Asysyariah
Asysyariah

makan ala islam (3)

13 tahun yang lalu
baca 13 menit
Makan Ala Islam (3)

Menjilati jari-jemari usai makan atau memungut makanan yang berceceran lalu memakannya, perbuatan ini dipandang menjijikkan dan tidak beradab oleh sebagian orang. Namun, dalam Islam, keduanya justru adab yang dianjurkan. Memang terasa ganjil, tetapi demikianlah adanya. Pembahasan berikut menjelaskan bahwa dua perbuatan itu mengandung banyak kebaikan yang kadang tidak pernah kita pikirkan.

 

        Sesungguhnya, mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kemenangan dan ketinggian derajat, kebahagian dan keselamatan dunia dan akhirat. Mengikuti jejak beliau adalah hidayah, ridha, dan cinta Allah.

        Sungguh, sangat mustahil seseorang ingin meraih kemenangan dalam memperjuangkan diri dan agamanya tanpa menempuh jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalaupun dalam pandangannya dia menang dan jaya, hal tersebut tidak lebih dari fatamorgana.

        Kemenangan dalam sejarah perjuangan yang dilakukan oleh para hamba yang saleh, pengikut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kalangan para sahabat dan generasi setelahnya, adalah dengan mengikuti jejak Rasul mereka shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti jejak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tidak menjatuhkan diri ke dalam kubangan ifrath dan tafrith.

        Ifrath artinya berlebih-lebihan hingga menyebabkan terjatuh dalam sikap mengada-ada sesuatu yang beliau tidak pernah ajarkan. Adapun tafrith artinya meremehkan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya menerima yang sesuai dengan perilakunya, dan membuang yang tidak sesuai ke belakang punggungnya.

 

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

        إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ

        “Sesungguhnya Allah mengangkat dengan kitab ini suatu kaum dan merendahkan kaum yang lain dengannya.” (HR. Muslim no. 817)

        Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Allah akan mengangkat derajat seorang hamba sesuai dengan (kekuatannya) berpegang dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

        Tidak ada seorang pun dari kita melainkan ingin mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, mendapatkan kecintaan dan pengampunan dari-Nya. Sungguh, jawabannya sangat singkat, yaitu firman Allah,

          قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١

        “Katakan (hai Nabi), jika kalian benar-benar cinta kepada Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)

 

        Mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebuah kecintaan dari Allah, keridhaan dan hidayah dari-Nya. Allah berfirman,

          وَإِن تُطِيعُوهُ تَهۡتَدُواْۚ

        “Jika kalian menaatinya, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk.” (an-Nur: 54)

        Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Jika kalian menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus, baik ucapan maupun perbuatan. Tidak ada jalan untuk mendapatkan hidayah kecuali dengan menaatinya. Tanpa (menaatinya), tidak mungkin (seseorang akan mendapatkan hidayah), mustahil.” (Tafsir as-Sa’di, hlm. 521)

      Di antara Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering ditinggalkan oleh kaum muslimin dalam masalah menyantap hidangan adalah:

  • Mengambil makanan apabila terjatuh

        Termasuk tuntunan cara makan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengambil makanan yang jatuh dari tangan. Ini tidak berarti bahwa Islam tidak menjaga kebersihan dan kesehatan.

        Oleh karena itu, ketika makanan yang jatuh diambil, kotoran yang menempel padanya harus dibersihkan. Dalam hal ini, seseorang tidak boleh beranggapan bahwa mengambil makanan yang jatuh termasuk merusak adab Islam.

        Dengarkan ajaran dan bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya,

        إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ مِنَ اْلأَذَى وَلْيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ

        “Apabila makanan salah seorang dari kalian jatuh, ambillah, lalu bersihkan kotoran yang ada padanya, kemudian makanlah. Jangan dia biarkan bagi setan.” (HR. Muslim no. 2033)

        Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa salah satu adab makan dan minum ialah mengambil makanan yang terjatuh apabila tidak ada kotoran padanya. Apabila padanya ada kotoran, hendaklah kita bersihkan, jika memungkinkan.

        Apabila tidak mungkin dibersihkan, apa yang harus diperbuat?

        An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat beberapa sunnah… (di antaranya) disunnahkan mengambil dan memakan makanan yang jatuh setelah dibersihkan dari kotoran. Ini dilakukan makanan itu tidak terjatuh pada tempat najis.

        Apabila terjatuh pada tempat yang najis, makanan tersebut menjadi najis dan harus dicuci, jika memungkinkan. Apabila tidak memungkinkan, hendaknya diberikan untuk binatang, jangan dia biarkan untuk setan.” (Syarah Shahih Muslim, 7/204)

        Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mengingatkan kepada kita agar tidak memberi kesempatan bagi setan untuk menyantap makanan sehingga dia mendapatkan kekuatan untuk mengganggu Bani Adam.

        Dinukilkan oleh pengarang kitab ar-Raudhah an-Nadiyyah, dari salah seorang ulama, dia berkata, “Seorang sahabat kami mengunjungi kami. Kami keluarkan makanan baginya. Saat mereka makan, banyak makanan yang berjatuhan dari tangannya dan berserakan di tanah. Dia berusaha dengan penuh kesungguhan untuk mengambilnya kemudian memakannya.

        Aku pun menjauh darinya. Hal ini menjadikan yang hadir terheran-heran.

        Suatu hari ada seseorang kesurupan. Setan tersebut berbicara melalui lisannya dan di antara ucapannya, ‘Sesungguhnya aku melewati orang yang sedang makan. Makanan itu sangat mengundang selera. Orang tersebut tidak mau memberiku sedikit pun. Aku berusaha menyambarnya dari tangannya, tetapi dia mencabutnya balik dari tanganku.” (at-Ta’liqat ar-Radhiyyah, 3/81)

 

  • Tidak bernapas di bejana atau meniup makanan

        Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu,

        أَنَّ النَّبِيَّ نَهَى أَنْ يَتَنَفَّسَ فِي اْلإِنَاءِ

        “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang bernapas dalam bejana.” ( HR. al- Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 267)

        Dalam lafadz yang lain, riwayat al-Bukhari,

        إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَتَنَفَّسْ فِي اْلإِنَاءِ

        “Apabila salah seorang dari kalian minum, janganlah dia bernapas di bejana.”

 

        Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Ibnu Abi Syaibah menambahkan dari jalan yang lain, dari Abdullah bin Abu Qatadah, dari bapaknya, tentang larangan bernapas di dalam bejana dan meniupnya. Riwayat ini juga memiliki penguat dari hadits Ibnu ‘Abbas dalam riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi, Rasulullah melarang bernapas dalam bejana dan meniup padanya. Larangan meniup dalam bejana disebutkan dalam banyak hadits. Demikian pula larangan bernapas padanya.” (Lihat Fathul Bari, 10/106)

        Demikianlah gambaran kesempurnaan Islam mengatur urusan setiap insan. Sebuah pengaturan yang penuh kebijakan dalam menjaga hubungan antara sesama.

        Bisa jadi, ketika Anda bernapas dalam bejana, akan menimbulkan bau yang busuk. Terlebih lagi apabila yang bernapas itu memiliki bau mulut yang tidak sedap. Bisa jadi akan mengakibatkan sakit, apabila yang bernapas membawa penyakit yang berbahaya. Islam melarang setiap orang mengganggu dan memudaratkan orang lain.

        Di antara pelajaran yang diambil adalah penjegaan Islam terhadap kesehatan individu pemeluknya. Sebab, bersama napas tersebut terkadang keluar air ludah, dahak, dan bau busuk yang mengakibatkan berubahnya bau air dan bejananya. (Fathul Bari, 10/106)

 

        Lihat pula ucapan al-Imam al-Qurthubi dalam Fathul Bari (10/108). Tentang meniup dalam bejana, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya dalam hadits berikut ini. Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata,

        أَنَّ النَّبِيَّ نَهَى عَنِ النَّفْخِ فِي الشَّرَابِ .فَقَالَ رَجُلٌ :الْقَذَاةُ أَرَاهَا فِي اْلإِنَاءِ؟ فَقَالَ :أَهْرِقْهَا .قَالَ :إِنِّي لاَ أَرْوَى مِنْ نَفَسٍ وَاحِدٍ؟ قَالَ :فَأَبْنِ الْقَدَحَ إِذًا عَنْ فِيْكَ

        “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang meniup di dalam minuman.”

        Seseorang berkata, “(Bagaimana bila) aku melihat kotoran di dalam bejana?”

        Beliau berkata, “Tuangkanlah ia.”

        Dia berkata, “Aku tidak bisa minum dengan satu napas?”

        Beliau berkata, “Jauhkanlah bejana itu dari mulutmu.”[1]

        Juga hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma:

        أَنَّ النَّبِيَّ نَهَى أَنْ يَتَنَفَّسَ فِي اْلإِنَاءِ أَوْ يَنْفُخُ فِيْهِ

        “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bernapas di dalam bejana atau melarang untuk meniup padanya.”[2]

        Lantas bagaimana dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.

        كاَنَ يَتَنَفَّسُ فِي الشَّراَبِ ثَلاَثًا

        “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bernapas tiga kali ketika minum.” (HR. al-Bukhari no. 5631 dan Muslim no. 2028)

        Bukankah hadits ini bertentangan dengan hadits yang melarang bernapas pada bejana?

        An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa kedua hadits ini tidak bertentangan. Kata beliau, yang dimaksud hadits ini adalah di luar bejana, bukan di dalamnya, seperti yang disebutkan dalam hadits Abu Sa’id dan Ibnu ‘Abbas.

 

  • Menjilat tangan atau bejana

        Termasuk pendidikan tawadhu’ dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika selesai makan, seseorang hendaknya menjilat tangannya. Ini bukan sifat kerakusan atau keluar dari adab yang Islami.

        Sungguh, adab yang Islami adalah segala sesuatu yang sejalan dan seiring dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan adab ini,

        إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ مِنَ الطَّعَامِ فَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا

        “Apabila salah seorang dari kalian makan, janganlah dia usap tangannya sampai dia menjilatnya atau memberikan kepada orang lain untuk menjilatnya.”[3]

        Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hikmahnya sebagai berikut,

        فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي فِي أَيَّتِهِنَّ الْبَرَكَةُ

         “Sesungguhnya, dia tidak mengetahui tempat terletaknya barakah.”

 

        An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Maknanya, wallahu a’lam, janganlah dia mengusap tangannya sampai dia menjilatnya. Jika tidak dia lakukan, hendaknya dia berikan kepada orang lain untuk menjilatnya. Tentu saja, diberikan kepada orang-orang yang tidak merasa jijik dengan hal tersebut, seperti istri, budak, anak, atau pembantunya, yang mencintainya dan merasakan kenikmatan saat melakukannya.” (Syarah Shahih Muslim, 7/206)

        Tentang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Kalian tidak mengetahui tempat terletaknya barakah,” an-Nawawi juga menjelaskan, “Maknanya, wallahu a‘lam, makanan yang dimakan oleh seseorang mengandung barakah. Namun, manusia tidak mengetahui letak barakah tersebut. Bisa jadi, barakah tersebut ada pada makanan yang telah dia makan, pada apa yang tersisa di tangannya, yang masih ada di bejana, atau yang berjatuhan. Karena itu, sudah sepantasnya setiap orang memerhatikannya agar bisa mendapatkan barakahnya.” (Syarah Shahih Muslim, 7/206)

 

        Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Di dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang membenci perbuatan menjilat tangan (setelah makan) karena jijik. Perasaan jijik itu terjadi apabila dia menjilatnya saat makan. Sebab, setelah menjilatnya, dia mengambil makanan lagi dan di tangannya ada air liur.

        Al-Khaththabi berkata, ‘Sekelompok orang menganggap bahwa menjilat jari adalah perbuatan kotor. (anggapan) ini disebabkan kerusakan akal mereka karena sifat angkuh. Seakan-akan, mereka tidak mengetahui bahwa makanan yang dijilat (yang berada) di tangannya atau di bejana makannya adalah bagian dari makanan yang telah mereka santap.

        Jika semua bagian makanan tersebut tidak menjijikkan, bagaimana bisa sisa makanan yang sedikit akan menjijikkan? Menjilat jari tidaklah lebih besar urusannya dibanding dengan menjilat seluruh tangan (ketika makan). Sungguh, orang yang berakal tidak ragu bahwa hal itu tidak mengapa. Bahkan, terkadang seseorang berkumur-kumur lalu menggosok giginya dan seluruh bagian dalam mulutnya dengan jari-jemarinya, dan tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa ini menjijikkan atau termasuk adab yang jelek.

        Di dalam hadits ini terdapat anjuran mengusap tangan setelah makan.” (Fathul Bari, 9/662)

 

        Beliau menjelaskan, “Dalam hadits Ka’b bin ‘Ujrah yang diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Ausath terdapat tata cara menjilat jari-jemari, ‘Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam makan dengan tiga jari: ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Kemudian aku melihat beliau menjilat ketiga jari beliau sebelum beliau mengelapnya. (Beliau memulai dengan) jari tengah, kemudian telunjuk, lalu ibu jari.’

        Guru kami berkata dalam at- Tirmidzi, rahasianya adalah bahwa jari tengah lebih banyak terlumuri makanan. Jadi, sisa makanan padanya lebih banyak. Di samping itu, karena lebih panjang, tentu jari tengah lebih dahulu turun dan menyentuh makanan. Mungkin beliau menjilatnya mulai dari ujung ketiga jarinya menuju ke atas, apabila beliau memulai dari jari tengah lalu pindah ke jari telunjuk. Demikian juga ibu jarinya. Wallahu a’lam.” (lihat rujukan sebelumnya)

 

  • Memakan makanan yang sangat panas

        Di antara yang banyak dilalaikan oleh mayoritas orang yang akan menyebabkan luputnya banyak barakah adalah memakan makanan atau minumam dalam keadaan sangat panas. Semestinya. kita makan atau minum dalam keadaan dingin atau tidak terlalu panas.

        Apabila dibawakan tsarid kepada Asma’ bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anhuma, beliau menyuruh menutupnya hingga hilang panasnya yang sangat dan asapnya. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ini akan menyebabkan barakah lebih banyak’.”[4]

        Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Makanan tidak boleh dimakan kecuali setelah hilang asap panasnya.”[5]

        Sungguh, para ulama mengecam orang-orang yang memakan makanan dalam keadaan yafur. Mereka memakan makanan yang panas sekali dan tidak bersabar menunggu sampai dingin.

        Akibatnya, mulutnya akan terbakar dan matanya menangis. Terkadang mengakibatkan dia mengeluarkan makanan tersebut dari mulutnya atau dengan segera mengiringinya dengan meminum air dingin karena ususnya terbakar.

 

        Pertanyaan: Ada beberapa minuman yang tidak diminum melainkan dalam keadaan panas, seperti teh dan sebagainya. Bagaimana jalan keluarnya?

        Jawabnya: Hendaknya dia tunggu sampai hilang asap panasnya, kemudian baru dia minum, walaupun masih panas. Minumlah dengan tenang sambil menikmatinya.

        Wallahu a’lam.

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah

 


                [1] HR. ad-Darimi dalam Sunan beliau no. 2029, Malik dalam al-Muwaththa’ 2/945, at-Tirmidzi no. 1887, dan Ahmad 3/32. Semuanya dari jalan Ayyub bin Habib, dia mendengar Abu Mutsanna an-Nuhani menyebutkan dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu.

          Hadits ini dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1538 dan ash-Shahihah no. 385.

                [2] HR. at-Tirmidzi dalam Sunan beliau no. 1975, Ibnu Majah no. 3429, Abu Dawud no. 3728. Semuanya dari jalan ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.

          Hadits ini dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1539, Shahih Sunan Abu Dawud no. 3171, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2768, al-Misykat no. 4277, dan al-Irwa’ no. 1977.

                [3] Hadits ini diriwayatkan dari beberapa sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:

          – Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhu(HR. al-Bukhari no. 5456, Muslim no. 2031, Ahmad no. 3319, Abu Dawud no. 3349, Ibnu Majah no. 3260 dan ad-Darimi no. 1940) – Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhu(HR. Muslim no. 2033, Ahmad no. 14410, Ibnu Majah no. 2261)

          – Ka’b bin Malik radhiallahu ‘anhu (HR. Muslim no. 2032, Abu Dawud no. 4450, Ahmad no. 25914 dan ad-Darimi no. 1946)

                [4] HR. ad-Darimi 2/100; Ibnu Hibban no. 1344; al-Hakim 4/118; Ibnu Abid Dunya dalam al-Ju’, 14/2, dan al-Baihaqi 7/280; dari jalan Qurrah bin Abdur Rahman, dari Ibnu Syihab, dari Urwah bin az-Zubair, dari Asma’ bintu Abu Bakr; dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah Ahadits ash-Shahihah no. 392 dan al-Irwa’ pada penjelasan hadits no. 1978.

                [5] HR. al-Baihaqi, 7/280; dan dihukumi sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’ no. 1978.

Sumber Tulisan:
Makan Ala Islam (3)