Asysyariah
Asysyariah

makan ala islam

13 tahun yang lalu
baca 15 menit
Makan Ala Islam

Makan tak lagi sekadar rutinitas. Namun juga telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Cara dan posisi makan, tata hidang berikut alatnya, hingga busana yang dikenakan juga menganut ‘ideologi’ tertentu. Repotnya, model yang dianut (lagi-lagi) adalah tata cara Barat. Bagaimana agama Islam nan sempurna ini mengatur tata cara makan? Simak bahasannya!

Islam adalah dien rahmat bagi alam semesta. Dien yang menjelaskan segala bentuk kemaslahatan manusia, mulai dari masalah yang paling kecil dan ringan hingga masalah yang paling besar dan berat. Islam sebagai rahmat telah memberikan arahan kepada pemeluknya untuk tidak mendekati perkara-perkara yang akan memudaratkan dirinya. Demikianlah kesempurnaan Islam yang hujahnya sangat jelas dan terang, malamnya bagaikan siang. Sehingga tidak ada satu pun permasalahan yang tersisa melainkan telah dijelaskan di dalamnya.

Namun dalam menerima kesempurnaan ini, sebagian umat Islam ada yang tidak puas sehingga :

  1. Melakukan tindak kriminal dalam agama, yaitu dengan menambah syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dijadikan sebagai jalan menuju ridha Allah subhanahu wa ta’ala.

Dari tindak kriminal ini lahirlah konsep akal bahwa jalan menuju Allah subhanahu wa ta’ala itu banyak dan bukan satu. Ada yang cepat menyampaikan ke tujuan dan ada yang lambat. Kiasnya seperti perjalanan yang ada di dunia. Berangkat dari pemahaman ini, maka semua jamaah dan semua aliran yang muncul di dalam Islam—sekalipun mengajak kepada kekufuran—tidak bisa disalahkan. Karena itu, ketika ada yang tampil menjelaskan kebatilan sebagian atau semua aliran tersebut, justru dituding sebagai tindakan ghibah atas saudaranya seiman, sementara ghibah itu haram.

Tindak kriminal lainnya adalah mengentengkan syariat Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga menghilangkan kecemburuan terhadap agama.

Tindakan ini mengajak masyarakat untuk bersikap permisif, membiarkan kemungkaran eksis dan tumbuh di dalam lingkungannya. “Yang alim silakan alim. Yang berjudi, berzina, mencuri, dan yang mabuk silakan. Yang penting tidak saling usik dan mengganggu. Biarkan berjalan pada jalannya masing-masing dan jika berselisih, kita saling memaafkan.” Kedua bentuk kriminal telah melahirkan setan-setan yang bisu, jelas hal ini bertentangan dengan dien islam.

  1. Melakukan studi perbandingan dan pendekatan agama sehingga lahir dari konsep ini menghomogenkan agama agar menjadi lebih sempurna.
  2. Melakukan perombakan kiblat dengan melakukan penggalian kemajuan-kemajuan Barat untuk disinkronkan dengan kemajuan yang telah dicapai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau.

Jika penjelasan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya tentang kesempurnaan dien Islam ini masih belum memuaskan mereka, lalu dengan keterangan siapa lagi mereka bisa yakin dan puas?

لِّيَهۡلِكَ مَنۡ هَلَكَ عَنۢ بَيِّنَةٖ وَيَحۡيَىٰ مَنۡ حَيَّ عَنۢ بَيِّنَةٖۗ

“Agar binasa orang-orang yang binasa di atas keterangan dan agar hidup orang-orang yang hidup di atas keterangan.” (al-Anfal: 42)

 

Kesempurnaan Islam

Makan dan minum merupakan kebutuhan jasmani setiap orang dan akan bernilai rohani bila diniatkan untuk beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada satu pun dari makhluk di muka bumi, yang melata sekalipun, yang tidak butuh makan dan minum. Allah subhanahu wa ta’ala telah banyak mengingatkan tentang kebutuhan ini di dalam firman-firman-Nya,

يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ

“Hai sekalian bani Adam, ambillah perhiasan-perhiasan kalian setiap kalian memasuki masjid, makan dan minumlah dan jangan kalian berlebih-lebihan.” (al-A’raf: 31)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا

“Hai sekalian manusia makanlah apa-apa yang ada di muka bumi dari (rezeki) yang baik dan halal.” (al-Baqarah: 168)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُواْ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعۡمَلُواْ صَٰلِحًاۖ

“Hai sekalian para rasul, makanlah dari (rezeki) yang baik dan beramal salehlah kalian!” (al-Mukminun: 51)

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ

“Hai orang-orang yang beriman makanlah dari yang baik dari apa-apa yang kami rezekikan.” (al-Baqarah: 172)

Dan masih banyak dalil yang menjelaskan hal itu. Semua dalil di atas memang tidak menunjukkan wajib namun hanya sebatas bimbingan, akan tetapi menjadi wajib bila meninggalkannya akan memudaratkan diri sendiri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ

“Dan janganlah kalian melemparkan diri kalian ke dalam kebinasaan.” (al-Baqarah: 195)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

“Tidak boleh berbuat mudarat bagi dirimu dan memudaratkan orang lain.”

Kaitannya dengan makan sebagai kebutuhan jasmani, Islam sebagai agama yang sempurna telah memberikan perhatian yang sempurna dengan mengatur, mengarahkan dan menjelaskan tentang zat makanan dan minuman serta tatacara menikmatinya.

Semuanya bertujuan agar tidak timbul kemudaratan bagi setiap hamba. Allah telah menjelaskan di dalam firman-Nya,

ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ

“Pada hari ini aku telah menyempurnakan agama kalian dan telah mencukupkan nikmat-Ku atas kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian.” (al-Maidah: 3)

Bagi orang yang berjalan di atas kesempurnaan dien ini dengan menerima dan tunduk padanya, niscaya dia akan menemukan keindahan Islam dan kemudahan di dalam beragama ini. Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata,

سُئِلَ النَّبِيُّ أَيُّ الْأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الْحَنِفِيَّةُ السَّمْحَةُ

Nabi ditanya, “Agama yang paling dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala?” Rasulullah bersabda, “Agama yang lurus dan mudah.”[1]

Sebagai agama yang mudah:

  1. Islam telah menjelaskan kepada kita segala jalan yang menyampaikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan kita tidak dibiarkan membuat jalan selain jalan-Nya.
  2. Islam tidak meninggalkan satu pun dari sendi-sendi Islam kecuali telah memberikan arahan dan bimbingan kepada yang lebih maslahat. Dan dalam hal ini Islam menyelisihi/membedakan diri dari agama lainnya. Sampai-sampai salah seorang dari Yahudi mengatakan, ‘Sungguh nabi kalian telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai-sampai tatacara buang air.”[2]

Dan di antara mereka ada yang mengatakan, “Orang ini (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak membiarkan sedikit pun urusan kita melainkan mesti dia menyelisihinya.”[3]

 Gulai Kambing

Makan & Minum Serta Adab-adabnya

Sebagai bentuk kesempurnaan syariat dan hikmah Allah subhanahu wa ta’ala di dalam menentukan urusan-urusan-Nya, Islam telah menjelaskan tatacara dan adab di dalam memenuhi kebutuhan jasmani setiap orang beriman agar mereka mendapatkan nilai yang besar di sisi Allah dan bernilai ibadah ketika melaksanakan hal itu.

  1. Keadaan Bejana

Dianjurkan bagi setiap muslim untuk memerhatikan bejana yang dipakai, baik ketika memasak ataupun menghidangkannya. Tidak diperbolehkan bagi mereka untuk menggunakan bejana orang kafir. Dan bila tidak ada bejana lainnya, maka diperbolehkan dengan syarat bejana tersebut harus disucikan dari kotoran dan najis, bila bejana tersebut tadinya dipakai untuk memasak babi dan minum khamr. Bila bejana tersebut tidak dipakai untuk hal-hal kotor dan najis, hal itu diperbolehkan secara mutlak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu,

كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُوْلِ اللهِ فَنُصِيْبُ مِنْ آنِيَةِ  الْمُشْرِكِيْنَ وَأَسْقِيَتِهِمْ فَنَسْتَمْتَعُ بِهَا وَلَا يَعِيْبُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ

“Di saat kami berperang bersama Rasulullah, kami mendapatkan bejana-bejana kaum musyrikin dan kendi-kendi minum mereka. Kemudian kami memanfaatkannya dan beliau tidak mencelanya.”[4]

Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ وَهُمْ يَطْبَخُوْنَ فِيْ قُدُوْرِهِمُ الْخِنْزِيْرَ وَيَشْرَبُوْنَ فِيْ آنِيَتِهِمْ الْخَمْرَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ :إِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَكُلُوْا فِيْهَا وَاشْرَبُوْا، وَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا غَيْرَهَا فَأَحْضَوْهَا بِالْمَاءِ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا

“Sesungguhnya kami berada di tengah ahli kitab dan mereka memasak babi di panci-panci mereka dan meminum khamr di bejana-bejana mereka. Rasulullah bersabda, ‘Kalau kalian menjumpai yang lain, maka makan dan minumlah padanya. Dan jika kalian tidak menjumpai bejana lainnya, maka cucilah dengan air lalu makan dan minumlah (padanya)’.”[5]

Selain larangan memakai bejana orang kafir ketika makan dan minum, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kita untuk makan dan minum dengan bejana emas dan perak, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا وَلَكُمْ فِي الْآخِرَةِ

“Janganlah kalian minum memakai bejana emas dan perak… karena sesungguhnya (bejana emas dan perak tersebut) bagi mereka (orang kafir) di dunia dan bagi kalian di akhirat.”[6]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الَّذِيْ يَشْرَبُ فِيْ إِنَاءِ الْفِضَّةِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِيْ بَطْنِهِ ناَرَ جَهَنَّمَ

“Orang yang minum dengan bejana perak, sesungguhnya akan dituangkan api jahannam dalam perutnya.”[7]

Bila hal ini dilakukan oleh seorang mukmin di dunia, dan dia belum bertaubat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

لَمْ يَشْرَبْ بِهَا فِي الْآخِرَةِ

“Dia tidak akan minum dengannya di akhirat nanti.”[8]

 

Berdoa Sebelum Makan

Permasalahan yang sungguh sangat ringan, namun sering terlalaikan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu berdoa sebelum makan. Padahal lebih ringan daripada mengangkat sesuap nasi ke mulut dan lebih ringan daripada menahan lapar. Yaitu membaca,

بِسْم اللهِ

“Dengan nama Allah.”

Bila lupa membacanya kemudian ingat, kita diperintahkan untuk membaca,

بِسْم اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ

“Dengan nama Allah, di awalnya dan di akhirnya.”

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلْيِقُلْ: بِسْم اِللهِ فَإِنْ نَسِيَ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْم اللهِ فِيْ أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ

“Apabila salah seorang kalian makan suatu makanan, maka hendaklah dia mengucapkan ‘bismillah’ dan bila dia lupa di awalnya hendaklah dia mengucapkan ‘bismillah fii awwalihi wa akhirihi’.”[9]

Di dalam hadits yang lain dari sahabat yang membantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 18 tahun, dia bercerita bahwa, “Dia selalu mendengar Rasulullah apabila mendekati makanan mengucapkan bismillah.”[10]

 

Hukum Membaca Bismillah Ketika Makan

Berdasarkan dalil yang sahih dan sharih (tegas) di atas bahwa membaca bismillah ketika makan adalah wajib dan berdosa jika meninggalkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Umar bin Abu Salamah dan saat itu dia masih kecil,

يَا غُلَامُ، سَمِّ اللهَ وَقُلْ بِيَمِيْنِكَ

“Hai nak, sebutlah nama Allah dan makanlah kamu dengan tangan kanan.”[11]

Ibnul Qayyim berkata, “Yang benar adalah wajib membaca bismillah ketika makan. Dan hadits-hadits yang memerintahkan demikian adalah shahih dan sharih. Tidak ada yang menyelisihinya serta tidak ada satu pun ijma’ yang membolehkan untuk menyelisihinya dan mengeluarkan dari makna lahirnya. Orang yang meninggalkannya akan ditemani setan dalam makan dan minumnya.” (Lihat Zadul Ma’ad 2/396)

 

 

Bolehkah Ditambah dengan ‘Arrahmanirrahim’?

Ada satu kaidah yang harus kita ketahui yakni berhenti di atas bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan satu kewajiban. Dan sungguh betapa banyak yang tersesat jalan di dalam beragama karena mengentengkan masalah ini. Seseorang bisa menjadi salah satu musuh Islam yang paling berbahaya karena tidak mengikuti bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Memang berjalan dengan tepat di atas petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masa sekarang ini adalah hal yang berat bagi orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk Allah.

Oleh karena itu bermunculanlah istihsanat (anggapan baik terhadap sesuatu yang bukan dari agama) di dalam agama. Padahal, kaidah menyatakan, sesuatu itu baik apabila agama menganggapnya baik dan jelek apabila dianggap jelek oleh agama. Orang dengan mudah mengatakan ‘Hal ini termasuk agama’ padahal tidak termasuk agama sedikit pun. Orang dengan mudah mengada-adakan dalam urusan agama padahal tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikianlah akibat kejahilan terhadap agama, orang akan membeo tanpa ada rasa takut sedikit pun kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tanpa merasa salah di hadapan agama-Nya. Salah satu contoh adalah menambah doa makan dari “bismillah” menjadi “bismillahirrahmanirrahim.”

Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab beliau Silsilah al-Ahadits ash- Shahihah (1/152) mengatakan, “Membaca tasmiyah di permulaan makan adalah ‘Bismillah’ dan tidak ada tambahan padanya. Semua hadits-hadits yang sahih dalam masalah ini tidak ada tambahannya sedikit pun. Saya tidak mengetahui satu hadits pun yang menyebut ada tambahan (bismillahirrahmanirrahim, pen.). Hal ini termasuk bid’ah menurut ulama fuqaha.”

Mengapa kita dilarang, bukankah itu lebih sempurna dan lebih baik?

Jawabannya:

  1. Kesempurnaan di dalam agama adalah kesempurnaan dalam mengikuti segala tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak menambah dan tidak pula menguranginya.
  2. Jika hal ini lebih baik, niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengajarkan kepada kita, dan akan dinukilkan oleh para sahabat beliau, dan merekalah yang pertama kali akan melakukannya.
  3. Di dalam perbuatan ini ada unsur pembebanan diri dengan beban yang tidak datang dari syariat.
  4. Perbuatan ini tergolong keluar dari bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , sementara kita meyakini bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalau keluar dari jalan beliau dengan membuat jalan tersendiri atau menambah syariat yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti,
  5. Menentang apa yang telah difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta’ala tentang kesempurnaan Islam.
  6. Mengangkat diri setara dengan Allah dalam pembuatan syariat.

radhiallahu ‘anhuma. Menuduh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhianat dalam menyampaikan risalah sehingga perlu ditambah atau dikurangi.

  1. Menuduh para sahabat Nabi ‘alaihimussalam yang menukilkan kesempurnaan syariat tersebut berkhianat kepadanya.

Keempat hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,

مَنْ عَمِلَ عَمَ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa melakukan sebuah amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”[12]

 

Hati-hati Ditemani Setan

Setan akan ikut nimbrung bila engkau tidak berdoa ketika hendak makan dan minum. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau dan hikmah membaca bismillah ketika memulai makan adalah untuk melemahkan kekuatan setan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: لَا مَبِيْتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ؛ وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُوْلِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ؛ وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ وَالْعَشَاءَ

“Apabila seseorang masuk ke dalam rumahnya, lalu dia menyebut nama Allah ketika masuk dan ketika makan, maka setan berkata (kepada teman-temannya), ‘Kalian tidak mendapatkan kesempatan bermalam (bersamanya) dan makan malam.’ Bila dia masuk rumah dan tidak menyebut Allah ketika masuknya, setan berkata (kepada teman-temannya):,‘ Kalian akan mendapatkan kesempatan bermalam (bersamanya)’. Bila dia tidak menyebut nama Allah ketika makannya maka setan berkata (kepada teman-temannya), ‘Kalian mendapatkan kesempatan bermalam dan makan malam (bersamanya).”[13]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam riwayat al-Imam Muslim rahimahullah no. 2017 dari Hudzaifah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata, “Apabila kami makan suatu makanan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tidak meletakkan tangan kami di makanan tersebut, sampai Rasulullah meletakkan kedua tangannya, beliau (mulai). Pada suatu hari kami makan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, datanglah seorang budak wanita seakan-akan dia terdorong lalu bergegas meletakkan tangannya ke makanan tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tangannya, dan datang pula seorang A’rabi (orang dusun) seakan-akan dia terdorong (dan bergegas meletakkan tangannya pada makanan tersebut).

 Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil tangannya dan bersabda, “Sesungguhnya setan ikut menyertai dalam makanan bila tidak disebut nama Allah padanya. Sesungguhnya setan datang bersama budak perempuan ini lalu aku mengambil tangannya, dan dia datang bersama A’rabi ini lalu aku mengambil tangannya. Sesungguhnya tanganku memegang tangan setan bersama tangan budak tersebut.”

(bersambung insya Allah)

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah an-Nawawi

 


[1] HR. al-Imam al-Bukhari dalam kitab al-Adabul Mufrad no. 287 dan asy-Syaikh al-Albani di dalam Shahih al-Adabil Mufrad no. 220 dan Silsilah ash-Shahihah no. 881, beliau mengatakan haditsnya hasan lighairihi.

[2] HR. al-Imam Muslim no. 605 dari Salman Al-Farisi radhiallahu ‘anhu.

[3] HR. al-Imam Muslim no. 692

[4] HR. Abu Dawud no. 3838 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud 2/727, no. 3251 dan dalam al-Irwa’, 1/72.

[5] HR. Abu Dawud no. 3839 dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud 2/726, no. 3240 dan al-Irwa’, 1/74.

[6] HR. al-Bukhari no. 5633

[7] HR. al-Bukhari no. 5634

[8] HR. Muslim no. 5358

[9] HR. at-Tirmidzi no. 1936 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab Shahih Sunan at-Tirmidzi 2/167, no. 1513 dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha.

[10] HR. Ahmad (4/5062/375) dan Abu asy-Syaikh dalam kitab Akhlaq an-Nabi hlm. 238 dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam kitab Silsilah Ahadits sahihah 1/152 no. 71

[11] HR. al-Bukhari no. 5376

[12] HR. Muslim

[13] HR. Muslim no. 2018

Sumber Tulisan:
Makan Ala Islam