, dan menyentuh wanita1, lantas ia bersuci dengan niat bersuci dari seluruh hadats itu, mengangkat hadats kecilnya, atau berniat untuk bisa melaksanakan shalat, hal itu sah.” Ini pula yang difatwakan oleh al- Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz. Al-Lajnah berfatwa dalam Fatawa al-Lajnah (5/328-329), “Barang siapa terkena kewajiban satu mandi atau lebih, cukup baginya satu kali mandi jika ia meniatkan dengannya untuk mengangkat seluruh faktor-faktor penyebab mandinya atau meniatkan untuk bisa shalat dan ibadah semacamnya, seperti meniatkan untuk bisa melakukan tawaf. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امرِئٍ مَا نَوَى

Sesungguhnya setiap amalan itu hanyalah dikerjakan dengan niat, dan setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang diniatkannya. (Muttafaq alaih)

Al-‘Utsaimin rahimahullah juga merajihkan hal ini, bahkan meskipun hanya meniatkan bersuci dari salah satunya atau mengangkat salah satu hadatsnya yang merupakan mazhab Hanbali dan Syafi’i sebagaimana akan diterangkan pada masalah kedua.

2. Mandi suci dengan niat bersuci dari salah satu hadatsnya atau mengangkat salah satu hadatsnya.

Hal itu sah dan menyucikannya dari seluruh hadats yang ada padanya. Ini mazhab Hanbali dan Syafi’i, yang dirajihkan Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. Berikut keterangan mazhab Hanbali. Kata Ibnu Qudamah rahimahullah selanjutnya dalam al-Mughni (1/292), “Apabila mandi dengan meniatkan salah satunya saja atau seorang wanita mandi dengan hanya meniatkan bersuci dari haid tanpa meniatkan bersuci dari janabahnya, apakah mandi itu menyucikannya pula dari hadats besar lainnya yang tidak diniatkannya? Terdapat dua pendapat kuat (pada mazhab Hanbali). Salah satunya menyatakan mandi itu menyucikannya pula dari hadats besar lainnya, karena yang dikerjakannya adalah mandi yang sah dengan niat untuk mengerjakan mandi suci yang wajib, seperti halnya jika meniatkan untuk bisa melaksanakan shalat. Pendapat kedua menyatakan menyucikannya dari apa yang diniatkan tanpa selainnya (yang tidak diniatkan), berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امرِئٍ مَا نَوَى.

Sesungguhnya setiap amalan itu hanyalah dikerjakan dengan niat, dan setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang diniatkannya.2

Al-Mardawirahimahullah menukil dalam al-Inshaf (1/148—149) bahwa yang menjadi mazhab Hanbali (pegangan fuqaha Hanabilah) adalah pendapat yang mengatakan seluruh hadats besarnya terangkat. Begitu pula halnya dengan wudhu yang hanya diniatkan untuk mengangkat salah satu hadats kecil yang ada, hal itu menyucikan dari seluruh hadats kecil yang ada. Akan tetapi, jika disertai niat agar hadats lainnya tidak terangkat, kata al-Mardawi, “Yang benar adalah tidak terangkat dari dirinya selain yang diniatkan, dan ini lahiriah ucapan sahabat kami.”

Maksudnya, fuqaha Hanabilah. Berikut keterangan mazhab Syafi’i. Kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu (1/369), “Jika seorang wanita terkena kewajiban mandi suci dari janabah dan haid lantas ia mandi dengan meniatkan salah satunya, mandinya sah dan menghasilkan keduanya tanpa ada perbedaan pendapat (yakni di antara fuqaha Syafi’iyah).” Masalah ini dikupas oleh an-Nawawi rahimahullah dalam masalah wudhu dengan berbagai faktor penyebab hadats yang dialami, karena hukumnya sama. Hanya saja, dalam masalah wudhu terdapat perbedaan pendapat di antara fuqaha Syafi’i dan an-Nawawi menukil lima pendapat yang ada di antara mereka. Tetapi, yang paling benar menurut jumhur fuqaha Syafi’iyah adalah pendapat yang mengatakan wudhu sah meskipun sekiranya disertai niat agar hadats lainnya (selain yang diniatkan) tidak terangkat. Inilah yang dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin. Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab asy-Syarh al-Mumti (pada Bab Furudh al-Wudhui wa Shifatihi, 1/165—166, cet. Muassasah Asam).

Beliau juga menukil perbedaan pendapat yang ada di antara ulama dalam masalah wudhu dengan berbagai faktor penyebab hadats yang ada, lantas beliau merajihkan pendapat yang sama dengan pendapat jumhur Syafi’iyah tersebut. Beliau menerangkan bahwa jika diniatkan untuk mengangkat salah satu faktor hadats yang dialami atau bersuci dari salah satunya, seluruh hadatsnya otomatis terangkat walaupun hanya ia berniat agar hadats lainnya (selain yang yang diniatkan) tidak terangkat. Sebab, hadats itu adalah satu sifat yang sama yang dialami tubuh kendati faktor penyebabnya berbilang. Hal ini tidak kontradiksi dengan hadits,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امرِئٍ مَا نَوَى.

“Sesungguhnya setiap amalan itu hanyalah dikerjakan dengan niat, dan setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang diniatkannya.”

Sebab, bagaimana pun juga hadats yang dialami tubuh adalah satu sifat (keadaan) yang sama dengan berbagai faktor penyebab hadats yang beragam. Hadats sebagai sifat (keadaan) yang dialami tubuh bukanlah hal yang berbilang secara terpisah dengan berbilangnya faktor penyebabnya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa satu wudhu meskipun dengan niat bersuci dari salah satu faktor hadats saja sudah cukup untuk mewakili dari seluruh faktor hadats yang ada, karena dengan itu tubuh menjadi suci dari hadats yang dialami dengan berbagai faktor hadats yang ada.

Kemudian pada masalah mandi, beliau menegaskan hal yang sama dengan mengatakan bahwa apa yang dikatakan pada hadats kecil itu juga dikatakan pada hadats besar.

Wallahu a’lam.

Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini