(ditulis oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.)
Terungkap dari sebagian ulama sebuah kalimat yang sangat bermakna: lahir itu alamat batin. Artinya, apa yang nampak dari perbuatan lahir seseorang menunjukkan apa isi hatinya. Ungkapan ini jika kita cermati akan didapati kebenarannya di mana hubungan keduanya mirip dengan dua wajah uang logam, tidak bisa dipisahkan. Bisa jadi dalam hubungan lahir dan batin terkadang tidak cocok, tapi itu jarang sekali. Yang sering adalah amalan lahir merupakan cermin dari amalan batin (isi hati). Hal itu telah disinyalir oleh Rasulullah r dalam haditsnya:
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam jasad ada segumpal darah, jika ia baik maka seluruh jasad akan baik dan jika rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 4070)
Dari hadits ini dipahami bahwa kerusakan pada amal jasmani timbul dari kerusakan batin dan baiknya amal jasmani timbul dari baiknya amal batin. Sebaliknya, adanya kerusakan pada amal lahiriah akan menyebabkan kerusakan pada batin.
Hakekat ini ditegaskan oleh Nabi r dalam hadits yang lain di mana beliau sedang meluruskan shaf (barisan) jamaah shalat, katanya:
“Wahai hamba-hamba Allah! Luruskan benar-benar shaf kalian atau Allah akan memalingkan antara wajah-wajah kalian.” Dalam riwayat lain: “Antara qalbu kalian.” (Shahih, HR. Muslim no. 978)
Nabi r mengisyaratkan bahwa perbedaan dalam amal lahiriah walaupun sekedar meluruskan shaf termasuk sesuatu yang mengakibatkan perselisihan dalam batin. Oleh karenanya beliau melarang berpencar-pencar walaupun dalam duduk berjamaah.
Rasulullah keluar kepada kami lalu melihat kami berkelompok-kelompok, beliau berkata: “Mengapa aku melihat kalian berkelompok-kelompok terpencar?” (HR. Abu Dawud, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi, Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan sanadnya shahih dan bersambung. Lihat Jilbabul Mar`ah Al-Muslimah, hal. 211)
Ibnu Taimiyyah mendekatkan permasalahan ini kepada kita dengan memberikan contoh, katanya: “Sesungguhnya dua orang yang sama-sama berada di satu negeri lalu bertemu di sebuah daerah perantauan yang asing maka akan tumbuh pada keduanya kecocokan dan kecintaan yang besar, walaupun mereka di negeri asal mereka tidak saling kenal. Demikian pula dua orang yang sama-sama dalam perjalanan, atau di negeri yang asing lalu antara keduanya ada kesamaan pada sorbannya, atau pakaiannya, atau rambutnya, atau tunggangannya, dan semacamnya maka tentu kedekatan antara keduanya lebih daripada dengan yang lainnya. Maka jika keserupaan pada urusan duniawi saja menumbuhkan kecintaan dan loyalitas, lalu bagaimana dengan keserupaan dalam urusan agama? Oleh karenanya, Allah menafikan adanya seorang mukmin yang mencintai orang kafir. Maka barangsiapa mencintai orang kafir dia bukan mukmin. Jadi perkara-perkara lahir dan batin, antara keduanya ada ikatan dan kesesuaian karena sesungguhnya apa yang terdapat dalam qalbu berupa perasaan dan keadaan akan mewujudkan perkara-perkara lahiriah. Dan apa yang terdapat pada penampilan lahiriah berupa seluruh amalan akan mewujudkan perasaan-perasaan dan keadaan tertentu pada qalbu.” (Dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbabul Mar`ah Al-Muslimah, hal. 207-208)
Atas dasar itu –wallahu a’lam–, ketika menanggapi kelompok Khawarij –orang-orang yang memberontak kepada Ali bin Abi Thalib z– yang mengatakan: “Hukum hanyalah milik Allah,” Ali z berkata, “Kalimat yang benar tapi di balik itu ada keinginan yang batil.”
Mengapa Ali z memvonis keinginan mereka padahal keinginan itu berada dalam batin? Ini dikarenakan gelagat amal lahiriah kelompok Khawarij nampak jelas, yaitu tindakan memberontak kepemimpinan Ali z. Sehingga bisa diketahui bahwa kalimat tersebut hanya sebatas tameng. Karenanya bisa dinilai bahwa batin mereka memiliki niat yang jelek.
Jika hal ini telah kita ketahui bersama maka dengan itu kita mesti menjaga dan memperbaiki dua sisi amal kita, yang lahir maupun yang batin. Dan dengan ini pula kita ketahui bahwa seseorang yang berbuat jelek dan mengatakan “yang penting batinnya bertakwa”, adalah ucapan bohong dan jauh dari kebenaran.
Wallahu a’lam.