Kehadiran anak sangat dinantikan dalam sebuah keluarga. Anak adalah pemberian Allah I yang harus disyukuri, bagaimanapun keadaannya.
Sembilan bulan sudah si buah hati berada dalam kehangatan rahim sang ibu. Tiba saatnya kini dia lahir ke dunia, memasuki alam baru yang akan diarungi sepanjang hidupnya. Dia adalah sosok yang teramat mungil dan tanpa daya, yang senantiasa membutuhkan uluran tangan dan kasih sayang ibu, ayah, dan orang-orang di sekelilingnya.
Hadirnya si kecil biasanya disambut dengan kegembiraan ayah dan ibunya. Namun tidak jarang, orang tua merasa kecewa dengan kelahiran anaknya. Ada yang sangat mengharapkan lahirnya anak laki-laki, namun ternyata yang lahir anak perempuan. Ada yang mendambakan mendapat seorang putri, namun yang lahir ternyata anak laki-laki. Tidak sepantasnya saat-saat yang semestinya dilalui dengan rasa syukur ini digayuti dengan kekecewaan karena anak yang lahir tidak seperti yang didamba-dambakan, sehingga mengenyahkan rasa syukurnya kepada Allah I.
Siapa kiranya yang memiliki kekuasaan untuk memberikan anak laki-laki atau pun anak perempuan kepada kita? Ataukah kita bisa menentukan pilihan atas apa yang kita senangi?
“Milik Allahlah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan segala sesuatu yang dikehendaki-Nya dan Dia memberikan anak perempuan kepada siapa saja yang Dia kehendaki dan memberikan anak laki-laki kepada siapa pun yang Dia kehendaki, atau memberikan kepada mereka pasangan anak laki-laki dan perempuan, dan Dia menjadikan mandul siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syura: 49-50)
Inilah kekuasaan Allah I dalam mengatur urusan segenap makhluk-Nya. Di antara manusia, ada yang hanya dikaruniai anak laki-laki dan tidak memiliki anak perempuan, ada yang dikaruniai anak perempuan dan tidak memiliki anak laki-laki, ada yang Allah I karuniai anak laki-laki dan perempuan, ada pula yang tidak dikaruniai seorang anak pun. Dia Maha Mengetahui dengan ilmu-Nya yang luas dan sempurna, siapa yang pantas mendapatkan masing-masing bagian itu.
Mengapa harus kecewa dengan apa yang Allah I berikan, sementara di kalangan nabi-nabi pun ada yang tidak dikaruniai anak laki-laki, seperti Nabi Luth u, ada yang tidak memiliki anak perempuan, seperti Nabi Ibrahim u. Dan ada pula yang tidak memiliki seorang anak pun, seperti Nabi Yahya dan Nabi ‘Isa i.
Pun yang banyak terjadi, orang tua teramat mendambakan lahirnya anak laki-laki, namun kadang anak yang mereka idamkan tak kunjung datang. Tidak jarang mereka merasa kecewa saat melihat kenyataan bahwa mereka hanya memiliki anak-anak perempuan. Terasa ada yang kurang dalam kehidupan mereka, bahkan merasa malu dan tidak menyukai kehadiran anak-anak perempuan itu. Padahal sikap seperti ini termasuk akhlak orang-orang jahiliyah yang dicela Allah U:
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah wajahnya dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan diri dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak itu dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah, betapa buruk apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
Andai saja mereka mengetahui, di sana ada janji Allah I yang besar. Allah I yang menganugerahkan anak perempuan menjanjikan jannah (surga) bagi hamba-Nya yang berbuat kebaikan kepada anak perempuannya.
Andai saja mereka mengetahui tentang seorang wanita miskin yang mendapatkan jannah karena memberikan makanan kepada anak-anak perempuannya yang dikisahkan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah:
“Seorang wanita miskin datang kepadaku membawa dua anak perempuannya, maka aku memberinya tiga buah kurma. Kemudian dia memberi setiap anaknya masing-masing sebuah kurma dan satu buah lagi diangkat ke mulutnya untuk dimakan. Lalu kedua anak itu meminta kurma itu, maka dia bagi dua kurma yang semula hendak dimakannya untuk kedua anaknya. Hal itu sangat menakjubkanku sehingga aku ceritakan apa yang diperbuat wanita itu kepada Rasulullah r. Maka beliau pun berkata, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya jannah dan membebaskannya dari neraka.” (Shahih, HR. Muslim hadits no. 2630)
Rasulullah r, dalam riwayat dari Anas bin Malik z, juga menyebutkan kedekatan beliau dengan orang tua yang memelihara anak-anak perempuan mereka dengan baik kelak pada hari kiamat:
“Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan aku dan dia (seperti ini),” dan beliau mengumpulkan jari jemarinya. (Shahih, HR. Muslim hadits no. 2631)
Al-Imam An-Nawawi t menjelaskan, hadits-hadits ini menunjukkan keutamaan seseorang yang berbuat baik kepada anak-anak perempuannya, memberikan nafkah, dan bersabar terhadap mereka dan dalam segala urusannya.
Semestinya seorang hamba juga bersyukur kepada Allah I dan menjadikan kenyataan yang ada itu sebagai suatu kebaikan. Demikianlah sikap seorang hamba yang beriman, karena dia mengetahui bahwa kasih sayang Allah I terhadap hamba-Nya lebih besar daripada rasa sayangnya terhadap dirinya sendiri, dan Allah I lebih berkuasa serta lebih mengetahui tentang kebaikan hamba-Nya daripada dirinya sendiri.
“Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal itu buruk bagi kalian. Dan Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 216)
Siapa di antara kita yang mengetahui bahwa ternyata anak-anak yang dulu kita sesali keberadaannya, kelak memberikan bakti kepada kita? Di saat usia mereka mulai beranjak dewasa, di saat usia kita kian merambat senja, mereka menjadi anak-anak yang taat kepada Allah I dan Rasul-Nya, mencurahkan bakti kepada orang tuanya, dan terlebih lagi bisa diharapkan doanya sebagai amalan shalih yang terus mengucur bagi orang tuanya setelah tiada.
“Orang tua dan anak-anak kalian, kalian tidak mengetahui, siapa di antara mereka yang lebih bermanfaat bagi kalian.” (An-Nisa`: 11)
Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.