Asysyariah
Asysyariah

khaulah bintu tsa’labah

5 tahun yang lalu
baca 6 menit
Khaulah bintu Tsa’labah

Betapa kegalauan itu menguasai dirinya. Kepada Rasul-Nya dia tuturkan segalanya, mengharap jalan keluar atas kesempitan yang dihadapinya. Pengaduannya berujung kemuliaan, ketika Allah subhanahu wa ta’ala yang di atas Arsy mendengarnya.

Wanita itu bernama Khaulah bintu Tsa’labah bin Ashram bin Fihr bin Tsa’labah bin Ghanmin bin Auf radhiyallahu ‘anha. Dia disunting oleh anak pamannya, Aus bin ash-Shamit bin Ashram bin Fihr bin Tsa’labah bin Ghanmin bin Salim bin Auf bin al-Khazraj al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, saudara Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu.

Kisah Zhihar

Dalam perjalanan kehidupannya bersama Aus bin ash-Shamit, tercatat sebuah peristiwa berkenaan dengan dirinya yang terabadikan dalam Kitabullah. Dengan sebab peristiwa itu, Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat-ayat tentang zhihar[1].

Bermula ketika Aus bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu datang menemui Khaulah. Saat itu, Khaulah membalas perkataan Aus bin ash-Shamit dengan sesuatu ucapan. Aus bin ash-Shamit pun berang dan mengatakan pada istrinya, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku!”

Inilah zhihar yang terucap dari lisan Aus bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu pada istrinya. Khaulah pun resah. Dia mengerti, pada masa jahiliah, zhihar berarti haramnya seorang istri bagi suaminya.
Setelah itu, Aus pun keluar dan duduk sesaat bersama kaumnya.

Lalu dia pulang dan hendak mendatangi Khaulah. Melihat suaminya menginginkan dirinya, Khaulah pun berujar, “Jangan! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, jangan kau dekati diriku sementara engkau telah mengucapkan perkataanmu tadi, sampai Allah dan Rasul-Nya memutuskan perkara yang terjadi di antara kita.”

Aus bin Ash-Shamit tidak surut dengan perkataan Khaulah. Dia meloncat menerkam Khaulah. Khaulah pun menolaknya hingga dapat mengalahkannya sebagaimana seorang wanita mengalahkan seorang laki-laki yang telah lemah dan renta. Lalu Khaulah mendorongnya menjauh dari dirinya, kemudian segera keluar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Khaulah duduk sembari mengisahkan apa yang dialami dan didapatkannya dari suaminya. Mendengar penuturan Khaulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihii wa sallam pun mengatakan, “Wahai Khaulah, anak pamanmu itu seorang laki-laki yang telah lanjut. Maka dari itu, bertakwalah kepada Allah tentang permasalahan dirinya.”

Terus-menerus Khaulah mengadu. Pengaduan Khaulah didengar oleh Rabb-nya dari atas Arsy-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala pun memberikan jalan keluar dari kesempitan yang dihadapinya. Usai turun ayat dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala, Rasulullah shallahu’alaih wa sallam pun berkata, “Wahai Khaulah, Allah telah menurunkan wahyu tentang dirimu dan suamimu.”

Ayat Turun Menjawab Pengaduan Khaulah

Kisah Khaulah, pengaduannya kepada Rabb-Nya, semua tercantum dalam kalam Rabbul ‘alamin, dalam awal surah al-Mujadalah.

قَدۡ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِي تُجَٰدِلُكَ فِي زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِيٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَآۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعُۢ بَصِيرٌ ١ ٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡۖ إِنۡ أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدۡنَهُمۡۚ وَإِنَّهُمۡ لَيَقُولُونَ مُنكَرًا مِّنَ ٱلۡقَوۡلِ وَزُورًاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ ٢ وَٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُواْ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ ذَٰلِكُمۡ تُوعَظُونَ بِهِۦۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٌ ٣ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ مِن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينًاۚ ذَٰلِكَ لِتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٤

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepadamu tentang suaminya, dan mengadukan keadaannya kepada Allah, dan Allah mendengar percakapan kalian berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kalian, istri mereka itu bukanlah ibu mereka. Ibu-ibu mereka adalah wanita yang melahirkan mereka, dan sesungguhnya mereka mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian hendak menarik kembali apa yang diucapkannya, maka wajib atasnya memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kalian, dan Allah mengetahui apa yang kalian perbuat.

Barang siapa yang tidak mendapatkan budak, maka wajib atasnya berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Barangsiapa yang tidak mampu, wajib atasnya memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah, agar kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (al-Mujadalah: 1—4)

Rasulullah Memberikan Solusi

Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Khaulah, “Suruhlah dia memerdekakan seorang budak.”

Khaulah menjawab, “Demi Allah, wahai Rasulullah, dia tidak memiliki seorang budak pun yang bisa dia merdekakan.”

“Kalau begitu, hendaklah dia berpuasa selama dua bulan berturut-turut,” kata beliau.

Khaulah menjawab, “Demi Allah, dia seorang yang telah renta, tidak memiliki kemampuan untuk itu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Hendaklah dia beri makan enam puluh orang miskin dengan satu wasaq kurma.”

“Wahai Rasulullah, dia tidak punya,” jawab Khaulah.

“Kami akan membantunya dengan setandan kurma,” kata beliau.

Khaulah pun menyambut, “Wahai Rasulullah, aku akan membantunya dengan setandan lagi.”

“Engkau benar dan telah berbuat kebaikan. Pergilah dan sedekahkanlah semua ini, kemudian berbuat baiklah terhadap anak pamanmu itu.” Khaulah pun segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Inilah kisah seorang wanita yang dimuliakan oleh Rabb-nya. Dari atas tujuh langit Allah subhanahu wa ta’ala mendengar pengaduannya, hingga Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Mahasuci Dzat yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu. Sungguh, aku mendengar ucapan Khaulah bintu Tsa’labah, sementara sebagian perkataannya tersamar bagiku, ketika dia mengadukan suaminya kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dengan menuturkan, ‘Wahai Rasulullah, dia telah menikmati masa mudaku, dan telah lahir banyak anak dari perutku. Hingga saat telah tua usiaku dan aku tak lagi dapat melahirkan, dia men-zhihar-ku. Ya Allah, sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu.’ Terus-menerus Khaulah mengadu, hingga Jibril membawa turun ayat-ayat ini.”

Kemuliaan Itu Tetap Diakui

Kemuliaan dari sisi Allah subhanahu wa ta’ala tak kan dapat dimungkiri oleh siapa pun. Bahkan, di kemudian hari, kemuliaan itu senantiasa tetap menjadi milik Khaulah bintu Tsa’labah radhiyallahu ‘anha. Suatu hari, ketika Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang kala itu menjabat sebagai Amirul Mukminin keluar bersama rombongannya, lewatlah seorang wanita tua. Wanita itu menghentikan Umar. Umar pun berhenti, lalu keduanya berbincang-bincang.

Melihat hal itu, seseorang berkata keheranan, “Wahai Amirul Mukminin, engkau hentikan jalannya rombongan hanya karena wanita tua ini?!”

“Celaka engkau,” jawab Umar, “Tahukah kamu, siapa dia? Dia adalah wanita yang Allah dengar pengaduannya dari atas tujuh langit. Dialah Khaulah bintu Tsa’labah yang Allah turunkan ayat tentangnya.”

“Demi Allah,” kata Umar lagi, “Seandainya dia menghentikanku hingga malam, aku tidak akan beranjak meninggalkannya kecuali untuk shalat, setelah itu aku akan kembali lagi kepadanya.”

Khaulah bintu Tsa’labah, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya….


[1] Zhihar adalah perkataan seorang suami terhadap istrinya, “Engkau seperti punggung ibuku” atau mahram lainnya selain ibu, atau ucapan “Engkau haram bagiku.”

Sumber Bacaan:

  • Al-Ishabah, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (7/618—620)
  • Al-Isti’ab, karya al-Imam Ibnu Abdil Bar (4/1830—1832)
  • Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’ad (8/378—380)
  • Shahih Sunan Ibnu Majah

 

Ditulis oleh Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran