(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah)
Telah kita sebutkan empat sisi yang menunjukkan betapa kita membutuhkan Allah l dan mengapa keyakinan ini harus tertanam dalam benak setiap keluarga muslim. Sebagai kelanjutannya, berikut ini kami sampaikan sisi-sisi yang lainnya.
5. Seorang suami, ayah, istri, ibu, dan anak-anak, serta kita semua butuh kepada Allah l untuk beroleh rezeki karena tidak ada yang memberikan rezeki melainkan Dia.
Yang namanya makhluk, walau mencapai puncak kekuatan dan kedudukan, tidaklah dapat menanggung rezekinya sendiri, apalagi rezeki yang lainnya. Allah l berfirman:
“Dan tidak ada satu hewan melata pun di bumi, melainkan Allah-lah yang memberinya rezeki.” (Hud: 6)
“Dan berapa banyak hewan yang tidak dapat membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepada kalian; dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (al-Ankabut: 60)
Katakanlah, “Siapakah yang memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, serta siapakah yang mengatur segala urusan?” Mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Mengapa kalian tidak bertakwa kepada-Nya?!” (Yunus: 31)
Seorang suami atau ayah yang bekerja mencari nafkah untuk keluarganya tidak mungkin mendapat apa yang dicarinya jika Allah l tidak menggiring rezeki yang dicari kepadanya.
Jika ia seorang pedagang, siapakah yang mendatangkan orang-orang yang membeli barang dagangannya, kalau bukan Allah l?
Jika ia seorang pekerja atau pegawai yang mendapat gaji/upah dari perusahaan/instansinya, siapakah yang memudahkannya menunaikan tugasnya sehingga ia mendapat gaji tersebut, kalau bukan Allah l?
Hakikatnya, bukanlah instansi/perusahaan yang memberinya uang, tetapi Allahllah yang memberinya sebagai rezeki untuknya. Adapun makhluk hanyalah sebab.
Jika ia seorang pejabat dengan gaji yang tak sedikit setiap bulannya, siapakah yang memberinya jabatan tersebut, kalau bukan Allah l?
Segala puji untuk ar-Razzaq atas segala nikmat-Nya.
Ketika sebuah keluarga diberi limpahan materi, tentu tak patut mereka merasa sombong dengan itu. Apa yang mereka dapatkan bukanlah karena jerih payah mereka, bukan karena kehebatan mereka, bukan pula karena kepandaian atau kepantasan mereka. Namun, itu semua semata-mata fadhl atau keutamaan dari Allah l. Dialah pemilik semua itu secara hakiki. Kapan Dia mau, dengan mudah akan diambil-Nya kembali.
Adapun keluarga yang diuji dengan kesempitan rezeki, mereka tidak boleh berkecil hati. Sesungguhnya, di atas mereka dan di atas seluruh makhluk, ada Dzat yang amat penyayang yang menanggung rezeki hamba-hamba-Nya. Yang harus mereka lakukan adalah menempuh usaha dan tidak lupa berdoa, memohon kepada-Nya rezeki disertai tawakal.
Betapa tenteramnya kehidupan seorang insan yang menyadari hal ini. Betapa tenangnya perasaan seorang ayah yang bekerja mencari nafkah untuk menghidupi anak istrinya ketika ia sadar bahwa ada Allah l yang menanggung rezeki dirinya, istri, dan anak-anaknya. Betapa bersyukurnya seorang istri jika ia mengetahui nilai keutamaan Allah l yang terlimpah kepada keluarganya.
Dalam banyak ayat, Allah l menggabungkan kebutuhan kita kepada-Nya dalam penciptaan dengan kebutuhan beroleh rezeki, karena kita tidak bisa tegak dan mustahil tetap bertahan di muka bumi setelah Allah l menciptakan kita melainkan dengan sebab rezeki yang diberikan-Nya kepada kita. Allah l berfirman:
“Allah-lah yang menciptakan kalian, kemudian memberikan rezeki, dan mematikan kalian, kemudian menghidupkan kalian kembali.” (ar-Rum: 40)
Allah l memerintah kita agar terus mengingat nikmat yang agung ini dan tidak melupakannya, sebagaimana firman-Nya:
“Wahai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepada kalian. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberi rezeki kepada kalian dari langit dan bumi? Tidak ada sesembahan yang patut disembah selain Dia, maka mengapakah kalian berpaling (dari mentauhidkan-Nya)?” (Fathir: 3)
Apabila Dia menahan rezeki kita, siapa lagi yang mampu memberikannya? Allah l berfirman:
“Atau siapakah orang yang dapat memberi rezeki kepada kalian jika Allah menahan rezeki-Nya?” (al-Mulk: 21)
Rezeki hanyalah diminta kepada Dzat yang memilikinya dan mampu memberinya. Hanya di tangan Allah l perbendaharaan langit-langit dan bumi. Oleh karena itu, Dia berfirman kepada orang-orang yang menyembah selain-Nya:
“Sesungguhnya, apa yang kalian sembah selain Allah itu adalah berhala dan kalian membuat-buat kedustaan. Sesungguhnya, yang kalian sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezeki kepada kalian. Maka dari itu, carilah rezeki itu di sisi Allah (mintalah kepada-Nya saja), ibadahilah Dia, dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kalian akan dikembalikan.” (al-Ankabut: 17)
6. Kita membutuhkan Allah l dalam hal penyediaan makanan, minuman, dan pakaian kita. Demikian pula dalam hal kesehatan dan penyembuhan penyakit yang kita derita, serta dalam seluruh urusan kita.
Allah l berfirman dalam hadits qudsi:
يَا عِبَادِي، كُلُّكُمْ ضَالٌ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِي أَهْدِكُمْ. يَا عِبَادِي، كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاسْتَطْعِمُوْنِي أُطْعِمْكُمْ. يَا عِبَادِي، كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ، فَاسْتَكْسُوْنِي أَكْسُكُمْ
“Wahai hamba-hamba-Ku, semua kalian itu sesat kecuali orang yang Aku beri petunjuk, maka mintalah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku akan beri petunjuk kepada kalian. Wahai hamba-hamba-Ku, semua kalian itu lapar kecuali orang yang Aku beri makan, maka mintalah makan kepada-Ku niscaya Aku akan beri makan kepada kalian. Wahai hamba-hamba-Ku, semua kalian itu telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian maka mintalah pakaian kepada-Ku, niscaya Aku akan beri pakaian kepada kalian.” (HR. Muslim)
Kebutuhan kita kepada Allah l selalu menyertai kita. Setiap gerak dan diam kita semua dengan takdir dan pengaturan Allah l. Orang yang sadar akan mengakuinya sehingga akan tunduk beribadah kepada Maulanya Yang Mahamulia. Dengan begitu, termasuklah dia ke dalam golongan orang-orang yang beruntung lagi selamat. Adapun yang mencoba mengingkarinya dengan cara sombong (enggan) dari beribadah kepada-Nya, ia termasuk orang-orang yang binasa lagi diazab.
Oleh karena itu, kita harus mengetahui hak Allah l, mengakui keutamaan-Nya, serta berlepas dari segala kemampuan dan kekuatan selain pertolongan Allah l, Laa haula wa laa quwwata illa billah. Kalimat ini adalah perbendaharaan surga karena di dalamnya ada pengakuan hamba tentang butuhnya dia selalu kepada Allah l.
Abu Musa z menyampaikan bahwa Nabi n bersabda kepadanya:
يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ قَيْسٍ، أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى كَلِمَةٍ هِيَ كَنْزٌ مِنْ كُنُوْزِ الْجَنَّةِ؟ لاَ حَوْلَا وَ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Wahai Abdullah bin Qais (nama Abu Musa, red.), maukah aku tunjukkan kepadamu satu kata yang merupakan salah satu perbendaharaan surga? Yaitu kalimat ‘laa haula walaa quwwata illa billah’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Allah l berfirman:
“Dan hanya milik-Nya-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan hanya untuk-Nya ketaatan itu selama-lamanya. Maka mengapa kalian bertakwa kepada selain Allah? Dan apa saja nikmat yang ada pada kalian, maka datangnya dari Allah. Bila kalian ditimpa kemudaratan maka hanya kepada-Nya-lah kalian memohon pertolongan. Kemudian ketika Dia telah menghilangkan kemudaratan itu dari kalian, tiba-tiba sebagian kalian mempersekutukan Rabbnya dengan yang lain. Biarlah mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka, maka silakan kalian bersenang-senang, namun kelak kalian akan mengetahui akibatnya.” (an-Nahl: 52—55)
Para Rasul Membutuhkan Allah l
Teladan umat manusia adalah para rasul Allah l dan termasuk sifat mereka adalah menampakkan rasa butuh kepada Allah l, mengakui kelemahan dan kefakiran diri di hadapan-Nya, merasa lemah dan berhajat kepada-Nya, serta berlepas diri dari segala kemampuan dan kekuatan selain dengan pertolongan-Nya. Kita bisa mendapatkan contoh berikut ini.
1. Khalilullah Ibrahim q berlepas diri dari berhala-berhala kaumnya dan mengumumkan butuhnya dirinya kepada Allah l dalam segala urusan duniawi dan ukhrawinya.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Kitabullah:
Ibrahim berkata, “Tidakkah kalian memerhatikan apa yang selalu kalian sembah, kalian dan nenek moyang kalian yang dahulu. Karena sesungguhnya apa yang kalian sembah itu adalah musuhku, kecuali Rabb semesta alam (yaitu) Dzat yang telah menciptakan aku maka Dialah yang menunjuki aku. Dan Rabbku yang telah memberikan makan dan minum kepadaku.Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku kembali. Dan yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat.” (asy-Syu’ara: 75—82)
Beliau q mengakui keutamaan Allah l yang diberikan kepadanya. Beliau umumkan kefakiran dan hajat beliau kepada-Nya. Tidak lupa pula beliau menyebut-nyebut nikmat Allah l yang terlimpah kepadanya.
2. Nabi dan rasul kita Muhammad n adalah orang yang paling menunjukkan rasa butuhnya kepada Allah l, sangat mengakui keutamaan-Nya, selalu menyebut-nyebut nikmat-Nya, bergantung kepada-Nya dan mengiba-iba ketika memohon kepada-Nya.
Rasulullah n mendidik anak keturunannya dan umat beliau untuk berakhlak demikian.
Anas z meriwayatkan bahwa Nabi n berkata kepada Fathimah x, putri beliau:
مَا يَمْنَعُكِ أَنْ تَسْمَعِي مَا أُوْصِيْكِ بِهِ، أَنْ تَقُوْلِي إِذَا أَصْبَحْتِ وَإِذَا أَمْسَيْتِ: يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، يِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ
“Apa yang menghalangimu untuk mendengar apa yang aku wasiatkan kepadamu? Hendaknya saat berada di pagi dan sore hari engkau mengucapkan, ‘Wahai Dzat Yang Mahahidup lagi Maha Berdiri dengan sendiri-Nya, dengan rahmat-Mu aku mohon pertolongan. Perbaikilah urusanku seluruhnya dan jangan Engkau serahkan aku kepada diriku walau hanya sekejap mata’.” (HR. al-Hakim dan ia menyatakan sahih, disepakati oleh adz-Dzahabi, 1/545. Lihat Shahih at-Targhib wat Tarhib, 1/273)
Kita membutuhkan Allah l dalam hal memperbaiki hati-hati kita, menyucikan amal-amal kita, untuk istiqamah di atas agama kita. Semua itu di tangan Allah l karena hati-hati kita berada di antara dua jari-jemari-Nya yang Dia bolak-balikkan sekehendak-Nya.
Kita membutuhkan-Nya dalam hal menjaga jiwa kita, anak-anak, dan harta kita dari sakit, kecelakaan, dan bencana.
Kita membutuhkan-Nya agar rasa aman terus menyertai kita. Kita juga membutuhkan-Nya dalam hal menjaga negeri kita dan negeri kaum muslimin lainnya dari makar orang-orang kafir dan munafik.
Kita membutuhkan-Nya agar kenikmatan yang dilimpahkan-Nya kepada kita terus langgeng karena Dia lah yang mampu mengekalkan nikmat tersebut atau menghilangkannya.
Betapa butuhnya kita kepada Allah l untuk memperbaiki penghuni rumah kita. Kita sangat membutuhkan Allah l agar suami, istri-istri, dan anak-anak tetap istiqamah di atas urusan yang bermanfaat bagi mereka di dunia dan di akhirat.
Betapa butuhnya kita kepada pemaafan dan rahmat-Nya, agar kita terbebas dari api neraka dan mendapat keridhaan-Nya.
Adalah keharusan bagi kita agar tidak tertipu dengan kedudukan, harta, anak, kesehatan, dan kenikmatan hidup yang kita peroleh karena semua itu adalah bukti yang paling nyata tentang kefakiran kita. Kita tenggelam dalam nikmat yang diberikan-Nya dalam keadaan kita tidak mampu berpisah dengan nikmat tersebut. Sementara itu, tidak ada yang mampu mengekalkan nikmat itu untuk kita selain Allah l. Oleh karena itu, pantas sekali kita merasa butuh kepada-Nya agar Dia mencukupi kita. Jangan kita gantungkan kebutuhan kita kepada selain-Nya lalu kita merasa cukup. Jika seperti itu, tentu kita akan binasa. Wallahu ta’ala a’lam.