Sebuah ironi baru saja dipertontonkan di negeri ini. Gempita natal begitu meriah, seolah negeri ini mayoritas dihuni oleh Nasrani. Mal, pusat perbelanjaan, supermarket, hotel, rumah makan dan restoran, tempat wisata atau rekreasi, dipenuhi pernak-pernik natal. Pohon natal dan patung sinterklas raksasa, miniatur Bethlehem, topi sinterklas yang menghiasi kepala karyawan sampai yang berkerudung sekalipun, menjadi potret buram di negara dengan populasi muslim terbesar di dunia ini.
Itulah Indonesia. Kristenisasi dengan begitu halusnya menyeruak. Semarak natal mampu menembus pelbagai batas. Di kota-kota kecil, bahkan yang dikenal dengan kota santri sekalipun, natal demikian meriah. Sebuah pemandangan yang tentu berbeda pada satu dekade silam.
Ini memang bukan semata peringatan Natal. Populasi Nasrani faktanya memang naik tanpa disadari. Ragam cara pemurtadan terus digeber habis-habisan, berbagai bentuk penistaan agama diciptakan, serta agama-agama yang merupakan gado-gado Islam dan Nasrani dibela mati-matian berdalihkan kebebasan agama dan berkeyakinan (baca: lagi-lagi HAM).
Miris memang. Semakin miris kala seruan untuk bertoleransi sudah kebablasan, pencitraan Nasrani sebagai agama yang penuh damai dan kasih demikian tebal, dan ocehan-ocehan para “tokoh” muslim justru menihilkan Kristenisasi. Isu Kristenisasi, oleh para “cendekiawan” muslim itu, dianggap Kristenfobia.
Padahal, Allah ‘azza wa jalla sendiri yang menyatakan bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah ridha hingga kita mengikuti agama mereka. Artinya, Kristenisasi tidak akan pernah berhenti di setiap tempat dan waktu. Ia akan selalu menyelinap, menyusup di tengah masyarakat muslim di mana pun dan sampai kapan pun.
Bagi pemeluknya, Kristenisasi, atau yang mereka sebut transformasi atau penuaian jiwa, adalah tugas suci sesuai pesan Bibel. Sebab, menurut mereka, dunia tidak mungkin damai jika tidak dikristenkan. Maka dari itu, Kristenisasi adalah harga mati. Lebih-lebih, kucuran dana dari negara-negara kuat seperti AS dan Inggris siap mendukung geliat Kristenisasi di Indonesia.
Apalagi, Kristenisasi tidak bisa dilepaskan dari sejarah. Misionaris Kristen atau Katholik masuk Indonesia bukan 20 atau 50 tahun lalu, tetapi sejak penjajah Belanda masuk negeri ini. Pemurtadan oleh penjajah juga tidak semata menyasar suku-suku terasing, tetapi masyarakat muslim, dengan dukungan yang besar dari pemerintah Hindia Belanda kala itu.
“Hasil”nya kita rasakan sekarang. Konflik sesama anak bangsa yang berbeda agama seperti di Maluku dan Poso adalah peninggalan para penjajah yang akan terus kita warisi. Kristenisasi telah memecah daerah konflik tersebut baik secara geografis maupun ideologis. Sebut saja Desa Sirisori di Pulau Saparua. Karena Kristenisasi penjajah, desa ini pecah menjadi dua: Sirisori Islam dan Sirisori Kristen. Kala Maluku tengah di-setting memanas, warga Kristen berulah menyerang tetangganya yang beragama Islam.
Begitulah, jika akidah Kristen telah bersemi di dalam dada, tetangganya yang masih mempunyai pertalian darah sekalipun, tak segan akan dibantai.
Di luar cara-cara halus yang selama ini jamak dilakukan, kaum salibis nyatanya berani menabuh genderang perang di saat mereka minoritas. Apa jadinya jika Kristenisasi yang ditarget tahun 2020 berhasil? Jangan jadi penonton, mari kita lawan derasnya arus pemurtadan. Ingat, Kristenisasi tidak akan pernah berhenti.