Tanda-tanda kiamat semakin banyak. Ia semakin mendekat. Sementara itu, kebanyakan manusia lalai dari hari yang pasti mereka temui. Kisah ini terjadi pada zaman dahulu di kalangan Bani Israil. Diceritakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada umatnya agar menjadi ibrah bagi mereka yang berakal.
Segala sesuatu yang kita lakukan tidak lepas dari ikatan tauhid. Karena hidup kita di dunia hanya punya satu tujuan luhur, yaitu mengabdi (beribadah) hanya kepada Allah (tauhidullah). Inilah yang Allah firmankan,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)
Oleh karena itu, apa pun aktivitas kita, hendaklah bernilai ibadah di sisi Allah, meski sekadar interaksi dengan sesama.
Allah juga berfirman,
قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ١٦٢ لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚوَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ ١٦٣
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya’.” (al-An’am: 162—163)
Seandainya benar yang mereka katakan, tentulah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak berjuang dengan sekuat tenaga, menjaga dan menutup semua pintu yang dapat merusak tauhid pada umatnya. Perhatikanlah, hingga saat-saat beliau di atas ranjang kematian, tak henti-hentinya beliau mengingatkan perkara tauhid ini.
Aisyah radhiyallahu anha menceritakan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam sakit yang membawa ajalnya,
لَعَنَ اللهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ. -لَوْلَا ذَلِكَ أُبْرِزَ قَبْرُهُ غَيْرَ أَنَّهُ خَشِيَ أَنْ يُتَّخَذَ مَسْجِدًا
“Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka telah menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid.” (Aisyah mengatakan,) “Kalau tidak demikian, tentulah ditampakkan kuburan beliau, hanya saja dikhawatirkan kuburan itu dijadikan masjid.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Menjadikan kuburan sebagai masjid, yakni sebagai tempat ibadah; shalat dan berdoa di kuburan tersebut, dalam keadaan menyangka bahwa ibadah di kuburan lebih utama daripada di tempat lain. Perbuatan seperti inilah yang dahulu menjerumuskan kaum Nabi Nuh alaihis salam kepada penyembahan berhala. Wallahul Musta’an.
Baca juga:
Di antara faedah dan keutamaan tauhid yang ingin kami ungkapkan di sini ialah bahwasanya tauhid itu memudahkan pemiliknya untuk melakukan berbagai kebaikan, meninggalkan kemungkaran, dan menghiburnya ketika dia mengalami musibah.
Seseorang yang ikhlas dalam beriman dan bertauhid karena Allah, tentu mudah baginya melakukan setiap bentuk ketaatan, karena dia mengharap keridhaan Allah dan pahala-Nya. Ringan pula baginya meninggalkan segala macam kemaksiatan, karena rasa takutnya kepada Allah dan siksa-Nya.[1]
Ketika tauhid itu berakar kuat lagi sempurna dalam sanubari seorang hamba, Allah menjadikan dia cinta kepada iman dan semua konsekuensinya. Allah menjadikan keimanan tersebut indah dalam pandangannya. Allah menumbuhkan kebencian pada dirinya terhadap kekafiran dengan segala bentuknya, demikian pula berbagai kemaksiatan. Allah akan menjadikannya sebagai bagian dari orang-orang yang lurus (mendapat petunjuk).
Dengan kokohnya tauhid dalam diri seseorang, semakin besar pula sikap ta’zhim (pengagungan) nya kepada Allah. Dia akan segera menjalankan perintah Allah, segera pula menjauhi larangan-Nya.
Jadi, jangan ditanya tentang hak yang harus ditunaikannya atau kewajiban lain yang mesti dijalankannya. Semua itu tentu akan segera dan sempurna dia laksanakan.
Seorang hamba yang jujur kepada Allah tentu hanya mencari ridha Rabbnya semata, di mana pun dia berada. Dia tidak akan mengharapkan pujian, ketenaran, dan harta dunia lainnya. Dia hanya mengharap ridha Allah. Kejujuran iman dan tauhid seorang manusia akan mendorongnya untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak. Hal ini sebagai bentuk ketaatan dan ta’zhim nya kepada Allah.
Baca juga:
Allah berfirman,
اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (an-Nisa: 58)
Ayat ini umum, berlaku untuk para pemegang tampuk kekuasaan atau wewenang, dan orang biasa, dalam semua hal.[2]
Ketika hati dipenuhi rasa ta’zhim (pengagungan) kepada Allah, pemiliknya tentu bersegera menunaikan hak yang ditanggungnya dan berusaha sungguh-sungguh memenuhinya.
Salah satu gambaran yang dapat dijadikan pelajaran adalah apa yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang dua orang Bani Israil pada zaman dahulu. Kisah ini diriwayatkan oleh al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya dari hadits Abu Hurairah radhiyalahu anhu, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
أَنَّهُ ذَكَرَ رَجُلاً مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ سَأَلَ بَعْضَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يُسْلِفَهُ أَلْفَ دِينَارٍ، فَقَالَ :ائْتِنِي بِالشُّهَدَاءِ أُشْهِدُهُمْ. فَقَالَ: كَفَى بِاللهِ شَهِيدًا. قَالَ: فَأْتِنِي بِالْكَفِيلِ. قَالَ: كَفَى بِاللهِ كَفِيلاً. قَالَ: صَدَقْتَ. فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَخَرَجَ فِي الْبَحْرِ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ الْتَمَسَ مَرْكَبًا يَرْكَبُهَا يَقْدَمُ عَلَيْهِ لِلْأَجَلِ الَّذِي أَجَّلَهُ فَلَمْ يَجِدْ مَرْكَبًا، فَأَخَذَ خَشَبَةً فَنَقَرَهَا فَأَدْخَلَ فِيهَا أَلْفَ دِينَارٍ وَصَحِيفَةً مِنْهُ إِلَى صَاحِبِهِ ثُمَّ زَجَّجَ مَوْضِعَهَا ثُمَّ أَتَى بِهَا إِلَى الْبَحْرِ،
فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّي كُنْتُ تَسَلَّفْتُ فُلَانًا أَلْفَ دِينَارٍ فَسَأَلَنِي كَفِيلاً فَقُلْتُ كَفَى بِاللهِ كَفِيلاً، فَرَضِيَ بِكَ وَسَأَلَنِي شَهِيدًا فَقُلْتُ كَفَى بِاللهِ شَهِيدًا فَرَضِيَ بِكَ، وَأَنِّي جَهَدْتُ أَنْ أَجِدَ مَرْكَبًا أَبْعَثُ إِلَيْهِ الَّذِي لَهُ فَلَمْ أَقْدِرْ وَإِنِّي أَسْتَوْدِعُكَهَا.
فَرَمَى بِهَا فِي الْبَحْرِ حَتَّى وَلَجَتْ فِيهِ ثُمَّ انْصَرَفَ وَهُوَ فِي ذَلِكَ يَلْتَمِسُ مَرْكَبًا يَخْرُجُ إِلَى بَلَدِهِ.
فَخَرَجَ الرَّجُلُ الَّذِي كَانَ أَسْلَفَهُ يَنْظُرُ لَعَلَّ مَرْكَبًا قَدْ جَاءَ بِمَالِهِ فَإِذَا بِالْخَشَبَةِ الَّتِي فِيهَا الْمَالُ فَأَخَذَهَا لِأَهْلِهِ حَطَبًا، فَلَمَّا نَشَرَهَا وَجَدَ الْمَالَ وَالصَّحِيفَةَ ثُمَّ قَدِمَ الَّذِي كَانَ أَسْلَفَهُ،
فَأَتَى بِاْلأَلْفِ دِينَارٍ فَقَالَ: وَاللهِ، مَا زِلْتُ جَاهِدًا فِي طَلَبِ مَرْكَبٍ لِآتِيَكَ بِمَالِكَ فَمَا وَجَدْتُ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِي أَتَيْتُ فِيهِ. قَالَ: هَلْ كُنْتَ بَعَثْتَ إِلَيَّ بِشَيْءٍ؟ قَالَ: أُخْبِرُكَ أَنِّي لَمْ أَجِدْ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِي جِئْتُ فِيهِ. قَالَ: فَإِنَّ اللهَ قَدْ أَدَّى عَنْكَ الَّذِي بَعَثْتَ فِي الْخَشَبَةِ فَانْصَرِفْ بِاْلأَلْفِ الدِّينَارِ رَاشِدًا
Beliau shallallahu alaihi wa sallam menyebut-nyebut seorang laki-laki Bani Israil yang meminta kepada seseorang dari Bani Israil lainnya agar meminjaminya seribu dinar.
Berkatalah si pemilik uang, “Datangkan saksi untukku agar aku persaksikan kepada mereka.”
Laki-laki yang meminjam itu berkata, “Cukuplah Allah sebagai saksi.”
Si pemilik uang berkata lagi, “Berikan untukku yang menjamin.”
Orang yang meminjam berkata, “Cukuplah Allah sebagai Penjamin.”
Si pemilik uang pun berkata, “Engkau benar.” Lalu dia menyerahkan uang itu sampai waktu yang telah ditentukan.
Baca juga:
Kemudian, si peminjam berlayar dan menyelesaikan urusannya. Setelah itu, dia mencari angkutan yang akan membawanya kepada temannya karena waktu yang telah ditentukan. Namun, dia tidak mendapatkannya. Akhirnya dia mengambil sebatang kayu lalu melubanginya dan memasukkan seribu dinar itu ke dalamnya disertai sehelai surat kepada sahabatnya. Kemudian dia perbaiki pecahan lubang, lalu dibawanya kayu itu ke laut.
Dia berdoa, “Ya Allah. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku pernah meminjam dari si Fulan seribu dinar lalu dia minta jaminan, maka aku katakan, ‘Cukuplah Allah sebagai Penjamin,’ dan dia pun ridha Engkau sebagai Penjamin. Dia pun meminta kepadaku saksi, lalu aku katakan, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’, dan dia pun meridhainya. Sesungguhnya aku sudah berusaha sungguh-sungguh mencari kendaraan untuk menyerahkan hak ini kepadanya, tetapi aku tidak kuasa. Saya titipkan uang ini kepada Engkau.”
Si laki-laki itu melemparkan kayu tersebut hingga masuk ke laut. Kemudian dia pulang dalam keadaan tetap mencari kendaraan untuk menuju negeri sahabatnya.
Sementara itu, orang yang meminjamkan uang itu keluar menunggu-nunggu, barangkali ada kendaraan yang membawa hartanya. Ternyata dia hanya menemukan sepotong kayu yang di dalamnya ada harta. Dia pun mengambil kayu itu sebagai kayu bakar keluarganya. Setelah dia menggergaji kayu itu, dia dapatkan harta dan sehelai surat.
Kemudian, datanglah orang yang dahulu dipinjaminya uang. Orang itu datang membawa seribu dinar. Dia berkata, “Demi Allah, saya selalu berusaha mencari kendaraan untuk menemui engkau dengan membawa hartamu ini. Akan tetapi, saya tidak mendapatkan satu kendaraan pun sebelum saya datang ini.”
Si pemilik uang berkata, “Apakah engkau pernah mengirimi saya sesuatu?”
Kata si peminjam itu, “Saya terangkan kepadamu bahwa saya tidak menemukan kendaraan sebelum saya datang ini.”
Perhatikanlah kata-kata si peminjam. Dengan penuh keyakinan dia mengatakan, “Cukuplah Allah sebagai saksi.” Seolah-olah dia hendak mengingatkan saudaranya, bukankah tidak ada satu pun yang tersembunyi bagi Allah? Dia Mahatahu segala sesuatu yang tampak maupun yang tersembunyi. Dia Maha Menyaksikan segala sesuatu. Dia Maha Menyaksikan keadaan dan perbuatan kita.
Kemudian, simaklah apa yang dikatakan si pemilik uang? Sangsikah dia?
Tidak. Dengan tegas pula dia menerima. Seolah-olah dia hendak menyatakan, dia menerima Allah sebagai saksi, tetapi, “Berikan untukku yang menjamin,” yang akan menjamin harta ini, kalau engkau tidak datang melunasinya.
Baca juga:
Laki-laki yang hatinya dipenuhi ta’zhim kepada Allah itu dengan keyakinan penuh kembali mengatakan, “Cukuplah Allah sebagai Penjamin.” Seakan-akan dia ingin mengingatkan kembali saudaranya, “Tidak cukupkah bagimu Allah Rabb semesta alam, Yang Menguasai langit dan bumi sebagai Penjamin bagiku?”
Pemilik harta yang hatinya juga berisi ta’zhim kepada Allah ini spontan menerima. Kemudian dia menyerahkan seribu dinar yang diinginkan oleh saudaranya sampai pada waktu yang telah disepakati.
Setelah itu, berangkatlah laki-laki yang meminjam ini berlayar, memenuhi kebutuhannya. Ketika tiba waktu yang dijanjikan, dia mencari kapal untuk menemui saudaranya, demi memenuhi janjinya. Sekian lama mencari, dia tak kunjung mendapatkan kapal yang membawanya ke negeri saudaranya.
Waktu semakin dekat, angkutan kapal belum juga dia dapatkan. Putus asakah dia, lalu meminta uzur? Ternyata tidak, dia tetap berusaha.
Kesungguhannya untuk menunaikan amanah, dilihat oleh Allah. Allah mengirimkan kepadanya sepotong kayu yang hanyut dibawa gelombang. Melihat kayu itu, dia segera mengambilnya dan melubanginya. Kemudian seribu dinar milik saudaranya, dia masukkan ke dalam kayu itu disertai sepucuk surat, lalu dia perbaiki.
Kemudian, dia bersimpuh, berbisik di hadapan Rabbnya Yang Mahatahu lagi Maha Mendengar, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku pernah meminjam dari si Fulan seribu dinar, lalu dia minta penjamin, maka aku katakan, ‘Cukuplah Allah sebagai Penjamin.’ Dia pun ridha Engkau sebagai Penjamin. Dia juga minta kepadaku saksi, lalu aku katakan, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Dia pun meridhainya. Sesungguhnya saya sudah berusaha sungguh-sungguh mencari kapal untuk menyerahkan hak ini kepadanya, tetapi saya tidak kuasa. Saya titipkan uang ini kepada Engkau.”
Setelah selesai, kayu itu dilemparkannya kembali ke laut. Kayu pun hanyut bersama gelombang.
Perhatikanlah doa dan apa yang dilakukannya. Betapa tebal keyakinan dan kepercayaannya kepada Allah. Ini adalah salah satu buah dari tauhid yang sempurna.
Baca juga:
Kemudian, apakah dia berpangku tangan, merasa sudah cukup dengan tindakan itu? Belum. Dia tetap berusaha mencari kapal. Ingin berangkat sendiri menemui saudaranya guna melunasi pinjamannya.
Mengapa dia lakukan demikian? Tidak lain, karena dia khawatir menodai kemuliaan Allah yang telah dia jadikan sebagai saksi dan penjamin.
Sementara itu, sahabatnya yang dipinjami, menunggu kedatangannya. Di tepi pantai dia melihat ke laut lepas, mudah-mudahan ada kapal yang datang ke daerahnya. Harap-harap cemas muncul. Ternyata tak ada satu pun kapal yang berlabuh. Akan tetapi dia tidak berburuk sangka kepada saudaranya. Mereka telah sepakat Allah menjadi saksi dan penjamin.
Ketika dia mendekat ke pantai, dia melihat sepotong kayu hanyut ke tepi tempat dia berdiri. Dia memungut kayu itu dan membawanya pulang untuk kayu bakar bagi keluarganya.
Begitu tiba di rumah, dia memotong kayu itu. Ternyata di dalamnya dia melihat uang seribu dinar dan sepucuk surat. Kiranya uang itulah yang ditunggunya. Surat itu adalah pengganti saudaranya yang tak kunjung hadir.
Tak lama, datanglah saudaranya yang meminjam uang seribu dinar, dalam keadaan membawa seribu dinar lainnya sebagai ganti. Dia khawatir kalau-kalau uang itu belum sampai di tangan saudaranya.
Baca juga:
Ketika dia bermaksud menyerahkan seribu dinar itu, saudaranya yang meminjamkan harta itu bertanya, “Apakah engkau pernah mengirimi saya sesuatu?”
Laki-laki yang meminjam itu berkata, “Saya terangkan kepadamu, saya tidak menemukan kendaraan sebelum saya datang ini.”
Kata si pemilik harta, “Sesungguhnya Allah telah menunaikan utangmu, (dengan) harta yang engkau kirimkan dalam sebatang kayu. Silakan bawa kembali seribu dinar itu dengan selamat.”
Sebuah kisah yang menakjubkan. Betapa tidak. Saat kebanyakan manusia lupa dengan amanah yang dipikulnya, menelantarkan hak yang wajib ditunaikannya, kisah ini menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi orang-orang yang mau memperbaiki dirinya.
Alangkah langkanya amanah ini pada zaman kita.
Seandainya dikatakan kepada diri kita atau orang lain untuk melakukan seperti ini, sebagai upaya menunjukkan kesungguhan dalam menunaikan amanah, mungkin kita akan sama membantah, “Apa kamu kira saya gila, meletakkan uang dalam lubang kayu, lalu dihanyutkan ke laut? Apalagi seribu dinar?”[3]
Mengapa? Karena lemahnya keyakinan dalam hati kita, begitu pula iman dalam jiwa kita. Penyandaran kepada materi dan hal-hal yang bersifat riil (nyata, tertangkap pancaindra) lebih dominan dalam diri kita daripada kepada hal-hal yang bersifat gaib. Padahal sebetulnya, keimanan terhadap yang gaib adalah batasan yang tegas dan pembeda antara keimanan seorang muslim dan keimanan seorang yang kafir.
Kedua lelaki ini sama-sama mengetahui tauhidullah. Hal ini mendorong keduanya naik ke derajat paling tinggi dalam ilmu tauhid, yaitu ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) melalui nama dan sifat-Nya. Si peminjam berkata, “Cukuplah Allah sebagai saksi… cukuplah Allah sebagai penjamin.”
Artinya, dia seorang yang ikhlas kepada Allah, mengikuti ajaran nabi-Nya dalam menaati Allah. Begitu pula dengan si pemilik harta, dia ridha dengan ganjaran dan pahala dari Allah, merasa puas dengan kesaksian Allah dan jaminan-Nya.
Hal ini sulit ditemukan pada kebanyakan manusia pada hari ini karena lemahnya iman dan jahilnya mereka tentang nama dan sifat Allah.
Sebab, laki-laki saleh tersebut beramal dengan ucapan para nabi, “Jagalah Allah, niscaya Dia pasti menjagamu.”
Mudah-mudahan kisah singkat ini menjadi cermin dan teladan bagi orang-orang yang ingin hidupnya berbahagia.
Wallahul Muwaffiq.
[1] al-Qaulus Sadid, Syaikh as-Sa’di rahimahullah, hlm. 17.
[2] Secara ringkas, dari Tafsir al-Qurthubi.
[3] Hitungan kurs sekarang mungkin ratusan juta rupiah. Wallahu a’lam.