Asysyariah
Asysyariah

kewajiban nahi mungkar tergantung kemampuan

4 tahun yang lalu
baca 3 menit
Kewajiban Nahi Mungkar Tergantung Kemampuan

Konsep ini sesungguhnya berlaku untuk semua kewajiban dalam syariat. Seorang muslim diharapkan mengerahkan segenap kemampuan untuk melakukan nahi mungkar sampai dia tidak lagi mempunyai qudrah (kemampuan). Saat itulah dia tidak lagi terbebani oleh sebuah kewajiban.

Kemampuan dalam hal ini meliputi dua aspek:

  1. Kemampuan mengilmui kewajiban dan memahami nas/dalil tentang kewajiban.

Seseorang yang betul-betul tidak mengetahui kemungkaran atau tidak mampu memahami dalil-dalil tentang sebuah kemungkaran, dia tidak memiliki kewajiban melakukan nahi mungkar.

Manakala tidak melakukan tindakan nahi mungkar, dia tidak mendapatkan dosa.

  1. Kemampuan mengamalkan kewajiban.

Apabila dua hal di atas terpenuhi, seorang muslim wajib melakukan tindakan nahi mungkar. Namun, apabila salah satunya tidak terpenuhi, kewajiban nahi mungkar pun tidak ada.

Jadi, ada tiga keadaan manusia:

a. Orang yang mempunyai ilmu, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk bertindak. Dia tidak wajib melakukan nahi mungkar.

b. Orang yang mempunyai kemampuan untuk bertindak, tetapi tidak mengetahui ilmunya. Dia juga tidak wajib melakukan nahi mungkar.

c. Orang yang memenuhi kedua aspek di atas, dialah yang wajib melaksanakan nahi mungkar. (Majmu’ al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, 19/125)

Baca juga: Kewajiban Amar Makruf Nahi Mungkar

Dalil yang menunjukkan keharusan mengerahkan segenap kemampuan, berjuang, berkorban, dan siap menghadapi segala rintangan adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

أَلَا لَا يَمْنَعَنَّ رَجُلًا هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ بِحَقٍّ إِذَا عَلِمَهُ

“Perhatikanlah! Sungguh, janganlah rasa segan/takut kepada manusia menghalangi seseorang untuk mengucapkan kebenaran, apabila dia mengetahuinya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2198, Ibnu Majah no. 4007 dari Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu; at-Tirmidzi rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini hasan sahih)

Al-Qadhi Abu Bakr ibnul Arabi al-Maliki rahimahullah menjelaskan,

“Hadits ini menjelaskan bahwa seseorang hendaknya menegakkan amar makruf nahi mungkar walaupun dia takut. Sudah kami jelaskan dalam beberapa kesempatan bahwa apabila rasa takut muncul karena sedikit gangguan, kewajiban menyuarakan (kebenaran) tidak akan gugur. Namun, apabila kemudaratannya banyak, dia wajib menahan diri dari ucapan tersebut dan mengurusi urusannya pribadi.” (‘Aridhatul Ahwadzi 5/50, cet. Dar el-Fikr, 1415 H/1995 M, Beirut)

Dalil yang menunjukkan bahwa ketika kewajiban nahi mungkar di luar batas kemampuannya maka tidak wajib dilakukan, adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya.” (al-Baqarah: 286)

Baca juga: Cara Manis Menepis Kemungkaran

Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang melakukan amar makruf nahi mungkar bila dia merasakan takut. Jawaban beliau, “Dia wajib melakukannya hingga dia takut. Apabila dia telah mengkhawatirkan keselamatan dirinya, tidak boleh dia lakukan.” (al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ‘an al-Munkar hlm. 84, al-Khallal)

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata,

حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وِعَاءَيْنِ، فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ قُطِعَ هَذَا الْبُلْعُومُ

“Aku telah menghafal dari Rasulullah dua bejana ilmu. Bejana yang satu sudah aku sebarkan. Adapun bejana yang lain, apabila aku sebarkan, akan diputus urat nadi leher ini.” (HR. al-Bukhari no. 120)

Ditulis oleh Ustadz Muhammad Afifuddin