Asysyariah
Asysyariah

konspirasi mencabik kehormatan mu’awiyah bin abi sufyan

13 tahun yang lalu
baca 13 menit

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)

Sahabat Rasulullah n adalah kaum yang telah mengorbankan harta, jiwa, dan segala yang mereka miliki fi sabilillah saat kebanyakan manusia memerangi agama Allah l. Sepeninggal Rasulullah n, mereka tidak menghentikan langkah menegakkan kalimat Allah l. Pengorbanan, keberanian, dan sikap kesatria terus menghiasi lembaran-lembaran tarikh (sejarah).
Mengikuti jejak sahabat dan mencintai mereka adalah bagian penting akidah dan salah satu pokok keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengannya, umat mencapai kemuliaan dan selamat dari kesesatan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda,
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sungguh, di antara kalian yang hidup sesudahku akan melihat berbagai perselisihan, maka berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang diberi petunjuk. Peganglah kuat-kuat sunnah itu dengan gigi geraham dan jauhilah ajaran-ajaran yang baru (dalam agama) karena semua bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan sahih.”)
Ketika Rasulullah n bercerita tentang perpecahan umat, beliau ditanya tentang golongan yang selamat. Beliau n menjawab,
مَا أَنَا عَلَيْهِ الْيَوْمَ وَأَصْحَابِي
“(Yaitu orang yang berjalan pada) jalan yang aku dan para sahabatku berada di atasnya hari ini.”
Al-Imam Malik t berkata,
لَنْ يَصْلُحَ آخِرُ هَذِهِ الْأُمَّةِ إِلاَّ مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا
“Akhir dari umat ini tidak akan baik melainkan dengan menempuh jalan yang menyebabkan generasi awal (sahabat) menjadi baik.”
Musuh-musuh Islam mengerti faktor kejayaan ini. Mereka paham bahwa menjadikan sahabat sebagai suri teladan adalah pokok mendasar bagi umat Islam untuk meraih kejayaan. Maka dari itu, tidaklah mengherankan apabila mereka dengan gigih berusaha menjauhkan kaum muslimin dari generasi sahabat.
Segala cara ditempuh. Manipulasi sejarah, celaan, dan cercaan, tak kunjung henti tertuju kepada sahabat-sahabat Rasul n. Makar musuh Islam merusak citra sahabat telah dipraktikkan oleh pemimpin kaum munafik di zaman Rasulullah n, Abdullah bin Ubai bin Salul. Dia menebarkan fitnah seputar tuduhan zina terhadap Aisyah x.1
Konspirasi menggulung kemuliaan sahabat adalah makar besar musuh-musuh Islam: Yahudi, Syiah Rafidhah, para orientalis, dan sekutunya. Demi Allah, tidak sedikit sahabat yang menjadi sasaran celaan dan caci maki, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Demikian kenyataan yang harus kita hadapi. Mereka membuat makar, kita pun harus berjuang membela kehormatan generasi mulia yang telah berjasa terhadap umat ini. Kita tidak boleh berputus asa menegakkan prinsip yang agung ini. Sesungguhnya Allah l pasti membalas makar mereka.
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Ali Imran: 54)
“Dan sesungguhnya mereka telah membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu….” (Ibrahim: 46)

Kedengkian Musuh Allah l Menyaksikan Kejayaan Islam
Pada masa sahabat, kekuatan daulah islamiyah kokoh di muka bumi. Kekuatan politik Islam dan tentara-tentara Allah l menjadi kekuatan yang sangat ditakuti. Kekaisaran Romawi dan Persia pun harus bertekuk lutut di hadapan tentara-tentara Allah l. Futuhat islamiyah (perluasan wilayah Islam) tidak bisa dibendung di masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin, termasuk di zaman pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c yang telah memimpin kaum muslimin dengan penuh keadilan selama dua puluh tahun (41—60 H).
Cahaya tauhid terus menyebar ke seluruh penjuru barat dan timur dunia, berjalan pasti bersama langkah kaki generasi paling mulia, mewujudkan kabar gembira ar-Rasul n dalam sabdanya,
إِنَّ اللهَ زَوَى لِيَ الْأَرْضَ، فَرَأَيْتُ مَشَارِقَهَا وَمَغَارِبَهَا، وَإِنَّ أُمَّتِي سَيَبْلُغُ مُلْكُهَا مَا زُوِيَ لِي مِنْهَا، وَأُعْطِيتُ الْكَنْزَيْنِ: الْأَحْمَرَ وْالْأَبْيَضَ
“Sesungguhnya Allah l mengumpulkan bumi untukku hingga aku bisa melihat timur dan baratnya. Sungguh kekuasaan umatku akan mencapai bagian bumi yang digulungkan di hadapanku, dan aku diberi Allah dua perbendaharaan, emas dan perak (yakni Romawi dan Persia, -pen).” (HR. Muslim 4/2215 no. 2889 dari Tsauban z)
Kejayaan Islam tentu tidak diharapkan oleh musuh-musuh Islam. Kedengkian telah merasuki dada mereka. Perjuangan sahabat semakin bersinar, sementara itu musuh-musuh Islam semakin geram dan sesak dada menyaksikan kemuliaan Islam. Hal ini sesuai dengan permisalan sahabat yang disebutkan oleh Allah l dalam firman-Nya,
“Sifat-sifat mereka dalam Injil yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir….” (al-Fath: 29)
Mereka tidak berdaya memerangi muslimin dengan kekuatan fisik. Upaya yang mereka anggap bermanfaat adalah dengan merusak akidah Islam dalam dada para pemeluknya, memperburuk citra Islam di tengah-tengah manusia, dan berusaha mencerai-beraikan barisan muslimin, serta mewujudkan keragu-raguan tentang agama yang mulia ini.
Makar demi makar muncul. Di antara makar besar yang pengaruhnya masih tampak hingga saat ini adalah makar Abdullah bin Saba’ al-Yahudi. Pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan z adalah buah makar Ibnu Saba’, demikian pula fitnah-fitnah berikutnya. Munculnya sekte Rafidhah pun tidak lepas dari peran sosok Ibnu Saba’ al-Yahudi.2
Hadits-hadits Rasulullah n dan tarikh Islam tidak luput dari makar. Mereka menebarkan hadits-hadits palsu dan menyusupkan kedustaan demi kedustaan, terutama terkait dengan tarikh sahabat Rasulullah n.
Demikianlah kaum zindiq (munafik) membuat makar. Mereka menyusup di tengah-tengah kaum muslimin sembari menyebarkan berita-berita dusta dalam hal akidah, ibadah, akhlak, muamalah, atau perkara halal haram. Semua itu untuk sebuah tujuan: merusak agama Islam dan memecah belah barisan kaum muslimin.
Riwayat Palsu adalah Makar Musuh Islam
Di antara makar musuh Islam adalah menyebarkan banyak riwayat maudhu’ (palsu) untuk merusak syariat dan prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, para ulama menganggap penting untuk mengumpulkan hadits-hadits maudhu’ tersebut dalam buku-buku khusus, di antaranya kitab al-Maudhu’at karya al-Imam Ibnul Jauzi t, sebagai peringatan bagi umat, walhamdulillah.
Perhatikan contoh hadits palsu berikut sebagai bukti makar orang kafir.
إِنَّ اللهَ خَلَقَ خَيْلًا فَأَجْرَاهَا فَعَرَقَتْ فَخَلَقَ نَفْسَهُ مِنْ ذَلِكَ الْعَرْقِ
“Allah menciptakan kuda, lalu kuda itu dijalankan hingga berkeringat. Allah lalu menciptakan Diri-Nya dengan keringat itu.”
A’udzubillahi minasy syaithanir rajim! Demi Allah, ini adalah kalimat kekafiran yang sengaja diembuskan oleh kaum zindiq untuk merusak akidah muslim tentang Rabb-Nya.
Ibnul Jauzi t berkata, “Hadits ini tidak diragukan kepalsuannya. Tidak mungkin ada seorang muslim pun memalsukan hadits seperti ini.” (al-Maudhu’at 1/105)
Mereka juga membuat kedustaan tentang kerasulan. Muhammad bin Sa’id asy-Syami al-Mashlub, misalnya.3 Pendusta ini telah memalsukan riwayat yang merusak salah satu pokok Islam tentang rasul terakhir. Melalui jalan Humaid, dari Anas z, Muhammad bin Sa’d al-Mashlub meriwayatkan sabda Rasulullah n,
أَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّيْنَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي إِلاَّ أَنْ يَشَاءَ اللهُ
“Aku penutup para nabi, tidak ada nabi sesudahku melainkan apabila Allah menghendaki.” (Dikeluarkan Ibnul Jauzi dalam al-Mudhu’at 1/279)
Kalimat “melainkan apabila Allah menghendaki” yang ia dustakan atas nama Nabi n membuka celah adanya nabi sesudah beliau n.
Saudaraku muslim, jika musuh-musuh Islam berani merusak akidah tentang Allah l dan Rasul-Nya, lebih tidak mustahil lagi mereka menebarkan kedustaan untuk mencoreng kehormatan sahabat dan merusak tarikh mereka yang gemilang, baik kedustaan itu tertuju pada sahabat secara umum (sebagai sebuah generasi) atau individu sahabat, seperti Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abu Hurairah, Amr bin al-Ash, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abu Sufyan, Khalid bin al-Walid, Abu Musa al-Asyari, dan lainnya g.
Setan manusia dan setan jin bahu-membahu dalam makar menebar dusta ini, seperti dalam firman Allah l,
“Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)….” (al-An’am: 112)

Mu’awiyah bin Abi Sufyan z, Target Makar Musuh Allah l
Di antara hadits palsu yang dimaksudkan untuk mencerca beberapa individu sahabat adalah hadits-hadits tentang Mu’awiyah z. Diriwayatkan bahwa Rasulullah n bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمْ مُعَاوِيَةَ عَلَى مِنْبَرِي فَاقْتُلُوهُ
“Apabila kalian melihat Mu’awiyah berada di atas mimbarku, bunuhlah ia.”
Teks hadits ini lahiriahnya berisi celaan atas Mu’awiyah z, bahkan tidak berlebihan seandainya sebagian manusia mengafirkan Mu’awiyah dengan hadits ini. Namun, ternyata hadits ini adalah sebuah kedustaan yang diatasnamakan Rasul n.
Tentang hadits ini dan beberapa hadits lain yang ditebarkan musuh-musuh Islam untuk mencela Mu’awiyah z sebagai jembatan mencela generasi sahabat, akan kita khususkan pembahasannya dalam rubrik “Hadits” kali ini dengan judul Benarkah Hadits-Hadits Rasulullah n Menghujat Mu’awiyah z?

Pentingnya Pembahasan tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan
Mu’awiyah bin Abi Sufyan c menjadi topik pembahasan penting. Di antara sebabnya adalah musuh-musuh Islam, baik yang kafir maupun yang munafik, seringkali mengupas sejarah Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dengan tidak adil dan jauh dari kaidah-kaidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahkan menyelisihi ijma’ (kesepakatan) ulama.
Membahas akidah Ahlus Sunnah tentang sahabat Mu’awiyah z sangatlah mendesak, lebih-lebih di zaman kita, saat media-media semakin maju. Di dunia maya, musuh-musuh Islam dengan leluasa berbicara seenaknya mencaci-maki Mu’awiyah bin Abi Sufyan z. Racun-racun yang ditebarkan menyebabkan banyak debu menutupi pemikiran sebagian muslimin tentang sahabat ini. Akhirnya, beliau dipandang sebelah mata atau malah benar-benar menjadi bahan cemoohan dan caci maki.
Syiah Rafidhah termasuk makhluk buruk yang paling doyan mencerca sahabat. Kenyataan ini tidak bisa mereka mungkiri karena bukti-bukti celaan tersebut nyata tertera dalam buku-buku rujukan mereka, termasuk tulisan dan ucapan tokoh-tokoh terdepan mereka semacam Khomeini. Mereka mengafirkan Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, bahkan seluruh sahabat, kecuali beberapa orang yang bisa dihitung dengan jari.
Tidak lupa pula kita ingatkan kepada pembaca, mereka—Rafidhah—juga mencela Aisyah x dan menuduhnya berbuat keji (zina). Padahal para ulama telah bersepakat tentang kafirnya orang yang menuduh Aisyah melakukan perbuatan itu karena ia telah mengingkari al-Qur’an yang dengan tegas membebaskan Aisyah dari tuduhan tersebut.
Maka dari itu, tidak heran ketika kita saksikan Rafidhah bersama barisan Yahudi, orientalis, dan munafik berupaya keras mencabik kehormatan Mu’awiyah z. Jangankan sosok Mu’awiyah z, Aisyah binti Abu Bakr c yang adalah ibunda kaum mukminin, mereka berani mengobok-obok nama baik beliau, wal ‘iyadzu billah.
Sebelum kita memasuki pembahasan tentang sahabat Mu’awiyah z lebih dalam, perlu disadari bahwa pembelaan terhadap kehormatan Mu’awiyah z adalah pembahasan yang sangat penting di zaman ini. Sebab, akidah tentang sahabat menjadi sebuah masalah yang asing bagi kebanyakan kaum muslimin.4
Adapun pemilihan tema pembelaan terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan, banyak alasan yang mendasarinya sebagaimana diisyaratkan di atas.
Di samping itu, beberapa alasan lain yang patut disebutkan di sini di antaranya:
1. Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, ahlul hadits, menjadikan sikap terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan z sebagai salah satu barometer akidah seorang muslim tentang sahabat Nabi n.
Artinya, sikap jelek yang ditampakkan seseorang terhadap Mu’awiyah z adalah pertanda buruk akan sikapnya yang tidak baik kepada sahabat secara umum. Demikianlah kebiasaan yang berlaku. Jika ada seseorang mencela Mu’awiyah z, ia akan berani mencela sahabat lainnya karena Mu’awiyah bin Abi Sufyan c bagian dari sahabat, generasi terbaik yang telah diridhai oleh Allah l.
Ar-Rabi’ bin Nafi’ t mengatakan,
مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ سِتْرُ أَصْحَابِ النَّبِيِّ n فَإِذَا كَشَفَ الرَّجُلُ السِّتْرَ اجْتَرَأَ عَلَى مَا وَرَاءَهُ
“Mu’awiyah bin Abi Sufyan adalah tirai bagi sahabat-sahabat Rasulullah n. Siapa berani menyingkap tirai itu, niscaya ia akan berbuat lancang atas apa yang ada di baliknya (yakni dia akan lancang mencela sahabat lainnya).” (Khatib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad [1/209] dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq [59/209])
2. Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan z sering dicemarkan dalam berbagai kajian, kurikulum pendidikan, atau mata kuliah sejarah. Dengan demikian, kita mengharapkan para pelajar, lebih-lebih para guru dan dosen sejarah, takut kepada Allah l ketika membicarakan sahabat yang mulia dan segera kembali kepada jalan salafus saleh.
3. Beliau dituduh sebagai raja yang zalim, suka menumpahkan darah, nepotisme, ahli maksiat, dan sebagainya. Bahkan, sebagian orang yang celaka berani mengeluarkan beliau dan ayahnya dari keislaman.
Sungguh jauh penilaian ini dengan penilaian ahlul hadits dan ahli sejarah Islam yang lurus akidahnya. Para sahabat, tabi’in, dan ulama Ahlus Sunnah bersepakat bahwa beliau dan ayahnya adalah sahabat Rasulullah n dan orang yang mulia.
4. Banyak kaum muslimin—karena kejahilan—lebih menempatkan Umar bin Abdul Aziz t sebagai khalifah kelima—setelah al-Khulafa’ ar-Rasyidin—dan melupakan Mu’awiyah bin Abi Sufyan z. Seolah-olah, di alam ini tidak terlahir seorang pun bernama Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
Penilaian tersebut tentu tidak benar. Keutamaan Mu’awiyah z sebagai sahabat Rasulullah n tidak bisa dibandingkan dengan Umar bin Abdul Aziz t, seorang tabi’in. Bahkan, pemerintahan Mu’awiyah jauh lebih adil dan lebih sentosa dibandingkan dengan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz t.
5. Syiah Rafidhah sangat gencar melancarkan makarnya untuk menjatuhkan nama baik Mu’awiyah z dan seluruh sahabat Rasulullah n.
Mu’awiyah divonis kafir oleh para penganut agama Syiah Rafidhah. Mu’awiyah dituduh sebagai pemberontak, tokoh yang selalu mencaci-maki Ali, bahkan dianggap sebagai dalang pembunuhan sahabat Ali, peminum khamr, ahli maksiat, dan sekian tuduhan buruk tertuju pada beliau.
Semua tuduhan itu dihiasi dengan pemutarbalikan fakta, berita-berita palsu, dan penafsiran ngawur tentang beberapa peristiwa tarikh. Bahkan, dihiasi pula dengan dalil-dalil dari hadits yang sebagiannya akan kita bahas dalam rubrik hadits edisi ini. Semua itu mereka lakukan untuk merobek kehormatan Mu’awiyah dan seluruh sahabat Rasulullah n.
6. Adanya beberapa tokoh pergerakan Islam yang sangat tersohor, melontarkan pernyataan-pernyataan miring tentang sahabat, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dengan sebab kebodohan.
Sebut saja sebagai misal adalah Sayyid Quthub. Dalam tulisannya, al-‘Adalah al-Ijtima’iyah hlm. 206, ia mencela sahabat Utsman bin Affan z dengan perkataannya, “Kami condong kepada penetapan bahwa kekhilafahan Ali adalah perpanjangan dari kekhilafahan syaikhain (yakni Abu Bakr dan Umar) sebelumnya. Adapun kekhilafahan Utsman bin Affan hanyalah celah (kekosongan) antara keduanya.”
Lihatlah, wahai kaum muslimin, kekhilafahan Utsman bin Affan z sejak tahun 23—35 H tidak dianggap oleh seorang Sayyid Quthub. Padahal pemerintahan beliau adalah mata rantai yang tidak bisa dilepas dari sejarah perjuangan Islam.
Ia juga berbicara tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, menyematkan sifat dusta, khianat, dan kemunafikan pada pribadi beliau. Dalam tulisannya, al-Kutub wa Syakhshiyat (hlm. 242), ia mengatakan, “… dan ketika Mu’awiyah dan temannya (yakni Amr bin al-‘Ash) telah condong kepada kedustaan, penipuan, pengkhianatan, kemunafikan, suap, dan menjual tanggung jawab (amanat-amanat),….”
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t mengomentari ucapan Sayyid Quthub di atas, “Ini adalah ucapan kotor. Ini adalah ucapan yang kotor, mencela Mu’awiyah dan mencela Amr bin al-Ash.” (Dari kaset Aqwal al-Ulama fi Muallafati Sayyid Quthub, Tasjilat Minhajus Sunnah, Riyadh)

Lebih menyedihkan lagi ketika Sayyid Quthub berbicara tentang Abu Sufyan bin Harb z. Ia berkata meragukan keislaman Abu Sufyan, “Keislamannya adalah Islam di bibir dan lisan, bukan keimanan dalam hati. Keislaman belumlah masuk ke dalam kalbu laki-laki itu….” Ucapannya ini terlontar di Majalah al-Muslimun edisi ketiga tahun 1371 H.
Lihatlah, betapa berbahaya ucapan Sayyid Quthub ini. Anehnya, tokoh seperti Sayyid Quthub ini justru sangat dielu-elukan oleh sebagian firqah (kelompok sempalan), seperti Ikhwanul Muslimin.
Sungguh aneh, ketika Sayyid Quthub dikritik, mereka marah. Namun, ketika sahabat Utsman bin Affan z, Dzun Nurain (pemilik dua cahaya), penyandang janji surga, dicela oleh Sayyid Quthub, demikian pula Mu’awiyah bin Abi Sufyan c dan ayahnya, mereka duduk manis tidak bergeming. Demikian parahkah kerusakan al-wala’ wal bara’ yang ada dalam timbangan Ikhwanul Muslimin?
Allahul musta’an.

Catatan Kaki:

1 Ibnu Salul mencemarkan nama baik keluarga Rasulullah n dengan menebar berita dusta (haditsul ifk) bahwa Ummul Mukminin Aisyah x melakukan perbuatan keji dengan sahabat Shafwan ibnu Mu’aththal z. Berita dusta itu ditebarkan seusai Perang Bani Musthaliq, bulan Sya’ban 5 H. Kedustaannya tersingkap dengan turunnya surat an-Nur yang membebaskan Aisyah x dari tuduhan tersebut.

2 Keberadaan Ibnu Saba’ dan makarnya dapat dilihat kembali pada Asy-Syariah No. 57/V/1431 H/2010, “Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah”, Rubrik Kajian Utama berjudul Kontroversi Ibnu Saba’ al-Yahudi.
3 Ats-Tsauri dan Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Muhammad bin Sa’id adalah kadzdzab (pendusta).”
Dalam sebagian riwayat, al-Imam Ahmad berkata, “Ia dibunuh oleh Abu Ja’far (yang berjuluk al-Manshur, seorang khalifah Abbasiyah) karena kezindikannya. Hadits-haditsnya adalah hadits maudhu’.”

4 Alhamdulillah, pembahasan tentang sahabat telah banyak diangkat di Majalah Asy-Syariah. Pembaca dapat merujuk pada edisi-edisi yang telah lalu.